14
1 Ajaran Bratakesawa ..., Sartika, FIB UI, 2013

$MDUDQ%UDWDNHVDZD 6DUWLND ),%8,lib.ui.ac.id/file?file=digital/20352212-MK-Sartika.pdfAllah, sebab sifat-sifat itu dijelaskan di dalam Al-Qur’an (Harun, 1983:116). Bratakesawa mengatakan

  • Upload
    others

  • View
    4

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: $MDUDQ%UDWDNHVDZD 6DUWLND ),%8,lib.ui.ac.id/file?file=digital/20352212-MK-Sartika.pdfAllah, sebab sifat-sifat itu dijelaskan di dalam Al-Qur’an (Harun, 1983:116). Bratakesawa mengatakan

1

Ajaran Bratakesawa ..., Sartika, FIB UI, 2013

Page 2: $MDUDQ%UDWDNHVDZD 6DUWLND ),%8,lib.ui.ac.id/file?file=digital/20352212-MK-Sartika.pdfAllah, sebab sifat-sifat itu dijelaskan di dalam Al-Qur’an (Harun, 1983:116). Bratakesawa mengatakan

2

Ajaran Bratakesawa ..., Sartika, FIB UI, 2013

Page 3: $MDUDQ%UDWDNHVDZD 6DUWLND ),%8,lib.ui.ac.id/file?file=digital/20352212-MK-Sartika.pdfAllah, sebab sifat-sifat itu dijelaskan di dalam Al-Qur’an (Harun, 1983:116). Bratakesawa mengatakan

3

Ajaran Bratakesawa ..., Sartika, FIB UI, 2013

Page 4: $MDUDQ%UDWDNHVDZD 6DUWLND ),%8,lib.ui.ac.id/file?file=digital/20352212-MK-Sartika.pdfAllah, sebab sifat-sifat itu dijelaskan di dalam Al-Qur’an (Harun, 1983:116). Bratakesawa mengatakan

4

Ajaran Bratakesawa ..., Sartika, FIB UI, 2013

Page 5: $MDUDQ%UDWDNHVDZD 6DUWLND ),%8,lib.ui.ac.id/file?file=digital/20352212-MK-Sartika.pdfAllah, sebab sifat-sifat itu dijelaskan di dalam Al-Qur’an (Harun, 1983:116). Bratakesawa mengatakan

5

AJARAN BRATAKESAWA DAN KESINAMBUNGANNYA DENGAN KONSEP MEMAYU HAYUNING BAWANA

Sartika, Turita Indah Setyani

Program Studi Sastra Daerah untuk Sastra Jawa, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia

[email protected]

Abstrak

Tulisan ini mengkaji tentang Aliran Bratakesawa dan kesinambungannya dengan konsep Memayu Hayuning Bawana. Kajian ini menggunakan metode pustaka. Aliran Bratakesawa merupakan salah satu aliran kebatinan masyarakat Jawa, melalui aliran kebatinan ini masyarakat Jawa akan menemukan keselarasan dengan lingkungan dan hati nuraninya. Dalam proses tersebut masyarakat Jawa akan melalui tahapan Sangkan Paraning Dumadi, Manunggaling Kawula Gusthi, dan Kasampurnaning Dumadi. Manusia yang sudah mencapai kesempurnaan hidup, segala tindakannya merupakan perwujudan dari Memayu Hayuning Bawana.

Kata Kunci: Bratakesawa, Aliran, Memayu Hayuning Bawana

Abstract

This paper examines the mysticism of Bratakesawa and continuity to the concept Memayu Hayuning Bawana. This study uses the method library. Bratakesawa is one of the Javanese mysticism, through of this mysticism the Javanese community will find harmony with the environment and conscience. In that process, the Javanese community will going through the stages Sangkan Paraning dumadi, Manunggaling Kawula Gusthi and Kasampurnaning Dumadi. The people who has reached perfection in life, every action of them is a manifestation of Memayu Hayuning Bawana.

Keywords: Bratakesawa, Flow, Memayu Hayuning Bawana

1. Pendahuluan

1.1. Latar Belakang Masalah

Orang Jawa berpandangan bahwa segala sesuatu itu pada hakikatnya adalah satu,

yaitu satu kesatuan hidup. Karenanya kehidupan manusia selalu terpaut dalam kesatuan

Ajaran Bratakesawa ..., Sartika, FIB UI, 2013

Page 6: $MDUDQ%UDWDNHVDZD 6DUWLND ),%8,lib.ui.ac.id/file?file=digital/20352212-MK-Sartika.pdfAllah, sebab sifat-sifat itu dijelaskan di dalam Al-Qur’an (Harun, 1983:116). Bratakesawa mengatakan

6

kosmos alam raya yang bersifat religius (Franz Magnis, 1985: ). Menurut Maria A.Sardjono

(1995:19-21) mengatakan bahwa pandangan dunia batin manusia Jawa tidak dapat terlepas

dari ciri-ciri lahiriah dan batiniah yang terdapat dalam dirinya selaku mikrokosmos. Segi lahir

manusia menggambarkan dunia yang halus. Kesatuan harmonis antara dunia kasar dan dunia

halus dalam diri manusia pada akhirnya akan menciptakan tata eksistensi yang harmonis dan

seimbang dalam kosmos. Manusia Jawa yang ingin menciptakan keseimbangan,

keharmonisan dan keselarasan antara mikro dan makro kosmos diharapkan untuk memiliki

kemampuan mengolah batinnya agar dapat mengatasi segi lahiriah atau badaniah agar

batinnya dapat mengalami kesatuan dengan Tuhan. Oleh karena itu, masyarakat Jawa

memiliki ajaran-ajaran mistik kebatinan yang cukup khas yaitu ajaran untuk membentuk

sikap mental dalam menghayati hidup (Maria A. Sardjono, 1995: 20).

Menurut Harun Hadiwijono (1983:12-13), Kebatinan Jawa yaitu kebatinan seperti

yang dipelajari dan dipraktekan oleh orang Jawa serta yang mencerminkan pengolahan Jawa

dari bahan-bahan kebatinan yang datang dari luar (Makrokosmos) dengan bahan-bahan

kebatinannya sendiri (Mikrokosmos). Hasil dari pengolahan kebatinan tersebut akan

melahirkan kesatuan dengan Tuhan. Jadi dapat disimpulkan bahwa ajaran kebatinan Jawa

yaitu ajaran yang mengolah antara mikro kosmos dan makro kosmos hingga mencapai

keseimbangan, keharmonisan dan keselarasan dalam hidup dan mengalami kesatuan batin

dengan Tuhan.

Gerakan kebatinan tampil ke permukaan sebagai bagian dari gerakan revolusi

Indonesia di bidang moral spiritual. Munculnya berbagai macam aliran kebatinan demikian

banyak jumlahnya, terutama menjelang kemerdekaan dan sesudahnya merupakan bentuk

partisipasi dalam memperkuat jati diri dan kepribadian bangsa (Suwarno Imam, 2005:IX).

Iklim keagamaan di lingkungan masyarakat Jawa dalam sejarahnya sampai pertengahan abad

ke 20, tersusun dan tumbuh menjadi pesemaian yang subur bagi munculnya berbagai macam

aliran kebatinan. Ketika Pemerintah Kolonial telah ditumbangkan kebebasan untuk

mengeluarkan pendapat lebih leluasa, hingga kebebasan tumbuh dan bergerak bagi aliran-

aliran kebatinan lebih besar. Muncullah aliran-aliran kebatinan dalam versi mutakhir dengan

jumlah yang tidak kecil, dan dengan organisasi yang lebih besar. Beberapa kebatinan yang

ada diantaranya Agama Jawa Sunda, Aliran Perjalanan, Aliran Ki Ageng

Suryomentaram,Wirid Hidayat Jati R, Ng. Ranggawarsita, Paguyuban Sumarah, Sapta

Darma, Bratakesawa, Pangestu, Subud dan Paryana Suryadipura. Masing-masing

Ajaran Bratakesawa ..., Sartika, FIB UI, 2013

Page 7: $MDUDQ%UDWDNHVDZD 6DUWLND ),%8,lib.ui.ac.id/file?file=digital/20352212-MK-Sartika.pdfAllah, sebab sifat-sifat itu dijelaskan di dalam Al-Qur’an (Harun, 1983:116). Bratakesawa mengatakan

7

menampilkan coraknya sesuai dengan aspirasi dasar dari masing-masing pemimpinnya

(Sularso, 1987:12). Gerakan kebatinan tersebut pada dasarnya memiliki tujuan yang sama,

yaitu memperoleh keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan dalam hidup. Oleh karena itu

masyarakat Jawa sangat mengenal konsep Memayu Hayuning Bawana yang berarti

berperilaku selaras demi keselamatan dunia. Namun, bagi masyarakat Jawa yang merasa

batin, jiwa dan rohaninya belum terpenuhi akan terus berkelana dan mencari ajaran kebatinan

yang dianggapnya hakiki dapat memuaskan batin, jiwa dan rohaninya (Budya, 2004:3)

Tulisan ini membahas salah satu ajaran masyarakat Jawa yaitu Ajaran Bratakesawa

yang diyakini dapat mengantarkan mereka kepada Memayu Hayuning Bawana dengan

melewati tahapan Manunggaling Kawula Gusti (menyatukan diri dengan Tuhan), Sangkan

Paraning Dumadi (Tuhan merupakan asal mula kembalinya segala sesuatu di dunia) , serta

Kasampurnaning Dumadi (kesempurnaan hidup di dunia).

1.2 Masalah Penulisan

Permasalahan dalam penulisan ini adalah:

1. Bagaimana asal mula munculnya ajaran Bratakesawa?

2. Sejauh mana Ruang lingkup ajaran Bratakesawa diajarkan?

3. Bagaimana ajaran Bratakesawa dapat berkesinambungan dengan konsep masyarakat

Jawa Memayu Hayuning Bawana?

1.3 Tujuan Penulisan

Penulisan ini bertujuan untuk mengungkapkan kesinambungan antara ajaran Bratakesawa

dengan konsep Memayu Hayuning Bawana.

1.4 Manfaat Penulisan

Penulisan ini diharapkan bermanfaat bagi masyarakat untuk menambah wawasan serta

mengetahui dan mengenal dasar ajaran Bratakesawa yang dapat mengantarkan masyarakat

menuju keselarasan dalam hidup.

1.5 Metode Penulisan

Ajaran Bratakesawa ..., Sartika, FIB UI, 2013

Page 8: $MDUDQ%UDWDNHVDZD 6DUWLND ),%8,lib.ui.ac.id/file?file=digital/20352212-MK-Sartika.pdfAllah, sebab sifat-sifat itu dijelaskan di dalam Al-Qur’an (Harun, 1983:116). Bratakesawa mengatakan

8

Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode kualitatif yang bersifat deskriptif

yang bertujuan untuk membahas tentang ajaran Bratakesawa dan ruang lingkup ajaran

Bratakesawa serta kesinambungan dengan konsep Memayu Hayuning Bawana.

2. Bratakesawa

2.1 Profile Bratakesawa

Bratakesawa lahir pada tahun 1897 M, di desa Wonopati Suwungalur Kulon Progo,

Yogyakarta. Ketika masih kecil Bratakesawa dipanggil dengan nama Gatot. Ayahnya yaitu

Raden Ngabehi Wonosastro, masih keturunan pujangga besaw R.Ng. Ranggawarsita (Muslih,

2002: 7-9). Bratakesawa pernah menikah beberapa kali. Perkawinan dengan istri yang

pertama mempunyai tiga orang anak dan memiliki satu anak dari istrinya yang terakhir

(Muslih, 2002:11-12). Bratakesawa meninggal di desa kelahirannya pada tanggal 17 Oktober

1972.

2.2 Ajaran Bratakesawa

Bratakesawa merupakan seorang pensiunan wartawan, selama hidupnya dia tinggal di

Yogyakarta. Pada tahun 1952 ia menulis buku yang diberi judul Kunci Swarga, dengan

maksud untuk menyumbangkan pikiran bagi pembangunan akhlak bangsa Indonesia yang

telah bebas dari penjajahan (Harun, 1983: 115).

Buku-buku ciptaan Bratakesawa sangatlah berbeda dengan buku-buku kebatinan pada

umumnya yang yang lebih menekankan kepada hal-hal yang berbau klenik, tidak berdasarkan

ilmu yang masuk akal, dan bahkan sering kali hanya omong kosong (Imam Supardi: 1960).

Buku-buku ciptaan Bratakesawa sangat menarik perhatian pembaca bukan karena

kesukarannya, tetapi karena cara beliau menguraikan pemikirannya, memilih kata-kata, serta

keindahan kalimatnya yang membuat orang menjadi tertarik untuk membacanya.

Ajaran Bratakesawa bukanlah ajaran yang sengaja diajarkan Bratakesawa kepada

masyarakat Jawa pada khususnya Ajaran Bratakesawa adalah pemikiran-pemikiran

Bratakesawa (tentang Allah, tentang manusia, dan tentang kelepasan) yang dituangkan

melalui tulisan menjadi sebuah buku dikarenakan beliau merasa prihatin dengan keadaaan

masyarakat sekitar yang perbuatannya menyimpang dari ajaran agama yang dibawa Rasul

Allah sehingga merugikan masyarakat dan negara.

Ajaran Bratakesawa ..., Sartika, FIB UI, 2013

Page 9: $MDUDQ%UDWDNHVDZD 6DUWLND ),%8,lib.ui.ac.id/file?file=digital/20352212-MK-Sartika.pdfAllah, sebab sifat-sifat itu dijelaskan di dalam Al-Qur’an (Harun, 1983:116). Bratakesawa mengatakan

9

Buku-buku yang dibuat oleh Bratakesawa berisi tentang pemikiran-pemikiran

Bratakesawa tersebut kemudian diimani dan diyakini oleh masyarakat Jawa sebagai petunjuk

yang baik untuk sebuah laku. Laku bagi masyarakat Jawa dapat berarti perilaku-perilaku yang

berpedoman kepada ajaran yang diyakininya untuk mencapai Memayu Hayuning Bawana

dengan diiringi oleh semangat Ambrastho Dur Angkara (memberantas keangkara murkaan

baik angkara murka yang berasal dari duniawi ataupun dari dalam diri). Oleh karena itu pola

pikir masyarakat Jawa yang membaca buku-buku ciptaan Bratakesawa menyimpulkan bahwa

buku-buku tersebut sebagai Ajaran Bratakesawa.

2.2 Ruang Lingkup Ajaran Bratakesawa.

2.2.1 Ajaran Tentang Allah

Menurut Bratakesawa, tidaklah perlu untuk mengetahui apa dan siapa Allah, sebab

Allah tidak dapat disamakan dengan sesuatu. Ia tidak dapat dikatakan seperti apa (tan kena

kinayangapa) (Harun, 1983:116). Menurut Bratakesawa istilah “Allah” itu hanya nama

anggapan, atau nama buatan manusia. Adapun manusia dalam membuat nama itu menurut

bahasanya sendiri-sendiri. Istilah “Allah” dibuat oleh orang Arab, artinya Yang Disembah,

sedangkan orang Jawa memberi istilah “Pangeran” artinya yang diperhamba (Suwarno,

2005:263).

Bratakesawa mengatakan bahwa yang lebih penting diketahui hanyalah sifat-sifat

Allah, sebab sifat-sifat itu dijelaskan di dalam Al-Qur’an (Harun, 1983:116). Bratakesawa

mengatakan bahwa sifat-sifat Allah jumlahnya 41 yang terdiri dari 20 sifat wajib, 20 sifat

mustahil dan 1 sifat jaiz (Suwarno, 2005:270)1.

Bratakesawa menyebutkan sifat-sifat Allah menurut pendapatnya secara ringkas, yaitu

hidup tanpa roh, kuasa tanpa alat, tanpa awal tanpa akhir, tak dapat dikatakan seperti apa,

tiada zaman tiada makan, tiada tujuan tiada tempat, jauh tanpa batas, dekat tanpa disentuh,

tiada luar tiada dalam, tetapi meliputi semua yang tergelar atau terbentang di dunia ini

(Harun, 1983:116).

Bratakesawa mengemukakan pendapatnya di dalam bukunya Kunci Swarga mengenai

bukti adanya Allah. Dia mengatakan bahwa orang tidak bisa melakukan apa-apa 1 Lihat hal. 270-273. Konsep Tuhan, Manusia, Mistik dalam Berbagai Kebatinan Jawa. Dr. Suwarno Imam S. 2005. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Ajaran Bratakesawa ..., Sartika, FIB UI, 2013

Page 10: $MDUDQ%UDWDNHVDZD 6DUWLND ),%8,lib.ui.ac.id/file?file=digital/20352212-MK-Sartika.pdfAllah, sebab sifat-sifat itu dijelaskan di dalam Al-Qur’an (Harun, 1983:116). Bratakesawa mengatakan

10

seumpamanya Allah tidak ada dan setiap orang tidak bisa berbuat apa-apa kecuali dengan

pertolongan Allah. Tanda buktinya, yaitu dirinya tidak dapat menggunakan anggota

badannya, orang tidak dapat menahan usianya meski hanya satu menit kalau tiba-tiba saatnya

meninggal dunia. Bukti lainnya keadaan alam yang terhampar di dunia, siapa yang

menciptakan bulan dan matahari yang berotasi secara teratur, yang tidak bisa dipengaruhi

oleh manusia. Siapa yang menciptakan bumi, laut, sungai dan sebagainya? Hal-hal tersebut

dikemukakan oleh Bratakesawa untuk membuktikan keberadaan Allah. Bratakesawa

menggunakan referensi Al-Qur’an dan terjemahannya sebagai dalil naqli-nya terhadap

pernyataannya tersebut, meskipun bagi ilmu Tauhid hal-hal tersebut merupakan dalil ijmali 2.

2.2.2 Ajaran Tentang Manusia

Menurut Bratakesawa, manusia terdiri dari tiga bagian, yaitu:

1. Badan Kasar, ialah jasmani manusia, dari mulai organ tubuh sampai dengan panca indra

dan juga hakekat fungsinya bagi kehidupan manusia.

2. Badan Halus, hanya memiliki satu alat, yaitu rasa eling atau rasa sejati (rasa ingat atau rasa

yang sejati), yang halus sekali dan kadangkala bertindak.

3. Sang Halus, adalah bagian yang terdalam, tidak memiliki alat apapun, sebab Sang Halus

berkuasa tanpa alat.

Menurut Bratakesawa, hubungan di antara ketiga bagian itu harus digambarkan

seperti hubungan antara tiga macam substansi yang terdapat pada air laut, yaitu garam,

oxygen, dan hydrogen. Jika orang mati, Sang Halus bersama-sama dengan badan halus

dipisahkan dari badan kasar. Pemisahan itu sama dengan pemisahan air dari garam, pada

waktu air laut diupakan dan diembunkan. Kemudian ketika pemisahan Sang Halus dari

Badan Halus sama dengan pemisahan hydrogen dari oxygen dalam proses kimia (Harun,

1983:117).

Bratakesawa dalam bukunya Kunci Swarga mengatakan bahwa Sang Halus disebut

Ikheid atau Purusha. Purusha bukanlah badan halus, tapi purusha disebut hayyun bila ruuhin

(hidup tanpa roh), jadi bukan pula roh. Purusha memliki sifat yang meliputi semua yang

2 Dalil naqli artinya kitab Tuhan, Dalil aqli yaitu akal pikiran (Harun, 1983:115-116), Dalil ijmali yaitu dalil sederhana (Suwarno, 2005:264).

Ajaran Bratakesawa ..., Sartika, FIB UI, 2013

Page 11: $MDUDQ%UDWDNHVDZD 6DUWLND ),%8,lib.ui.ac.id/file?file=digital/20352212-MK-Sartika.pdfAllah, sebab sifat-sifat itu dijelaskan di dalam Al-Qur’an (Harun, 1983:116). Bratakesawa mengatakan

11

terhampar ini, termasuk batu yang bergerak, juga diliputi oleh purusha. Akan tetapi napas

dan nyawa manusia bukanlah purusha, justru napas itu hanya talinya hidup dan nyawa itu

hanya tandanya hidup (Bratakesawa, 1979:33). Di dalam hidup manusia agaknya Sang Halus

hanya berfungsi sebagai penonton terhadap segala peristiwa rohani dan jasmani di dalam

dirinya. Sebab ia bukanlah asas yang aktif di dalam diri manusia itu (Harun, 1983:118).

2.2.3 Ajaran Tentang Kelepasan

Menurut Bratakesawa hidup sehari-hari manusia terikat oleh belenggu duniawi, yaitu

keinginan. Orang yang memiliki keinginan dalam hidupnya akan dilahirkan kembali dalam

roda kehidupan, dia tidak dapat pulang ke alam yang mutlak jika belum terlepas dari

keinginan duniawi. Seseorang yang ingin terlepas dari kelahirannya kembali harus hidup

tanpa keinginan (Harun, 1983:119). Yang dimaksud dengan kelepasan ialah manusia

dibebaskan dari roda kelahiran, yang berarti pulang ke alam yang mutlak, asal-mula segala

sesuatu. Hidup tanpa keinginan harus diseimbangi dengan perbuatan yang mengingatkan

kepada tujuan hidup di dunia ini. Melakukan kegiatan di dunia ini memang harus dijalani

oleh setiap manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup, namun itu tidak menjadikan suatu

prioritas utama bagi manusia. Kehidupan di dunia ini hanya sementara, diperlukan

keseimbangan untuk menjalaninya, yaitu berbakti pula kepada Allah.

Bratakesawa mengungkapkan bahwa kelepasan yang membawa manusia kepada

kesempurnaan terdiri dari kebebasan manusia dari keinginan. Badan halus harus berusaha

menguasai nafsu manusia. Jika badan halus berhasil menguasai nafsu, maka badan halus itu

akan menjadi jernih. Hal ini akan mengakibatkan Sang Halus yang berada di dalam manusia

akan kembali kepada Allah (Harun, 1983:121).

Jalan menuju kesempurnaan disebut “hidup tanpa keinginan”, yang diterangkan

sebagai “hidup yang tidak aktif”, yang berarti manusia mencapai kelepasan, sekalipun orang

berbuat, serta menyembah Allah dengan pengetahuan dan perbuatan. Menyembah Allah

terdiri dari empat tingkat, yang tertinggi ialah ma’rifa, penyembahan suksma, yaitu

penyembahan jiwa yang tanpa alat. Cara melakukannya terdiri dari dua, yaitu pemusatan

cipta3 dan meditasi.

3 Lihat hal. 120-121. Konsep Tentang Manusia dalam Kebatinan Jawa. Harun Hadiwijono. 1983. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan.

Ajaran Bratakesawa ..., Sartika, FIB UI, 2013

Page 12: $MDUDQ%UDWDNHVDZD 6DUWLND ),%8,lib.ui.ac.id/file?file=digital/20352212-MK-Sartika.pdfAllah, sebab sifat-sifat itu dijelaskan di dalam Al-Qur’an (Harun, 1983:116). Bratakesawa mengatakan

12

2.3. Kesinambungan Ajaran Bratakesawa dengan Konsep Memayu Hayuning Bawana

2.3.1 Definis Memayu Hayuning Bawana

Memayu Hayuning Bawana terdiri dari tiga kata: Memayu, Hayuning, dan Bawana.

Kata memayu berasal dari kata hayu (canti, indah, atau selamat) kemudian ditambahkan

awalan ma- menjadi memayu yang berarti mempercanti, memperindah, membuat selamat,

atau meningkatkan keselamatan. Jadi dapat diartikan bahwa memayu berarti mengusahakan

(mengupayakan) keselamatan.

Hayuning berasal dari kata hayu dengan mendapatkan kata ganti kepunyaan ning (-

nya) yang berarti keselamatannya. Jadi dapat diartikan memayu hayuning mengusahakan

keselamatan, kebahagiaan dan kesejarhteraan.

Sedangkan bawana berarti dunia, dalam pengertian dunia batin, jiwa dan rohani.

Pengertian lahiriah, ragawi atau jasmaniahnya dipergunakan kata buwana yang berarti dunia

dalam arti fisik. Bawana terdiri dari tiga macam arti dan makna, yaitu:

1. Bawana cilik (dunia kecil), bermakna pribadi dan keluarga.

2. Bawana gede (dunia besar), bermakna masyarakat, bangsa, negara dan internasional

(global).

3. Bawana langgeng (dunia abadi), adalah alam akhirat.

Jadi yang dimaksud dengan Memayu Hayuning Bawana adalah mengusahakan keselamatan,

kebahagiaan dan kesejahteraan hidup di dunia ini (Budya, 2004:4-5).

2.3.2 Kesinambungan antara Ajaran Bratakesawa dengan Konsep Memayu Hayuning

Bawana

Kesinambungan antara Ajaran Bratakesawa dengan konsep Memayu Hayuning

Bawana sebenarnya telah di bahas secara tersirat dari pembahasan tulisan ini. Seperti penulis

sampaikan pada pembahasan di atas bahwa pada dasarnya setiap ajaran atau aliran kebatinan

mengajarkan untuk hidup seimbang dan selaras antara makrokosmos dan mikrokosmos. Jika

setiap orang bisa menyeimbangkan dan menyelaraskan keduanya maka mereka akan

mencapai kebahagiaan, kesejahteraan dan keselamatan di dunia. Manusia untuk mencapai

kesempurnaan dalam hidup dapat melewati tiga tahapan yaitu Sangkan Paraning Dumadi,

Ajaran Bratakesawa ..., Sartika, FIB UI, 2013

Page 13: $MDUDQ%UDWDNHVDZD 6DUWLND ),%8,lib.ui.ac.id/file?file=digital/20352212-MK-Sartika.pdfAllah, sebab sifat-sifat itu dijelaskan di dalam Al-Qur’an (Harun, 1983:116). Bratakesawa mengatakan

13

Manunggaling Kawula Gusthi dan Kasampurnaning Dumadi. Setelah manusia mencapai

tahapan-tahapan tersebut maka setiap tindakannya merupakan perwujudan dari Memayu

Hayuning Bawana.

Pada Ajaran Bratakesawa konsep Sangkang Paraning Dumadi merupakan asal dan

tujuan hidup ini adalah dari Tuhan, untuk Tuhan, dan kembali kepada Tuhan. Jika manusia

telah memahami makna kehidupan ini adalah semata-mata karena Tuhan, maka dia akan

melakukan sesuatu dengan niat karena Tuhan, dan manusia akan mencoba untuk melepaskan

diri dari keinginan yang bersifat duniawi, karena sesungguhnya asal dan tujuan hidup di

dunia ini adalah dari Tuhan, untuk Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan di alam yang

kekal, asal-muasal dari segalanya yang ada.

Ajaran mengenai Tuhan dalam ajaran Bratakesawa membawa kepada hakikat Tuhan

bagi seorang hamba. Jika seseorang sudah mampu untuk memahami hakikat Tuhan bagi

dirinya, maka dia akan mencoba untuk menyatukan diri kepada Tuhan atau Manunggaling

Kawula Gusthi, demi mencapai keseimbangan hidup di dunia dan akhirat kelak.

Manusia yang telah mampu melepaskan diri dari keinginan duniawi maka manusia itu

telah mencapai Kasampurnaning Dumadi dan akan membawanya kepada konsep Memayu

Hayuning Buwana, bahwa dia mampu untuk menjaga, melestarikan, dan memelihara alam

semesta ini agar harmonis, seimbang, selaras, dengan menjaga keseimbangan makro dan

mikro kosmos.

3.1 Kesimpulan

Ajaran Bratakesawa merupakan pemikiran-pemikiran dari Bratakesawa yang

dituangkan ke dalam tulisan sehingga menjadi buku-buku yang selanjutnya diyakini dan

diimani oleh masyarakat Jawa sebagai ajaran yang memiliki laku yang baik untuk mencapai

kasampurnaning dumadi, dan mampu menerapkan konsep Memayu Hayuning Bawana.

Ajaran ini merupakan ajaran yang sangat mengandung unsur islam, karena Bratakesawa

mendasarkan pemikirannya kepada Al Quran dan Hadist. Benar tidaknya suatu ajaran tidak

dilihat dari siapa yang mebawa dan dari mana ajaran itu, tetapi jika ajaran itu mengandung

unsur kebaikan serta laku yang baik, maka sudah seharusnya manusia mencoba mengambil

dan menyimpulkan secara positif maksud dari ajaran-ajaran tersebut.

Ajaran Bratakesawa ..., Sartika, FIB UI, 2013

Page 14: $MDUDQ%UDWDNHVDZD 6DUWLND ),%8,lib.ui.ac.id/file?file=digital/20352212-MK-Sartika.pdfAllah, sebab sifat-sifat itu dijelaskan di dalam Al-Qur’an (Harun, 1983:116). Bratakesawa mengatakan

14

REFERENSI

Hadiwijono, Harun. 1983. Konsep Tentang Manusia Dalam Kebatinan Jawa. Jakarta:

Penerbit Sinar Harapan.

Hariwijoyo, Harun. 1999. Kebatinan dan Injil. Jakarta: Gunung Mulia.

Imam S, Suwarno. 2005. Konsep Tuhan, Manusia, Mistik dalam Berbagai Kebatinan Jawa.

Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Pradipta, Budya. 2004. Memayu Hayuning Bawana; Tanda Awal Indonesia Menjadi Pusat,

Obor, dan Pemimpin Dunia. Jakarta: CV. Titian Kencana Mandiri.

Sarjono, Maria A. 1995. Paham Jawa. Jakarta: Penerbit Pustaka Sinar Harapan.

Tim UNY. 2006. Kejawen; Jurnal Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: NARASI.

Sopater, Sularso. 1987. Mengenal Pokok-Pokok Ajaran Pangestu. Jakarta: Pustaka Sinar

Harapan.

Ajaran Bratakesawa ..., Sartika, FIB UI, 2013