View
2
Download
0
Category
Preview:
DESCRIPTION
Keadaan Benua
Citation preview
DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL
DIREKTORAT JENDERAL PENINGKATAN MUTU PENDIDIK DAN TENAGA
KEPENDIDIKAN
BENUA
ASIA
MODUL
OlehDrs. Sri Wasono Widodo, M.Pd
NIP. 131626323Widyaiswara LPMP Jateng
DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL
DIREKTORAT JENDERAL PENINGKATAN MUTU PENDIDIK DAN TENAGA
KEPENDIDIKAN
BENUA
ASIA
MODUL
disusun sebagai bahan referensidalam penyusunan bahan ajar
pendidikan dan pelatihandi LPMP Jawa Tengah
OlehDrs. Sri Wasono Widodo,M.Pd.
NIP. 131626323Widyaiswara LPMP Jateng
i
ii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Drs. Sri Wasono Widodo, M.Pd.
NIP : 131626323
Jabatan : Widyaiswara Madya
Unit Kerja : Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan Jawa Tengah
Menyatakan dengan yang benar bahwa tulisan ini benar-benar merupakan karya saya
sendiri; bukan merupakan pengambilalihan tulisan atau pikiran orang lain yang
kemudian saya akui sebagai hasil tulisan atau pikiran saya, kecuali yang secara
tertulis diacu dalam laporan ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Semarang, Mei 2007
Yang membuat pernyataan,
Drs. Sri Wasono Widodo, M.Pd.
3
4
LEMBAR PENGESAHAN
1. Judul Buku : Benua Asia
2. Jenjang : Menengah
3. Penulis
a. Nama Lengkap : Drs. Sri Wasono Widodo, M.Pd.
b. NIP : 131626323
c. Pangkat/Gol. : Pembina IV/a
d. Jabatan : Widyaiswara Madya
e. Unit Kerja : LPMP Jawa Tengah
Semarang, November 2007
Kepala
Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan
H. Makhali
NIP. 130937448
v
vi
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa,
penulis menyelesaikan tulisan ini. Buku Benua Asia ini disusun berdasarkan
kebutuhan yang dirasakan oleh penulis dan guru sebagai bahan ajar untuk berbagai
macam pelatihan yang berkaitan dengan pengembangan profesi guru pada umumnya
maupun pengingkatan kualitas pembelajaran di kelas pada khususnya.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Kepala , Kepala Sub Bagian,
dan semua Kepala Seksi Lembaga Penjaminan Mutu (LPMP) Jawa Tengah yang
telah memfasilitasi tersusunnya buku ini. Ucapan terima kasih juga penulis
sampaikan kepada rekan sejawat Widyaiswara atas berbagai sumbanag saran yang
sangat berharga dalam tulisan nini. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan
kepada pihak-pihak lain, yang namanya tidak dapat penulis sebutkan satu persatu,
yang telah membantu mempersiapkan atau memberikan masukan sehingga tulisan ini
dapat terselesaikan.
Segala upaya telah penulis lakukan untuk kesempurnaan buku ini, namun di
dalamnya masih terdapat kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan saran dan komentar yang dapat dijadikan masukan dalam
menyempurnakan buku ni di masa yang akan datang.
vii
Semoga buku ini bermanfaat tidak hanya bagi LPMP, para widyaiswara dan
peserta pendidikan dan pelatihan, tetapi juga bagi semua pihak yang berkaitan dengan
kegiatan pembelajaran pada umumnya.
Penulis
viii
DAFTAR ISI
Contents [showhide]
1 Subregions
1.1 Middle East
1.2 North Asia
1.3 Central Asia
1.4 East Asia
1.5 Southeast Asia
1.6 South Asia
1.7 Southwest Asia (or West Asia)
2 Economy
2.1 Natural resources
2.2 Manufacturing
2.3 Financial and other services
3 Early history
4 Population density
5 Religion
ix
6 See also
7 External links
Halaman Judul i
Pernyataan Keaslian Tulisan ii
Lembar Pengesahan iii
Kata Pengantar iv
Daftar Isi v
BAB I. PENDAHULUAN 1
BAB II. PENGERTIAN KONSTRUKTIVISME 2
A. Sejarah 3
B. Teori Konstruktivisme 4
BAB III. KONDISI ALAMIAH PEMBELAJAR 6
A. Pembelajar adalah Individu yang Unik 6
B. Pentingnya Latar Belakang dan Budaya Pembelajar 6
C. Tanggung Jawab Belajar 7
D. Motivasi Belajar 8
BAB IV. PERAN GURU 9
A. Guru (atau Instruktur) sebagai Fasilitator 9
x
B. Belajar Merupakan Proses Sosial Dua Arah yang Aktif 10
C. Interaksi Dinamis antara Tugas, Guru, dan Pembelajar 11
BAB V. KOLABORASI PEMBELAJAR 13
A. Pentingnya Konteks 14
B. Asesmen 15
BAB VI. MATERI PELAJARAN 17
A. Pengetahuan Seharusnya Ditemukan sebagai Keseluruhan Terpadu 17
B. Keasyikan dan Tantangan bagi Pembelajar 17
C. Penstrukturan Proses Belajar 19
D. Catatan Akhir 20
BAB VII. PEDAGOGI KONSRUKTIVISME 21
A. Konstruksionisme 22
B. Konstruktivisme Sosial 23
C. Sains Komputer dan Pemrograman 24
Daftar Pustaka 25
xi
xii
BAB I
PENDAHULUAN
Asia merupakan bagian tengah dan timur dari benua gabungan Eurasia (Eropa
dan Asia), yang terpisah karena banyak perbedaan kultural dengan semenanjung
Eropa. Secara geologis maupun geografis, Asia bukanlah benua sejati, melainkan
subbenua saja.
Karena kondisi yang demikian, batas antara Asia dengan Eropa ditentukan
dengan agak ragu-ragu. Bila demarkasi antara Asia dan Afrika sudah jelas yaitu tanah
genting Suez, maka batas antara Asia dan Eropa agak samar yaitu di sepanjang
Dardanella, Laut Marmara, Selat Bosphorus, Laut Hitam, pegunungan Kaukasia (ada
yang berpendapat melalui depresi Kuma-Manych), Laut Kaspi, dan Sungau Ural (ada
yang berpendapat berbeda yaitu Sungai Emba) dan pegunungan Ural sampai Novaya
Zemlya. Sekitar 60 % penduduk dunia menghuni benua terluas ini.
Secara pembagian politis Asia terdiri dari sebagian Eurasia yang
dideskripsikan sebelumnya dan kepulauan sekitarnya di Samudera Hindia dan
Samudera Pasifik.
BAB II
KUDER RICHARDSON FORMULA-20
Dalam statistik, Kuder-Richardson Formula 20 (KR-20) merupakan suatu
ukuran reliabilitas konsistensi internal untuk pengukuran dengan pilihan dikotomis,
yang pertama kali dipublikasikan pada tahun 1937. Formula KR-20 analog dengan α
Cronbach, kecuali α Cronbach digunakan untuk pengukuran non-dikotomis atau
kontinus. Koefisisen KR-20 yang tinggi (misalnya >90) mengindikasikan tes yang
homogen.
Nilai-nilai dari KR-20 memiliki rentang dari 0.00 sampai 1.00 (kadang-
kadang diekspresikan dengan 0 sampai 100), dengan nilai yang tinggi
mengindikasikan bahwa tes yang digunakan berkorelasi dengan bentuk-bentuk
penggantinya (yaitu suatu karakteristik yang dibutuhkan). Formula KR-20 ditentukan
oleh tingkat kesulitan, persebaran skor dan jumlah item tes.
Dalam kasus skor-skor yang ada tidak tau-equivalent (sebagai misal ketika
item tes tidak homogen dan lebih cenderung meningkat kesulitannya) maka KR-20
merupakan suatu indikasi dari batas bawah dari konsistensi internal (reliabilitas).
Perlu diperhatikan bahwa varians dari KR-20 adalah
Sangat penting untuk menggunakan operator yang tidak bias sehingga Sum of
Squares atau jumlah kuadrat seharusnya dibagi dengan derajat kebebasan (N − 1)
dan probabilitas dikalikan dengan
Karena α Cronbach dipublikasikan paada tahun 1951, tidak diketahui
keunggulan KR-20 dibandingkan dengan α Cronbach. KR-20 dipandang derifatif dari
formula Cronbach, dengan keunggulan α Cronbach dapat digunakan baik untuk
variabel dikotomis maupun kontinyus.
3
BAB III
KONDISI ALAMIAH PEMBELAJAR
Asumsi mendasar pertama yang perlu diperhatikan dalam konstruktivisme
adalah, pentingnya kondisi alamiah pembelajar dalam pelaksanan kegiatan
pembelajaran. Di sini perlu diperhatikan beberapa hal, antara lain sifat pembelajar
sebagai individu yang unik, faktor latar belakang dan budaya pembelajar, tanggung
jawab pembelajar, dan motivasi belajar dari pembelajar.
A. Pembelajar adalah Individu yang Unik
Konstruktivisme sosial memandang setiap pembelajar sebagai individu yang
unik dengan keunikan kebutuhan dan latar belakang. Pembelajar juga dipandang
secara kompleks dan multidimensional. (Gredler 1997). Konstruktivisme sosial bukan
hanya memahami keunikan dan kompleksitas pembelajar, namun juga
membangkitkan, memanfaatkan dan memberikan penghargaan pada keduanya
sebagai bagian integral dari proses pembelajaran (Wertsch 1997).
B. Pentingnya Latar Belakang dan Budaya Pembelajar
Gredler (1997) juga menekankan pentingnya latar belakang dan budaya
pembelajar. Konstruktivisme sosial membangkitkan keberanian pembelajar untuk
sampai pada kebenaran versi masing-masing, yang dipengaruhi oleh latar
belakangnya, budaya atau lingkungannya. Perkembangan historis atau sistem simbol,
seperti bahasa, logika, dan sistem matematika, merupakan faktor bawaan dari
pembelajar sebagai anggota dari budaya tertentu dan hal ini dipelajari pembelajar di
sepanjang hidupnya. Berbagai simbol tersebut menuntun bagaimana pembelajar
belajar dan apa yang dipelajari (Gredler 1997). Hal ini juga menekankan pentingnya
interaksi sosial pembelajar secara alami dengan anggota masyarakat yang
berpengetahuan. Tanpa interaksi sosial dengan anggota masyarakat yang
berpengetahuan, adalah mustahil untuk memperoleh arti sosial dari sistem simbol
yang penting dan belajar bagaimana memanfaatkannya. Anak-anak muda
mengembangkan kemampuan berpikirnya melalui interaksi dengan orang dewasa.
Dari sudut pandang konstruktivisme sosial, menjadi sangat penting
mempertimbangkan latar belakang dan budaya pembelajar sepanjang proses
pembelajaran, karena latar belakang semacam ini juga membantu membentuk
pengetahuan dan kebenaran yang diciptakan, ditemukan, dan diperoleh selama proses
pembelajaran berlangsung (Gredler 1997; Wertsch 1997).
C. Tanggung Jawab Belajar
5
Lebih jauh lagi, ada alasan kuat bahwa tanggung jawab belajar seharusnya
berangsur-angsur diberikan kepada pembelajar (Von Glasersfeld 1989). Karenanya
kostruktivisme sosial menekankan pentingnya keterlibatan aktif pembelajar dalam
proses belajar, tidak seperti pandangan dunia pendidikan sebelumnya yang
meletakkan tanggung jawab belajar pada guru untuk mengajar sehingga peran
pembelajar pasif, bersifat hanya menerima. Von Glasersfeld (1989) menekankan agar
pembelajar mengkonstruksi pemahamannya sendiri dan tidak hanya sekedar meniru
dan melakukan begitu saja apa yang ia baca. Ketika tiada informasi yang lengkap,
pembelajar mencari kebermaknaan dan memiliki kemauan untuk mencoba
menemukan keteraturan dan pola kejadian-kejadian di dunia nyata.
D. Motivasi belajar
Asumsi penting lain mengenai keadaan alami pembelajar berkenaan dengan
tingkatan dan sumber motivasi belajar. Menurut Von Glasersfeld (1989) motivasi
yang paling cocok untuk belajar secara kuat bergantung pada kepercayaan diri siswa
yang ada dalam potensinya untuk belajar. Perasaan akan adanya kompetensi dan
kepercayaan akan adanya potensi untuk memecahkan masalah baru, hampir
seluruhnya diperoleh dari pengalaman langsungnya (first-hand experience) dalam
menuntaskan masalah di masa lalu dan jauh lebih kuat dari pada motivasi dan
pemberitahuan eksternal (Prawat dan Floden 1994). Hal ini terkait dengan "zone of
6
proximal development" nya Vygotsky (Vygotsky 1978) yang berpendapat bahwa
sebaiknya pembelajar diberi tantangan yang setingkat, atau sedikit di atas
perkembangannya pada saat itu. Berbekal pengalaman sukses sepenuhnya dalam
menuntaskan tugas yang menantang, pembelajar memperoleh kepercayaan diri dan
motivasi untuk menaklukkan tantangan baru yang lebih besar.
7
BAB IV
PERAN GURU
Dalam kegiatan pembelajaran yang bercirikan konstruktivisme, peran guru
amat berbeda dengan dalam kegiatan pembelajaran konvensional. Perbedaan itu
antara lain pada karakteristik pembelajaran konstruktivistik yang memposisikan guru
sebagai fasilitator atau instruktur, adanya proses sosial yang aktif dari kedua belah
pihak baik guru maupun siswa, interaksi yang dinamis antara fasilitator, bahan ajar,
dan siswa.
A. Guru (atau Instruktur) sebagai fasilitator
Menurut pendekatan konstruktivis sosial, guru harus menyesuaikan perannya
dari sebagai instruktur ke peran sebagai fasilitator (Steffe dan Gale 1995). Ketika
seorang guru memberikan pembelajaran dalam suatu mata pelajaran, perannnya
sebagai fasilitator membantu pembelajar untuk memperoleh pemahamannya sendiri
tentang materi. Selama proses pembelajaran, dalam skenario pembelajaran tradisional
pembelajar berperan pasif, dalam pembelajaran konstruktivisme sosial pembelajaran
berperan aktif. Dengan demikian, penekanannya berubah dari instruktur dan materi
ke pembelajar (Kukla 2000). Perubahan dramatik dalam hal peran ini membawa
konsekuensi pada guru untuk memiliki seperangkat keterampilan baru dari
sebelumnya sebagai suatu keharusan (Brownstein 2001). Sebagai guru ia
memberitahu, sebagai fasilitator ia bertanya; sebagai guru ia "ing ngarso", sebagai
fasilitator ia "tut wuri"; seorang guru memberikan jawaban sesuai seperangkat
kurikulum, seorang fasilitator, seorang fasilitator memberikan garis besar haluan dan
menciptakan lingkungan untuk pembelajar agar bisa menemukan kesimpulannya
sendiri; seorang guru cenderung monolog, seorang fasilitator senantiasa dialog
dengan pembelajar (Rhodes dan Bellamy 1999). Seorang fasilitator seharusnya juga
mampu mengadaptasi pengalaman belajarnya sendiri dalam rangka mengarahkan
pengalaman belajar itu menuju ke mana pembelajar ingin menciptakan sendiri nilai
yang bermakna.
Lingkungan pembelajar seharusnya juga dirancang untuk mendukung dan
memberikan tantangan pada proses berpikir pembelajar (Di Vesta, 1987). Meskipun
disarankan agar memberikan kepada pembelajar akses untuk menemukan masalahnya
sendiri dan proses pemecahannya, seringkali kegiatan ataupun solusinya tidak
memadai. Pada akhirnya, tujuan utamanya adalah memberikan pembelajar dukungan
untuk menjadi pemikir efektif. Hal ini bisa dilakukan dengan memainkan peran
ganda, yaitu konsultan dan pelatih.
B. Belajar Merupakan Proses Sosial Dua Arah yang Aktif
9
Para pakar konstruktivisme sosial memiliki pandangan belajar sebagai proses
aktif di mana pembelajar seharusnya belajar untuk menemukan sendiri prinsip,
konsep, dan fakta sehingga sebaiknya diberikan teka-teki yang menantang dan cara
berpikir intuitif dari pembelajar (Brown et al.1989; Ackerman 1996; Gredler 1997).
Kenyataannya -bagi konstruktivis sosial- prinsip, konsep dan fakta bukanlah sesuatu
yang kita bisa temukan begitu saja karena sebelumnya tidak ada dan bukan menjadi
prioritas utama bagi masyarakat kita untuk menemukannya. Kukla (2000)
berpandangan bahwa prinsip.konsep dan fakta direkonstruksi oleh aktivitas sendiri
dan bahwa manusia, yang secara bersama-sama menjadi anggota masyarakat
menemukannya untuk menjadi properti dunia nyata mereka.
Pakar konstruktivis lain setuju dengan pendapat di atas namun lebih
menekankan bahwa individual memberikan makna melalui interaksinya dengan orang
lain dan dalam lingkungan tempat ia hidup. Dengan demikian pengetahuan
merupakan produk dari manusia yang dikonstruksi secara sosial dan kultural (Ernest
1991; Gredler 1997; Prawat dan Floden 1994). McMahon (1997) setuju bahwa
belajar merupakan proses sosial. Ia menambahkan bahwa belajar bukanlah proses
yang hanya terjadi di dalam pikiran kita, juga bukan perkembangan pasif dari
perilaku kita yang dibentuk oleh kekuatan dari luar diri kita; proses belajar yang
berarti terjadi ketika individu terlibat dalam kegiatan sosial.
10
Vygotsky (1978) juga mennyoroti perpaduan dari elemen sosial dan praktikal
dalam pembelajaran dengan mengatakan bahwa peristiwa penting dalam proses
perkembangan intelektual terjadi ketika berbicara dan aktivitas praktikal, dua jalur
perkembangan yang benar-benar independen satu sama lain, menyatu.
Melalui kegiatan praktikal seorang anak mengkonstruksi arti pada tingkatan
intrapersonal, sedangkan berbicara menghubungkan arti tersebut dengan dunia
interpersonal sebagai wahana ia berbagi dengan budayanya.
C. Interaksi dinamis antara tugas, guru, dan pembelajar
Karakteristik yang lebih jauh dari peran guru sebagai fasilitator dalam sudut
pandang konstruktivisme sosial, adalah bahwa guru dan pembelajar memiliki
intensitas keterlibatan yang sama (Holt dan Willard-Holt 2000). Hal ini berarti bahwa
pengalaman belajar di samping objektif juga subjektif dan membutuhkan kondisi di
mana budaya, nilai, dan latar belakang guru menjadi bagian esensial sebagai
penghubung antara pembelajar dan tugasnya dalam mengkonstruksi makna.
Pembelajar membandingkan kebenaran versinya dengan versi guru dan temannya
dalam rangka untuk mendapatkan kebenaran versi masyarakat yang telah teruji
(Kukla 2000). Tugas atau masalahnya adalah adanya interface (batas) antara guru dan
pembelajar (McMahon 1997). Hal ini akan memunculkan interaksi dinamis antara
tugas, guru dan pembelajar. Hal ini membawa konsekuensi pembelajar dan guru
11
seharusnya mengembangkan suatu kepedulian terhadap sudut pandang orang lain dan
kemudian melihat kembali kepercayaan, standar dan nilai-nilainya, dengan demikian
berperilaku subjektif sekaligus objektif secara simultan (Savery 1994).
Green dan Gredler (2002) menekankan belajar sebagai suatu proses interaktif,
meliputi proses yang diskursif (rasional), adaptif, interaktif dan reflektif secara
berkualitas. Menurut keduanya fokus utama dari belajar adalah hubungan timbal
balik antara guru-siswa. Beberapa penelitian yang lain, juga memberikan alasan
pentingnya mentoring (belajar dengan mentor, senior yang berpengalaman) di dalam
proses belajar (Archee dan Duin 1995; Brown et al. 1989). Model pembelajaran
konstruktivisme sosial dengan demikian menekankan pentingnya hubungan timbal
balik antara siswa dengan guru selama proses pembelajaran berlangsung.
Beberapa pendekatan belajar yang sesuai untuk belajar interaktif antara lain
pembelajaran reciprocal, kolaborasi kelompok, cognitive apprenticeships, problem-
based instruction, web quests, anchored instruction dan pendekatan lain yang
melibatkan belajar dengan orang lain.
BAB V
KOLABORASI PEMBALAJAR
12
Pembelajar dengan kemampuan dan latar belakang seharusnya berkolaborasi
dalam tugas dan diskusi dalam rangka menuju pemahaman bersama tentang
kebenaran suatu bidang tertentu (Duffy and Jonassen 1992).
Kebanyakan model konstruktivisme, seperti yang dikemukakan oleh Duffy
dan Jonassen (1992), juga menekankan kebutuhan akan kolaborasi antara pembelajar,
hal ini jelas berbeda dengan pendekatan tradisional yang lebih mengedepankan sifat
kompetitif. Salah seorang penganut Vygotski memberikan catatan bahwa begitu
berartinya implikasi dari peer collaboration, sebagai bagian dari the zone of proximal
development. Di sini, zone perkembangan proksimal (terdekat) didefinisikan sebagai
jarak antara tingkat perkembangan aktual seperti yang ditentukan oleh pemecahan
masalah secara independen dan tingkatan perkembangan potensial seperti yang
ditentukan oleh pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau
kolaborasi dengan peer lain yang sudah berpengalaman; batasan ini berbeda dengan
keadaan biologis alamiah yang fix dari tingkatan perkembangannya Piaget. Melalui
suatu proses yang disebut 'scaffolding' (dukungan) seorang pembelajar dapat dapat
dipacu mencapai tingkatan di atas keterbatasan kematangan fisik sehingga tidak
terjadi proses perkembangan tertinggal di belakang proses pembelajaran (Vygotsky
1978).
13
A. Pentingnya Konteks
Paradigma konstruktivisme sosial memandang konteks dari terjadinya
pembelajaran sebagai pusat dari pembelajaran itu sendiri (McMahon 1997).
Yang perlu digarisbawahi dari suatu catatan penting bahwa pembelajar
merupakan prosesor aktif adalah "asumsi bahwa tidak ada satu pun bagian dari
seperangkat hukum pembelajaran yang telah digeneralisasi yang dapat diterapkan
untuk semua domain " (Di Vesta 1987:208). Pengetahuan yang tidak
dikontekstualkan tidak mampu memberikan kita keterampilan untuk menerapkan
pengetahuan kita dalam tugas-tugas yang autentik. Sebagaimana yang diungkapkan
oleh Duffy dan Jonassen (1992), kita tidak bekerja dengan konsep dalam lingkungan
yang kompleks melainkan pengalaman dari hubungan timbal balik yang kompleks
dari lingkungan yang juga kompleks yang menentukan bagaimana dan kapan suatu
konsep digunakan. Salah seorang konstruktivis memberikan catatan bahwa
pembelajaran yang autentik atau sesuai situasi adalah pembelajaran di mana siswa
mengambil bagian dalam kegiatan yang secara langsung relevan dengan penerapan
hasil pembelajaran dan yang terjadi dalam budaya yang sama dengan setting
penerapannya (Brown et al. 1989). Cognitive apprenticeship (pelatihan kognitif)
dianggap sebagai model konstruktivisme yang efektif dalam pembelajaran di mana
model ini mencoba "enkulturasi (pembudayaan) siswa dalam kegiatan praktis yang
14
autentik melalui kegiatan dan interaksi sosial dalam cara yang sama dengan pelatihan
di bidang keterampilan yang telah terbukti sukses " (Ackerman 1996:25).
Konteks di mana pembelajaran terjadi maupun konteks sosial di mana
pembelajar membawanya ke lingkungan belajar dengan sendirinya menjadi faktor
penentu dalam pembelajaran itu sendiri (Gredler 1997).
B. Asesmen
Holt dan Willard-Holt (2000) menekankan konsep asesmen dinamis, suatu
cara mengases potensi yang benar dari pembelajar yang secara signifikan berbeda
dengan tes konvensional. Kondisi belajar alamiah yang esensial diperluas sampai ke
proses asesmen. Bila biasanya asesmen sebagai suatu proses dilakukan oleh
seseorang, misalnya guru, di sini dipandang sebagai suatu proses dua arah yang
melibatkan interaksi antara guru dan pembelajar. Peranan guru sebagai asesor
melakukan dialog dengan siswa yang diases untuk menemukan tingkatan
performansnya dalam melakukan tugas pada saat itu dan curah pendapat dengannya
tentang cara yang mungkin bisa ditempuh dalam memperbaiki performansnya pada
kesempatan berikutnya. Dengan demikian, asesmen dan pembelajaran dipandang
sebagai jalinan proses yang tak terpisahkan (Holt dan Willard-Holt 2000).
Berdasarkan pandangan ini seorang guru seharusnya memandang asesmen
sebagai proses yang terus menerus dalam mengukur pencapaian pembelajar, kualitas
15
pengalamannya dalam pembelajaran dan proses pembelajarannya. Asesmen juga
merupakan bagian integral dari pengalaman belajar dan bukan proses yang berdiri
sendiri (Gredler 1997). Umpan balik dari proses asesmen berfungsi sebagai masukan
langsung yang menjadi dasar untuk perkembangan selanjutnya. Asesmen seharusnya
tidak menjadi proses intimidasi yang menyebabkan kecemasan siswa, melainkan
proses yang bersifat mendukung yang membangkitkan keberanian siswa untuk ingin
dievaluasi di masa mendatang, sehingga harus fokus pada perkembangan yang terjadi
pada siswa (Green dan Gredler 2002).
16
17
BAB VI
MATERI PELAJARAN
Ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam hal materi pelajaran,
antara lain cakupannya dan penstrukturannya.
A. Pengetahuan Seharusnya Ditemukan sebagai Keseluruhan Terpadu
Pengetahuan seharusnya tidak dipisahkan ke dalam subjek-subjek yang
berbeda (kompartementalisasi), tetapi seharusnya ditemukan sebagai keseluruhan
yang terpadu (McMahon 1997; Di Vesta 1987).
Hal ini juga menggarisbawahi pentingnya konteks bagaimana pembelajaran
dilangsungkan (Brown et al. 1989). Menurut para tokoh tersebut, pengetahuan
seharusnya tidak dikompartementalisasi secara kaku ke dalam subjek atau kategori
berbeda namun seharusnya disajikan dan ditemukan sebagai keseluruhan yang
terpadu. Alasannya adalah bahwa dunia, tempat yang dibutuhkan oleh pembelajar
untuk melakukan kegiatan, tidak bisa didekati dengan bentuk subjek terpisah,
melainkan berupa suatu kompleksitas tak terhingga dari fakta, problem, dimensi dan
persepsi (Ackerman 1996).
B. Keasyikan dan Tantangan bagi Pembelajar
Pembelajar seharusnya secara konstan diberi tantangan dengan tugas-tugas
yang berhubungan dengan keterampilan dan pengetahuan sedikit di atas tingkat
ketuntasannya pada saat itu. Hal ini akan menimbulkan motivasi dan membangun lagi
keberhasilan sebagaimana yang telah diraih sebelumnya dalam rangka
mempertahankan kepercayaan diri pembelajar (Brownstein 2001). Hal ini juga
sejalan dengan zone of proximal development- nya Vygotsky yang dapat
dideskripsikan sebagai jarak antara perkembangan tingkat perkembangan aktual
(yang ditentukan melalui pemecahan masalah secara independen) dan tingkatan
perkembangan potensial (yang ditentukan melalui pemecahan masalah di bawah
bimbingan orang dewasa atau melalui kolaborasi dengan peers yang lebih
berpengalaman) (Vygotsky 1978).
Vygotsky (1978) lebih jauh mempublikasikan secara luas bahwa suatu
pembelajaran dianggap baik ketika pembelajaran tersebut melampaui perkembangan.
Kemudian pembelajaran tersebut membangunkan dan membangkitkan keseluruhan
perangkat fungsi yang berada di tingkat kematangan untuk hidup di kehidupan nyata,
yang terletak di zona perkembangan proksimal. Dengan cara inilah pembelajaran
memainkan peranan yang maha penting dalam perlembangan.
Dalam rangka untuk sepenuhnya memberikan keasyikan dan tantangan bagi
pembelajar, tugas dan lingkungan pembelajaran seharusnya merefleksikan
kompleksitas lingkungan sehingga pembelajar seharusnya memiliki fungsi di akhir
19
pembelajaran. Pembelajar seharusnya tidak hanya mendapatkan proses pembelajaran
ataupun proses pemecahan masalah, namun juga masalah itu sendiri (Derry 1999).
Ketika mempertimbangakan tata urutan materi, sudut pandang konstruktivis
berpendirian bahwa dasar dari berbagai subjek dapat dibelajarkan pada siapa pun
pada tingkatan mana pun dalam banyak bentuk (Duffy dan Jonassen 1992). Hal ini
berarti bahwa guru seharusnya pertama sekali memperkenalkan gagasan dasar
sehingga menghidupkan dan membentuk banyak topik ataupun area subjek, baru
kemudian kembali lagi pada subjek semula dan membangun kembali gagasan
tersebut. Prinsip seperti ini secara ekstensif digunakan dalam kurikulum.
Juga penting bagi guru untuk relistis, karena meskipun suatu kurikulum
kemungkinan dirancang untuk mereka, tak terhidarkan lagi untuk dibentuk ulang oleh
mereka menjadi lebih personal yang merefleksikan sistem kepercayaan mereka
sendiri, pemikiran dan perasaan mereka terhadap isi pembelajaran maupun
pembelajarnya (Rhodes and Bellamy 1999). Dengan demikian, pengalaman belajar
menjadi suatu kegiatan yang harus dilakukan bersama. Dengan demikian, emosi dan
konteks kehidupan dari yang terlibat dalam kegiatan pembelajaran harus dianggap
sebagai bagian integral dari pembelajaran. Tujuan dari pembelajar menjadi fokus
dalam mempertimbangkan tentang apa yang dipelajari (Brown et al. 1989; Ackerman
1996; Gredler 1997).
20
C. Penstrukturan Proses Belajar
Adalah penting untuk mendapatkan keseimbangan yang benar antara
tingkatan struktur dan fleksibilitas yang dibangun dalam proses pembelajaran. Savery
(1994) menyatakan bahwa semakin lebih terstruktur lingkungan pembelajaran,
semakin sulit bagi pembelajar dalam mengkonstruksi arti berdasarkan pemahaman
konseptual mereka sendiri. Seorang guru seharusnya menyusun struktur pengalaman
belajar sekedar cukup untuk membuat yakin bahwa siswa mendapat arahan yang jelas
dan parameter untuk mencapai tujuan pembelajaran, namun pengalaman belajar
seharusnya terbuka dan memberikan peluang yang cukup bagi pembelajar untuk
menemukan, menikmati, berinteraksi dan sampai pada kebenarannya sendiri yang
telah diverifikasi oleh masyarakat.
D. Catatan akhir
Intervensi konstruktivisme dalam pembelajaran dengan demikian merupakan
intervensi di mana kegiatan kontekstual (tugas-tugas) digunakan untuk menyediakan
pembelajar peluang untuk menemukan dan secara kolabortif mengkonstruksi arti
sebagaimana yang diungkap dalam intervensi. Pembelajar dihormati sebagai
individual yang unik, dan guru lebih cenderung berperan sebagai fasilitator daripada
instruktur.
21
22
BAB VII
PEDAGOGI KONSTRUKTIVISME
Kenyataannya, banyak pedagogi yang bergerak di sekitar teori
konstruktivisme. Kebanyakan pendekatan yang berkembang dari konstruktivisme
menyarankan bahwa belajar yang sempurna menggunakan pendekatan hands-on
(keterlibatan personal). Pembelajar belajar melalui eksperimentasi, dan tidak melalui
cara pemberitahuan apa yang akan terjadi. Mereka dibiarkan memiliki pendapat
sendiri, penemuan, dan kesimpulan. Konstruktivisme juga menekankan bahwa
pembelajaran bukanlah suatu proses "seluruhnya atau tidak sama sekali" melainkan
bahwa siswa belajar informasi baru yang disajikan untuk mereka dengan membangun
pengetahuan yang telah mereka miliki. Karenanya menjadi penting guru secara
konstan mengases pengetahuan yang telah dicapai siswanya untuk meyakinkan
bahwa persepsi siswa terhadap pengetahuan baru sama dengan apa yang
dimaksudkan guru. Guru akan menemukan bahwa karena siswa membangun
pengetahuan yang telah dimiliki, ketika diminta untuk memahami informasi baru,
mereka tidak membuat kesalahan. Bisa disebut terjadi kesalahan rekonstruksi apabila
kita mengisi kesenjangan antara pemahaman kita dengan pemikiran yang logis namun
tidak benar. Guru harus mampu mengidentifikasi dan mencoba membetulkan
kesalahan tersebut, meskipun tak pelak lagi bahwa beberapa kesalahan rekonstruksi
akan terus terjadi karena faktor bawaan berupa keterbatasan pemahan kita.
Pada kebanyakan pedagogi yang berdasarkan konstruktivisme, peran guru
bukan hanya mengamati dan mengases namun juga terlibat dalam kegiatan siswa
sementara ia juga harus menyelesaikan kegiatannya sendiri, meneriakkan keheranan
dan mengajukan pertanyaan kepada siswa untuk menggalakkan cara berpikir logis
(DeVries et al., 2002). (contoh: Saya heran mengapa air tidak meluap keluar melalui
bibir gelas yang penuh?) Guru juga melakukan intervensi ketika muncul konflik;
namun mereka secara sederhana memfasilitasi resolusi di antara siswa dan regulasi
diri, dengan suatu penekanan pada siswa untuk harus mampu menemukan jalan
keluarnya sendiri. Sebagai contoh, promosi literasi dapat dilakukan dengan
mengintegrasikan kebutuhan untuk membaca dan menulis selama aktivitas individual
dalam kelas yang penuh tulisan kreatif. Seorang guru, setelah membaca suatu cerita,
membangkitkan keberanian siswa untuk menulis dan menulis ceritanya sendiri, atau
meminta siswa untuk melakonkan ulang suatu cerita yang telah mereka kenal dengan
baik, kedua kegiatan tersebut membangkitkan keberanian siswa untuk
membayangkan diri mereka sendiri sebagai pembaca ataupun penulis.
A. Konstruksionisme
Konstruksionisme merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang
dikembangkan oleh Seymour Papert dan koleganya di MIT di Cambridge,
Massachusetts. Papert pernah bekerjasama dengan Piaget institut tersebut di Jenewa.
24
Papert belakangan menyebut pendekatannya "constructionism." Pendekatan ini
menckup segala sesuatu yang berhubungan dengan konstruktivismenya Piage, namun
bergerak lebih jauh lagi dengan menyertakan bahwa pembelajaran konstruktivisme
terjadi dengan baik khususnya ketika siswa mengkonstruksi suatu produk, sesuatu
yang eksternal bagi mereka seperti benteng pasir, mesin, program komputer, atau
buku. Promotor penggunaan komputer dalam pendidikan memandang suatu
kebutuhan yang semakin meningkat untukmengembangkan keterampilan dalam
literasi Multimedia dalam rangka mengguanakan peralatan ini dalam pembelajaran
konstruktivisme.
Pendekatan lainnya: Reciprocal Learning, Procedural Facilitations for
Writing, Cognitive Tutors, Cognitively Guided Instruction (suatu program
pengembangan profesi dan riset dalam matematika untuk SD yang diciptakan oleh
Thomas P. Carpenter, Elizabeth Fennema, dan koleganya di University of Wisconsin-
Madison. Premis mayornya adalah guru dapat menggunakan strategi informal siswa
(dengan kata lain strategi yang dikontruksi oleh siswa berdasarkan pemahamannya
pada situasi kehiduopan sehari-hari, seperti memungut batu kecil dan memetik
bunga) sebagai basis utama untuk mengajar matematika di jenjang SD); Anchored
Instruction (Bransford et al), Problem dan pendekatan pemecahan solusinya
ditanamkan dalam lingkungan naratif), Cognitive Apprenticeship (Collins et al),
pembelajaran diperoleh melalui pengintegrasian ke dalam budaya pengetahuan
25
khusus yang implisit dan eksplisit); Cognitive Flexibility (Sprio et al) dan Pragmatic
Constructivism (Müller, Klaus 2001).
B. Konstruktivisme Sosial
Dalam dasawarsa terakhir, penganut teori konstruktivisme memperluas fokus
tradisionalnya pada pembelajaran individual ke dimensi pembelajaran kolaboratif dan
sosial.. Adalah mungkin melihat konstruktivisme sosial sebagai memadukan bersama
aspek-aspek dari karya Piaget with that of Bruner dan Vygotsky (Wood 1998: 39).
Istilah Konstruktivisme komunal dikenalkan oleh Bryn Holmes di tahun 2001.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, "dalam model ini, siswa tidak hanya mengikuti
pembelajaran seperti halnya air mengalir melalui saringan namun membiarkan
mereka membentuk dirinya sendiri melalui proses pembelajaran."[1]
C. Sains Komputer dan Pemograman
Konstruktivisme mempengaruhi pembelajaran tentang komputer dan
pemrogramannya. Banyak bahasa pemrograman yang berhasil diciptakan untuk
pembelajaran konstruktivisme, yang seluruhnya atau sebagian, untuk kepentingan
pendidikan, dengan mengutip peneliti konstruktivisme. Berbagai bahasa ini telah
secara dinamis dibakukan, dan reflektif. Logo merupakan bahasa fungsional, yang
26
lebih mudah dan merupakan hasil adaptasi dari Lisp, tanpa menggunakan tanda
penghubung. Kreatornya adalah Wally Feurzeig, dan Seymour Papert. Smalltalk
merupakan bahasa berorientasi objek yang dirancang dan diciptakan oleh suatu tim
yang dipimpin oleh Alan Kay di bawah bendera Xerox PARC.
27
Daftar Pustaka
^ "Asia". Encyclopædia Britannica. 2006. Chicago: Encyclopædia Britannica, Inc. ^ a b "Asia". McGraw-Hill Encyclopedia of Science and Technology. 2006. New York: McGraw-Hill Inc. ^ Rydberg, Viktor. Teutonic Mythology: Gods and Goddesses of the Northland, London: Norroena Society, 1907. pp.33-34 ^ "Asia." MSN Encarta Encyclopedia. 2007. ^ Welty, Paul Thomas. The Asians Their Evolving Heritage, 6th ed., p. 21. New York: Harper & Row Publishers, 1984. ISBN 0-06-047001-1. ^ World University Service of Canada. Asia-WUSC WorldWide. 2006. October 7, 2006. <http://www.wusc.ca/expertise/worldwide/asia/>. ^ Menon, Sridevi. Duke University. "Where is West Asia in Asian America?Asia and the Politics of Space in Asian America." 2004. April 26, 2007. page 71 [1] ^ BBC News 2006. September 9, 2006. <http://news.bbc.co.uk/>. ^ American Heritage Book of English Usage. Asian. 1996. September 29, 2006. <http://www.bartleby.com/64/C006/007.html>. ^ Color Q World. Clarifying the Definition of Asian. 2005. October 1, 2006. <http://www.colorq.org/PetSins/article.asp?y=2005&m=5&x=5_7>. ^ Lee, Sharon M. Population Reference Bureau. Asian Americans Diverse and Growing. Accessed 2006-11-10. ^ Continental regions as per UN categorisations (map), except 12. Depending on definitions, various territories cited below (notes 6, 11-13, 15, 17-19, 21-23) may be in one or both of Asia and Europe, Africa, or Oceania.
^ Kazakhstan is sometimes considered a transcontinental country in Central Asia and Eastern Europe; population and area figures are for Asian portion only.
^ The current state is formally known as the People's Republic of China (PRC), which is subsumed by the eponymous entity and civilisation (China). Figures given are for mainland China only, and do not include Hong Kong, Macau, and Taiwan.
^ Hong Kong is a Special Administrative Region (SAR) of the PRC.
^ Macau is a Special Administrative Region (SAR) of the PRC.
^ Figures are for the area under the de facto control of the Republic of China (ROC) government, frequently referred to as Taiwan. Claimed in whole by the PRC; see political status of Taiwan.
^ Egypt is generally considered a transcontinental country in Northern Africa and Western Asia; population and area figures are for Asian portion only, east of the Suez Canal (Sinai Peninsula).
^ Russia is generally considered a transcontinental country in Eastern Europe (UN region) and Northern Asia; population and area figures are for Asian portion only.
^ Excludes Christmas Island and Cocos (Keeling) Islands (Australian external territories in the Indian Ocean southwest of Indonesia).
^ Indonesia is often considered a transcontinental country in Southeastern Asia and Oceania; figures do not include Irian Jaya and Maluku Islands, frequently reckoned in Oceania (Melanesia/Australasia).
^ The administrative capital of Myanmar was officially moved from Yangon (Rangoon) to a militarised greenfield just west of Pyinmana on 6 November 2005. ^ Timor-Leste is often considered a transcontinental country in Southeastern Asia and Oceania.
^ Includes Jammu and Kashmir, a contested territory among India, Pakistan, and the PRC.
^ Armenia is sometimes considered a transcontinental country: physiographically in Western Asia, it has historical and sociopolitical connections with Europe.
^ Azerbaijan is often considered a transcontinental country in Western Asia and Eastern Europe; population and area figures are for Asian portion only. Figures include Nakhchivan, an autonomous exclave of Azerbaijan bordered by Armenia, Iran, and Turkey.
^ The island of Cyprus is sometimes considered a transcontinental territory: in the Eastern Basin of the Mediterranean Sea south of Turkey, it has historical and sociopolitical connections with Europe. The Turkish Republic of Northern Cyprus (TRNC), distinct from the de jure Republic of Cyprus in the south (with a predominantly Greek population), is recognised only by Turkey.
29
^ Gaza and West Bank, collectively referred to as the "Occupied Palestinian Territory" by the UN, are territories partially occupied by Israel but under de facto administration of the Palestinian National Authority.
^ Georgia is often considered a transcontinental country in Western Asia and Eastern Europe; population and area figures are for Asian portion only.
^ In 1980, Jerusalem was proclaimed Israel's united capital, following its annexation of Arab-dominant East Jerusalem during the 1967 Six-Day War. The United Nations and many countries do not recognize this claim, with most countries maintaining embassies in Tel Aviv instead. ^ Turkey is generally considered a transcontinental country in Western Asia and Southern Europe; population and area figures are for Asian portion only, excluding all of Istanbul.
^ West Bank and Gaza, collectively referred to as the "Occupied Palestinian Territory" by the UN, are territories occupied by Israel but under de facto administration of the Palestinian National Authority.
^ Five Years of China’s WTO Membership. EU and US Perspectives on China’s Compliance with Transparency Commitments and the Transitional Review Mechanism, Legal Issues of Economic Integration, Kluwer Law International, Volume 33, Number 3, pp. 263-304, 2006. by Paolo Farah ^ Commonwealth Business Council-Asia. Retrieved on April 12, 2007. "Asia". The Columbia Gazetteer of the World Online. 2005. New York: Columbia University Press. World Conflicts: Asia and the Middle East [2]. Edited by Carl L. Bankston III. New York: Salem Press.
30
Recommended