24
147 ANALISIS FRAMING SEBUAH KONFLIK ANTARBUDAYA DI MEDIA Tuti Widiastuti Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Bakrie Kampus Universitas Bakrie Jl. HR. Rasuna Said Kav. C-22, Kuningan, Jakarta Selatan 12920 Telp: 021-526 1448 ext. 247, Faks: 021-526 3191 E-mail: [email protected] Abstrak Masalah utama antarmanusia di abad ke-20 adalah kebencian yang ditekankan kepada anggota dari budaya dan kelompok ras yang berbeda. Kebencian pada budaya dan kelompok ras yang berbeda tampak pada polarisasi komunikasi antarbudaya. Komunikasi merupakan medium di mana konflik diciptakan dan diatasi. Ketika melakukan komunikasi dengan orang-orang dari budaya lain, maka identitas sosial lebih memegang peranan penting. Pada saat mengobservasi tingkah laku orang lain, orang berusaha untuk membuat atribusi mengenai efek lingkungan pada tingkah laku mereka dengan penjelasan tingkah laku individu, yang berdasar pada stereotip dan prasangka yang diperparah dengan adanya etnosentrisme. Bahayanya, penilaian yang cenderung mengedepankan etnosentrisme sering kali salah, semena-mena dan tidak ada dasarnya sama sekali. Dalam masyarakat yang semakin individual dan heterogen ini, media memainkan peranan penting sebagai salah satu atau bahkan satu-satunya sumber sosialisasi dari realitas sosial di masyarakat. Alih-alih membentuk realitas obyektif di masyarakat, media bahkan memelihara dan menginstitusikan kenyataan subyektif berdasarkan stereotip yang berkembang di masyarakat, dan bukan yang obyektif. Kata kunci: konflik antarbudaya, budaya individualistik, budaya kolektivistik, etnosentrisme, stereotip dan prasangka Abstract The main interpersonal problem in the twentieth century is hatred which is emphasized to members from different culture and race. It’s observable through the polarization of intercultural communication. Communication is a medium where conflict is created and handled. When we communicate with people from different cultures, then social identity takes a more dominant role. When we observe others behavior, we attempt to create attribution about environmental effect to their behavior within individual behavior explanation, that is based on stereotype and prejudice which is worsened by the existence of ethnocentrism. The hazard of this is the prejudice within ethnocentrism is frequently dangerous and moreover incorrect, careless and based with no basic explanation. Recently our society has become more individualistic and heterogenic, and then media plays major core role as one or even the only one source of socialization by giving social reality in the community. Instead of establishing an objective reality in society, media maintains and institutionalizes subjective reality based on stereotype and not based on objective reality. Keywords : intercultural conflict, individualistic cultural, collectivistic cultural, ethnocentrism, stereotype and prejudice ISSN : 2087-8850

ANALISIS FRAMING SEBUAH KONFLIK ANTARBUDAYA DI MEDIA

  • Upload
    others

  • View
    5

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: ANALISIS FRAMING SEBUAH KONFLIK ANTARBUDAYA DI MEDIA

147

ANALISIS FRAMING SEBUAH KONFLIK ANTARBUDAYA DI MEDIA

Tuti Widiastuti

Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas BakrieKampus Universitas Bakrie

Jl. HR. Rasuna Said Kav. C-22, Kuningan, Jakarta Selatan 12920Telp: 021-526 1448 ext. 247, Faks: 021-526 3191

E-mail: [email protected]

Abstrak

Masalah utama antarmanusia di abad ke-20 adalah kebencian yang ditekankan kepadaanggota dari budaya dan kelompok ras yang berbeda. Kebencian pada budaya dan kelompokras yang berbeda tampak pada polarisasi komunikasi antarbudaya. Komunikasi merupakanmedium di mana konflik diciptakan dan diatasi. Ketika melakukan komunikasi denganorang-orang dari budaya lain, maka identitas sosial lebih memegang peranan penting.Pada saat mengobservasi tingkah laku orang lain, orang berusaha untuk membuat atribusimengenai efek lingkungan pada tingkah laku mereka dengan penjelasan tingkah lakuindividu, yang berdasar pada stereotip dan prasangka yang diperparah dengan adanyaetnosentrisme. Bahayanya, penilaian yang cenderung mengedepankan etnosentrismesering kali salah, semena-mena dan tidak ada dasarnya sama sekali. Dalam masyarakatyang semakin individual dan heterogen ini, media memainkan peranan penting sebagaisalah satu atau bahkan satu-satunya sumber sosialisasi dari realitas sosial di masyarakat.Alih-alih membentuk realitas obyektif di masyarakat, media bahkan memelihara danmenginstitusikan kenyataan subyektif berdasarkan stereotip yang berkembang dimasyarakat, dan bukan yang obyektif.

Kata kunci: konflik antarbudaya, budaya individualistik, budaya kolektivistik,etnosentrisme, stereotip dan prasangka

Abstract

The main interpersonal problem in the twentieth century is hatred which is emphasizedto members from different culture and race. It’s observable through the polarization ofintercultural communication. Communication is a medium where conflict is created andhandled. When we communicate with people from different cultures, then social identitytakes a more dominant role. When we observe others behavior, we attempt to createattribution about environmental effect to their behavior within individual behaviorexplanation, that is based on stereotype and prejudice which is worsened by the existenceof ethnocentrism. The hazard of this is the prejudice within ethnocentrism is frequentlydangerous and moreover incorrect, careless and based with no basic explanation. Recentlyour society has become more individualistic and heterogenic, and then media plays majorcore role as one or even the only one source of socialization by giving social reality in thecommunity. Instead of establishing an objective reality in society, media maintains andinstitutionalizes subjective reality based on stereotype and not based on objective reality.

Keywords: intercultural conflict, individualistic cultural, collectivistic cultural,ethnocentrism, stereotype and prejudice

ISSN : 2087-8850

Page 2: ANALISIS FRAMING SEBUAH KONFLIK ANTARBUDAYA DI MEDIA

148

Journal Communication Spectrum, Vol. 1 No. 2 Agustus 2011 - Januari 2012

Pendahuluan

Negara Kesatuan Republik Indonesia terdiriatas beraneka ragam suku yang memiliki ciridan kekhasan budaya masing-masing. Anekaragam suku yang ada bukan suatu hal yangmudah untuh dipahami dan bukanlah suatu halyang mudah untuk diseragamkan begitu saja.Sifat masyarakat Indonesia yang heterogen ataumultikultur ini rentan terhadap kemungkinanterjadinya berbagai konflik antarbudaya didalamnya. Dengan kata lain dapat dikatakanfaktor perbedaan budaya, potensial untukmenimbulkan kesalahpahaman, pertentangan,perselisihan, pertikaian, peperangan, bahkantidak mustahil juga menjadi pemicu danmemegang peranan penting bagi munculnyakonflik antarbudaya tersebut.

Menurut Kriesberg (1973), pengertiankonflik sosial yaitu hubungan dua atau lebihpihak yang memiliki keyakinan bahwa merekamasing-masing mempunyai tujuan berbeda.Konflik antarbudaya pada dasarnya samadengan definisi sebelumnya, hanyaditambahkan faktor bahwa pihak-pihak yangterlibat di dalamnya berasal dari latar belakangbudaya berbeda. Dan budaya merupakan halyang paling berperan di dalam perbedaan antarakedua belah pihak (dalam Sunarwinadi, 2007 :1). Karena pada kenyataannya karakter budayacenderung memperkenalkan seseorang kepadapengalaman–pengalaman yang berbedasehingga membawa kepada persepsi yangberbeda-beda atas dunia eksternal.

Di Indonesia sering terjadi konflik yangutamanya disebabkan oleh perbedaan budaya,di antaranya pertikaian etnis seperti Madura,Makassar, Banten, Dayak, Melayu di KalimantanBarat, dan suku-suku di Papua. Bahkan kini,konflikpun terjadi dalam berbagai lapisan sosialdi masyarakat, dengan tidak memandangperbedaan etnis sebagai dasar masalah.Masalah yang kini muncul adalah adanyakecenderungan berbagai pihak memandangbudaya yang tercermin dalam tradisi suatukelompok dianggap lebih baik dibandingkandengan tradisi kelompok lainnya, yang bisamenimbulkan etnosentrisme kelompok.

Misalnya kasus yang sedang hangat dibicarakandalam media yaitu kasus kematian praja CliffMuntu di IPDN (Institut Pemerintahan DalamNegeri).

Tradisi melengkapi masyarakat dengansuatu tatanan mental yang berpengaruh kuatatas sistem moral untuk menilai apa yangdianggap benar atau salah, baik atau buruk,menyenangkan atau tidak menyenangkan.Suatu budaya diekspresikan dalam tradisi,tradisi yang memberikan para anggotanya suaturasa memiliki dalam suatu keunikan budaya.Tradisi juga dimiliki oleh suatu organisasi sipil,militer, agama dan suatu kelompok masyarakat.Tradisi merupakan norma dan prosedur yangharus ditaati bersama, juga harusmenyesuaikan dengan perkembangan jaman,pengetahuan dan teknologi menuju terciptanyabudaya global. Perbedaan-perbedaan tradisidengan segala keunikannya, merupakan pemicu“benturan budaya”.

Dalam kenyataan kehidupan seperti ini,sejatinya konflik antarbudaya dalammasyarakat Indonesia seharusnya mudahdiselesaikan. Namun demikian padakenyataannya justru tak terkendalikan danberubah menjadi sebuah “perang wacana” dimedia. Perang wacana antarkepentingan terjadikarena masing-masing pihak merasa bahwawacana merekalah yang dianggap paling benar.Dalam upaya untuk memahami konflik yangterjadi dalam tradisi pembinaan praja di IPDN,beberapa konsep komunikasi antarbudaya dapatdigunakan untuk menelusuri akarpermasalahan, antara lain dengan menjelaskankonsep mengenai ingroup vs outgroup,prasangka dan stereotip, dan variabilitaskebudayaan.

Kasus meninggalnya praja Cliff Muntuseperti mengulang sejarah tewasnya beberapapraja IPDN pada tahun-tahun sebelumnya.Peristiwa ini mengingatkan semua bahwa adasuatu masalah yang belum diselesaikan dengantuntas di antara sekian banyak masalah-masalah lainnya yang juga belum terselesaikan.Kasus kematian praja IPDN bisa dikategorikanke dalam konflik antarbudaya karena dianggap

Page 3: ANALISIS FRAMING SEBUAH KONFLIK ANTARBUDAYA DI MEDIA

149

komunitas IPDN memiliki budaya sendiri dalammendidik praja-praja mereka yang berbedacaranya dengan budaya lembaga pendidikanlainnya.

Sebuah lembaga pendidikan yang dibangununtuk menciptakan tenaga pemerintahan yangprofesional, sebaliknya malah dijadikan sebagaiarena untuk menciptakan dan memeliharatradisi kekerasan. Misalnya tradisi yang diberinama “Wahana Bina Praja” disebut-sebutsebagai salah satu wahana pemeliharakekerasan di lembaga tersebut. Wahana BinaPraja adalah kegiatan yang dilakukan prajaIPDN dengan mengacu pada sistempemerintahan. Di sana ada gubernur, wali kota,bupati, hingga kepala desa. Mereka biasanyabertanggung jawab terhadap kelompok, sesuaihierarkinya, sedangkan mereka yang tidaktermasuk dalam struktur pemerintahandianggap masyarakat biasa.

Pada prakteknya justru kegiatan-kegiatanpembinaan praja ini bisa disalahartikan olehbeberapa pihak yang mengambil keuntungandari posisi dan kemampuannya dalam kelompok-kelompok tersebut. Misalnya menerapkantradisi-tradisi yang mensyarakatkan yuniorharus patuh pada senior, layaknya sebuahinstitusi militer, dan menjadikan praja yuniorsebagai pihak yang diperlakukan sebagaimanaatasan memperlakukan bawahan dengansemena-mena seperti praja yunior menjadikorban pukulan dan tendangan seniornya. Tentusaja praktek-praktek seperti ini rawan untukdisalahgunakan, yang dapat berakibat padakekerasan fisik dan bahkan kematian.

Maraknya pemberitaan di media mengenaikasus-kasus kekerasan yang berakibat padakematian beberapa praja IPDN, menimbulkanamarah publik yang tidak setuju dengan tradisi-tradisi kekerasan di lembaga pendidikan. Hal iniberlanjut pada munculnya konflik dalammasyarakat. Merujuk pada pendapat Gurr (1980,dalam Mendatu, 2009 : 1) mengenai tindakankolektif, maka konflik di sini khususdimaksudkan dalam konteks sosial, bukan yangmenyangkut tujuan dan motivasi pribadi.Karakteristik konflik sosial, yaitu:

1. konflik selalu terjadi dalam masyarakatapapun,

2. dominasi konflik sosial sebagai subyekdalam berita media, dan

3. asumsi bahwa media massa memainkanperanan penting dalam perkembangan danpengaturan tentang konflik sosial.

Konflik berasal dari bahasa Latin yaitu ‘com’artinya bersama-sama, dan ‘fligere’ yangartinya menyerang. Dengan kata lain diartikansebagai “bersama-sama (saling) menyerang”.Konflik pada kenyataannya merupakan suatuhal yang terjadi apabila ada dua atau lebihkepentingan yang saling berbenturan dalampencapaian tujuan masing-masing. Keadaanperbenturan ini dapat dinyatakan secaraterbuka (eksplisit) maupun secara terselubung(implisit). Olsen (1978, dalam Sunarwinadi,1999) menyatakan bahwa konflik terjadi darisumber experssive atau instrumental. Expressiveconflicts berasal dari keinginan untukmelepaskan ketegangan, biasanya berasal dariperasaan bermusuhan. Instrumental conflictssebaliknya, berasal dari tujuan atau praktekyang berbeda.

Berdasarkan asal kata konflik di atas, dalamkonteks antarbudaya: konflik didefinisikansebagai ketidakcocokan antara nilai,ekspektasi, proses-proses atau hasilnya, baikyang dipersepsikan maupun aktual, antara duaatau lebih pihak yang berbeda kebudayaannyamengenai masalah-masalah substantif maupunrelasional. Konflik antarbudaya ini biasanyadiawali dengan misinterpretasi danmiskomunikasi antarbudaya, yang disebabkanoleh adanya perbedaan kebudayaan tadi.Kebudayaan di sini diartikan sebagai suatusistem pengetahuan, makna dan pola tindakansimbolik yang dimiliki bersama oleh mayoritasanggota suatu kelompok masyarakat(Sunarwinadi, 1999 : 1).

Konflik antarbudaya ini didefinisikan olehSamuel P. Huntington (1993, dalam Rifai, 2006: 2) sebagai benturan antarperadaban yangdikatakan olehnya akan mendominasi politikglobal. Mengutip artikel yang ditulisnya:

Tuti Widiastuti, Analisis Framing Sebuah Konflik ...

Page 4: ANALISIS FRAMING SEBUAH KONFLIK ANTARBUDAYA DI MEDIA

150

Journal Communication Spectrum, Vol. 1 No. 2 Agustus 2011 - Januari 2012

“Identitas peradaban akan semakin pentingpada masa akan datang, konflik yang palingpenting ada di masa akan datang yang terjadidi antara garis budaya yang memisahkan satuperadaban dengan yang lain”.

Ellie Wiesel, peraih hadiah NobelPerdamaian, percaya bahwa masalah utamaantarmanusia di abad ke-20 adalah kebencianyang ditekankan kepada anggota dari budayadan kelompok ras yang berbeda, sebagaimanapada anggota politik dan ideologi yang berbeda.Kebencian pada budaya dan kelompok ras yangberbeda tampak pada polarisasi komunikasiantarbudaya. Polarisasi komunikasi terjadiketika komunikator tidak memiliki kemampuanuntuk meyakini atau mempertimbangkan secaraserius pendapat seseorang sebagai suatu yangsalah dan opini yang lainnya sebagai sesuatuyang benar. Polarisasi komunikasi kemudian adaketika kelompok atau individu melihatkepentingannya sendiri dan memiliki sedikitatau tidak sama sekali perhatian padakepentingan orang lain.

Komunikasi merupakan medium dimanakonflik diciptakan dan diatasi. Roloff (1987,dalam Sunarwinadi, 1999) mengelompokkanberbagai sumber yang dapat menjadi konflik,yaitu: Pertama, konflik terjadi ketika orang salahmenginterpretasikan perilaku satu sama lain.Kedua, konflik muncul dari persepsi yang tidaksesuai. Ketiga, konflik muncul ketika orang tidaksetuju pada sebab-sebab perilaku dirinya sendiriatau orang lain.

Tinjauan PustakaTeori Konflik

Teori-teori mengenai berbagai penyebabkonflik dinyatakan oleh Simon Fisher, dkk. (2001)dalam bukunya berjudul Mengelola Konflik:Keterampilan & Strategi untuk Bertindak(www.tempo.co.id), yaitu:

1. Teori Hubungan Masyarakat

Menganggap bahwa konflik disebabkanoleh polarisasi yang terus terjadi,ketidakpercayaan dan permusuhan diantara kelompok yang berbeda dalam suatu

masyarakat. Sasaran yang ingin dicapaiteori ini adalah meningkatkan komunikasidan saling pengertian antara kelompok-kelompok yang mengalami konflik, danmengusahakan toleransi dan agarmasyarakat lebih bisa saling menerimakeragaman yang ada di dalamnya.

2. Teori Negosiasi Prinsip

Menganggap bahwa konflik disebabkanoleh posisi-posisi yang tidak selaras danperbedaan pandangan tentang konflik olehpihak-pihak yang mengalami konflik.Sasaran yang ingin dicapai teori ini adalahmembantu pihak-pihak yang mengalamikonflik untuk memisahkan perasaan pribadidengan berbagai masalah dan isu, danmemampukan mereka untuk melakukannegosiasi berdasarkan kepentingan-kepentingan mereka daripada posisitertentu yang sudah tetap, dan melancarkanproses pencapaian kesepakatan yangmenguntungkan kedua belah pihak atausemua pihak.

3. Teori Kebutuhan Manusia

Berasumsi bahwa konflik yang berakardalam disebabkan oleh kebutuhan dasarmanusia–fisik, mental, dan sosial–yangtidak terpenuhi atau dihalangi. Keamanan,identitas, pengakuan, partisipasi, danotonomi sering merupakan intipembicaraan. Sasaran yang ingin dicapaiteori ini adalah membantu pihak-pihak yangmengalami konflik untuk mengidentifikasidan mengupayakan bersama kebutuhanmereka yang tidak terpenuhi, danmenghasilkan pilihan-pilihan untukmemenuhi kebutuhan-kebutuhan itu, danagar pihak-pihak yang mengalami konflikmencapai kesepakatan untuk memenuhikebutuhan dasar semua pihak.

4. Teori Identitas

Berasumsi bahwa konflik disebabkan karenaidentitas yang terancam, yang seringberakar pada hilangnya sesuatu ataupenderitaan di masa lalu yang tidakdiselesaikan. Sasaran yang ingin dicapai

Page 5: ANALISIS FRAMING SEBUAH KONFLIK ANTARBUDAYA DI MEDIA

151

teori ini adalah melalui fasilitas lokakaryadan dialog antara pihak-pihak yangmengalami konflik mereka diharapkandapat mengidentifikasi ancaman-ancamandan ketakutan yang mereka rasakan masing-masing dan untuk membangun empati danrekonsiliasi di antara mereka, dan meraihkesepakatan bersama yang mengakuikebutuhan identitas pokok semua pihak.

5. Teori Kesalahpahaman Antarbudaya

Berasumsi bahwa konflik disebabkan olehketidakcocokan dalam cara-cara komunikasidi antara berbagai budaya yang berbeda.Sasaran yang ingin dicapai teori ini adalah:menambah pengetahuan pihak-pihak yangmengalami konflik mengenai budaya pihaklain, mengurangi stereotip negatif yangmereka miliki tentang pihak lain, danmeningkatkan keefektifan komunikasiantarbudaya.

6. Teori Transformasi Konflik

Berasumsi bahwa konflik disebabkan olehmasalah-masalah ketidaksetaraan danketidakadilan yang muncul sebagaimasalah-masalah sosial, budaya danekonomi. Sasaran yang ingin dicapai teoriini adalah mengubah berbagai struktur dankerangka kerja yang menyebabkanketidaksetaraan dan ketidakadilan,termasuk kesenjangan ekonomi,meningkatkan jalinan hubungan dan sikapjangka panjang di antara pihak-pihak yangmengalami konflik, dan mengembangkanberbagai proses dan sistem untukmempromosikan pemberdayaan, keadilan,perdamaian, pengampunan, rekonsiliasidan pengakuan.

Coser (1965) dan Dahrendorf (1959)(www.tempo.co.id) menyatakan bahwa konfliksosial pada kenyataannya memiliki fungsiadaptif bagi masyarakat untuk memungkinkanterjadinya perubahan sosial, yang biasanyamemberikan tantangan-tantangan bagi institusidan keyakinan yang ada dan telah mapan.Misalnya konflik di dalam sistem dapatmengerahkan pada pembaharuan norma lama

dan penciptaan norma baru, sedangkan konflikdengan kelompok luar dapat mempererat batas-batas sosial dan meningkatkan kohesivitas.

Terdapat asumsi bahwa ada hubunganantara konflik eksternal dan konflik internal.Salah satu hipotesis umum tentang hubunganingroup dan outgroup menawarkan bahwakonflik eksternal mengurangi ketegangan konflikinternal. Belum ada konsensus mengenai hal ininamun ilmuwan telah sependapat bahwa halini merupakan masalah penting untuk diteliti(Sunarwinadi, 2007 : 2).

Ingroup vs. Outgroup

Ingroup atau kelompok-dalam adalahkelompok manusia dengan siapa seseorang maubekerja sama tanpa pamrih, dan terpisah darisiapa yang mengarah pada ketidaknyamananatau rasa sakit sekalipun. Outgroup ataukelompok-luar adalah kelompok manusiamengenai kepada siapa seseorang tidak perdulikesejahteraannya, dan kelompok dengan siapaseseorang mengharapkan imbalan yangsetimpal dalam bekerja sama (Triandis, 1988 :75).

Beberapa konsekuensi dari formasi ingroupdan outgroup, yaitu :

1. Seseorang cenderung mengharapkananggota kelompok untuk berperilaku danberpikir sama dengan apa yang dilakukan(Tajfel, 1969).

2. Sebagai anggota ingroup, seseorangcenderung menempatkan kelompok dalamposisi yang menguntungkan dalamkomparasi dengan outgroup (Brewer, 1979).

3. Orang kurang merasa cemas dalamberinteraksi dengan anggota kelompoknyadaripada interaksi dengan anggota outgroup(Stephan & Stephan, 1985).

4. Orang cenderung lebih akurat dalammemprediksi perilaku anggota ingroupdaripada memprediksi perilaku anggotaoutgroup (Gudykunst, 1995).

Berdasarkan pengertian dan konsekuensidari formasi ingroup dan outgroup (Gudykunst

Tuti Widiastuti, Analisis Framing Sebuah Konflik ...

Page 6: ANALISIS FRAMING SEBUAH KONFLIK ANTARBUDAYA DI MEDIA

152

Journal Communication Spectrum, Vol. 1 No. 2 Agustus 2011 - Januari 2012

& Kim, 1992 : 112-118), orang sering kalimenggangap pandangan positif yang berlebihankepada ingroup-nya dan sebaliknyamengesampingkan outgroup secara berlebihanpula. Ingroup merupakan kelompok sosialdimana seseorang merasa sama satu denganyang lainnya. Kelompok sosial adalah dua ataulebih individu yang berbagi indentifikasi sosialyang sama di antara mereka atau menganggapdiri mereka sebagai anggota dari kategori sosialyang sama (Turner, 1982). Dalam kelompoksosial terdapat interaksi di antara anggotanyayang melibatkan proses kategorisasi sosialyaitu aturan dalam lingkungan sosial mengenaipengelompokkan orang dalam sebuah aturanperilaku yang masuk akal bagi individu (Tajfel,1978). Kategori sosial kemudian akanmenentukan pola perilaku anggota kelompoksosial tertentu yang pada akhirnya akanmembentuk identitas sosial kelompok tersebut.

Identitas adalah perbedaan cara orangmemandang diri sendiri. Menurut J.C. Turner(1987), identitas seseorang dapatdikelompokkan ke dalam tiga kategori: Pertama,sebagai manusia yaitu identitas sebagaimakhluk ciptaan yang terkait dengan manusialainnya, misalnya identitas terkait denganidentitas laki-laki dan perempuan dalam budaya.Kedua, sebagai makhluk sosial yaituberdasarkan peran yang dimainkan sepertisebagai pelajar, profesor atau orang tua. Ketiga,sebagai personal yaitu menggambarkankeunikan seseorang sebagai individu dalamkelompok seperti kebangsaan, etnis, jender, atauusia. Identitas pribadi merupakan konsep diriindividu yang unik satu sama lain. Identitassosial adalah bagian dari konsep diri individuyang berasal dari pengetahuannya mengenaikeanggotaan kelompok sosial yang terkaitdengan nilai dan emosi yang signifikan yangada pada keanggotaan tersebut (Tajfel, 1978).

Deaux (1991, dalam Gudykunst & Kim : 112-118) menyatakan bahwa identitas sosialmemiliki dua dimensi yang berbeda, yaituvoluntary-involuntary, dan desirable-undesirable. Voluntary identity adalah suatuidentitas yang dapat dipilih, seperti kelompok

profesi, agama, ideology, sementara involuntaryidentity adalah suatu identitas dimanaseseorang tidak mempunyai keleluasaan untukmemilih seperti kelompok ras, etnis, keluarga,umur, jender, dan lain sebagainya. Diserableidentities adalah suatu identitas yang dianggappositif, dan undiserable identities adalah suatuidentitas yang dianggap negatif. Identitassosial seseorang relatif konsisten dari waktu kewaktu.

Ting-Toomey (1989, dalam Gudykunst &Kim, 1992 : 112-118) mengemukakan empatkemungkinan pilihan untuk hubungan antarabagaimana identitas individu dengan kelompokdan cara mereka berperilaku, yaitu: a) individubisa jadi melihat diri mereka sebagai tipikalanggota kelompok dan berperilaku secara khas,b) individu bisa jadi melihat diri sendiri sebagaianggota kelompok yang khas dan berperilakutidak secara khas, c) individu bisa jadi melihatdiri sendiri sebagai anggota kelompok yangtidak khas dan berperilaku secara tidak khas,dan d) individu bisa jadi melihat diri sendirisebagai anggota kelompok yang tidak khas danberperilaku secara khas.

Ketika melakukan komunikasi denganorang-orang dari budaya lain, maka identitassosial lebih memegang peranan penting. Kelley(1967) berpendapat ketika mengobservasitingkah laku orang lain, orang berusaha untukmembuat atribusi mengenai efek lingkunganpada tingkah laku mereka dengan penjelasantingkah laku individu. Atribusi sosial perhatianpada bagaimana anggota sebuah kelompoksosial menjelaskan tingkah laku sebagaimanaanggota kelompoknya dan anggota darikelompok sosial lain. Hewstone dan Jasparsberpendapat bahwa seseorang menjunjungidentitas sosialnya ketika ia membuat atribusisosial. Atribusi sosial seseorang didasarkanpada stereotip sosial dan juga etnosentrisme.

Mengenai atribusi sosial, Ehrenhaus (1983)menyatakan bahwa tipe atribusi seseorangmembuat budaya individualistik dankolektivistik berbeda. Anggota dari budayakolektivistik sensitif pada ciri dan penjelasansituasional, dan cenderung mengatribusikan

Page 7: ANALISIS FRAMING SEBUAH KONFLIK ANTARBUDAYA DI MEDIA

153

perilaku orang lain pada konteks, situasi, ataufaktor eksternal lain individu. Anggota budayaindividualistik, sebaliknya, sensitif padakarakteristik disposisional dan cenderung untukmengatribusikan perilaku orang lain untukmengkarakteristikkan internal individu(misalnya kepribadian). Atribusi sosial yangberdasar pada stereotip dan etnosentrisme bisamemunculkan apa yang dinamakan kelompokminoritas yaitu sekelompok orang yangtersingkirkan karena perbedaannya dengankebanyakan anggota kelompok sosial yang ada.

Variabilitas Kebudayaan

Dengan melihat dimensi dari variabilitasbudaya, masyarakat Indonesia dapat

dikategorikan sebagai masyarakat kolektivismedibandingkan dengan individulisme. MenurutGudykunst dan Kim, dalam budayaindividualistik dan kolektivistik dimensivariabilitas kebudayaan digunakan untukmenjelaskan komunikasi antarbudaya.Komunikasi low-context mendominasi modelkomunikasi dalam budaya individualistik. Dankomunikasi high-context mendominasi modelkomunikasi dalam budaya kolektivistik.Pengaruh budaya individualisme-kolektivismepada komunikasi dimediasi oleh kepribadian,nilai, dan konsep diri yang dimilikinya.

Secara ringkas perbedaan karakteristikutama budaya individualistik dan budayakolektivistik, adalah sebagai berikut:

Tabel 1. Perbedaan Karakteristik Budaya Individualistik dan Kolektivistik

Dalam masyarakat dengan budaya yangbersifat kolektivistik, setiap perilaku anggotadiatur berdasarkan norma dan aturan yangdisepakati bersama. Budaya kolektivistikmenekankan unsur structural tightness yangfokus pada norma, aturan, dan membatasibudaya pada perilaku anggotanya. Normadidefinisikan sebagai petunjuk perilakuberdasarkan kode moral. Aturan (rules)didefinisikan sebagai petunjuk perilaku tidakberdasarkan kode moral (Olsen, 1978).Dalam tight cultural, norma dan rules budayacenderung jelas dan orang diharapkan

mengikutinya (Pelto, 1968).

Triandis (1994, dalam Gudykunst & Kim1992, 69 : 81) menyatakan bahwahomogenitas budaya (kesamaan orang)cenderung mengarahkan structural tightness.Sedangkan Mosel (1973) menyatakan bahwalebih mudah memprediksi dalam tight socialstructure daripada dalam loose socialstructure. Structural tightness pada akhirnyadapat digunakan dalam memprediksi lawanbicara, sehingga efektivitas komunikasi dapattercapai.

Tuti Widiastuti, Analisis Framing Sebuah Konflik ...

Individualistik Kolektivistik

Katakteristik Utama

Menekankan tujuan individual Menekankan pada tujuan ingroup Realisasi pribadi Menyesuaikan diri dengan ingroup Berbeda tipis antara komunikasi ingroup dan outgroup

Berbeda jauh antara komunikasi ingroup dan outgroup

Konsep diri independen Konsep diri interdependen Identitas “I” Identitas “We” Mengatakan apa yang dipikirkan Menghindari konfrontasi dalam ingroup Komunikasi low-contexs seperti langsung, tepat, dan mutlak

Komunikasi high-context seperti tidak langsung, tidak tepat, dan berandai-andai

(Sumber: Triandis, dalam Gudykunst & Kim, 1992 : 69-81)

Page 8: ANALISIS FRAMING SEBUAH KONFLIK ANTARBUDAYA DI MEDIA

154

Journal Communication Spectrum, Vol. 1 No. 2 Agustus 2011 - Januari 2012

Yang uniknya, masyarakat Indonesia di satusisi kerap dikatakan sebagai masyarakat yangbersifat kolektivistik karena terdiri atasberagam suku budaya yang bersumber padabudaya daerah masing-masing dimana polaperilaku masing-masing anggotanya diatursedemikian rupa berdasarkan identitas sosialkelompoknya. Di lain sisi, pada suatumasyarakat di daerah tertentu dan dalam kondisitertentu di Indonesia, dapat pula dikatakansebagai masyarakat yang sifatnyaindividualistik. Karena terdiri atas latar belakangagama, keyakinan, kepentingan, dan sistemnilai yang berbeda, maka ciri-ciri kolektivistikbiasanya akan memudar. Misalnya saja ketikaseseorang yang menganut ideologi tertentudihadapkan pada solidaritas kelompok untukturut berkonflik dengan orang dari kelompok lain,kemudian dia menolaknya dengan alasan konflikantarkelompok tersebut tidak sesuai dengankepentingan dan nilai-nilai yang diyakininya.

Keyakinan dan nilai-nilai yang dianut olehseseorang merupakan “sikap” yang

diwujudkan melalui perilaku. Sikap atauattitude adalah predisposisi yang dipelajariuntuk respon dalam evaluatif tingkah laku (darisangat menyenangkan sampai sangat tidakmenyenangkan) pada beberapa objek(Davidson & Thompson, 1980). Sikapmemengaruhi seseorang untuk berperilakudalam tingkah laku yang positif atau negatifpada beberapa objek atau manusia. Sikapumumnya dikonseptualisasikan memiliki tigakomponen yaitu kognitif, afektif, dan konatif(McGuire, 1969). Komponen kognitif meliputikepercayaan mengenai objek sikap. Komponenafektif sikap meliputi emosional atau reaksievaluatif pada objek sikap. Komponen konatifdari sikap meliputi maksud tindakan padaobjek sikap.

Ting-Toomey (1985, dalam Gudykunst &Kim, 1992 : 119-132) membedakan kondisikonflik pada budaya individualistik dankolektivistik, yang merupakan cerminan sikapanggota masyarakat dari masing-masingbudaya tersebut mengenai konflik, yaitu:

Tabel 2. Sikap Masyarakat dari Budaya Individualistik dan Kolektivistik terhadap Konflik

(Sumber: Ting-Toomey, dalam Gudykunst & Kim, 1992 : 119-132)

Individualistik Koletivistik

- Menganggap konflik sifatnya instrumental - Lebih menggangap konflik yang sifatnya expressive

- Memisahkan isu konflik dari orang yang terlibat dalam konflik

- Tidak memisahkan isu konflik dengan orangnya

- Konflik terjadi jika ekspektasi individu mengenai perilaku yang pantas dilanggar

- Konflik terjadi jika ekspektasi normatif kelompok pada perilaku dilanggar

- Konteks kurang penting karena informasi lebih banyak terdapat dalam pesan

- Konteks memainkan peran yang penting dalam menciptakan makna pada pesan komunikasi

- Lebih menyukai konfrontasi, sikap langsung pada konflik

- Tidak menyukai konfrontasi, sikap tidak langsung pada konflik

- Penafsiran pribadi memandu pengaturan konflik

- Penafsiran antarpribadi saling memengaruhi pengaturan konflik

- Mengutamakan pengaturan konflik untuk jangka pendek

- Mengutamakan pengaturan konflik untuk jangka panjang

- Kurang menyukai penggunaan mediator - Lebih menyukai penggunaan mediator - Mediator formal, seperti pengacara - Mediator informal, seperti kepala suku - Memakai metode factual-inductive dan

axiomatic-deductive dalam menyelesaikan konflik

- Lebih menyukai metode affective-intuitive dalam menyelesaikan konflik

Page 9: ANALISIS FRAMING SEBUAH KONFLIK ANTARBUDAYA DI MEDIA

155

Ting-Toomey (1988) memprediksikan konflikdi antara budaya yang berbeda berdasarkanlima gaya konflik dari Rahim (1983; yangberdasar pada derajat perhatian pada diri sendiridan orang lain yang melekat pada cara individumencoba untuk mengatasi konflik), yaitu:

1. integrating style, yaitu meliputi perhatianyang tinggi pada diri sendiri dan orang lain;

2. compromising style, yaitu meliputi levelperhatian yang moderat pada diri sendiridan pada orang lain;

3. dominating style, yaitu merefleksikanperhatian yang tinggi pada diri sendiri danperhatian yang rendah pada orang lain;

4. obliging style,yaitu perhatian rendah padadiri sendiri dan perhatian yang tinggi padaorang lain; dan

5. avoiding style, yaitu perhatian yang rendahpada diri sendiri dan pada orang lain.

Dalam budaya kolektivistik, adakecenderungan perhatian yang tinggi pada dirisendiri dan pada orang lain (integrating style).Besarnya perhatian kepada orang lain,umumnya dikarenakan orang dalam budayakolektivistik menemukan perbedaan antaraperilakunya dengan perilaku orang yang diamatiberdasarkan kategorisasi kelompoknya. Apabilatindakan mengamati tersebut tidak disenanganiatau dianggap sebagai sikap menantang olehorang yang diamati, maka dapat menimbulkanemosi.

Matsumoto (1991) secara teoritismenghubungkan individualisme-kolektivismedan jarak kekuasaan untuk mengekspresikanemosi. Menurutnya, anggota kelompok budayakolektivistik akan menekankan tampilanemosional untuk memfasilitasi kerjasamakelompok, harmoni, dan kepaduan daripadapada anggota budaya individualistik. Selain itumenurut Matsumoto (1991), anggota budayaindividualistik menampilkan lebih besar variasiperilaku emosional daripada anggota budayakolektivistik. Budaya kolektivistik tidakmentolerir besarnya variasi individu, dan tidakmenyukai variasi emosi. Anggota budaya

kolektivistik menghindari keakraban denganorang lain. Selain itu orang dalam budaya jarakkekuasaan yang tinggi akan menampilkan emosiuntuk mempertahankan perbedaan status.

Pada masyarakat yang memiliki budayakolektvistik seperti kebanyakan tipe masyarakatdi Indonesia, menganggap konflik sebagaiexpressive conflicts yaitu keinginan untukmelepaskan ketegangan, biasanya berasal dariperasaan bermusuhan, tidak bisa membedakanantara masalah dengan orang yang terlibatkonflik. Konflik bisa jadi dipicu karena aturaningroup dilanggar oleh outgroup, sehinggasering kali konflik tidak hanya melibatkan duaorang saja tapi konflik melibatkan dua kelompokyang berbeda dimana penafsiran antarpribadimemengaruhi pengaturan konflik. Dalam hal inikonteks di mana konflik terjadi memainkanperanan penting.

Dalam hal ini konflik sifatnya implisitdibandingkan eksplisit. Masalah konflik lebihbersifat laten daripada manifes, yang apabiladipicu oleh sedikit kesalahan saja dapatberakibat fatal bagi seluruh sendi pemersatumasyarakat. Rusaknya tatanan pemersatumasyarakat yang berbeda budaya iniberimplikasi pada berlarut-larutnyapenyelesaian konflik. Oleh karenanya untukmenjembatani dua kelompok budaya yangberbeda diperlukan mediator yang mampumemfasilitasi kepentingan-kepentingan yangberbeda ini. Mediator yang diminati olehmasyarakat budaya kolektivistik yaitu yangsifatnya informal, seperti kepala suku, ketuaadat, pemuka masyarakat, dan tokoh agama.Karena umumnya mereka lebih menyukaipenyelesaian masalah yang sifatnyamusyawarah dan kekeluargaan, dibandingkandengan menggunakan jalur hukum formalseperti melalui pengacara. Sehinggapenyelesaian masalah pun lebih menyukai yangcenderung menggunakan pesan-pesanemosional atau afeksi (effective-intuitive style).

Namun demikian sebagai catatan,individualisme-kolektivisme dan jarakkekuasaan tidak secara langsung memengaruhitampilan emosi, tapi lebih memengaruhi cara

Tuti Widiastuti, Analisis Framing Sebuah Konflik ...

Page 10: ANALISIS FRAMING SEBUAH KONFLIK ANTARBUDAYA DI MEDIA

156

Journal Communication Spectrum, Vol. 1 No. 2 Agustus 2011 - Januari 2012

orang menilai situasi dimana merekamengekspresikan emosinya. Persepsi situasi,pada gilirannya akan memengaruhi tampilanemosi. Jika seseorang secara kaku memegangteguh etnosentrisme dan stereotip dan tanpamau mempertanyakannya, ia tidak akan pernahmembuat prediksi psikokultural secara tepatmengenai perilaku orang lain, atribusinyamengenai perilaku individu orang lain akanterus tidak tepat, dan emosi akan mendominasipenilaiannya terhadap perilaku orang lain.

Etnosentrisme, Stereotip dan Prasangka

Kata ethnocentrism berasal dari kata Yunani:‘ethnos’ atau ‘natio’, dan ‘kentron’ atau ‘center’.Summer (1940, dalam Gudykunst & Kim, 1992 :382) mendefinisikan etnosentrisme sebagaiteknik pemberian nama untuk cara pandangdimana kelompok seseorang merupakan pusatdari segalanya, dan semua yang lain diukur dandirata-rata berdasarkan hal tersebut. Fakta yangpaling penting adalah bahwa etnosentrismemengarahkan orang pada melebih-lebihkan danmemperhebat segala sesuatunya dalam ceritamereka yang tidak umum dan yang berbedadengan yang lainnya. Etnosentrisme dapatmenciptakan prasangka yang berlebihan danstereotip yang cenderung negatif padaoutgroup.

Prasangka atau prejudice berasal darikata Latin ‘praejudicium’ yang artinya‘preseden’ atau ‘penilaian berdasarkankeputusan dan pengalaman sebelumnya’(Allport, 1954, dalam Gudykunst & Kim, 1992 :384). Allport mendefinisikan negatif ‘ethnicprejudice’ sebagai sebuah antipati berdasarkankesalahan dan generalisasi yang tidak fleksibel.Smith, di lain sisi melihat prasangka sebagaisebuah emosi, prasangka adalah emosi sosialyang dilekatkan pada identitas sosialseseorang.

Prasangka merupakan suatu konsep yanglebih luas dari stereotip. Dengan berprasangkaterhadap suatu kelompok, maka seseorang telahmemiliki semacam pra-penilaian sebelum iamengenal orang tersebut lebih dalam lagi.Prapenilaian ini pun sifatnya tidak mudah

berubah, sekalipun ada informasi ataupengetahuan baru yang kontradiktif dengan apayang diyakininya semula. Prasangka dibentukmelalui proses sosialisasi stereotip negatif yangsudah terhayati dari generasi ke generasi.Dalam proses ini, maka emosi, bukan akal sehatyang menguasai penentuan sikap mengenai apayang baik dan apa yang buruk, serta bagaimanabersikap terhadap outgroup.

Selanjutnya, Lippman (1922) merujukstereotip sebagai ‘gambar dalam kepala’.Stereotip merupakan representasi kognitif padakelompok lain yang memengaruhi perasaan padaanggota kelompok tersebut. Hewstone danBrown (1986), mengemukakan ada tiga aspekdalam stereotip sebagai representasi mentalyaitu: Pertama, seringkali individu dikategorikanberdasarkan karakteristik yang dapatdiidentifikasi secara mudah seperti jeniskelamin atau etnis. Kedua, seperangkat atributdianggap ada untuk semua anggota kategoritersebut. Lalu ketiga, seperangkat atributdianggap ada untuk individu anggota kategoritersebut.

Vassiliou (1972) membedakan antarastereotip normatif dan non-normatif yangdibentuk oleh anggota sebuah ingroup yangpernah melakukan kontak dengan outgroup.Normatif stereotip adalah norma kognitif untukberpikirmengenai kelompok manusiaberdasarkan informasi yang diperoleh daripendidikan, media massa, dan/atau peristiwasejarah. Non-normatif stereotip, sebaliknya,sifatnya proyektif seperti anggota kelompokmulai berpikir mengenai kelompok lain sebagai‘seperti kita’. Dalam diri setiap individu terdapatstereotip normatif dan non-normatif yangmemengaruhi kultur subjektifnya. Adapununsur-unsur terpenting dari kultur subjektif yangdisusun oleh Triandis adalah: kategorisasi(konsep), evaluasi, asosiasi dan struktur kognitifelementer, keyakinan atau percaya, sikap,stereotip, harapan, norma, ideal, peranan,tugas, dan nilai-nilai. Dari keduabelas unsur itu,Triandis berpendapat bahwa stereotip adalahkonsep sentral, sedangkan kategorisasimerupakan unsur dasar lain yang penting(Warnaen, 2002 : 56, dalam Sarlito’s Site).

Page 11: ANALISIS FRAMING SEBUAH KONFLIK ANTARBUDAYA DI MEDIA

157

Sementara itu, dengan masih tetapmengutip Triandis, Warnaen mensinyalir bahwaseperti halnya di Indonesia, sampai permulaantahun 1960-an berbagai studi yang mencari,mengukur dan menyajikan stereotip, jarak sosialdan hal-hal lain yang serupa, dianggap akanmeningkatkan konflik. Baru pada akhir tahun1960, orang mulai sadar bahwa konflik tidak bisadireduksi dengan tidak menghiraukannya,melainkan dengan jalan mempelajari,menganalisis dan memahaminya. Sekarangsudah waktunya, untuk menghadapi masalahperbedaan kultur secara terbuka. PenelitianWarnaen mengenai ‘Stereotip Etnis ke KonflikEtnis’, dipicu oleh kenyataan bahwa bangsaIndonesia adalah bangsa yang multietnik(Koentjaraningrat, 1969) dan bahwa salingcuriga bisa menghambat integrasi(Koentjaraningrat, 1976). Selain itu ia mengutipTriandis (1972) yang mengatakan bahwa:“Sebagian besar konflik antargolongan yangtelah terjadi diakibatkan oleh kultur subyektifyang berbeda-beda” (Warnaen, 2002: 52).

Yang menarik dari hasil penelitian di atasadalah bahwa secara umum bangsa Indonesiadistereotipkan sebagai masyarakat yangmempunyai beberapa sifat yang baik, tetapidalam kenyataannya justru tidak sesuai denganfakta yang sesungguhnya. Misalnya yang terjadidi IPDN, ditemukan fakta bahwa tradisikekerasan digunakan sebagai cara untukmendidik calon aparat pemerintahan. Semakinbanyak informasi yang disampaikan kepadamasyarakat mengenai kondisi dalam IPDNtersebut, memunculkan stereotip bahwakomunitas di dalamnya terdiri atas orang-orangyang kasar, emosional, agresif, cepattersinggung, dan menggunakan cara-carakekerasan untuk mencapai suatu tujuan.

Stereotip seperti ini digunakan olehberbagai kalangan dalam menilai danberkomentar atas kasus-kasus yang terjadi diIPDN. Stereotip ini kemudian sangat mungkinberkembang menjadi prasangka. Masyarakatmulai berprasangka bahwa tradisi-tradisi yangdilakukan dalam komunitas IPDN dinilai sebagaisuatu hal yang melanggar normatif. Tapi justru

argumen-argumen yang dijadikan dasar menilaikasus IPDN tidak sekedar berkaitan dengannorma-norma yang semestinya ada dalam suatukomunitas. Sehingga bisa dikatakan bahwastereotip normatif dan non-normatif digunakanoleh outgroup dalam menilai kasus di IPDN.

Metode

Dalam mengkritisi pemberitaan kasus IPDNmenurut paradigma kritikal (Adorno &Horkheimer, 1972), media mendukung tatanansosial yang sudah mapan dengan bertindaksebagai sarana kontrol sosial dan dengandemikian melakukan legitimasi status quo.Penggambaran tentang masyarakat oleh mediacenderung meminimalisir pentingnya konfliksosial dan dengan cara demikian menjamin danmempertahankan status quo sosial dan politik(Sunarwinadi, 2007 : 4).

Menurut pandangan Gramsci (1971), semuainstitusi saling berinteraksi dan tergantung satusama lain dalam keseluruhan bentuk sosial.Interaksi ini ditafsirkan melalui “common sense”(akal sehat), yaitu asumsi bersama dari orang-orang yang hidup dalam formasi sosial tersebut.Common sense bertindak sebagai ideologi yanghegemonik, yang mengikat masyarakatmanapun, tetapi selalu dikontrol denganberbagai cara oleh sistem kerja internalnya.

Althusser (1971) meneruskan pemikiranGramsci, menyatakan bahwa negaramempertahankan kekuasaannya tidak sajamelalui aparat negara yang represif sepertitentara dan polisi, tetapi juga melalui aparatideologi negara seperti sistem hukum, institusipendidikan, agama, dan media. Foucault (1977)meneruskan lebih jauh pemikiran Althusser,dengan berpendapat bahwa setiap interaksimelibatkan kekuasaan yang biasanyamenunjang struktur kekuasaan yang ada.Pemikiran Gramsci tentang common sensemerupakan alat untuk mewujudkan kekuasaantersebut.

Dalam kenyataannya kekuasaan kerapdigunakan untuk memainkan realitas yang ada,guna memaksakan dan memelihara suatu

Tuti Widiastuti, Analisis Framing Sebuah Konflik ...

Page 12: ANALISIS FRAMING SEBUAH KONFLIK ANTARBUDAYA DI MEDIA

158

Journal Communication Spectrum, Vol. 1 No. 2 Agustus 2011 - Januari 2012

realitas subyekt if agar dapat diterimamenjadi realitas obyektif. Oleh karena itu,perlu kiranya pandangan kritikal digunakandalam upaya memahami konflik antarbudayadi IPDN dan perang wacana di media. Berikut

t ipologi teori kr it is dalam komunikasimenurut Dennis K. Mumby dalam bukunyaberjudul Modernism, Postmodernism, andCommunication Studies: A Reading of anOngoing Debate (1997):

Tabel 3. Tipologi Teori Kritis dalam Komunikasi

(Sumber: Stephen W. Littlejohn, 2002 : 208-209)

Setelah itu item berita yang telah dipilihmengenai kasus kekerasan di IPDN dilakukan,kemudian dianalisis dengan pendekatan dancara yang pernah digunakan oleh Pan danKosicki (dalam Eriyantyo, 2002 : 251-266).Analisis framing dari Pan dan Kosicki dipilihatas pertimbangan bahwa cara-cara yangpernah mereka lakukan lebih tepat dan lebihluas dalam menganalisis setiap bagian dari isiteks media, karena memunculkan banyak“framing device” yang bisa digali dari keempatstruktur analisisnya, yaitu: sintaksis (berkaitandengan skema teks antara lain headline, lead,

latar informasi, kutipan sumber, pernyataan,dan penutup), skrip (berkaitan kelengkapanteks yaitu who, what, whom, when, where,why, dan how), tematik (berkaitan detail,maksud, nominalisasi, koherensi, bentukkalimat, dan kata ganti, paragraf, proposisi,kalimat, dan hubungan antarkalimat), danretoris (berkaitan dengan leksikon, grafis,metafora, pengandaian, kata, idiom, gambar,foto, dan grafis).

Subyek penelitian yaitu berita-beritamengenai kasus kekerasan di IPDN padasitus Internet Tempo

Modern Postmodern

Positivism Interpretive Critical (Structural) PostStructural

Discourse of representation

Discourse of understanding

Discourse of suspicion

Discourse of vulnerability

Pemisahan antara peneliti dan dunia secara tajam.

Realita di luar peneliti dan direpresentasikan melalui bahasa.

Pemisahan antara peneliti dan dunia tidak tajam.

Fokus pada struktur-struktur sosial opresif yang dianggap ada, bertahan dan disembunyikan dari kesadaran orang.

Bersifat sangat teoritis.

Tidak ada makna sentral atau struktur nyata objektif. Struktur opresif bersifat sementara. Terdapat perjuangan antara gagasan-gagasan dan kepentingan-kepentingan yang cair, dan bukan ideologi-ideologi monolitik.

Bersifat anti teori. Semiotika: sebagaimana resepsi dan produksi pesan.

Simbolik interaksionisme, konstruksi sosial, interpretasi, budaya.

Marxisme (Marx, Althusser, Gramsci).

Neo-Marxisme (Frankfurt School).

Feminisme.

Cultural studies, Michel Foucault, Feminisme.

Page 13: ANALISIS FRAMING SEBUAH KONFLIK ANTARBUDAYA DI MEDIA

159

(www.tempointeraktif.com). Tempo dipilihsebagai subyek penel it ian denganpertimbangan bahwa institusi ini pernahmengalami kekerasan yang dilakukan olehpemerintahan Orde Baru sebelumnya, yaitudengan ‘dibredel’ alias dibekukan usaha

penerbitannya. Oleh karena itu, penulis inginmengetahui bagaimana Tempo mengemaskasus kekerasan di IPDN, atau bagaimanaTempo memberitakan penyimpangan yangdilakukan dalam sebuah lembaga pendidikanmilik pemerintah ini.

Hasil dan PembahasanFraming Teks Media

Tuti Widiastuti, Analisis Framing Sebuah Konflik ...

Tabel 4. Framing Device Kasus Kekerasan di IPDN

Sintaksis Skrip Tematik Retoris

− Headline: Portal Kekerasan di IPDN

− Latar informasi: meninggalnya Cliff Muntu mahasiswa IPDN.

− Kutipan sumber: karikatur karya Imam Yunni yang menggambarkan lembaga pendidikan IPDN layaknya sebuah ring tinju.

− Who: Wicaksono

− What: menyindir kampus calon pejabat pemerintah daerah yang mencatat rekor kekerasan tertinggi di Indonesia.

− Whom: masyarakat.

− When: pada saat mahasiswa menerima pendidikan di IPDN.

− Where: di IPDN.

− Why: karena lembaga pendidikan seperti IPDN mestinya bukan tempat penganiayaan.

− How: dengan cara menyatakan pendapat disertai ilustrasi gambar.

− Isi pesan dimaksudkan untuk menyatakan bahwa telah terjadi kasus kekerasan di IPDN.

− Gaya penyampaian pesan menggunakan gaya bahasa informal, dan cenderung menggunakan gaya bicara sehari-hari untuk menyindir.

− Setting: sebuah ring tinju bertuliskan IPDN.

− Gambar seorang mahasiswa senior IPDN diibaratkan petinju berbadan besar dengan topeng dan sarung tinju yang siap meng-KO mahasiswa yunior IPDN.

− Seorang mahasiswa yunior yang nampak babak belur setelah ditinju oleh seniornya.

− Sederet antrian mahasiswa yunior IPDN yang siap menjadi sasaran tinju dari seniornya.

− Headline: Portal Pembekuan Sementara IPDN

− Who: Wicaksono

− What: mengutip pernyataan

− Isi pesan dimaksudkan untuk

− Setting: lembaga pendidikan IPDN yang dibekukan

Page 14: ANALISIS FRAMING SEBUAH KONFLIK ANTARBUDAYA DI MEDIA

160

Journal Communication Spectrum, Vol. 1 No. 2 Agustus 2011 - Januari 2012

− Latar informasi: pembekuan semua kegiatan internal mahasiswa atau wahana bina praja di kampus IPDN.

− Kutipan sumber: Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memutuskan seluruh kegiatan di dalam ataupun di luar kampus dibekukan, IPDN tak boleh menerima praja baru, dan meminta pengawasan seluruh kegiatan praja dilakukan lembaga secara penuh.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengenai pembekuan semua kegiatan internal mahasiswa atau wahana bina praja di kampus IPDN.

− Whom: masyarakat.

− When: setelah kasus kematian Cliff Muntu.

− Where: di IPDN.

− Why: karena Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membekukan dan menghentikan sementara kegiatan di IPDN.

− How: dengan cara menyatakan pendapat.

menyatakan bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah pembekuan semua kegiatan internal mahasiswa atau wahana bina praja di kampus IPDN.

− Gaya penyampaian pesan menggunakan gaya bahasa informal, dan cenderung menggunakan gaya bicara sehari-hari untuk menyindir

semua kegiatan internal mahasiswa atau wahana bina praja dan pembekuan proses penerimaan mahasiswa untuk sementara.

− Lembaga pendidikan IPDN diibaratkan sebagai sebuah sasana pembentukan petinju, dengan mengandaikan mahasiswa lulusannya akan mengikuti jejak Chris Jhon sebagai juara tinju.

− Headline: Profesor Lexie Ikut Apel Pagi di Kampus IPDN

− Latar informasi: kehadiran Profesor Lexie pada apel pagi di IPDN setelah pemerikaan dirinya terkait kematian Cliff Muntu.

− Kutipan sumber: Profesor Lexie yang menyatakan dirinya telah menandatangani berita acara pemeriksaan

− Who: Ahmad Fikri

− What: kemunculan Profesor Lexie di IPDN setelah dinyatakan terkait dengan penyuntikan formalin ke dalam tubuh praja Cliff Muntu.

− Whom: masyarakat.

− When: apel pagi di IPDN.

− Where: di IPDN.

− Why: karena walaupun Profesor Lexie

− Isi pesan dimaksudkan untuk menyatakan bahwa Profesor Lexie terkait dengan penyuntikan formalin pada jenazah praja Cliff Muntu, namun masih bebas berkeliaran.

− Gaya penyampaian pesan menggunakan gaya bahasa formal, dan cenderung menggunakan

− Setting: apel pagi di IPDN.

− Dalam tulisan digambarkan bagaimana seorang terdakwa kasus kematian praja Cliff Muntu, Profesor Lexie, dapat dengan tenang mengikuti apel pagi di IPDN.

Page 15: ANALISIS FRAMING SEBUAH KONFLIK ANTARBUDAYA DI MEDIA

161

Tuti Widiastuti, Analisis Framing Sebuah Konflik ...

pemeriksaan sehingga diperbolehkan datang ke IPDN.

sudah dinyatakan terkait dengan kasus penyuntikan formalin pada jenazah Cliff Muntu, tapi masih bisa hadir pada apel pagi di IPDN.

− How: menyampaikan informasi disertai dengan keterangan dari Profesor Lexie.

standar gaya penulisan jurnalistik.

− Headline: Kuburan di IPDN akan Dibongkar

− Latar informasi: upaya untuk mencari bukti atas tindak penyimpangan sistem pendidikan dan manajemennya.

− Kutipan sumber: Ketua Tim Evaluasi Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Ryass Rasyid yang menyatakan akan membongkar kasus-kasus kekerasan yang pernah terjadi di kampus IPDN Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat, Kepala Bidang Pengasuhan IPDN Ilhami Bisri mengatakan kekerasan itu ciptaan para praja sendiri, dan seorang pegawai IPDN yang enggan

− Who: Ahmad Fikri & C. Aminudin

− What: menyatakan bahwa ada kuburan di lokasi kampus IPDN, Jatinangor, Jawa Barat.

− Whom: masyarakat.

− When: ketika ditemukan ada kuburan di lokasi kampus IPDN.

− Where: di IPDN.

− Why: karena curiga ada mahasiswa korban tindak kekerasan telah dikuburkan di kampus IPDN.

− How: dengan cara menyatakan uraian fakta yang disertai dengan pendapat tiga orang narasumber.

− Isi pesan dimaksudkan untuk menyatakan bahwa ada kuburan di kampus IPDN, yang diduga telah digunakan untuk menguburkan mahasiswa korban tindak kekerasan di IPDN.

− Gaya penyampaian pesan menggunakan gaya bahasa formal, dan cenderung menggunakan standar gaya penulisan jurnalistik.

− Setting: penyelidikan kasus tindak kekerasan di IPDN.

− Dalam tulisan digambarkan bagaimana masing-masing narasumber mentafsirkan bukti tindak kekerasan di IPDN baik dalam bentuk aktivitas (kegiatan ekstrakulikuler drum band Abdi Gita Praja), maupun dengan ditemukannya bukti fisik lokasi kuburan di kampus IPDN.

Page 16: ANALISIS FRAMING SEBUAH KONFLIK ANTARBUDAYA DI MEDIA

162

Journal Communication Spectrum, Vol. 1 No. 2 Agustus 2011 - Januari 2012

disebutkan namanya membenarkan adanya kuburan di IPDN, tapi dia membantah ada praja yang dikubur di tempat itu.

− Headline: Komisi Nasional HAM Siap Kirim Staf Mengajar di IPDN

− Latar informasi: meninggalnya Cliff Muntu mahasiswa IPDN.

− Kutipan sumber: Zumrotin Susilo, Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, menyatakan bahwa mahasiswa perlu mendapat pelajaran hak asasi manusia dan alumnus IPDN yang terjun ke masyarakat harus bisa melayani warga dengan hati, bukan dengan tendangan, dan sistem pendidikan di IPDN sama sekali tak berwawasan hak asasi manusia.

− Who: Pramono

− What: menyatakan bahwa ada yang salah dalam sistem pendidikan di IPDN, yang tidak memiliki wawasan mengenai hak asasi manusia.

− Whom: masyarakat.

− When: kampus IPDN di Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat, kembali menjadi perhatian karena tewasnya praja asal Sulawesi Utara, Cliff Muntu.

− Where: di IPDN.

− Why: karena ada anggapan bahwa kampus IPDN telah menerapkan kekerasan yang tidak manusiawi dalam mendidikan para mahasiswanya.

− How: dengan cara menyatakan berupa uraian fakta yang disertai dengan pendapat seorang narasumber.

− Isi pesan dimaksudkan untuk menyatakan bahwa sistem pendidikan di IPDN tidak memiliki wawasan mengenai hak asasi manusia.

− Gaya penyampaian pesan menggunakan gaya bahasa formal, dan cenderung menggunakan standar gaya penulisan jurnalistik.

− Setting: sistem pendidikan di kampus IPDN, Jatinangor, Jawa Barat.

− Dalam tulisan digambarkan seorang narasumber dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, mengomentari kasus tindak kekerasan di IPDN yang dinilai salah dengan telah menerapkan kekerasan dalam sistem pendidikannya.

Page 17: ANALISIS FRAMING SEBUAH KONFLIK ANTARBUDAYA DI MEDIA

163

Tuti Widiastuti, Analisis Framing Sebuah Konflik ...

− Headline: Masalah Keuangan IPDN Sangat Tertutup

− Latar informasi: investigasi dari Tim Evaluasi mengenai pengelolaan keuangan di kampus IPDN.

− Kutipan sumber: Ketua Tim Evaluasi Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Ryaas Rasyid mengeluhkan ketertutupan pengelolaan keuangan pada lembaga pendidikan kedinasan di Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat.

− Who: Choirul Aminuddin.

− What: pengelolaan manajemen keuangan di IPDN yang dinilai tertutup.

− Whom: masyarakat.

− When: pada saat Tim Evaluasi melakukan penyelidikan pada manajemen pengelolaan keuangan di IPDN.

− Where: di IPDN.

− Why: karena IPDN dinilai tidak terbuka, tidak jujur, dan tidak transparan dalam manajemen pengelolaan keuangan umumnya dan khususnya pada pelelangan barang dan tender pakaian mahasiswa.

− How: dengan cara menyatakan berupa uraian fakta yang disertai dengan pendapat seorang narasumber.

− Isi pesan dimaksudkan untuk menyatakan bahwa ada yang salah dalam manajemen pengelolaan keuangan di IPDN.

− Gaya penyampaian pesan menggunakan gaya bahasa formal, dan cenderung menggunakan standar gaya penulisan jurnalistik.

− Setting: sistem manajemen pengelolaan keuangan di kampus IPDN, Jatinangor, Jawa Barat.

− Dalam tulisan digambarkan Ketua Tim Evaluasi merasa tidak puas dengan jawaban-jawaban yang dikeluarkan oleh pihak IPDN berkaitan dengan investigasi manajemen pengelolaan keuangan kampus.

Analisis Framing Teks Media

Sintaksis dalam framing teks media yangtelah dilakukan oleh Tempo, adakecenderungan bahwa headline yangditampilkan umumnya lebih pada sisi negatifpemberitaan kasus kekerasan di IPDN. Latarinformasi pada umumnya fokus pada peristiwa

kematian praja Cliff Muntu, setelah itu barudikembangkan pada latar informasi lainnyayang saling berkaitan. Sedangkan untukkutipan sumber, diambil dari pernyataan-pernyataan narasumber yang lebih banyakmelihat sisi negatif dari kasus kekerasan diIPDN.

Page 18: ANALISIS FRAMING SEBUAH KONFLIK ANTARBUDAYA DI MEDIA

164

Journal Communication Spectrum, Vol. 1 No. 2 Agustus 2011 - Januari 2012

Skrip yang dimunculkan dalam framing teksmedia yang telah dilakukan oleh Tempo adakesan memang memojokkan pihak IPDN. Hal initerlihat dari penekanan unsur-unsur berita, yaitu:who adalah wartawan Tempo, what berkaitandengan hal-hal negatif yang terjadi seputarkasus kekerasan di IPDN, whom disampaikanagar masyarakat tahu mengenai kasuskekerasan ini, when mulai dari kasus kematianpraja Cliff Muntu sampai menyentuh pada hal-hal terkait pada pengelolaan sistem pendidikandi IPDN, where semuanya terjadi di IPDN, whykarena media Tempo menilai bahwa ada yangsalah dengan sistem pendidikan milikpemerintah ini, dan how dengan menuliskanberita yang mengungkap fakta seputar kasuskekerasan di IPDN disertai dengan ilustrasigambar bila perlu.

Tematik berkaitan dengan isi pesan yangingin disampaikan oleh Tempo berdasarkannarasumber yang dipilih untuk memperkuatinformasi yang disampaikan. Di sini adakecenderungan bahwa narasumber dari pihakIPDN nampak mempersepsikan kasus kekerasandi sana sebagai suatu hal yang dilakukan olehpara mahasiswa, atau mereka sendiri sebagaipengelola lembaga pendidikan tidak terlibatsama sekali. Selain itu, pihak IPDN kelihatannyatidak melihat ada yang salah dengankebudayaan yang terwujud dalam sistempendidikan yang mereka selenggarakan.

Namun hal berbeda disampaikan oleh paranarasumber dari luar IPDN. Umumnya merekamenyatakan bahwa ada yang salah dengankebudayaan sistem pendidikan di IPDN. Sebuahsistem pendidikan diidealkan oleh paranarasumber di luar IPDN, sebagai suatukebudayaan yang penuh tata krama, mendidikdengan santun, dan menghindari unsur-unsurkekerasan. Sehingga, mereka menilai bahwaapa yang terjadi di IPDN merupakan suatubentuk penyimpangan dari kebudayaan yangmereka miliki.

Retoris berkaitan dengan setting yangdigunakan untuk menekankan pesan apa yangingin disampaikan oleh Tempo, adakecenderungan pemilihan setting yang

memojokkan pihak IPDN. Hal-hal yang sifatnyanegatif lebih banyak ditampilkan untukmenambah kesan bahwa komunitas IPDNberbeda dengan masyarakat Indonesia padaumumnya. Ditambah dengan ilustrasi gambar,semakin memperburuk pencitraan IPDN dimedia. Paling tidak dari gambar yangditampilkan Tempo, memperlihatkan bahwakebudayaan di IPDN lebih buruk dari kebudayaanmasyarakat umum.

Menurut Kim (1979 : 435), kebudayaanmerupakan kumpulan pola-pola kehidupan yangdipelajari oleh sekelompok manusia tertentudari generasi-generasi sebelumnya dan akanditeruskan ke generasi mendatang; kebudayaantertanam dalam diri individu sebagai pola-polapersepsi yang diakui dan diharapkan oleh orang-orang lainnya dalam masyarakat. Ditegaskanlagi oleh Samovar (et. al., 1981 : 25) bahwasebagai suatu teladan bagi kehidupan,kebudayaan mengkondisikan manusia secaratidak sadar menuju cara-cara khusus bertingkahlaku dan berkomunikasi.

Kalau ingin dikaji lebih dalam lagi, Dood(1982 : 27) melihat kebudayaan sebagai konsepyang bergerak melalui suatu kontinum. Mulaidari kognisi dan keyakinan mengenai orang-orang lain dan diri sendiri, termasuk nilai-nilai,sampai dengan pola-pola tingkah laku. Adatkebiasaan (norms) dan praktek-praktek kegiatan(activities) merupakan bagian dari norma-normadan keyakinan-keyakinan, yakni model-modelperilaku yang sudah diakui dan diharuskan. Polatingkah laku yang paling umum yaitu bahasa(linguistik), dalam hal penggunaan pesan-pesanverbal dan nonverbal mencerminkan satu segikehidupan sehari-hari. Anggota-anggotakebudayaan pun dapat diidentifikasikan sertamereka sendiri dapat melihat dirinya sebagaianggota dari suatu kelompok yang memilikisuatu kebudayaan. Singkatnya, kebudayaanmerupakan pola hidup yang bersifat mencakupsegalanya. Selain itu kebudayaan bersifatkompleks, abstrak dan merasuki semua aspekdan segi kehidupan anggotanya.

Salah satu fungsi kebudayaan ialah sebagaipenyaring yang sangat selektif bagi manusia

Page 19: ANALISIS FRAMING SEBUAH KONFLIK ANTARBUDAYA DI MEDIA

165

dalam menghadapi dunia luar. Kebudayaanmenentukan apa yang perlu diperhatikan atausebaliknya perlu dihindari oleh manusia, yangpada akhirnya akan berpengaruh padabagaimana orang berpersepsi. Perspesimerupakan proses internal yang dilalui individudalam menyeleksi, mengevaluasi, danmengatur stimuli yang datang dari luar. Melaluipersepsi, menciptakan stabilitas, struktur danmakna bagi lingkungan. Orang belajar untukmenamai dan mengembangkan kategori-kategori di sekeliling, salah satunya denganstereotip dan prasangka.

Stereotip dan prasangka merupakan konsepyang saling berhubungan dan biasanya terjadibersama-sama. Stereotip merupakan suatukeyakinan yang terlalu digeneralisir, terlaludibuat mudah, disederhanakan atau dilebih-lebihkan mengenai suatu kategori ataukelompok orang tertentu (Samovar, Porter, Jain,1981, dalam Sunarwinadi, 1999). Sedangkanprasangka dirumuskan sebagai sikap kakuterhadap suatu kelompok manusia, berdasarkankeyakinan atau prakonsepsi yang salah.Seseorang yang mempunyai stereotip tertentutentang suatu kelompok juga cenderung untukmempunyai prasangka terhadap kelompoktersebut. Baik stereotip maupun prasangkamerupakan hal yang dipelajari, salah satunyamelalui media massa.

Menurut Dodd (1982 : 27, dalamSunarwinadi, 2007), secara keseluruhan mediamassa memiliki efek sebagai berikut: Pertama,media massa menjalankan fungsi memberikesadaran, membangkitkan minat terhadapsuatu peristiwa atau gagasan melaluipenerangan langsung tentang eksistensinya.Kedua, media massa mengembangkan agenda,dalam arti menjaring perhatian khalayak akantopik-topik kemasyarakatan yang dianggapnyapenting. Ketiga, media massa berperan sebagaipendorong perubahan, dengan menciptakaniklim yang memudahkan terjadinya perubahan.Keempat, media massa bekerja bersama-samadengan dan melalui sarana-sarana antarpribadi,hal mana tentunya tergantung pada situasi dankondisi khalayaknya. Kelima, dibandingkan

dengan komunikasi antarpribadi, media massakurang besar pengaruhnya dalam persuasiuntuk pengambilan keputusan, terutama dalammasyarakat yang belum maju atau sedangberkembang. Keenam, media massa dapatmerangsang timbulnya desas-desus, sebabdengan sifat beritanya yang harus singkat, danpadat, kadang-kadang malah menimbulkanketidakjelasan dan keragu-raguan padakhalayak.

Media Memelihara Stereotip

Belakangan ramai media massamemberitakan dan mengungkit kembali kasus-kasus kecelakaan dan kematian yang pernahterjadi di IPDN. Gelombang pro dan kontra ataspembubaran lembaga ini pun semakin banyakbermunculan di media, yang berakibat padadinonaktifkannya kegiatan belajar-mengajar dikampus IPDN ini. Berbagai pihak berebutmengeluarkan opininya, yang belum tentumereka tahu apa yang diperjuangkan.

Dalam masyarakat yang semakin individualdan heterogen ini, media memainkan perananpenting sebagai salah satu atau bahkan satu-satunya sumber sosialisasi dari realitas sosialdi masyarakat. Sementara realitas yangdisampaikan oleh media berasal dari sumber-sumber komunikasi yang secara nyatamengedepankan realitas subyektifnya. Alih-alihmembentuk realitas obyektif di masyarakat,media malahan memelihara danmenginstitusionalkan kenyataan subyektifberdasarkan stereotip yang berkembang dimasyarakat, dan bukan yang obyektif;kenyataan sebagaimana yang dipahami dalamkesadaran individu dan bukan kenyataansebagaimana yang ditentukan secarakelembagaan (masyarakat).

Dalam pandangan Berger dan Luckmann,masyarakat mesti dipahami dalam suatu prosesdialektis yang berlangsung secara terusmenerus dan terdiri dari tiga moment, yaitueksternalisasi, obyektivasi, dan internalisasi.Dialektika ketiga momen ini berlangsung tidakdalam proses yang terpisah satu sama lain, tapi

Tuti Widiastuti, Analisis Framing Sebuah Konflik ...

Page 20: ANALISIS FRAMING SEBUAH KONFLIK ANTARBUDAYA DI MEDIA

166

Journal Communication Spectrum, Vol. 1 No. 2 Agustus 2011 - Januari 2012

dia berlangsung dalam proses bersamaan dansaling membentuk. Sehingga, suatu fakta sosialyang terlahir dalam suatu masyarakat belumserta-merta menjadi milik semua anggotamasyarakat. Tapi fakta sosial berada padatahap pra-disposisi (kecenderungan) ke arahsosialitas, melalui proses sosialisasi kemudianbaru menjadi milik anggota masyarakat.Sosialisasi didefinisikan sebagai pengimbasanindividu secara komprehensif dan konsisten kedalam dunia obyektif suatu masyarakat atausatu sektornya.

Berger membagi sosialisasi menjadi duayaitu ‘sosialisasi primer’ dan ‘sosialisasisekunder’. Primary socialization is the firstchildhood one through which we becomemembers of society. Secondary socialization issubsequent and inducts the person into a newsector (Berger & Luckmann, 1979 : 149-157).Sosialisasi primer adalah sosialisasi yangpertama yang dialami individu dalam masakanak-kanak, yang dengan itu ia menjadianggota masyarakat. Sosialisasi sekunderadalah setiap proses berikutnya yangmengimbas individu yang sudah disosialisasikanitu ke dalam sektor-sektor baru dunia obyektifmasyarakatnya.

Dalam sosialisasi primer relatif tidak adamasalah identifikasi. Significant others yangberpengaruh untuk membentuk realitas sosialseorang anak, tidak dapat dipilih. Masyarakatmenyediakan sekelompok significant otherstertentu bagi sosialisasi anak yang harus iaterima sebagaimana adanya tanpa kemungkinanuntuk memilih. Karena itulah maka dunia yangdiinternalisasikan dalam sosialisasi primer jauhlebih kuat tertanam dalam kesadarandibandingkan dengan dunia-dunia yangdiinternalisasikan dalam sosialisasi sekunder.

Sosialisasi primer menciptakan di dalamkesadaran anak suatu abstraksi yang semakintinggi dari peranan-peranan dan sikap oranglain tertentu ke peranan-peranan dan sikap-sikap pada umumnya. Abstaksi berbagaiperanan dan sikap orang yang secara kongkritberpengaruh dinamakan orang lain padaumumnya (generalized others).

Pembentukannya dalam kesadaran berartibahwa individu sekarang mengidentifikasikandirinya tidak hanya dengan orang lain yangkongkrit, melainkan dengan orang lain padaumumnya.

Berkat identifikasi yang digeneralisasikaninilah maka identifikasi dirinya sendirimemperoleh kestabilan dan kesinambungan.Sekarang ia mempunyai tidak hanya suatuidentitas tertentu dengan significant others yangini atau yang itu, tetapi suatu identitas secaraumum, yang secara subyektif dipahami sebagaitetap tak berubah, tak peduli ada significantothers atau tidak. Significant other bukanlahsatu-satunya yang dapat mempertahankankenyataan subyektif, walaupun dia punya peransentral. Disamping itu significant others jugamerupakan agen utama untuk mempertahankankenyataan subyektifnya.

Sosialisasi sekunder adalah internalisasisejumlah ‘sub-dunia’ kelembagaan atau yangberlandaskan lembaga. Karena itu lingkupjangkauan dan sifatnya ditentukan olehkompleksitas pembagian kerja dan distribusipengetahuan dalam masyarakat yangmenyertainya. Sudah tentu, pengetahuan yangrelevan secara umum pun bisa didistribusikansecara sosial, tetapi yang dimaksudkan di siniialah ‘pengetahuan khusus’ sebagaipengetahuan yang timbul sebagai akibatpembagian kerja dan yang pengembangan-pengembangannya ditentukan secarakelembagaan.

Dengan melupakan sejenak dimensi-dimensi lain, dapat dikatakan bahwa sosialisasisekunder adalah proses memperolehpengetahuan khusus sesuai dengan peranannya(role-spesific knowledge), dimana peranan-peranan secara langsung atau tidak langsungberakar dalam pembagian kerja. Ada beberapaalasan untuk membenarkan definisi sempit ini,tetapi sama sekali belum mencakup seluruhpersoalannya. Sosialisasi sekunder memerlukanproses memperoleh kosa kata khususberdasarkan peranan, yang berarti antara laininternalisasi bidang-bidang semantik yangmenstrukturkan penafsiran dan perilaku rutin di

Page 21: ANALISIS FRAMING SEBUAH KONFLIK ANTARBUDAYA DI MEDIA

167

dalam suatu wilayah kelembagaan. Dalamwaktu yang bersamaan diperlukan juga‘pemahaman tersirat’, evaluasi-evaluasi danpewarnaan afektif dari bidang-bidang semantikitu. Sub-dunia yang diinternalisasikan dalamsosialisasi sekunder pada umumnya merupakankenyataan-kenyataan parsial, berbeda dengan‘dunia-dasar’ yang diperoleh dalam sosialisasiprimer. Walaupun demikian, sub-dunia itu punmerupakan kenyataan yang sedikit banyaknyakohesif, bercirikan komponen normatif danafektif maupun kognitif.

Selain itu, sub-dunia itu pun memerlukansetidak-tidaknya dasar perangkat legitimasiyang sering diiringi simbol-simbol ritual ataumaterial. Sifat sosialisasi sekunder seperti itutergantung pada status perangkat pengetahuanyang bersangkutan di dalam universum simbolissecara keseluruhan. Proses-proses formal dalamsosialisasi sekunder ditentukan oleh masalahdasarnya: ia selalu mengandaikan suatu prosessosialisasi primer yang mendahuluinya; artinyaia berurusan dengan suatu diri yang sudahterbentuk dan suatu dunia yang sudahdiinternalisasi.

Berdasarkan sosialisasi primer dansekunder tersebut, ada dua cara membedakanbagaimana memelihara danmentransformasikan kenyataan, yaitu carapemeliharaan rutin dan cara pemeliharaandalam keadaan krisis. Hal pertama adalahdimaksudkan untuk mempertahankankenyataan yang sudah diinternalisasi dalamkehidupan sehari-hari, sedangkan yang disebutbelakangan dimaksudkan untuk mengatasisituasi-situasi krisis. Keduanya melibatkanproses-proses sosial yang pada dasarnya sama,meskipun perlu dicatat adanya beberapaperbedaan.

Sosialisasi selalu berlangsung dalamkonteks suatu struktur sosial tertentu. Tidakhanya isinya, tetapi juga tingkat‘keberhasilannya’, mempunyai kondisi dankonsekuensi sosial kultural. Keberhasilan yangmaksimal dalam sosialisasi agaknya akanterjadi dalam masyarakat-masyarakat denganpembagian kerja yang masih minim. Sosialisasi

dalam kondisi-kondisi seperti itu menghasilkanidentitas yang secara sosial sudah didefinisikanlebih dulu dan garis-garis besarnya sudahditetapkan dengan sangat seksama. Karena tiapindividu dihadapkan pada programkelembagaan yang pada pokoknya sama bagikehidupannya dalam masyarakat, makasegenap kekuatan tatanan kelembagaandikerahkan dengan bobot yang kurang lebihsama untuk memengaruhi tiap individu,sehingga menghasilkan suatu kemasifan yangmemaksa bagi kenyataan obyektif yang hendakdiinternalisasikan.

Sosialisasi sekunder melalui mediamerupakan suatu proses pembentukan sub-dunia di masyarakat yang lebih bersifatmemaksa atau meminjam istilah Foucault yaitumendisiplinkan pengetahuan dengankekuasaan. Michel Foucault dalam The Historyof Sexuality (Best and Kellner, 1991), mengkritisibahwa pengetahuan sesuai pada jamannya, danpengetahuan merupakan produk pemaksaandari orang-orang yang memiliki pengetahuankepada mereka yang awam. Sehingga dalamkasus IPDN dapat dikatakan bahwa mediamemelihara dan menginstitusionalkan stereotipyang berkembang di masyarakat denganmenghiraukan realitas sesungguhnya (obyektif)yang selama ini ada dalam komunitas IPDN.

Fakta sosial merupakan unsur kunci darikenyataan subyektif dan berhubungan secaradialektis dengan masyarakat. Realitas subyektifdibentuk oleh proses sosial dan tipe-tipe realitasmerupakan produk sosial. Ia tidak berdiri sendirimelainkan sangat dipengaruhi oleh relasiberbagai unsur dalam kehidupan masyarakat.Begitu memperoleh wujudnya, ia dipelihara,dimodifikasi, atau dibentuk ulang oleh hubungansosial.

Bangunan dasar sebuah realitas subyektifadalah fakta sosial. Fakta sosial merupakansekumpulan data yang diperoleh melaluipengamatan pada suatu waktu tertentuberdasarkan pada kebenaran yang sangat relatifsifatnya. Seseorang memperoleh realitasnyanyadari hasil pengamatan apa yang ada disekitarnya, apa yang membuatnya menjadi

Tuti Widiastuti, Analisis Framing Sebuah Konflik ...

Page 22: ANALISIS FRAMING SEBUAH KONFLIK ANTARBUDAYA DI MEDIA

168

Journal Communication Spectrum, Vol. 1 No. 2 Agustus 2011 - Januari 2012

sama dan berbeda dengan orang-orang disekelilingnya.

Ketika fakta sosial diangkat ke media,tentulah tidak mungkin untuk menampilkannyasecara utuh karena adanya keterbatasan konsepdan teknis. Hal-hal apa saja yang dianggappenting untuk disampaikan dan bagaimanapenataan ulang (rekonstruksi) dari fakta-faktasosial tersebut, akan berpengaruh pada sudutpandang sumber pesan. Sebaliknya bagaimanafakta sosial disajikan akan juga berpengaruhpada pemahaman, sikap dan perilaku penerima.

Media dalam hal ini merupakan salah satuwadah yang melembagakan realitas subyektifsupaya dapat diterima oleh setiap diri individuyang dituju. Dalam kaitan denganpenggambaran kasus IPDN di media, yangkelihatan adalah bahwa media memelihara ciri-ciri kelompok yang diinginkan oleh masyarakatumum. Komunitas IPDN secara keseluruhandigambarkan sebagai kelompok yang tidak lazimkarena tradisi-tradisi mereka yang berbedadengan lembaga pendidikan umum lainnya.

Simpulan

Di samping efek membangkitkan kesadaranpada khalayak, media massa nampaknyamempunyai pengaruh yang tanpa dimaksudkansebelumnya (unintentional). Penayangan mediamassa secara tidak disengaja atau tanpamaksud justru mempunyai efek yang lebih besardaripada pesan media massa yang memangdirencanakan untuk memengaruhi perubahan.Dalam situasi antarbudaya, media dapatmenciptakan dan menggambarkan karakter-karakter serta tipe-tipe kebudayaan yang padaakhirnya memengaruhi kepribadian dan tingkahlaku khalayaknya.

Kebanyakan orang beranggapan bahwacaranya melakukan persepsi terhadap hal-haldi sekelilingnya adalah satu-satunya yang palingtepat dan benar. Inilah yang dinamakan‘etnosentrisme’ yaitu kecenderungan untukmenafsirkan atau menilai kelompok-kelompokorang lain berdasarkan keadaan lingkungankebudayaan sendiri. Etnosentrisme biasanya

dipelajari pada tingkat ketidaksadaran dandiwujudkan pada tingkat kesadaran. Bahayanya,penilaian yang cenderung mengedepankanetnosentrisme sering kali salah, semena-menadan tidak ada dasarnya sama sekali.

Untuk memperkuat etnosentrisme,seseorang biasanya mengandalkan stereotipyang meliputi keyakinan mengenai kelompok-kelompok individu berdasarkan pendapat,persepsi, dan sikap yang dibentuk sebelumnya.Stereotip juga dikatakan sebagai ‘metode malasdari interaksi’, karena dilakukan berdasarkanpengetahuan atau pengalaman kontak sedikitsaja sebelumnya dan pengambilan kesimpulantentang orang lain dilakukan tanpa susah payahdan relatif cepat.

Selain itu, stereotip merupakan mekanismeuntuk pertahanan diri dan sarana untukmengurangi kegelisahan. Misalnya ketikaseseorang mengalami culture shock, akan lebihmudah baginya untuk melakukan stereotypingdaripada terus menerus menghadapaiketidakpastian. Dibandingkan dengan harusmelakukan usaha khusus untuk memahamisituasi, maka untuk mengurangi kebingunganseseorang akan menerima informasi yang belumtentu benar.

Sikap dan keterampilan yang dibutuhkanuntuk mengembangkan strategi untukmengurangi konflik antarbudaya, berikut ini adabeberapa teknik, kiat dan falsafah yang dapatmembantu pengembangan sikap danketerampilan berkomunikasi, yaitu:

- Mengenali diri sendiri Intinya meng-identifikasi sikap, nilai, pendapat,kecenderungan diri sendiri, dan mengetahuicitra diri yang dipersepsikan orang lain.Dengan demikian dapat menentukan apasaja yang dikatakan, juga apa yang didengardari orang lain katakan.

- Menggunakan kode yang sama Karenamakna terletak pada orang dan bukan padakata-kata, maka untuk meningkatkankomunikasi, seseorang harus mengetahuikode khusus yang digunakan orang lainatau kelompok-kelompok tertentu.

Page 23: ANALISIS FRAMING SEBUAH KONFLIK ANTARBUDAYA DI MEDIA

169

- Jangan terburu-buru ada dua hal yang dapatdilakukan yaitu menunda penilaian dengantidak terlalu cepat dalam menarikkesimpulan sebelum orang lain menyatakanseluruh pikiran dan perasaannya, danmemberi waktu yang cukup pada orang lainuntuk mencapai tujuan pembicaraannya.

- Memperhitungkan lingkungan fisik danmanusia menyadari lingkungan ataukonteks tempat dimana peristiwakomunikasi terjadi. Dengan memperhatikanlingkungan fisik, akan menyadari makna-makna yang dilekatkan oleh macam-macamkebudayaan pada simbol-simbol yang ada,yang berpengaruh pada sikap dan perilakuorang-orang di sekitarnya.

- Meningkatkan keterampilan berkomunikasihal-hal yang berkaitan dengan kelancaranproses penyampaian dan penerimaanpesan, seharusnya diperhatikan berdasarpada dampak yang mungkin timbul akibatdari proses tersebut. Karenanya pemilihantopik dan gaya penyampaian pesan perludisesuaikan dengan siapa berkomunikasi.

- Mendorong umpan balik idealnya dalamsebuah proses komunikasi, bisa mendorongterlaksananya umpan balik. Memahamikuantitas dan kualitas umpan balik berbedaantara satu kebudayaan dengankebudayaan lainnya.

- Mengembangkan empati ketidakmampuanuntuk memahami dan menghargaipandangan dan orientasi orang lain seringkali menghambat komunikasi yang efektif.Oleh karena itu sebaiknya menerimaadanya perbedaan dan berusaha untukmenempatkan diri pada posisi orang yangdiajak berkomunikasi.

- Mencari persamaan-persamaan di antarakebudayaan-kebudayaan berbeda meskipundiharuskan untuk memahami adanyaperbedaan-perbedaan latar belakang sosialbudaya yang memengaruhi komunikasi, tetapidalam banyak hal ternyata persamaan-persamaanlah yang memungkinkanseseorang untuk menjalin hubungan.

Tuti Widiastuti, Analisis Framing Sebuah Konflik ...

Daftar Pustaka

Aminuddin, Choirul. 2004. Masalah Keuangandi IPDN Sangat Tertutup.www.tempointeraktif.com, 19 Juni 2004,diakses 30 April 2007.

Berger, P. L., & Luckmann, T. 1979. The SocialConstruction of Reality. Harmondsworth:Penguin Books.

Eriyanto. 2002. Analisis Framing: Konstruksi,Ideologi, dan Politik Media. Yogyakarta:PT LKiS Pelangi Aksara.

Fikri, Ahmad. 16 April 2007. Profesor Lexie IkutApel Pagi di IPDN.www.tempointeraktif.com, diakses 30April 2007.

Fikri, Ahmad, dan C. Aminudin. 17 April 2007.Kuburan di IPDN Akan Dibongkar.www.tempointeraktif.com, diakses 30April 2007.

Gudykunst, William B. & Young Yun Kim (eds).1992. Reading on Communicating WithStranger: An Approach to InterculturalCommunication. Boston, Massachusetts:McGraw Hill.

Gudykunst, William B. and Young Yun Kim. 1997.Communicating With Stranger: AnApproach to Intercultural Communication.Third Edition. Boston, Massachusetts:McGraw Hill.

Komnas HAM. 17 Juni 2004. Empat TahapResolusi Konflik. www.tempointeraktif.com,diakses 23 April 2004.

Mendatu, Achmanto. 13 Juli 2009. Perananprasangka dalam konflik antar etnik. http:// p s i ko l o g i - o n l i n e . co m / p e ra n a n -prasangkan-dalam-konflik-antar-etnik,diakses 2 September 2009.

Pramono. 18 April 2007. Komisi Nasional HAMSiap Kirim Staf Mengajar ke IPDN.www.tempointeraktif.com, diakses 30April 2007.

Republika Online. 22 Desember 2003. KonflikEtnis Pelajaran Berharga.www.republika.co.id, diakses 23 April 2007.

Page 24: ANALISIS FRAMING SEBUAH KONFLIK ANTARBUDAYA DI MEDIA

170

Journal Communication Spectrum, Vol. 1 No. 2 Agustus 2011 - Januari 2012

Rifai, Agus. 2006. Perpustakaan dan PendidikanMultikulturalisme. www.lspma.blogspot.com/.../benturan-antar-peradaban-ii-ssmuel-p.ht..., diakses 4September 2009.

Sarlito’sSite. Juni 2003. Dari Stereotip Etnis keKonflik Etnis. Sarlito.NET.ms, diakses 23April 2007.

Simon Fisher, dkk. 17 Juni 2004. MengelolaKonflik: Keterampilan & Strategi UntukBertindak.www.tempo.co.id, diakses 26April 2007.

Sunarwinadi, Ilya Revianti. 1999. MengusutBenang Kusut Konflik Antarbudaya diIndonesia . Depok: UniversitasIndonesia.

___________________ 2007. Berita dan Konflik

Sosial/Antarbudaya: Pendekatan Teoritik.Jakarta: Program Pasca Ilmu Komunikasi,Universitas Indonesia.

Surwandono. 24 Januari 2007. Konflik Poso danPublic Trust. www.republika.co.id, diakses26 April 2007.

Wicaksono. 5 April 2007. Portal Kekerasan diIPDN. www.tempointeraktif.com, diakses30 April 2007.

_________ 11 April 2007. Portal PembekuanSementara IPDN.www.tempointeraktif.com, 30 April 2007.

Wiradi, Gunawan. 17 Oktober 2003. KonflikAgraria. www.pustaka-agraria.org/m o d u l e s / d o w n l o a d _ g a l l e r y /dl.php?file=341, diakses 4 September2009.