65
... DRAFT NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOM OR .... TAHUN ...• TENTANG PERLINDUNGAN DAN PEMBERDAYAAN PETANI Diajukan oleh : KOMISI IV DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA 2011

DRAFT RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …

  • Upload
    others

  • View
    12

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

...

DRAFT

NASKAH AKADEMIK

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOM OR .... TAHUN ...•

TENTANG

PERLINDUNGAN DAN PEMBERDAYAAN PETANI

Diajukan oleh :

KOMISI IV DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

2011

A. Latar Belakang

BABI

PENDAHULUAN

Peran penting sektor pertanian di wilayah Asia Tenggara secara khusus dapat

dilihat dari kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar lebih dari 1 0

persen dan menyediakan lapangan pekerjaan lebih dari sepertiga jumlah

penduduknya.1 Sedangkan bagi Indonesia, meskipun peran sektor pertanian terhadap

PDB cenderung menurun namun sektor ini menampung jumlah tenaga kerja terbesar

(39,87 persen) dibandingkan sektor industri (12, 15 persen) dan jasa (20,68 persen)

pada tahun 201 0.2

Laju pertumbuhan penduduk sebesar 1 ,6 persen per tahun dan peningkatan

pendapatan masyarakat di masa yang akan datang, mengakibatkan meningkatnya

kebutuhan pangan, sandang, papan, dan energi. Petani dengan jumlah 43,03 juta

orang atau 41 , 18 persen dari total angkatan kerja tahun 20093 merupakan segmen

masyarakat yang mempunyai peran panting untuk memenuhi peningkatan kebutuhan

tersebut.

Peran strategis sektor pertanian lainnya ditunjukkan melalui perolehan devisa,

penyediaan pangan dan energi, penyerapan tenaga kerja (pro-job), mengurangi

kemiskinan (pro-poor), dan pelestarian lingkungan (pro-environment) serta dampak

ikutan keterkaitan input-output antar industri, konsumsi, dan investasi. Oleh sebab itu

tidak heran jika sektor pertanian juga dipandang sebagai sektor yang mampu untuk

memadukan pertumbuhan dan pemeratan atau mewujudkan pertumbuhan ekonomi

yang berkualitas. Dengan memperhatikan kondisi tersebut, fenomena dinamika global

yang terjadi, memperhatikan potensi dan peluang ~eunggulan geografis dan sumber

daya yang ada di Indonesia serta mempertimbangkan prinsip pembangunan

berkelanjutan, maka di dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan

Ekonomi (MP3EI) Tahun 2011-2025, Indonesia berusaha memposisikan diri sebagai

basis ketahanan pangan dunia, pusat pengolahan produk pertanian, perkebunan,

perikanan, dan sumber daya mineral serta pusat mobilitas logistik global. Dari 22

kegiatan ekonomi utama, 6 kegiatan di antaranya berkaitan sangat erat dengan sektor

pertanian (pertanian pangan, peternakan, perkayuan, kelapa sawit, karet, dan kakao ).4

Fan Zhai and Juzhong Zhuang. 2009. Agricultural Impact of Climate Change: A General Equilibrium Analysis with Special Reference to Southeast Asia. ADBI Working Paper No. 131. Asian Development Bank, hal. 1, 14, dan 15.

2 BPS. 2010a. lndikator Ekonomi Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta. BPS, 2010.

4 Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian. 2011. Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia. Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta.

1

Tingkat kemiskinan dan pengangguran di Indonesia masih tetap tinggi, dimana

sebagian besar berada di sektor pertanian5. Menu rut data BPS6 tahun 2010, angka

kemiskinan Indonesia mencapai 31,20 juta orang atau sebesar 13,33 persen, dimana

kemiskinan di perkotaan sebesar 9,87 persen dan di perdesaan sebesar 16,56 persen.

Oleh sebab itu fokus kebijakan Pemerintah seharusnya meningkatkan pertumbuhan

ekonomi dengan mendorong sektor pertanian.7 Selain itu peran sektor pertanian di

Indonesia seharusnya tidak dipandang hanya sebagai sektor pra kondisi dalam

pembangunan seperti dalam teori transformasi ekonomi ataupun teori dual ekonomi

Lewis.

Bagaimanapun juga· struktur ekonomi Indonesia hingga saat ini masih berfokus

pada sektor pertanian dan industri yang mengolah hasil alam. Pada sektor pertanian

terdapat tiga komponen utama yang meliputi lahan, komoditas, dan petani. Ketiga

komponen tersebut saling terkait, sehingga pengaturan mengenai masing-masing

komponen akan memberikan dampak terhadap pengaturan komponen lainnya dan

subyek pembangunan sektor pertanian yang berada di garis garda terdepan adalah

petani. Eksi~tensinya membawa konsekuensi terhadap upaya-upaya peningkatan

produksi komoditas pertanian yang penting bagi 'kelangsungan hidup masyarakat,

industri, dan negara, sehingga pengaturan terhadap petani akan melindungi seluruh

komponen penting dalam sektor pertanian.

Upaya-upaya untuk melindungi eksistensi petani Indonesia tidak hanya dalam

tataran nasional tetapi juga internasional, khususnya dari neoliberalisasi ekonomi dunia.

Perlindungan petani yang diejawantahkan dalam bentuk kebijakan dan regulasi

selayaknya tetap memperhatikan koridor kesepakatan dalam Organisasi Perdagangan

Dunia (World Trade Organization), yang telah diratifikasi dalam Undang-Undang Nomor

7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade

Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia). Beberapa

bentuk kebijakan yang dapat diberikan untuk melindungi kepentingan petani, antara lain

subsidi sarana produksi, penetapan tarif bea masuk, dan penetapan pintu masuk

barang impor. Penetapan tarif bea masuk didasarkan pada harga domestik, komoditas

strategis nasional dan lokal, serta produksi dan kebutuhan nasional. Selain itu, juga

dilakukan penetapan pintu masuk barang impor yang bertujuan melindungi sumberdaya

dan budidaya pertanian yang merupakan daerah produsen komoditas pertanian yang

.diusahakan petani. Penetapan pintu masuk barang impor komoditas pertanian

5

6

7

Ato Suprapto. 2011. Program Pemberdayaan Masyarakat Tani. Badan Penulutuah dan Pengembangan SDM Pertanian. Disampaikan pada saat Penyusunan RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani 21 Maret 2011, Jakarta. BPS. 201 Ob. Perkembangan lndikator Utama Sosiai-Ekonomi Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta. Pribadi, A. 2009. "Guncangan Ekonomi Tingkatkan Penduduk Miskin". Warta Kota Serial Online, http://www.wartakota.eo.id/read/news/7614. Diakses tanggal 18 Maret 2011.

2

dilakukan tidak boleh berdekatan dengan sentra produksi komoditas pertanian, dan

dilengkapi balai karantina.

Selain upaya-upaya perlindungan terhadap petani, upaya pemberdayaan juga

memiliki peran penting untuk mencapai kesejahteraan petani yang lebih baik.

Pemberdayaan dilakukan dengan memfasilitasi petani agar mampu mandiri dan

memiliki keuntungan kompetitif dalam berusaha tani. Beberapa kegiatan yang

diharapkan mampu menstimulasi petani agar lebih berdaya, antara lain pendidikan,

penyuluhan, pendampingan, akses petani terhadap sumber modal dan pembiayaan,

akses petani terhadap informasi dan teknologi, hingga kelembagaan petani dan

kelembagaan ekonomi petani.

Arti penting perlindungan dan pemberdayaan petani tersebut juga tidak terlepas

dari amanat Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945. Indonesia memiliki tanggung jawab untuk melindungi segenap bangsa Indonesia

dan memajukan kesejahteraan umum serta mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh

rakyat Indonesia. Perlindungan dan pembe~dayaan petani merupakan bagian dari

upaya melindungi segenap bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,

mencerdaskan kehidupan ban gsa yang mendukung bagi · tercapainya tujuan

pembangunan nasional. Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat harus

mengupayakan peningkatan kapasitas petani agar menjadi petani yang mandiri dan

berdaulat.

B. ldentifikasi Masalah

Kerja keras petani ternyata belum diikuti oleh peningkatan kesejahteraan petani,

karena secara umum pembangunan sektor pertanian masih berorientasi pada

peningkatan produksi (production oriented) yang belum diikuti dengan pendekatan

peningkatan kesejahteraan petani. Kurangnya perhatian negara terhadap

kesejahteraan petani dan menganggap sektor pertanian sebagai sektor 'sebelah mata',

turut menambah petani menghadapi ketidakpastian berusaha tani.

ldentifikasi kondisi sosial ekonomi petani secara baik dapat menjadi masukan bagi

penentu kebijakan nasional. Berdasarkan data statistik ternyata sebesar 75,19 persen

petani hanya lulus pendidikan setingkat Sekolah Dasar (SD) atau tidak lulus SD,

sebesar 23,63 persen lulus pendidikan setingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama

(SLTP) dan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA), sebesar 1,18 persen lulus

pendidikan setingkat Perguruan Tinggi.8 Dengan latar belakang tingkat pendidikan dan

kompetensi yang rendah, kemampuan mengadopsi teknologi pertanian menjadi

berjalan lambat sehingga berakibat pada masih rendahnya produktivitas dan efisiensi

usaha tani. Jiwa kewirausahaan merupakan modal dasar kemampuan petani untuk

8 Kementerian Pertanian. Rencana Strategis Kementerian Pertanian Tahun 2010-2014.

3

mandiri dalam mengembangkan usaha taninya. Pada saat ini, tingkat ketergantungan

petani kepada Pemerintah masih sangat tinggi.

Pada umumnya petani masih berusaha tani untuk kepentingan keluarganya atau

bersifat subsisten dengan masih berorientasi pada produksi pertanian. Petani-petani

dengan skala usaha kurang dari 2 hektar untuk tanaman pangan dan tidak memiliki ijin

usaha bagi petani hortikultura, peternak dan .Pekebun, serta buruh tani (petani tanpa

memiliki tanah) dengan pendapatan terendah di sektor pertanian diidentifikasi sebagai

penyebab sebagian besar kemiskinan di perdesaan9. Kepemilikan lahan oleh petani

cenderung semakin sempit. Berdasarkan data BPS tahun 200310, bahwa rumah tangga

petani yang memiliki lahan kurang dari 0,5 hektar sebanyak 39,2 persen dan luas lahan

di antara 0,5-1,0 hektar sebanyak 18,4 persen. Hasil penelitian Pusat Sosial Ekonomi

dan Kebijakan Pertanian (PSEKP) pada tahun 2008 menunjukkan bahwa rataan

kepemilikan lahan petani di perdesaan sebesar 0,41 hektar di pulau Jawa dan sebesar

0,96 hektar di luar pulau Jawa.11 Di samping itu, alih fungsi atau konversi lahan

pertanian ke non-pertanian mempunyai implikasi yang . serius terhadap produksi

pangan, lingkungan fisik, serta kesejahteraan masyarakat pertanian dan perdesaan.

Alih fungsi lahan, kepemilikan lahan, dan fragmentasi lahan tersebut akan

mempengaruhi skala usaha tani oleh petani dalam rangka mencapai usaha budidaya

yang menguntungkan. Kondisi ini semakin diperparah dengan adanya hukum waris

tanah. Salah satu upaya yang dapat dilakukan Pemerintah adalah dengan

merevitalisasi reformasi agraria kembali sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1960 juncto Undang-Undang Nomor 56 PAP Tahun 1960 yang memungkinkan

petani mengelola lahan usaha tani 'yang lebih luas. Dengan kepemilikan Jahan yang

sempit dan pola pikir usaha tani yang masih subsisten maka akan membuat petani sulit

meningkatkan kesejahteraannya.

Usaha tani juga terkait erat dengan up stream dan down stream dalam sistem

agribisnis. Petani yang melakukan usaha tani memerlukan sarana produksi (contohnya

benih, pupuk, pestisida), dan alat-mesin pertanian (traktor, dan mesin pendingin) untuk

mendukung budidaya pertanian. Tahap selanjutnya, hasil komoditas pertanian tersebut

juga perlu segera dipasarkan karena sifatnya yang mudah busuk dan mudah rusak.

Ketersediaan input produksi yang tepat waktu, tepat cara, tepat jumlah, dan tepat

kualitas menjadi syarat wajib bagi upaya-upaya melindungi dan bahkan mendorong

peningkatan kesejahteraan petani.

Prasarana pertanian yang keberadaaannya saat ini sangat memprihatinkan adalah

jaringan irigasi teknis dan jaringan irigasi di perdesaan. Kurangnya pembangunan

9 Mason dan Baptist, 1996 dalam Tulus Tambunan. 2006. Apakah Pertumbuhan di Sektor Pertanian Sangat Krusial bagi Pengentasan Kemiskinan di Indonesia?. Kadin lndonesia-JETRO, Jakarta, hal. 8.

10 Tulus Tambunan. 2006. Apakah Pertumbuhan di Sektor Pertanian Sangat Krusial bagi Pengentasan Kemiskinan di Indonesia?. Kadin lndonesia-JETRO, Jakarta, hal. 8.

11 Kementerian Pertanian. Op cit.

4

waduk dan jaringan irigasi yang baru, serta rusaknya jaringan irigasi yang ada

mengakibatkan daya dukungnya sangat menurun. Prasarana usaha tani lainnya yang

sangat dibut~hkan oleh masyarakat dan pedagang komoditas pertanian, namun

keberadaannya sangat terbatas antara lain jalan usaha tani, jalan produksi, pelabuhan

yang dilengkapi dengan gudang berpendingin, laboratorium uji standar mutu, dan

terminal dan sub terminal agribisnis.

Pada down stream, petani sebagai produsen sering dihadapkan dengan hanya

satu atau beberapa pembeli (monopsoni atau oligopsoni) produk pertanian. Dengan

struktur pasar yang tidak sempurna tersebut, petani dieksploitasi oleh pembeli yang

terbatas sehingga harga yang diterima oleh petani sangat rendah (bergaining power

yang rendah). Pada struktur pasar seperti ini, petani hanya diposisikan sebagai price

taker. Sedangkan sebagai pembeli, petani sering dihadapkan hanya dengan satu atau

beberapa penjual (monopoli atau oligopoli) produk pertanian. Contoh lain dari struktur

pasar yang tidak sempurna, yaitu pada kasus kemitraan antara peternak dengan mitra

usahanya. Peternak sering dihadapkan pada situasi pasar oligopoli untuk input (pakan

ternak dan day on chicken atau DOC) bagi peternak dan pasar oligopsoni bagi produk

peternak (telur dan daging ayam). Dalam kasus ini, peternak kembali diposisikan

sebagai penerima harga di pasar input dan output, sehingga pendapatan peternak

san gat rendah.

Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa disparitas harga komoditas pertanian

di tingkat konsumen dan produsen· berfluktuatif sangat tajam. Sebagai contoh, pada

tahun 2010, harga cabai merah keriting di tingkat konsumen menjelang Hari Raya ldul

Fitri mencapai Rp70.000 per kg, sedangkan harga yang diterima petani hanya sebesar

Rp24.000 per kg. Contoh lain, harga daging sapi menjelang Hari Raya ldul Fitri sebesar

Rp70.000 per kg, sementara harga sapi yang diterima peternak sangat rendah, yaitu

sekitar Rp20.000 per kg berat hidup. Pada komoditas perkebunan, harga minyak

goreng di tingkat konsumen relatif stabil, sementara itu harga tandan buah segar kelapa

sawit di tingkat petani turun. Gambaran tersebut di atas menunjukkan bahvva margin

keuntungan lebih banyak dinikmati oleh pedagang antara dibandingkan dengan petani,

karena posisi tawar petani sangat rendah. '

Sub sistem lain yang tidak kalah pentingnya adalah sub sistem jasa penunjang,

seperti lembaga keuangan non-bank, perbankan, dan asuransi. Sub sistem ini berperan

untuk mendukung aliran kegiatan produksi tetap lancar dari up stream hingga ke down

stream. Pada kenyataannya dukungan lembaga keuangan atau perbankan dalam

menyalurkan kredit atau pembiayaan kepada petani relatif masih rendah. Syarat

feasible dan bankable usaha tani mempengaruhi lembaga keuangan dan perbankan

dalam menyalurkan kreditnya. Sekitar 55 persen petani memiliki skala usaha tani yang

dinilai oleh perbankan masih belum feasible dan belum bankable, sehingga perbankan

5

tidak tertarik menyalurkan kreditnya. Sekitar 35 persen petani yang dinilai oleh

perbankan sudah feasible tetapi belum bankable juga mengalami kesulitan untuk

mengakses permodalan dari perbankan, karena perbankan masih menilai bahwa usaha

tani yang dikelola oleh kelompok ini masih memiliki risiko tinggi. Walaupun Pemerintah

telah memberikan subsidi bunga kredit untuk meringankan beban petani pada skim

Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKP-E) dan Kredit Usaha Pembibitan Sapi

(KUPS) serta penjaminan bagi Kredit Usaha Rakyat (KUR), namun penyaluran kredit

program tersebut masih sangat rendah (baru 19 persen dari total plafon Rp19,2 trilun).

Pad a kasus kredit usaha pembibitan sapi (KUPS), yang suku bunganya disubsidi oleh

Pemerintah, dari total plafon sebesar Rp3,87 trilun hanya tersalurkan sebesar 3 persen.

Perbankan selama ini hanya tertarik menyalurkan kreditnya kepada usaha tani yang

feasible dan bankable yang jumlahnya tidak lebih dari 15 persen. Rendahnya

penyaluran kredit kepada sektor pertanian khususnya pada petani-petani dengan skala

usaha kurang dari 2 hektar untuk tanaman pangan dan tidak memiliki ijin usaha bagi

petani hortikultura, peternak dan pekebun tersebut, antara Jain disebabkan ole belum

ditetapkannya portofolio oleh otoritas perbankan sebagian besar petani belum mampu

memenuhi persyaratan bank yang· ditetapkan oleh perbankan (termasuk adanya

agunan dan birokrasi yang berbelit-belit). Hal tersebut salah satunya disebabkan belum

terbentuknya lembaga pembiayaan atau bank pertanian yang berpihak khusus kepada

petani dimana sahamnya dimiliki oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau pet~mi

itu sendiri. Hal ini juga menjadi salah satu alasan petani terpaksa dan lebih 'suka'

meminjam modal kepada rentenir (pelepas ua.ng) walaupun dengan bunga yang tinggi

untuk membiayai usaha taninya.

Aksesibiltas petani rendah pada informasi pasar jika dibandingkan dengan Badan

Usaha Milik Swasta (BUMS), Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik

Daerah (BUMD), dan Koperasi. Asimetris aksesibilitas terhadap informasi harga,

mengakibatkan harga yang diterima cenderung tidak menguntungkan petani.

Rendahnya aksesibilitas petani terhadap informasi teknologi dan sumberdaya lainnya

berakibat rendahnya penguasaan dan pemanfaatan teknologi dan sumberdaya lainnya

oleh petani. Kondisi ini berakibat rendahnya tingkat produktivitas, efisiensi, dan daya

saing usaha tani.

Kelembagaan petani sebenarnya dapat menjadi wadah yang ideal untuk

meningkatkan posisi tawar petani bahkan berfungsi sebagai unit penyedia sarana

produksi, unit usaha pengolahan, unit usaha pemasaran, dan unit usaha keuangan

mikro (simpan pinjam). Namun demikian, baik kelembagaan teknis seperti gapoktan

maupun kelembagaan ekonomi petani seperti koperasi tani dibentuk dengan

pendekatan top-down, yang notabene hanya untuk menangkap program dan fasilitas

yang disediakan Pemerintah. Pendekatan pembentukan kelembagaan seperti ini

6

akhirnya membuat dana yang disalurkan kepada kelompoktani dan gabungan

kelompoktani tidak berkembang sesuai yang diharapkan. Pada saat ini, asosiasi­

asosiasi di · bidang pertanian tumbuh dan berkembang secara parsial di berbagai

komoditas, seperti Asosiasi Obat Hewan, Asosiasi Pengusaha Pakan Ternak, Asosiasi

Petani Tebu Rakyat, Asosiasi Petani Kelapa Sawit, .Gabungan Asosiasi Petani Kelapa

Sawit (GAPKI), Dewan Hortikultura Nasional, Paguyuban Petani Padi Organik, Dewan

Jagung. Asosiasi-asosiasi yang bersifat parsial ini lebih berorientasi kepada

kepentingan pengusaha dari pada memperjuangkan kemandirian dan kedaulatan

petani.

Keberadaan lembaga petani saat ini lebih bersifat budaya dan sebagian besar

berorientasi hanya untuk mendapatkan fasilitas Pemerintah, belum sepenuhnya

diarahkan untuk memanfaatkan peluang ekonomi melalui pemanfaatan aksesibilitas

terhadap berbagai informasi teknologi, permodalan dan pasar yang diperlukan bagi

pengembangan usahatani dan usaha pertanian. Di sisi lain, kelembagaan usaha yang

ada di perdesaan, seperti koperasi belum dapat sepenuhnya mengakomodasi

kepentingan petani atau kelompok tani sebagai wadah pembinaan teknis. Berbagai

kelembagaan petani yang sudah ada seperti Kelompok Tani, Gabungan Kelompok

Tani, Perhimpunan Petani Pemakai Air dan Subak dihadapkan pada tantangan ke

depan untuk merevitalisasi diri dari kelembagaan yang saat ini lebih dominan hanya

sebagai wadah pembinaan teknis dan sosial menjadi kelembagaan yang juga berfungsi

sebagai wadah pengembangan usaha yang berbadan hukum atau dapat berintegrasi

dalam koperasi yang ada di perdesaan.

Lembaga asuransi juga diperlukan pada sektor pertanian dan hingga sampai saat

ini tidak banyak lembaga asuransi yang tertarik untuk memberikan jaminan

Ketidaktertarikan lembaga asuransi terhadap sektor pertanian tersebut disebabkan oleh

risiko usaha sektor pertanian sangat tinggi dan sulit diprediksi dan belum adanya

landasan hukum yang mengatur asuransi pertanian. Oleh sebab itu untuk mendorong

tumbuhnya lembaga asuransi yang menjamin risiko usaha pertanian, diperlukan peran

Pemerintah., Asuransi pertanian tidak hanya mencakup jaminan terhadap

keberlangsungan usaha tani di masa mendatang, namun meliputi pula jaminan

terhadap kesehatan dan keselamatan jiwa petani itu sendiri.

Terjadinya biaya ekonomi tinggi disebabkan oleh banyaknya praktik pungutan liar

dan peraturan daerah pada tingkat kabupaten/kota maupun provinsi yang membebani

petani, sehingga biaya produksi meningkat. Sebagai akibatnya, harga komoditas

pertanian tidak mampu bersaing di pasar regional maupun internasional. Pada

umumnya, petani juga belum menerapkan tata cara budidaya pertanian, pengolahan,

pengepakan, dan pemasaran yang baik, yang mengakibatkan kualitas produk yang

dihasilkan rendah dan belum bisa menembus pasar modern.

7

Peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat ini masih bersifat parsial

dan hanya mengatur kepentingan sub sektor, antara lain: Undang-Undang Nomor 2

Tahun 1960 tentang Bagi Hasil Tanah Pertanian; Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1960 tentang Pokok-Pokok Agraria; Undang-Undang Nomor 56 PRP Tahun 1960

tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian; Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992

tentang Usaha Perasuransian; Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang

Budidaya Tanaman; Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan,

lkan, dan Tumbuhan; Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan; Undang­

Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman; Undang­

Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; Undang-Undang Nomor 7

Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air; Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang

Perkebunan; Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial

Nasional; Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2006 tentang Perjanjian lnternasional

mengenai Sumberdaya Genetik untuk Pangan dan Pertanian (International Treaty on

Plant Genetic Resources for Food and Agriculture); Undang-Undang Nomor 16 Tahun

2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan; Undang­

Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana; Undang-Undang

Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang; Undang-Undang Nomor 20 Tahun

2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah; Undang-Undang Nomor 11 Tahun

2009 tentang Kesejahteraan Sosial; Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang

Peternakan dan Kesehatan Hewan; Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang

Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan; dan Undang-Undang No 13

Tahun 201 0 tentang Hortikultura.

Dengan diratifikasinya perjanijian dari Organisasi Perdagangan Dunia dengan

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1994 tentang Pengesahan Kyoto Protocol to The

United Nations Framework Convention on Climate Change (Protokol Kyoto atas

Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan lklim),

maka para pelaku usaha di bidang pertanian termasuk petani, harus mengikuti aturan­

aturan perdagangan bebas yang dalam beberapa hal kurang berpihak kepada petani,

misalnya standardisasi produk, keamanan pangan, subsidi, dan tarif.

Pengenaan tarif masih diperbolehkan hanya 'untuk komoditas-komoditas yang

strategis dan penting bagi kelangsungan hidup suatu bangsa. Standarisasi produk

pertanian mengikuti program Standar Nasional Indonesia (SNI) dapat dijadikan

instrumen hambatan teknis perdagangan (Technical Barrier to Trade atau TBT) untuk

membendung produk-produk impor dan sekaligus meningkatkan daya saing produk

pertanian dalam negeri. Sementara itu, petani sebagai pelaku usaha di bidang

agribisnis belum mampu memenuhi standar produk yang diwajibkan di pasar global,

penerapan ketentuan keamanan pangan, penurunan subsidi, dan tarif. Oleh sebab itu

8

Pemerintah harus memiliki andil untuk memfasilitasi proses SNI bagi petani sehingga

mampu bersaing dengan petani luar negeri (farmer to farmer).

Faktor lingkungan yang berada di luar kendali petani dan pemangku kepentingan

lainnya adalah perubahan iklim global, bencana alam (gempa bumi, tsunami, banjir

bandang, dan kekeringan), dan eksplosi organisme pengganggu tumbuhan atau wabah

penyakit hewan menular. Namun, faktor lingkungan ini bisa diprediksi selama sistem

informasi dan data yang diperoleh akurat.

Perubahan iklim global menyebabkan tidak menentunya cuaca yang

mengakibatkan curah hujan ekstrim (La Nina) dan musim kemarau yang kering (E/

Nino) sehingga terjadinya kegagalan panen dan kerugian bagi petani. Kenaikan suhu

udara dan permukaan air laut berdampak luas terhadap sektor pertanian, contohnya

meningkatnya serangan hama dan penyakit atau serangan organisme pengganggu

tumbuhan. Seperti yang terjadi baru-baru ini adanya serangan ulat bulu di beberapa

daerah di Indonesia, seperti Pasuruan dan Probolinggo.

Indonesia termasuk negara yang berada dalam kawasan rawan gempa, baik

gempa bumi tektonik maupun vul.kanik. Kejadian gempa bumi vulkanik gunung Merapi

di Jawa Tengah dan Yogyakarta meluluhlantahkan sektor pertanian tanaman pangan,

hortikultura, peternakan, perkebunan, dan kehutanan yang menyebabkan kerugian dan

penderitaan bagi petani. Contohnya kerugian di empat kabupaten, yaitu Sleman,

Magelang, Klaten, dan Boyolali diperkirakan sebesar lebih dari Rp1 triliun. Kerugian

terbesar dialami oleh para petani salak pondoh y~ng diperkirakan mencapai sekitar

Rp200 miliar dengan luasan 1.400 hektar. Selain itu, sedikitnya 15 pasar tradisional di

Kabupaten Sleman, Yogyakarta, Klaten, Jawa Tengah lumpuh. Harga sayuran dan

sembako naik akibat terhambatnya distribusi dari dan ke daerah Yogyakarta 12. Bencana

alam lainnya adalah tsunami yang menimpa Aceh tahun 2004 dan kepulauan Mentawai

tahun 201 0, dimana juga telah merusak lahan pertanian dan membinasakan hewan

ternak. Banjir bandang dan kekeringan di berbagai wilayah Indonesia juga

menimbulkan kerugian bagi petani.

Oleh sebab itu, untuk mengatasi permasalahan tersebut di atas dan dalam rangka

meningkatkan kesejahteraan petani, perlu disusun peraturan perundang-undangan

yang komprehensif, integratif, dan sistemik untuk melindungi dan memberdayakan

petani Indonesia.

C. Tujuan dan Kegunaan Kegiatan Penyusunan Naskah Akademlk

1. Tujuan

12 www.detikpos.net. 2011. Merapi 15 November 2010, Kerugian Akibat Erupsi Tembus Triliun. Serial Online, http://www.detikpos.net/201 0/11 /merapi-15-november-201 0-kerugian-akibat.html, diakses tanggal 29 April 2011.

9

a. Sebagai landasan ilmiah agar dapat memberikan arah, dan menetapkan

ruang lingkup bagi penyusunan Undang-Undang tentang Perlindungan dan

Pemberdayaan Petani.

b. Sebagai acuan dalam merumuskan pokok-pokok pikiran yang menjadi bahan

dasar Undang-Undang tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.

2. Kegunaan dan Manfaat

a. Menjadi dokumen resmi yang menyatu dengan konsep Undang-Undang

tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.

b. Memberikan pemahaman kepada mengenai urgensi konsep dasar dan

konsep hirarki peraturan perundang-undangan yang wajib diacu dan

diakomodasi dalam peraturan perundang-undangan tersebut.

c. Memberikan pemahaman mengenai pe.nyusunan peraturan perundang­

undangan dengan mengacu dan mengakomodasi konsep dasar dan konsep

hirarki sebagaimana di atas.

d. Mempermudah perumusan asas-asas dan tujuan serta pasal-pasal yang

akan diatur dalam Undang-Undang tentang perlindungan dan pemberdayaan

petani.

D. Metode

Dalam penyusunan Naskah Akademis ini digunakan metode yuridis normatif

dengan menggunakan data sekunder berupa bahan hukum primer, bahan hukum

sekunder, dan bahan tersier. Bahan hukum primer merupakan peraturan perundang­

undangan yang terkait dengan hortikultura baik Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, maupun berbagai Undang-Undang terkait. Bahan

hukum sekunder terdiri dari Buku-buku, dan makalah yang terkait dengan substansi

hortikultura. sedangkan Bahan hukum tersier yang digunakan antara lain ensiklopedia,

kamus, maupun informasi dari berbagai lembaga yang terkait, seperti Badan

Pengembangan Sumber daya Manusia Kementerian Pertanian, Pemangku kepentingan

di bidang Perbankan dan Asuransi, Pengajar di Perguruan Tinggi, Petani, Asosiasi

Petani, dan Pakar.

Dalam penyusunan Naskah Akademis Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang

Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, tim penyusun melakukan penelitian dengan

pendekatan kualitatif untuk menganalisis aspek yuridis dalam penentuan kebijakan dan

strategi perlindungan dan pemberdayaan petani. Pengumpulan dan pengolahan data

dilakukan melalui:

1. lnventarisasi permasalahan yang dihadapi di lapangan dan identifikasi aspirasi

stakeholder dalam perlindungan dan pemberdayaan petani.

2. lnventarisasi peraturan perundang-undangan yang terkait.

10

3. Seminar, lokakarya, dan atau pertemuan untuk membahas perlindungan dan

pemberdayaan petani.

4. Pendangan narasumber untuk mendukung kegiatan perlindungan dan

pemberdayaan petani.

Berbagai data yang diperoleh selanjutnya diajukan sebagai referensi bagi

pengkajian data melalui forum diskusi dengan tim pakar dalam berbagai pertemuan

ilmiah serta dalam rapat dengar pendapat umum. Pengkajian dilakukan secara

deskrpitif analisis dan dilengkapi dengan berbagai pendekatan multidisipliner guna

memperoleh kajian yang komprehensif yaitu pendekatan filosofis guna memperoleh

pemahaman kerangka dasar pengaturan mengenai perlindungan dan pemberdayaan

petani, pendekatan sosiologis guna memperoleh data tentang kecenderungan

masyarakat secara umum terhadap kebutuhan Undang-Undang tentang perlindungan

dan pemberdayaan petani, dan selanjutnya diajukan pendekatan komparatif guna

memperoleh penilaian keunggulan dan kelemahan dari peraturan perundang-undangan

yang terkait dengan perlindungan dan pemberdayaan petani.

11

BAB II

KAJIAN TEORI DAN 'PRAKTIK EMPIRIS

A. Kajian Teoritis

Konteks perlindungan dan pemberdayaan petani minimal harus memberikan hak

dan kedaulatan kepada petani. Hak dan kedaulatan petani menurut ketentuan lembaga

swadaya masyarakat internasional sangat beragam. Menurut International Poverty

Center for Food Sovereignity, hak dan kedaulatan petani terdiri atas:

1 . Hak atas pangan: merupakan adopsi hak dasar atas pangan dan kebijakan

pertanian.

2. Akses terhadap sumber daya produktif: memudahkan akses petani kecil terhadap

sumber daya lahan, air, genetik dan sumber daya alam, dan reforma agrari.

3. Produksi pertanian agro-ekologi: model pertanian agro-ekologi yang berpusat di

komunitas dan keluarga.

4. Perdagangan dan pasar lokal.

Sedangkan menu rut Organisasi Petani Sedunia, La Via Campesina, hak dan

kedaulatan petani terdiri atas:

1. Pangan: Hak dasar manusia.

2. Reforma agraria: petani kecil dan tuna tanah memiliki dan mengontrol lahan.

3. Proteksi sumber daya alam: Manajemen sumber daya alam berkelanjutan,

konservasi keanekaragaman hayati.

4. Reorganisasi perdagangan pangan: pangan untuk pangan.

5. Mengakhiri kelaparan global.

6. Perdamaian sosial: hak bebas dari kekerasan, pangan bukan untuk senjata.

7. Demokrasi: petani kecil memiliki hak untuk menetapkan kebijakan pertanian pada

semua tingkatan.

Sedangkan dalam pertemuan petani internasional di Bali, tanggal 11-13 Maret

2011, menghasilkan rumusan mengenai hak dan kedaulatan petani yang terdiri atas:

1. Hak untuk belajar.

2. Hak untuk melakukan pemuliaan tanaman atau hewan.

3. Hak untuk mengembangkan benih dari berbagai sumber, baik publik maupun

swasta.

4. Hak untuk menyimpan benih.

5. Hak untuk memasarkan benih.

6. Hak untuk bebas dari kriminalisasi akibat Undang-Undang.

Dari ketiga sumber tersebut, hak dan kedaulatan petani Indonesia dirumuskan

dalam bentuk:

12

1. Hak atas sumber daya: kemudahan petani mengakses sumber daya alam,

peningkatan kapasitas atau kemampuan, dan mengakses sumber daya buatan.

Petani diberikan kemudahan untuk memperoleh air bagi irigasi, memperoleh

pendidikan dan keterampilan yang layak, serta dibangunnya sarana dan

prasarana produksi pertanian di kawasan pertanian.

2. Hak atas tanah: tanah merupakan faktor produksi penting dalam usaha tani.

Upaya yang dilakukan adalah: pemberian lahan pertanian seluas maksimal 4

hektar bagi petani yang mengusahakan lahan pertanian di lahan yang

diperuntukan untuk kawasan pertanian selama 5 (lima) tahun berturut-turut; atau

memberikan pinjaman modal bagi petani penggarap dan petani yang memiliki

lahan kurang dari 2 hektar untuk memiliki tanah negara maupun tanah milik pribadi

yang diusahakan, berdampingan, dan/atau lahan pertanian di tempat lain yang

luasannya lebih kecil.

3. Hak atas modal: pendirian Bank Bagi Petani sebagaimana disebutkan dalam

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan ~ertanian

Pangan Berkelanjutan dijelaskan secara lebih rinci dan pembentukan Lembaga

Pembiayaan Petani. Pembentukan dua lembaga ini diharapkan dapat menjawab

kebutuhan modal petani, yang sulit mengakses modal dari lembaga perbankan

konvensional.

4. Hak berdemokrasi: pembentukan kelompok tani, gabungan kelompok tani,

asosiasi, dan dewan komoditas pertanian oleh, untuk, dan dari petani membuat

petani memiliki akses untuk memperjuangkan kepentingannya.

5. Hak untuk memperoleh informasi: kemudahan mengakses informasi, baik

mengenai harga, fasilitas pembiayaan, teknologi, baik budidaya sampai pasca

panen, prakiraan iklim disediakan agar petani dapat meningkatkan kapasitasnya

berusaha tani.

6. Hak untuk bebas dari kriminalisasi akibat Undang-Undang: petani merupakan

warga masyarakat yang perlu dilindungi. Oleh karena itu, kegiatan petani selama

tidak mengganggu kepentingan dan ketertiban umum perlu dijaga. Kegiatan petani

hanya meliputi aspek pemuliaan tanaman, budidaya, produksi, pasca panen, dan

pemasaran.

Dalam konteks teori, perlindungan dan pemberdayaan petani diberikan hak

memperoleh: prasarana pertanian dan sarana produksi pertanian, kepastian usaha,

harga komoditas pertanian yang menguntungkan, asuransi pertanian, penghapusan

praktik ekonomi biaya tinggi, pendidikan dan pelatihan, penyuluhan dan pendampingan,

pengembangan pemasaran, luasan lahan pertanian, fasilitas pembiayaan dan

permodalan, kemudahan akses ilmu pengetahuan; teknologi dan informasi, serta

berorganisasi melalui kelembagaan.

13

Selain mengetahui hak dan kedaulatan petani, maka berdasarkan perspektif yang

lebih luas diperlukan pula pemahaman tentang peran sektor pertanian Indonesia,

khususnya terkait dengan perubahan struktur ekonomi Indonesia dari waktu ke waktu.

Kondisi tersebut secara komprehensif dapat mengetahui pentingnya peran sektor

pertanian dan petani terhadap pembangunan ekonomi di Indonesia serta sekaligus

mengetahui bagaimana keterkaitan sektor pertanian beririsan dengan sektor-sektor

lainnya. Oleh sebab itu, diperlukan dukungan teori pertumbuhan ekonomi. Secara

umum terdapat dua teori pertumbuhan ekonomi, yaitu (1) mazhab analitis yang

menekankan pada sebab akibat terjadinya pertumbuhan ekonomi dan (2) mazhab

historis yang menekankan tahapan dalam pertumbuhan ekonomi. Sedangkan

pembagian lain dilakukan berdasarkan waktu, sehingga muncul teori klasik dan

modern.

Perspektif dari transformasi struktur ekonomi terkait dengan peran sektor pertanian

banyak dipengaruhi oleh pandangan dari Lewis, Rosenstein-Rodan (1943), dan Rostow

(1960), di mana disebutkan jika pada awal pertumbuhan ekonomi suatu negara, sektor

pertanian subsisten sebagai sumber tenaga kerja dan sektor industri modern

menciptakan lapangan kerja baru, sehingga mengabsorbsi tenaga kerja sektor

pertanian. Model dual ekonomi ini menyebabkan perbedaan upah dan menjadi insentif

bagi urbanisasi, di sisi lain sektor modern hanya menyediakan pekerjaan terbatas

dengan upah di atas .rata-rata pasar Kondisi ini relatif masih banyak dijumpai di

Indonesia.

Menurut Tambunan, 2006, bahwa sektor pertanian merupakan sektor yang

memiliki hubungan yang paling kuat dan signifikan antara pertumbuhan output sektoral

(sektor industri dan perdagangan) dan penurunan kemiskinan. Sedangkan menurut

World development Report, 2009 bahwa semakin maju suatu negara yang dicirikan

dengan pendapatan per kapita yang semakin tinggi, sumbangan relatif sektor agribisnis

(agro-manufacturing dan agro-service) terhadap PDB juga semakin besar, sementara

itu kontribusi relatif sektor. pertanian terhadap total PDB justru semakin kecil. Oleh

sebab itu mengapa dalam struktur ekonomi di Indonesia, sumbangan sektor pertanian

sektor primer cenderung menurun dan industri pengolahan mengalami peningkatan.

l 1950an·l960an I l 1970an I I 1980an I I Awall980 • Awall990an

-. I I - I I I I .. . Pembangunan ekonoml • Transformasl . Kontrarevolusl pasar . Teorl pertumbuhan

bertahap (Pendekatan pembangunan ekonoml bebas neoklasik atau ekonoml baru linear) (Pendekatan perubahan neoliberaf . Menjefaskan ekuiffbrium . Rostow dan Harrod·Domar struktural) . Model paradlgma palsu jangka panjang . Lewis (Transformasi (kapltalisme) pertumbuhan ekonomi

struktural dan model dua • Teorl pembangunan blsa posltlf dan bervariasi sektor) dualistlk (negara kaya dan • Menjelaskan allran modal 14

mlskln) darl negara miskln ke

• Peran pemerlntah negara kaya mesklpun

menghambat capita/labor ratio nya oemban2unan ekonoml rendah

Gambar 1. Perkembangan Teori Pertumbuhan Ekonomi yang terkait dengan Sektor Pertanian

Sumber: Solihin, 200513 (dimodifikasi).

B. Praktik Empiris

Dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perlindungan dan

Pemberdayaan Petani perlu diketahui sejarah model pertanian Indonesia mulai dari

masa sebelum kemerdekaan Indonesia, masa orde lama, masa orde baru, masa

reformasi, dan periode sekarang. ,

1. Masa Sebelum kemerdekaan

Tahun 1811-1816: Sistem pajak tanah yang dikenalkan oleh Raffles telah

membawa beberapa persoalan terhadap kaum feodal Jawa di daerah-daerah

taklukan dan juga perubahan panting berupa sistem kepemilikan tanah oleh desa.

Kekecewaan para feodal terhadap sistem ini telah mendorong lahirnya

pemberontakan kerajaan. Pemberontakan ini kemudian lebih dikenal dengan

Perang Jawa atau perang Diponegoro.

Tahun 1830-1870: Era tanam paksa (cultuur stelsel) Gubernur Jenderal Johannes

van den Bosch mewajibkan setiap desa harus menyisihkan sebagian tanahnya (20

persen) untuk ditanami komoditas ekspor khususnya kopi, tebu, nila. Hasil

tanaman ini akan dijual kepada Pemerintah kolonial dengan harga yang sudah

dipastikan dan hasil panen diserahkan kepada Pemerintah kolonial. Penduduk

desa yang tidak memiliki tanah harus bekerja 75 hari dalam setahun (20 persen)

pada kebun-kebun milik Pemerintah yang menjadi semacam pajak. Pada

prakteknya peraturan itu dapat dikatakan tidak berarti karena seluruh wilayah

pertanian wajib ditanami tanaman laku ekspor dan hasilnya diserahkan kepada

pemerintahan Belanda. Wilayah yang digunakan untuk praktek cultur stelstel pun

tetap dikenakan pajak. Warga yang tidak memiliki lahan pertanian wajib bekerja

selama setahun penuh di lahan pertanian. Tanam paksa adalah era paling

13 Dadang Solihin. "Teori-Teori Pembangunan: Sebuah Analisis Komparatif'. 2005. (http://www.slideshare.net/DadangSolihin/teoriteori-pembangunan-sebuah-analisis-komparatif, diakses tanggal 02 Maret 2011).

15

eksploitatif dalam praktek ekonomi Hindia Belanda. Sistem tanam paksa ini jauh

lebih keras dan kejam dibanding sistem monopoli VOC karena ada sasaran

pemasukan penerimaan negara yang sangat dibutuhkan Pemerintah. Petani yang

pada jaman VOC wajib menjual komoditas tertentu pada VOC, kini harus

menanam tanaman tertentu dan sekaligus menjualnya dengan harga yang

ditetapkan kepada Pemerintah. Aset tanam paksa inilah yang memberikan

sumbangan besar bagi modal pada zaman keemasan kolonialis liberal Hindia­

Belanda pada tahun 1835 hingga tahun 1940. Akibat sistem yang memakmurkan

dan menyejahterakan negeri Belanda ini, Van den Bosch seraku penggagas

dianugerahi gelar Graaf oleh raja Belanda, pada 25 Desember 1839.

Tahun 1870: Lahirnya hukum agraria kolonial yang tertuang dalam Agrarische

Wet tahun 1870. Dalam aturan ini dijamin adanya Hak Erfpacht sampai selama 75

tahun, dan menjamin pemegang hak itu untuk menggunakan Hak Eigendom, serta

memberi peluang kepada mereka dapat menggunakan tanahnya sebagai agunan

kredit. Lahirnya Agrarische Wet tahun 1870 dipengaruhi dan atas desakan

kepentingan pemilik modal swasta Belanda untuk berbisnis perkebunan besar di

negeri jajahannya. Sebelumnya, di masa culturrstelsel, mereka hanya dibolehkan

sebatas menyewa tanah. Dampak dari hukum kolonial. terhadap rakyat tani

Indonesia, hanya menghadirkan sejarah kelam kemelaratan, kemiskinan,

keterbelakangan dan penindasan.

Tahun 1890: Dimulainya "Politik Etnik", yaitu gerakan oposisi kaum sosialis di

Belanda yang kemudian berpengaruh kepada golongan-golongan Belanda-Hindia

juga. Yaitu mulai diterapkan pelayanan kesehatan umum yang lebih baik,

memperluas kesempatan menempuh pendidikan, serta memberikan otonomi desa

yang lebih besar.

Tahun 1918: Berdiri Balai Besar Penyelidikan .Pertanian (Aigemeen Proefstation

voor den Landbouw), yang kemudian semenjak tahun 1949 menjadi Jawatan

Penyelidikan Pertanian, lalu tahun 1952 menjadi Balai Besar Penyelidikan

Pertanian atau General Agriculture Experiment Station (Aigemeen Proefstation

voor den Landbouw). Selanjutnya tahun 1966 menjadi Lembaga Pusat Penelitian

Pertanian, tahun 1980 berubah lagi menjadi Balai Penelitian Tanaman Bogor

(Balittan), tahun 1994 menjadi Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan

(Balitbio), tahun 2002 menjadi Balai Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya

Genetik Pertanian (Balitbiogen), dan terakhir tahun 2003 berganti nama menjadi

Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik

Pertanian (BB-Biogen)

2. Masa Orde Lama

16

Tahun 1960: Lahirnya UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok­

pokok Agraria (UUPA) yaitu tanggal 24 September 1960. Kelahiran UUPA melalui

proses panjang, memakan waktu 12 tahun. Dimulai dari pembentukan "Panitia

Agraria Yogya" (1948), "Panitia Agraria Jakarta" (1951 ), "Panitia Soewahjo"

(1955), "Panitia Negara Urusan Agraria" (1956), "Rancangan Soenarjo" (1958),

"Rancangan Sadjarwo" (1960)., akhirnya digodok dan diterima bulat Dewan

Perwak41an Rakyat Gotong Royong (DPR-GR), yang kala itu dipimpin Haji Zainul

Arifin. Kelahiran Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) mengandung dua makna

besar bagi kehidupan bangsa dan negara Indonesia. Pertama, UUPA bermakna

sebagai upaya mewujudkan amanat Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 (Naskah Asli),

yang menyatakan, "Bumi dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya

dikuasai negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat". Kedua,

UUPA bermakna sebagai penjungkirbalikan hukum agraria kolonial dan penemuan

hukum agraria nasional yang bersendikan realitas susunan kehidupan rakyatnya.

Tujuan UUPA pada pokoknya meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum

agraria nasional, mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum

pertanahan, dan meletakkan dasar-dasar kepastian hukum hak-hak atas tanah

bagi seluruh rakyat. Semuanya semata-mata untuk mewujudkan kemakmuran,

kebahagiaan, keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam

menuju masyarakat adil dan makmur. Sebenarnya apa yang tersurat maupun

tersirat dari tujuan UUPA, pada hakikatnya merupakan kesadaran dan jawaban

bangsa Indonesia atas keserakahan dan kekejaman hukum agraria kolonial.

3. Masa Orde Baru

Tahun ~974: Dibentuk Badan Litbang Pertanian. Keppres tahun 1974 dan 1979

menetapkan bahwa Badan Litbang Pertanian sebagai unit Eselon I, membawahi

12 unit Eselon II, yaitu: 1 Sekretariat, 4 Pusat (Pusat Penyiapan Program, Pusat

Pengolahan Data Statistik, Pusat Perpustakaan Biologi dan Pertanian, dan Pusat

Karantina Pertanian) 2 Pusat Penelitian (Puslit Tanah dan Puslit Agro-Ekonomi),

serta 5 Pusat Penelitian Periqembangan (Puslitbang Tanaman Pangan, Puslitbang

Tanaman lndustri, Puslitbang Kehutanan, Puslitbang Peternakan, dan Puslitbang

Perikanan).

Tahun 1980: Berdirinya Departemen Koperasi secara khusus, untuk membantu

golongan petani lemah di luar Jawa dan Bali untuk membangun usaha tani

berskala lebih besar. Setelah koperasi diterima sebagai satuan ekonomi yang

· mendasar dalam mengembangkan ekonomi pribumi, dirangsang agar semua desa

membentuk koperasi primer, namun demikian sejumlah masalah yang dihadapi

adalah kekurangan modal, manajemen lemah, kesulitan menjangkau pasaran

antara lain karena turut pedagang perantara. Koperasi dirasakan sebagai

17

"paksaan" sehingga namanya pun yang sudah tercemar perlu dirubah menjadi

BUUD.

Tahun 1983: Berdasarkan Kepres Nomor 24 tahun 1983, terjadi reorganisasi di

Badan Litbang Pertanian sehingga terdiri atas: Sekretariat, Pusat Data Statistik,

Pusat Perpustakaan Pertanian, Puslit Tanah, Puslit Agro-Ekonomi, Puslitbang

Tanaman Pangan, Puslitbang Tanaman lndustri, Puslitbang Hortikultura,

Puslitbang Peternakan, dan Puslitbang Perikanan.

Tahun 1993: Sesuai dengan Keppres Nomor 83 tahun 1993 dibentuk Balai

Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) dan Loka Pengkajian Teknologi Pertanian

(LPTP) yang tersebar di seluruh propinsi di Indonesia. Selain itu juga terjadi

pembentukan 2 unit organisasi BPTP di 2 Propinsi, yaitu Balai Pengkajian

Teknologi Pertanian Banten, dan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kepulauan

Bangka Belitung (Kepmentan No. 633/Kpts/OT.140/12/2003).

4. Masa Reformasi

Tahun 1998: Departemen Pertanian kehilangan arah. Hal ini dikarenakan

pudarnya Pembangunan jangka Panjarig ke 6 yang menjadi ciri khas tahap

orientasi pemerintahan Orde Lama. Pada era ini rakyat sudah kehilangan

kepercayaan kepada pemerintahan, meski tidak semuanya, tapi mendominasi.

Dampak yang ditimbulkannya sangatlah besar. Kegiatan-kegiatan penyuluhan dan

intensifikasi pertanian melambat. Dampak yang ditimbulkannya adalah rendahnya

produktivitas pertanian tanaman pangan dan hortikultura.

5. Masa Sekarang

Tahun 2005: Pada tahun ini muncul rencana Pemerintah dalam melakukan

revitalisasi pertanian di Indonesia. Hal ini ditindak lanjuti dengan Undang-Undang

Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Peternakan dan

Kehutanan. Kemudian ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor

273 Tahun 2007 terkait tentang penjabaran Penyuluhan Pertanian. Konsentrasi

peningkatan produksi dan produktivitas komoditas pertanian ini mengantarkan

Indonesia mencapai swa sembada beras ke 2 pada tahun 2008. Hal ini ditunjang

dengan penambahan tanaga penyuluh pertanian melalui Tenaga Harian Lepas

Tenaga Bantu Penyuluh Pertanian (THL TBPP).

Tahun 2010: Pertanian di Indonesia mengarah kepada pertanian organik. Pada

awalnya pada tahun ini dicanangkan program pertanian organik, karena banyak

hal tentang kekurangsiapan para petani di Indonesia menjadikan rencana

pertanian organik diundur sampai tahun 2014. Akan tetapi pada tahun 201 0 ini

penggunaan pupuk kimia sudah mulai dikurangi, dan pertanian organik mulai

digalakkan di beberapa daerah.

18

Konstalasi mikro yang berhubungan dengan hak dan kedaulatan petani (internal

factor) dan konstalasi makro yang terkait dengan perubahan struktur ekonomi dan

kebijakan sektor pertanian (external factor), disinergikan dalam tindakan nyata berupa

praktik-praktik yang mempunyai tujuan untuk melindungi dan memberdayakan petani

sehingga pada ahirnya kesejahteraan petani meningkat. Adapun secara empiris upaya­

upaya perlindungan petani diberikan pada usaha on farm dan off farm, seperti

dijelaskan di bawah ini:

1. Prasarana Pertanian dan Sarana Produksi Pertanian

Salah satu prasarana pertanian yang saat ini sangat dibutuhkan oleh petani

adalah jaringan irigasi, termasuk sekalipun di daerah sentra produksi pertanian

seperti di wilayah Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan. Kurangnya

pembangunan waduk dan jaringan irigasi yang baru serta rusaknya jaringan irigasi

yang ada akan mengakibatkan daya dukung irigasi terhadap sektor pertanian

menurun. Kerusakan tersebut pada umumnya diakibatkan banjir dan erosi,

kerusakan sumber daya alam di daerah aliran sungai, bencana alam, serta

kurangnya pemeliharaan jaringan irigasi hingga ke tingkat usaha tani. Tantangan

yang dihadapi dalam pengelolaan prasarana pengairan adalah bagaimana

meningkatkan partisipasi masyarakat dalam perlindungan daerah aliran sungai;

pemeliharaan jaringan irigasi di perdesaan; pengembangan sumber-sumber air

alternatif dan berskala kecil antara lain melalui pemanfaatan teknologi

pengambilan air permukaan dan bawah tanah; pembangunan dan pemeliharaan

embung dan bendungan serta pemanfaatan sumber air tanah, danau, rawa dan air

hujan.

Prasarana pertanian lain yang juga dibutuhkan petani adalah jalan usahatani,

jalan produksi, pelabuhan yang dilengkapi dengan pergudangan berpendingin

udara, laboratorium, dan kebun percobaan bagi penelitian, laboratorium pelayanan

uji standar dan mutu, pos dan laboratorium perkarantinaan, kebun dan kandang

untuk penangkaran benih dan bibit, klinik konsultasi kesehatan tanaman dan

hewan, balai informasi dan promosi pertanian, balai-balai penyuluhan serta pasar­

pasar yang spesifik bagi komoditas. Keberpihakan Pemerintah menjadi hal yang

penting karena pada umumnya prasarana pertanian menjadi prioritas

pembangunan yang bukan utama karena harus berkompetisi dengan sektor atau

sub sektor yang sedang menjadi primadona.

Di sisi sarana produksi, permasalahan yang dihadapi adalah belum cukup

tersedianya dan dapat diperoleh tepat waktu terhadap benih atau bibit unggul

bermutu, pupuk, pakan, pestisida atau obat-obatan, alat dan mesin pertanian

hingga ke tingkat usaha tani, serta belum berkembangnya kelembagaan

pelayanan penyedia sarana produksi. Belum berkembangnya usaha penangkaran

19

benih atau bibit secara luas hingga di sentra produksi mengakibatkan harga benih

atau bibit menjadi mahal, bahkan mengakibatkan banyak beredarnya benih atau

bibit palsu di masyarakat yang pada akhirnya sangat merugikan petani.

Sebagai salah satu sarana produksi pertanian, pupuk menjadi penentu

keb~rhasilan panen hingga 50 persen. Konsumsi pupuk urea sebagai pupuk yang

paling banyak dikonsumsi setiap tahunnya.14 Namun demikian pupuk seringkali

menjadi langka pada saat dibutuhkan, terutama pupuk bersubsidi. Keterbatasan

penyediaan pupuk kimia diperparah dengan pengetahuan dan kesadaran petani

menggunakan dan mengembangkan pupuk organik sendiri sebagai pupuk

alternatif yang masih rendah.

Oleh sebab itu tantangan yang harus dihadapi ke depan adalah bagaimana

menyediakan semua prasarana tersebut dalam jumlah yang cukup, memiliki

aksesibilitas yang tinggi, sesuai dengan yang dibutuhkan oleh petani, dan dengan

biaya pelayanan yang terjangkau. Penyedia prasarana pertanian tidak harus

bergantung kepada kemampuan Pemerintah atau Pemerintah Daerah saja, para

pelaku usaha di bidang pertanian juga dapat memberikan andil untuk bekerja

sama dalam menyediakan prasarana pertanian tersebut.

2. Kepastian Usaha

Di Indonesia, sektor pertanian didominasi oleh petani pemilik tanah berskala

usaha relatif kecil (rata-rata 0,5 hektar di pulau Jawa), petani penyakap, dan buruh

tani. Oleh sebab itu petani yang memiliki lahan sempit cenderung juga memiliki

skala usaha yang tidak feasible dan tidak bankable. Dalam hal ini, Pemerintah dan

Pemerintah Daerah dapat membantu petani dengan memberikan jaminan kepada

petani-petani dengan skala usaha kurang dari. 2 hektar untuk tanaman pangan

dan tidak memiliki ijin usaha bagi petani hortikultura, peternak dan pekebun

tersebut, melalui (1) penetapan suatu kawasan usaha tani berdasarkan kondisi

dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan

yang tersedia, (2) pemasaran hasil pertanian bagi petani yang melaksanakan

program pemerintah tersebut, (3) mewujudkan fasilitas pendukung pasar hasil

pertanian dan (4) memberikan insentif pajak berupa keringanan Pajak Bumi dan

Bangunan bagi lahan pertanian. Kebijakan Pemerintah yang telah menetapkan

suatu kawasan untuk diusahakan tanaman atau dipelihara ternak tertentu, maka

apabila terjadi ketidaksesuaikan program pemerintan dan hasil di tingkat petani,

Pemerintah harus menjamin penghasilan petani atas hilangnya kebebasan petani

dalam memilih komoditas pertanian tersebut. Selain itu dari segi pemasaran hasil

pertanian, Pemerintah dan Pemerintah Daerah juga dapat melakukan tindakan

14 PT. Media Data Riset. 2009. Studi Tentang: Optimalisasi lndustri Pupuk Menghadapi Krisis Pupuk di Indonesia. Survey and Reseacrh Service, Jakarta.

20

berupa dengan pembelian secara langsung, menampung, ataupun menyediakan

akses · pasar hasil pertanian tersebut sehingga petani benar-benar memiliki

kepastian usaha tani ketika memilih mengembangkan komoditas yang ditetapkan

pemerintah tersebut.

3. Harga komoditas pertanian

Harga merupakan sinyal bagi petani untuk memasuki pasar atau melakukan

produksi. Menurut teori cobweb, harga komoditas waktu sebelumnya ternyata

dapat mempengaruhi harga komoditas sekarang. Hal ini terjadi karena produk­

produk pertanian dapat disimpan dalam jangka waktu yang lama dengan

perlakuan tertentu. Contoh pada komoditas padi dan beras, pemerintah telah

menerapkan kebijakan harga dasar, harga atap, dan harga pembelian pemerintah.

Namun demikian dalam pelaksanaannya cenderung tidak tepat sasaran dan

banyak dimanfaatkan oleh rent seeker. Oleh sebab itu paradigma menentukan

harga omoditas pertanian sebenarnya mulai banyak ditinggalkan dan hal yang

lebih realistis bagi pemerintah saat ini adalah menciptakan kodisi harga yang

menguntungkan khususnya bagi petani. Kebijakan untuk menciptakan kondisi

harga komoditas yang menguntungkan bagi petani dapat dilakukan melalui (1)

penetapan tarif bea masuk komoditas pertanian, (2) penetapan pintu masuk

barang impor komoditas pertanian, dan (3) persyaratan administrasi.

Menu rut Ellis (1992) 15, salah satu tujuan kebijakan harga pertanian adalah

menstabilkan harga pertanian agar mengurangi ketidakpastian usahatani,

menjamin harga pangan stabil bagi konsumen, dan stabilitas harga di tingkat

makro. Selanjutnya dikatakan, kebijaka.n harga pertanian dapat dilakukan melalui

berbagai instrumen, yaitu kebijakan perdagangan, kebijakan nilai tukar, pajak dan

subsidi, serta intervensi langsung. Secara tidak langsung stabilisasi harga dapat

juga dilakukan melalui kebijakan pemasaran output dan kebijakan input. Kebijakan

input antara lain berupa subsidi harga sarana produksi yang diberlakukan

Pemerintah terhadap pupuk, benih, pestisida, dan bunga kredit.

4. Asuransi Pertanian

15

Usaha tani merupakan salah satu kegiatan yang memiliki risiko usaha yang tinggi.

Hal ini terkait dengan kerentanannya terhadap perubahan iklim, bencana alam,

ledakan organisme pengganggu tumbuhan, wabah penyakit menular, dan gagal

panen akibat kesalahan program Pemerintah atau Pemerintah Daerah. Salah satu

upaya yang dapat dilakukan melalui asuransi pertanian, meskipun kegiatan usaha

tani tersebut sangat teknis dan komplek. Produksi pertanian diatur oleh proses

biologis yang komplek yang harus dipahami oleh penjamin pertanian. Hubungan

F. Ellis. 1992. Agricultural Policies In Developing Countries. Cambridge University Press. Cambridge.

21

sebab-akibat di bidang pertanian tidak selalu mudah diamati dan banyak variabel

yang mempengaruhi hasil pertanian.

Sebuah perusahaan asuransi harus mampu membangun hubungan antara

kerugian yang diasuransikan dan penyebab kerugian. Produksi pertanian bersifat

sangat teknis, oleh sebab itu dibutuhkan tenaga ahli yang berkompeten untuk

memahami biologis dan faktor teknis untuk menetapkan premi sepadan dengan

risiko dan sekaligu juga untuk menilai sendiri uji coba dan manajemen risiko dalam

asuransi pertanian.

Polis dalam asuransi pertanian harus menjamin kerugian bagi petani atas

ketidakpastian pengembalian biaya produksi akibat kegagalan memanen hasil

pertanian atau peternakan, yang disebabkan oleh risiko dasar yang terdiri dari:

1. Kekeringan karena iklim,

2. Angin topan,

3. Hama dan penyakit pertanian atau peternakan,

4. Kebakaran, petir, ledakan, kejatuhan pesawat terbang, dan asap,

5. Ledakan organisme penganggu tumbuhan,

6. Serangan hewan liar, dan

7. Kesalahan program Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah.

Asuransi pertanian tidak dilakukan dengan membentuk lembaga asuransi baru,

namun membuat polis asuransi pertanian di Badan Usaha Milik Negara (BUMN)

Asuransi. Badan Usaha Milik Swasta (BUMS) di bidang asuransi dapat membuat

asuransi pertanian, namun Pemerintah hanya membayar premi bagi: 1) petani

yang tidak mempunyai lahan yang mata pencaharian pokoknya adalah melakukan

usaha tani, 2) petani yang mempunyai lahan dan melakukan usaha budidaya

tanaman pangan pada luas lahan paling banyak 2 (dua) hektar; dan/atau 3) petani

hortikultura, pekebun, atau peternak yang tidak memerlukan izin usaha, kepada

BUMN Asuransi. Premi akan dibayarkan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah

sampai petani dengan klasiifikasi tersebut dinyatakan mampu oleh Pemerintah

atau Pemerintah Daerah untuk membayar preminya Alasan polis asuransi

pertanian dikembangkan di BUMN Asuransi adalah agar ketika tidak ada klaim,

maka biaya premi yang dikeluarkan bdapat kembali ke Negara.

Sumber pembayaran premi berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara

(APBN) dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) dan dilakukan secara

bertahap atau tidak dilakukan langsung di seluruh Indonesia. Berdasarkan

hitungan sederhana, sebenarnya biaya yang dikeluarkan oleh Pemerintah atau

Pemerintah Daerah untuk memfasilitasi asuransi tersebut tidak terlalu besar.

Dengan jumlah petani tahun 2009 mencapai 43,029 juta orang dan jumlah petani

yang tidak mempunyai lahan yang mata pencaharian pokoknya adalah melakukan

22

usaha tani, petani yang mempunyai lahan dan melakukan usaha budidaya

tanaman pangan pada luas lahan paling banyak 2 hektar; dan/atau petani

hortikultura, pekebun, atau peternak yang tidak memerlukan izin usaha berjumlah

75 persen 16 dari jumlah petani atau seb.anyak 32,27 juta. Dengan asumsi premi

yang akan dibayarkan adalah Rp500.000 per sekali musim tanam, maka biaya

premi yang dikeluarkan mencapai Rp16 triliun. Angka ini akan dibayarkan oleh

Pemerintah atau Pemerintah Daerah jika dilakukan secara serentak di seluruh

Indonesia dan seluruh petani menanam jenis tanaman yang sama, dengan musim

tanam yang sama. Sehingga angka ini sesungguhnya masih bisa jauh berkurang.

Pemerintah tidak perlu khawatir pemberian biaya premi ini dibebankan sampai

petani dinyatakan sanggup akan membebani APBN atau APBD, mengingat

banyak pos dana yang saat ini dialokasikan untuk kegiatan yang tidak efektif bisa

digunakan untuk membiayai asuransi pertanian.

5. Penghapusan Praktik Biaya Tinggi

Walaupun labor costs di Indonesia relatif lebih rendah daripada negara-negara

Association South East Asian Nations (ASEAN) lainnya (kecuali Vietnam),

ternyata biaya untuk memberhentikan tenaga kerja di Indonesia sangat tinggi.

Selain itu, upah minimum regional (UMR) di wilayah perkotaan yang relatif lebih

tinggi menstimulasi banyak perusahaan membangun pabriknya dan

mempekerjakan buruh di wilayah perdesaan dengan upah minimumnya lebih

rendah. Pada akhirnya hal ini akan berimplikasi terhadap meningkatnya biaya

transporl;?Si dan pengeluaran infrastruktur penunjang.

Masalah birokrasi dan faktor politik diyakini menjadi salah satu penyebab utama

terjadinya high cost economy di Indonesia. Biaya birokrasi, baik yang resmi

maupun tidak resmi di beberapa daerah dapat mencapai 20 persen dari biaya

produksi. Tingginya biaya birokrasi tersebut pada akhirnya akan menyebabkan

harga output yang diproduksi Indonesia menjadi lebih mahal bila dibandingkan

dengan negara lain (menurunkan daya saing). Masalah birokrasi ini semakin

diperparah dengan korupsi. Untuk menjamin kelancaran usaha dan kemudahan

dalam mengurus perizinan, tak jarang petani dan pelaku usaha harus memberikan

uang pelicin. Jumlah uang pelicin yang diberikan pun tidak sedikit sehingga total

biaya yang harus dikeluarkan petani dan pelaku usaha untuk menjalankan

usahanya juga semakin tinggi.

6. Pembangunan Sistem Peringatan Dini dan Penanganan Dampak Perubahan lklim

Perubahan iklim akan menyebabkan antara lain (1) seluruh wilayah Indonesia

mengalami kenaikan suhu udara, dengan laju lebih rendah dibanding wilayah

16 Dwi Andreas Santosa dalam keterangan lisan dalam RDPU dengan Komisi IV DPR AI tanggal 13 September 2011.

23

subtropis dan (2) wilayah selatan Indonesia mengalami penurunan curah hujan,

sedangkan wilayah utara mengalami peningkatan curah hujan. Perubahan pola

hujan tersebut menyebabkan berubahnya awal dan panjang musim hujan. Di

wilayah Indonesia bagian selatan, musim hujan yang makin pendek akan

menyulitkan upaya meningkatkan indeks pertanaman (IP) apabila tidak tersedia

varietas yang berumur lebih pendek dan tanpa rehabilitasi jaringan irigasi.

Meningkatnya hujan pada musim hujan menyebabkan tingginya frekuensi kejadian

banjir, sedangkan menurunnya hujan pada musim kemarau akan meningkatkan

risiko kekekeringan. Sedangkan pada wilayah Indonesia sebelah utara dengan

meningkatnya hujan pada musim hujan akan meningkatkan peluang IP, namun

kondisi lahan tidak sebaik di pulau Jawa.17 Oleh sebab itu strategi antisipasi dapat

dilakukan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah dengan membangun sistem

peringatan dini dan penanganan dampak perubahan iklim tersebut. Hal ini

bertujuan untuk mengembangkan sektor pertanian yang tahan terhadap

variabilitas iklim saat ini dan mendatang. Tindakan-tindakan nyata dapat dilakukan

melalui peramalan iklim dan eksplosi organisme pengganggu tumbuhan dan/atau

wabah penya.kit hewan menular serta upaya penanganannya.

Sedangkan upaya-upaya yang ditujukan untuk memberdayakan petani dijelaskan

seperti di bawah ini, yaitu:

1. Pendidikan dan Pelatihan

Belum berkembangnya usaha tani di perdesaan, sehingga usaha tani masih

dominan di aspek produksi on-farm dengan tingkat pendapatan yang relatif kecil

dan belum berkembangnya usaha jasa pelayanan permodalan, dan teknologi,

mengakibatkan citra petani dan pertanian lebih sebagai aktifitas sosial budaya

tradisional, bukan sosial ekonomi yang dinamis dan menantang. Semua itu

disebabkan oleh rendahnya pendidikan yang dimiliki petani. Rendahnya

pendidikan yang dimiliki oleh petani perlu ditingkatkan melalui pendidikan dan

pelatihan.

2. Penyuluhan dan Pendampingan

Tingkat penguasaan teknologi petani yang relatif terbatas di tengah persaingan

pasar yang semakin ketat membutuhkan pendampingan pembinaan teknis dan

manajemen secara intensif dan berkesinambungan. Hal tersebut juga menuntut

adanya kapasitas aparat pembina teknis yang mampu melayani bimbingan

teknologi secara spesifik (komoditas) sesuai dengan kebutuhan petani, berperan

sebagai mediator terhadap sumber pembiayaan dan pasar (analisis kelayakan

usaha), dan dapat berkomunikasi serta berkoordinasi dengan stakeholder,

17 Tim Sintesis Kebijakan. 2008. Dampak Perubahan lklim terhadap Sektor Pertanian, serta Strategi Antisipasi da Teknologi Adaptasi. Pengembangan lnovasi Pertanian, 1(2): 138-140.

24

termasuk petugas lapang lainnya, dalam meningkatkan kesejahteraan petani dan

ketahanan pangan keluarga. Luasnya wilayah kerja penyuluhan pertanian dan

banyaknya individu atau kelompok petani yang harus dilayani juga membutuhkan

rasio petani dan penyuluh yang ideal serta terpenuhinya sarana tranportasi,

komunikasi, alat peraga, dan biaya operasional pembinaan yang memadai.

Sehingga diperlukan upaya-upaya untuk mewujudkan sistem penyuluhan dan

pendampingan yang efektif melalui terbangunnya kelembagaan penyuluhan yang

didukung dengan kapasitas dan jumlah penyuluh yang proporsional, sarana kerja

dan fasilitas operasional yang memadai, pembinaan yang berkesinambungan

serta terbuka bagi masyarakat yang berminat untuk berperan serta dalam kegiatan

penyuluhan. Penyuluh harus mendampingi kelompok tani dan gabungan kelompok

tani dalam menyelesaikan permasalahan terkait dengan usaha tani. Dalam

memenuhi kebutuhan penyuluh pertanian untuk pembangunan pertanian dan

ketahanan, tidak hanya ditugaskan dengan penyuluh berstatus pegawai negeri

sipil, tetapi harus melibatkan penyuluh swadaya dari masyarakat dan penyuluh

swasta secara partisipatif dan sukarela.

3. Pengembangan Sistem dan Sarana Pemasaran Hasn Pertanian

Di daerah tertentu, pasar muncul pada waktu dan lokasi tertentu dengan

komoditas yang diperjualbelikan tertentu pula. Contohnya pasar ikan di Boger,

pasar hewan ternak, dan lain sebagainya. Bahkan pasar telah bergeser

maknanya, tidak hanya berkaitan dengari pertemuan antara penjual dan pembeli

secara ekonomi, tetapi juga berkaitan dengan sosial dan budaya. Pasar tradisional

mulai banyak ditinggalkan oleh masyarakat seiring dengan perkembangnya pasar

modern atau swalayan. Komoditas pertanian bersifat mudah busuk, mudah rusak,

dan membutuhkan ruang yang relatif besar. Saluran pemasaran (marketing

channen menjadi salah satu faktor fundamental yang mempengaruhi kualitas

komoditas pertanian hingga ke tingkat konsumen terakhir (end user). Dalam

rangka memperpendek mata rantai perdagangan komoditas pertanian khususnya

produk-produk segar, salah satu hal yang dapat dilakukan Pemerintah adalah

dengan mengembangkan institusi pasar komoditas untuk meningkatkan peran

para aktor pasar agribisnis, khususnya petani, yaitu Sub Terminal Agribisnis

(STA). Tujuan STA antara lain adalah memperpendek mata rantai perdagangan,

membentuk harga yang wajar, meningkatkan akses pasar dan informasi (harga,

permintaan dan pasokan komoditas), menciptakan ajang promosi produk-produk

unggulan komoditas pertanian membuka peluang, pasar baru, dan memperluas

jaring agribisnis; dan menciptakan forum yang mempertemukan para pelaku

agribisnis, antara pihak petani produsen dan menciptakan media promosi produk

25

unggulan pertanian. Contohnya STA Soropadan di Jawa Tengah yang mulai

dibangun tahun 200218.

Pada skala internasional, contoh sukses produk pertanian Thailand di pasar

interasional dapat digunakan sebagai refleksi produk pertanian Indonesia. Banyak

elemen yang dibutuhkan untuk menopang sistem pemasaran, antara lain adalah:

1. Memperkenalkan produk agribisnis dan makanan khas melalui: (1)

masyarakat negara tersebut di luar negeri dengan mengundang rekan­

rekannya untuk acara seremonial sambil menikmati makanan khas tersebut;

(2) mendirikan restoran-restoran khas negara tersebut di luar negeri yang

dilengkapi dengan acara kesenian negara tersebut, di mana promosinya

dibantu oleh masyarakat ; negar~ tersebut di sekitar restoran; (3)

menghidangkan berbagai produk makanan, buah-buahan serta penampilan

hiasan bunga pada semua acara kenegaraan; (4) pasar swalayan di luar

negeri dipasok dengan pengiriman melalui udara dan sistem konsinyasi, baik

dengan atau tanpa membuka Letter of Credit (L/C).

2. Promosi di dalam negeri melalui: (1) agrowisata, terutama perkebunan yang

menampilkan teknik budidaya, demonstrasi bunga hias dan penawaran pasar;

(2) kerjasama antara restoran dengan perusahaan biro perjalan untuk

memasukkan acara makan malam dalam rangkaian acara yang dijadwalkan;

(3) kerjasama antara media masa dengan pengusaha agribisnis untuk

mempromosikan produk-produk agribisnis negara tersebut dengan biaya yang

rendah, melalui penampilan· gambar-gambar dan profil komoditas yang indah;

{4) brosur yang indah dan lengkap menggambarkan profil komoditas yang

mudah diperoleh di mana-mana; (5) upaya untuk mempromosikan daerah

produsen baru bagi masyarakat dari daerah lain terus digalakkan melalui

pameran produk, dengan harapan memperkenalkan potensi pengembangan

daerah produsen baru tersebut kepada masyarakat di daerah lain; (6)

kerjasama terpadu antara pengusaha, masyarakat, dan Pemerintl;lh secara

langgeng dan berkesimbangungan, di mana ide-ide dan motivasi pengusaha

berkembang dengan mendapat dukungan dari Pemerintah untuk

merealisasikannya.

3. Penampilan dan mutu produk mendapat perhatian serius dalam upaya

menembus persaingan di pasar global. Dengan demikian pengawasan mutu

produk menjadi suatu strategi penting untuk meraih pangsa pasar yang besar,

di samping upaya-upaya yang mengefisienkan operasi sistem komoditas.

Penampilan produk meliputi penyempurnaan tingkat keseragaman bentuk dan

18 Bank Indonesia. 2011. Sub Terminal Agribisnis Soropadan Mendorong Pertumbuhan Sektor Pertanian Jawa Tengah. Serial Online, http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/255E127 A-C3E1-4491-88F2-086943477EED/ 14930/Boks2_ TerminaiAgroSoropadan.pdf, diakses tanggal 05 Mei 2011.

26

warna, keberhasilan, dan teknik pengemasan, selain menjaga mutu yang

tinggi.

Koordinasi antara instansi Pemerintah dengan asosiasi-asosiasi harus dijaga,

seperti antara board of trade (BOT), Federation of Thai-industry Assoiation

(FT A), dan Thailand Banking Assosiation (TBA). Berbagai masukan yang

berharga dari asosiasi-asosiasi tersebut menjadi pertimbangan dalam

pengambilan kebijakan yang berkaitan dengan upaya meningkatkan pangsa

pasar produk agribisnis dan agroindustri serta dukungan pendanaan yang

cukup, di samping kebijakan-kebijakan yang langsung berpengaruh terhadap

perdagangan dan ekspor komoditas.

4. Konsolidasi dan Jaminan Luasan Lahan Pertanian

Konsolidasi lahan merupakan upaya menata kembali penggunaan dan

pemanfaatan tanah, melalui pengendalian alih fungsi lahan pertanian dan

pemanfaatan lahan pertanian terlantar. Status penguasaan lahan oleh petani

belum memiliki legalitas yang kuat dalam bentuk sertifikat, sehingga lahan belum

bisa dijadikan sebagai jaminan untuk memperoleh modal usaha melalui

perbankan. Menurut data yang dikutip dari Rencana Startegis (Renstra)

Kementerian Pertanian Tahun 2010-2014 dari Himpunan Kerukunan Tani

Indonesia (HKTI) bahwa hingga tahun 2003 sertifikat tanah yang telah diterbitkan

baru mencapai jumlah 24,5 juta persil atau sekitar 30 persen dari seluruh persil

yang ada di Indonesia (±75 juta persil). Dari jumlah yang telah memperoleh

sertifikat tersebut, 50 persen adalah tanah di perkotaan (pemukiman dan industri)

yang luas arealnya tidak lebih dari 3 juta hektar. Sedangkan lahan pertanian di

perdesaan yang luasnya lebih dari 25 juta hektar baru memperoleh sertifikat 50

persen dari seluruh sertifikat yang sudah diterbitkan atau ±12 juta persil.

Tantangan ke depan untuk mengatasi terbatasnya pemilikan dan lemahnya status

penguasaan lahan adalah bagaimana meningkatkan efisiensi dan produktifitas

usaha tani, penataan kelembagaan pengelolan lahan, pengendalian pertumbuhan

penduduk, reformasi agraria serta penguatan status kepemilikan lahan. Upaya ini

bisa dilakukan melalui konsolidasi lahan pertanian.

Berdasarkan sensus Pertanian tahun 2003, dari sisi skala penguasaan lahan,

sejak tahun 1993 jumlah petani yang kepemilikan lahannya kurang dari 0,5 hektar

meningkat dari 1 0,9 juta rumah tangga menjadi 13,7 juta rumah tangga pada

tahun 2003. Pada periode tahun 1995-2007 rataan pemilikan lahan cenderung

menurun. Kondisi kepemilikan lahan tersebut antara lain disebabkan oleh

meningkatnya konversi lahan pertanian untuk keperluan pemukiman dan fasilitas

umum serta terjadinya fragmentasi lahan karena proses pewarisan, khususnya

untuk lahan beragroekosistem sawah dan lahan kering tanaman pangan. Di sisi

27

lain, menurunnya rata-rata luas pemilikan lahan diikuti pula dengan meningkatnya

ketimpangan distribusi pemilikan lahan khususnya untuk agroekosistem

persawahan di pulau Jawa.

Dwi Andreas Santosa dalam acara Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di

Komisi IV DPR Rl 19 memaparkan bahwa ketersediaan lahan pangan per kapita di

Indonesia sangat rendah, khususnya apabila dibandingkan dengan Argentina,

Australia, Bangladesh, Brazil, dan bahkan Vietnam. Jika dilihat dari tingkat

produktivitas lahan sawah tahunan, maka tingkat produktivitas lahan sawah di

Indonesia dari tahun 1990 sampai tahun 2007 sekitar 9,03 ton per hektar per

tahun. Produktivitas ini lebih tinggi dibandingkan produktivitas tahunan Cina,

Jepang, Korea dan Amerika Serikat.20

Tabel 1. Ketersediaan Lahan Pangan di Beberapa Negara

Lahan untuk Jumlah Penduduk Rasio No. Negara Pangan (dalam Ribu) Lahan/Kapita

(1.000 hektar) (2002) (m2)

1. Argentina 33.700 37.074 9.089,9 2. Australia 50.304 19.153 26.264,3 3. Bangladesh 8.085 123.406 655,2 4. Brazil 58.865 171.796 3.426,4 5. Kanada 45.740 30.769 14.865,6 6. Gina 143.625 1.282.172 1.120,2 7. India 161.750 1.016.938 1.590,6 8. Indonesia 7.780 217.000 358,5 9. Thailand 31.839 60.925 5.225,9 10. Amerika Serikat 175.209 285.003 6.147,6 11. Vietnam 7.500 78.137 959,9

Sumber: Dw1 Andreas Santosa (2011)

Untuk menghindari agar rataan. pemilikan lahan terus menu run dan menghindari

ketimpangan distribusi pemilikan lahan, maka perlu dilakukan upaya terobosan,

khususnya terhadap petani yang tidak mempunyai lahan yang mata pencaharian

pokoknya adalah melakukan usaha tani, petani yang mempunyai lahan dan

melakukan usaha budidaya tanaman pangan dengan skala usaha yang

didasarkan pada luas lahan paling banyak 2 hektar; dan/atau petani hortikultura,

pekebun, atau peternak yang tidak memerlukan izin usaha.

Jaminan ketersediaan lahan yang dilakukan melalui (1) pemberian kemudahan

bagi petani yang memiliki lahan kurang dari 2 hektar untuk memperoleh tanah

negara yang peruntukannya untuk pertanian, (2) petani yang menggarap lahan

pertanian dilahan yang diperuntukan untuk kawasan pertanian selama 5 tahun

berturut-turut berhak memperoleh lahan pertanian seluas maksimal 4 hektar, (3)

bagi petani yang memiliki lahan pertanian kurang dari dua hektar di kawasan

pertanian berhak mendapatkan pinjaman modal dari Pemerintah dan/atau

19 Santosa, D. A. 2011. RUU tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Disampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat RUU Perlintan, DPR-Jakarta, 13 September 2011.

20 Santoso, D. A. 2011.

28

Pemerintah Daerah untuk memiliki lahan pertanian yang berdampingan dengan

lahannya yang luasannya lebih kecil.

Selain itu, agar tetap menjaga ketahanan dan kedaulatan pangan nasional,

Pemerintah dan Pemerintah Daerah harus mencadangkan lahan pertanian baru di

wilayahnya. Luasan lahan cadangan ini berdasarkan pada pertumbuhan jumlah

penduduk, tingkat konsumsi masyarakat, dan luasan lahan yang dapat digunakan

sebagai kawasan pertanian tersebut.

5. Penyediaan Fasilitas Pembiayaan dan Permodalan

Hingga saat ini kondisi petani dihadapkan pada kecilnya skala penguasaan dan

pengusahaan lahan petani yang mengakibatkan terbatasnya kemampuan petani

untuk melakukan pemupukan modal melalui tabungan dan investasi. Di sisi lain

petani j~ga belum memiliki kemampuan untuk mengakses sumber permodalan

atau lembaga keuangan formal, diantaranya diakibatkan oleh tidak mudahnya

prosedur pengajuan kredit dan ketiadaan agunan yang dipersyaratkan, sehingga

petani lebih memilih rentenir yang menyediakan pinjaman modal dengan cepat

walau dengan tingkat bunga yang lebih tinggi dibanding lembaga keuangan

formal. Kondisi ini, pada akhirnya semaki.n memperburuk kondisi arus tunai (cash

flow) dan kesejahteraan petani.

Tantangan ke depan yang harus dikembangkan adalah bagaimana menjembatani

kesenjangan manajemen antara lembaga perbankan formal yang kebanyakan

berada di daerah perkotaan dengan petani yang tersebar di perdesaan.

Sementara menunggu perbankan lebih berpihak kepada pertanian, maka

pemberdayaan kelembagaan usaha kelompok untuk menjadi cikal bakal lembaga

keuangan mikro di perdesaan perlu dilakukan. Pada akhirnya lembaga ini dituntut

dapat berkembang menjadi lembaga mandiri milik petani. Namun pengembangan

lembaga ini membutuhkan dukungan Pemerintah dalam bentuk pembinaan

manajemen dan seed capital kepada kelompok atau gabungan kelompok yang

sudah benar-benar siap dirintis untuk tumbuh menjadi lembaga keuangan mikro di

perdesaan.

6. Kemudahan Akses IPTEK dan lnformasi

Perkembangan inovasi teknologi informasi dan komunikasi saat ini sudah

berkembang pesat. Hal tersebut berlaku pula di sektor pertanian, dimana semakin

cepat dan akuratnya arus informasi pasar dan agribisnis dari satu wilayah ke

wilayah lain. Kondisi tersebut menuntut Pemerintah harus dapat mengimbangi

kecepatan informasi, sehingga mutu pelayanan Pemerintah terhadap petani dapat

meningkat dan bermanfaat.

29

Hingga saat ini, petani dengan skala usaha mikro (rumah tangga) dihadapkan

kepada keterbatasan aksesibilitas terhadap ilmu pengetahuan, teknologi, . komunikasi, dan informasi. Kondisi ini membutuhkan pendampingan dan

ketersediaan fasilitasi layanan penyediaan informasi yang terkait dalam proses

produksi, pengolahan, pemasaran dan pembiayaan. Namun, aspek yang penting

adalah upaya pengenalan terhadap teknologi informasi dan komunikasi

(Information and Communication Technology atau 1cn. Teknologi informasi dan komunikasi (len adalah terminologi yang mencakup

seluruh peralatan teknis untuk memproses dan menyampaikan informasi. ICT

mencakup dua aspek, yaitu teknologi informasi dan teknologi komunikasi.

Teknologi informasi meliputi segala hal yang berkaitan dengan proses,

penggunaan sebagai alat bantu, manipulasi, dan pengelolaan informasi.

Sedangkan teknologi komunikasi adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan

penggunaan alat bantu untuk memproses dan mentransfer data dari perangkat

yang satu ke perangkat lainnya.

ICT merupakan faktor yang sa~gat penting dalam mendukung peningkatan

kualitas sumber daya manusia dan pelayanan Pemerintah kepada masyarakat.

ICT mempunyai tiga peranan pokok:

1. lnstrumen dalam mengoptimalkan proses pembangunan, yaitu dengan

memberikan dukungan terhadap manajemen dan pelayanan kepada

masyarakat.

2. Produk dan jasa teknologi informasi merupakan komoditas yang mampu

memberikan peningkatan pendapatan baik bagi perorangan, dunia usaha dan

bahkan negara dalam bentuk devisa hasil ekspor jasa dan produk industri

telematika.

3. Teknologi informasi bisa menjadi perekat persatuan dan kesatuan bangsa,

melalui pengembangan sistem informasi yang menghubungkan semua

institusi dan area seluruh wilayah nusantara.

Kesadaran pentingnya ICT, bukan hanya monopoli kalangan pengusaha besar

saja tetapi juga bertumbuh di kalangan pengusaha kecil dan kekuatan-kekuatan

masyarakat lain, seperti Koperasi, Kelompok Tani, dan Masyarakat biasa. ICT

diyakini berperan panting dalam pengembangan bisnis, kelembagaan organisasi,

dan juga mampu mendorong percepatan kegiatan ekonomi dan taraf hidup

masyarakat.

Pengenalan akses terhadap ICT merupakan upaya yang telah teridentifikasi

sebagai alat bantu yang sangat penting dalan'l penyampaian informasi tentang

permasalahan pertanian beserta solusinya. Dengan begitu, sudah sewajarnya

saat ini mulai diadakan penekanan terhadap penelitian untuk mengembangkan

30

ICT, khususnya pada di wilayah pertanian. Penekanan pada wilayah pertanian ini

dilakukan sebagai upaya agar teknologi informasi dan jaringan komunikasi

elektronik lebih dapat diakses oleh petani dalam rangka mengumpulkan dan

. menyebarkan informasi hingga ke luar batas wilayahnya. Pada akhirnya

pengetahuan dan wawasan petani akan berkembang pula dan hal ini sebagai

bekal untuk mengembangkan kualitas kehidupan mereka di masa mendatang.

7. Penguatan Kelembagaan Petani

Kelembagaan adalah suatu aturan yang merupakan produk dari nilai, yang

diharapkan terus berevolusi dan menjadi bagian dari budaya. Hal itu merupakan

prasyarat keharusan untuk menjadi "kunci pembuka" pengembangan agribisnis

yang berdaya saing, berkerakyatan, dan berkeadilan. Secara operasional, sosok

koperasi agribisnis dan koperasi (masyarakat, petani) semacam Badan Usaha

Milik Petani dipandang sebagai bangun kelembagaan yang mampu berperan

dalam mewujudkan pembangunan pertanian.

Kelembagaan usaha kelompok yang ada saat ini banyak yang tidak berfungsi,

sementara sebagian besar yang masih ada juga belum mampu berperan dalam

mendukung peningkatan pendapatan petani. Untuk itu perlu dilakukan upaya­

upaya merevitalisasi kelembagaan usaha kelompok dan gabungan usaha

kelompok sehingga mampu berperan sebagai media untuk meningkatkan

kapasitas anggota, khususnya meningkatkan aksesibiltas kelompok maupun

anggotanya terhadap sumber pembiayaan, teknologi, pasar, dan informasi pasar,

serta mempermudah pembinaan dan fasilitasi yang diberikan Pemerintah dan

masyarakat.

Pada umumnya pembentukan kelompok tani didasarkan pada pendekatan top

down, dimana 'hanya' memiliki tujuan untuk mendapatkan fasilitas dari program

Pemerintah. Lembaga petani dan lembaga ekonomi petani seharusnya dibentuk

karena dibutuhkan oleh petani untuk menghimpun kekuatan dalam melakukan

posisi tawar dengan pihak lain. Sedangkan dasar pembentukan lembaga petani

dan lembaga ekonomi petani adalah modal sosial sehingga lembaga yang

dibentuk akan kuat dan solid. Misalnya kelompok tani dibentuk atas dasar

kesamaan kepentingan, kondisi lingkungan, lokasi, dan komoditas yang

diusahakan, untuk meningkatkan dan mengembangkan usahatani anggotanya.

Lebih lanjut kelompok-kelompok tani bergabung membentuk gabungan kelompok

tani (gapoktan). Sedangkan kelompok yang anggotanya terdiri antara petani dan

telah melibatkan pelaku ahli di bidang pertanian dinamakan asosiasi. Asosiasi­

asosiasi kemudian bergabung dapat membentuk dewan komoditas.

Pembangunan kelembagaan sebagai prasyarat keharusan dalam pengembangan

agribisnis yang bagian terbesar pelakunya petani "kecil dan gurem" adalah bangun

31

koperasi dan koperasi agribisnis. Secara substansial, upaya kelembagaan

tersebut pada dasarnya dapat dipandang sebagai langkah menuju rekonstruksi

ulang dalam penguasaan dan akses sumberdaya produktif di bidang pertanian,

terutama berkaitan dengan pengembangan agribisnis.

Di kalangan masyarakat sendiri, masih beragam pendapat tentang eksistensi

koperasi dalam sistem ekonomi Indonesia saat ini. Sebagian lain memandang

koperasi sebagai entitas perlu dikembangkan, walaupun seadanya saja.

Sementara itu, berbagai pendapat lain merasa penting untuk mengembangkan

koperasi sebagai sosok kelembagaan ekonomi yang kokoh bagi pemberdayaan

masyarakat. Pendapat terakhir ini meyakini bahwa koperasi sebagai · upaya

kelembagaan dapat merupakan instrumen bagi upaya restrukturisasi ekonomi

pertanian, untuk mewujudkan keseimbangan dalam penguasaan sumber-sumber

ekonomi pertanian. Ada dua argumen yang melandasi pendapat ini, yaitu (a)

secara kolektif, koperasi dapat penghimpun para pelaku ekonomi pertanian dalam

menjual produk-produk yang dihasilkannya dengan posisi tawar yang baik, dan (b)

koperasi secara organisasi dapat menjadi wadah yang bertanggung jawab bagi

kebutuhan pengadaan sarana produksi pertanian maupun kebutuhan lain secara

bertanggungjawab pula.

Menghadapi milleninum ketiga, dimana sistem pasar akan mendominasi dan

persaingan menjadi semakin ketat, harus dicari bentuk kelembagaan yang tepat

bagi sektor pertanian kita. Bangun kelembagaan koperasi dipandang salah satu

sosok yang tepat, mengingat entitas tersebut berciri sebagai asosiasi

(perkumpulan orang atau petani), badan usaha dan juga sebagai suatu gerakan

yang bersifat pembangunan kedalam (untuk melawan penindasan ekonomi dan

ketidakadilan sistem pasar). Apabila mertgamati sejarah lahirnya koperasi yang

tumbuh dari masyarakat kecil serta prinsip-prinsip yang dianutnya, maka terasa

bahwa bangun organisasi inilah yang sesuai bagi petani dalam kegiatan

pertaniannya, karena diharapakan mampu mendorong pengembangan usahanya,

tidak saja dalam sosok sebagai lembaga ekonomi, tetapi menjadi lembaga sosial

bagi para anggotanya.

Berdasarkan uraian di atas, kelembagaan koperasi adalah bangun organisasi

yang tepat untuk pengembangan masyarakat pertanian dan telah terbukti di

beberapa negara mampu meningkatkan daya saing petani. Dengan kelembagaan

tersebut diharapkan berkembang dan mampu menangani aspek skala ekonomi

dalam kaitannya dengan sistem produksi, pengolahan, dan pemasaran secara

keseluruhan. Misalnya, koperasi dapat mengkordinasikan penawaran input secara

lebih baik dan lebih murah. Demikian juga dengan posisi tawar pada saat mereka

dalam menjual hasil produksinya yang lebih baik. Pemerintah selaku fasilitator

32

diharapkan dapat menumbuhkan kondisi yang menstimulasi berkembangnya

koperasi pertanian agar potensi besar yang mereka miliki dapat tumbuh menjadi

kekuatan besar, sehingga kondisi harmonis baik secara sosial, ekonomi maupun

ekologi dapat dicapai.

Walaupun demikian, ke depan, usaha-usaha untuk mengatasi berbagai masalah

yang dihadapi bagi pengembangan agribisnis di perdesaan tahap awal tetap

masih membutuhkan keberpihakan Pemerintah secara langsung, akan tetapi

dengan pengertian bentuk "ulur tangan" Peme.rintah tersebut harus ditempatkan

dalam upaya pengembangan iklim berusaha yang sesuai. Misalnya,

pengembangan program dan metoda penyuluhan pertanian yang diarahkan

kepada upaya pengembangan orientasi dan kemampuan kewirausahaan, yang

lebih mencakup substansi manajemen usaha dan penyesuaian terhadap materi­

materi di bidang produksi dan pemasaran. Dalam hubungan ini maka pola magang

dan sistem pencangkokan manajer dapat menjadi alternatif yang dipertimbangkan.

Disamping itu pemberian kredit tersebut perlu di atur sedemikian sehingga

kemungkinan re-investasi dan keberhasilan usaha dapat lebih terjamin. Dalam hal

ini bentuk supervised credit dapat menjadi alternative model pemberian kredit.

Banyak contoh sukses koperasi kredit di bidang agribisnis yang kuat dan besar,

seperti Credit Agricole di Perancis, Rabobank di Belanda, dan lain-lain.

Pengembangan agribisnis dengan agro-industri perdesaan juga perlu didukung

oleh kelembagaan yang sesuai, mengingat kerakteristiknya yang sangat beragam.

Dalam kelembagaan usaha tersebut misalnya, perlu dikaji kombinasi optimal dari

penguasan dan pemanfaatan skala usaha dengan efisiensi unit usaha, sesuai

dengan sifat kegiatan yang dilakukan. Salah satu contoh, jika kegiatan,

agroindustri memang akan lebih efisien apabila dilakukan dalam skala yang relatif

kecil, maka pengembangan kegiatan usaha individual perlu didorong. Akan tetapi

untuk kegiatan pengangkutan yang memerlukan skala kegiatan yang lebih besar,

perlu dipertimbangkan suatu unit kegiatan yang sesuai pula. Dengan demikian,

dimungkinkan terjadinya kondisi, dimana kegiatan agroindustri dilakukan secara

individual (tidak harus dipaksakan berada dalam unit usaha koperasi dalam bidang

pengangkutan. Hal-hal semacam memerlukan penelaahan lebih lanjut secara

mendalam, dikaitkan dengan sosok spesifik unit usaha yang dikembangkan dalam

koperasi agribisnis tersebut.

Pada saat ini, struktur pasar produk-produk pertanian bersifat oligopoli, dalam

wujudnya sebagai perusahaan multinasional, dengan kekuatan luar biasa

besarnya. Harga-harga produk pertanian dunia dikondisikan oleh keputusan­

keputusan perusahaan multinasional ini. lndustrialisasi pertanian seharusnya

sejalan dengan pengembangan kemampuan petani untuk beradaptasi dengan

33

perusahaan-perusahaan multi nasional, sehingga menjadi medan untuk

mengembangakan kemampuan dan kesejahteraan petani Indonesia.

Terkendalanya petani akibat masalah teknis dan akses sebagaimana selama ini

merupakan pembatas utama bagi peningkatan posisi tawarnya, memerlukan

hadirnya kelembagaan yang dapat mengatasi hal itu. Sebagai individu, petani

sangat terbatas dalam aspek-aspek hak kepemilikan, batas-batas yurisdiksi dan

aturan representasi sebagai individual. Misalnya, masalah-masalah teknis seperti

skala ekonomi, dan ketiadaan akses sebagaimana dimiliki oleh individu

pengusaha dalam wujud institusi perusahaan. Dalam wujud perusahaan,

seseorang atau sekelompok orang, memiliki hak kepemilikan, batas-batas yuridiksi

dan aturan representasi yang lebih luas dari pada sebagai individu manusia.

lnstitusi da.lfim wujud perusahaan memperluas kesempatan-kesempatan untuk

meningkatkan usaha atau kerja, martabat dan kesejahteraan petani. Pemikiran ini

bukanlah suatu hal yang baru di !ndonesia. Namun, hingga saat ini belum banyak

menghasilkan kinerja petani yang lebih baik, seperti yang terjadi di negara-negara

maju.

Korporasi petani dalam bidang agribisnis telah menjadi wacana dan diskusi publik

sebagai suatu pembangunan kelembagaan. Korporasi masyarakat (petani

agribisnis) pada dasarnya adalah perusahaan yang dimiliki oleh masyarakat pada

dasarnya akan menjadi kuat manakala memanfaatkan segenap modal sosial yang . ada pada masyarakat tersebut. Contoh yang dikemukakan adalah pengalaman

empirik perusahaan American Crystal Sugar Company (ACSC) yang dibeli oleh

1 .300 petani pada tahun 1973 melalui NYSE senilai US$ 86 juta. Sejak saat itu,

ACSC berkembang pesat, baik dalam areal, produksi, rendemen, kepemilikan

petani, dan usaha patungan. Demikian pula, pelajaran yang dikembangkan di

Malaysia dalam merestrukturisasi kepemilikan saham melalui skema Amanah

Saham Nasional tampaknya dapat menjadi bahan pengkajian.

Korporasi petani sebagai suatu kelembagaan ekonomi misalnya, adalah suatu

lembaga atau perusahaan yang dimiliki oleh petani. Dalam sosok tersebut,

kepemilikan petani ini dinyatakan dalam bentuk kepemilikan individual dan kolektif

melalui lembaga koperasi sekaligus. Kepemilikan yang sifatnya individual

dirancang agar petani secara individual langsung dapat berpartisipasi dalam

pengembangan kesempatan-kesempatan dan memanfaatkannya.

Sedangkan kepemilikan kolektif ditujuan agar organisasi petani dapat menjalankan

fungsinya. Korporasi petani pada dasarnya merupakan kumpulan petani sekaligus

juga kumpulan modal, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta modal sosial seperti

semangat serta dukungan dari para pihak yang memiliki kesadaran untuk

terwujudnya industrialiasi pertanian di Indonesia.

34

C. Pembiayaan Pertanian

Ciri khas dari kehidupan petani adalah perbedaan pola penerimaan, pendapatan,

dan pengeluarannya. Hasil produksi hanya diterima petani setiap musim sedangkan

pengeluaran harus diadakan setiap hari, setiap minggu atau kadang-kadang dalam

waktu yang sangat mendesak seperti kematian, pesta perkawinan dan selamatan lain.

Keberadaan kredit benar-benar dibutuhkan oleh petani untuk tujuan produksi,

pengeluaran hidup sehari-hari sebelum hasil panen terjual dan untuk pertemuan sosial

lainnya. Dikarenakan penguasaan lahan tergolong sempit, upah yang mahal dan

kesempatan kerja terbatas di luar musim tanam, sebagian besar petani tidak dapat

memenuhi biaya hidupnya dari satu musim ke musim lainnya tanpa pinjaman. Kredit

sudah menjadi bagian hidup dan ekonomi usahatani, bila kredit tidak tersedia tingkat

produksi dan pendapatan usahatani akan turun drastis.

1. Bank Bagi Petani

Masalah utama dalam penyediaan kredit ke petani gurem adalah adanya jurang

pemisah antara penyaluran dengan penerimaan kredit. Banyak lembaga permodalan

dengan berbagai skim kreditnya ditawarkan ke petani, tetapi pada kenyataannya hanya

dapat diakses oleh kelompok masyarakat tertentu $edangkan petani-petani dengan

skala usaha kurang dari 2 hektar untuk tanaman pangan dan tidak memiliki ijin usaha

bagi petani hortikultura, peternak dan pekebun masih tetap kesulitan.

Menurut laporan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), salah

satu faktor penyebab lemahnya sektor pertanian Indonesia karena sulitnya petani

mendapatkan akses ke sumber modal yang ada. Akses petani ke perbankan yang

sangat lemah dapat disebabkan karen a: (1) petani tidak memiliki jaminan atau agunan

guna mendapatkan kredit; (2) pertanian dianggap s~bagai usaha yang memiliki risiko

tinggi sehingga perbankan mengalami kesulitan dalam menyalurkan kreditnya; dan (3)

skala kredit yang dibutuhkan rumah tangga petani sangat kecil (karena sempitnya

lahan) sehingga tidak memenuhi skala kredit kecil dari perbankan.21 Lembaga

pembiayaan juga masih belum membuka pintu bagi petani, hal ini dibuktikan dengan

rendahnya alokasi kredit bagi sektor pertanian. Kesadaran petani untuk meminjam

kepada lembaga pembiayaan, dan bukan kepada tauke atau tengkulak juga rendah.

Petani beranggapan bahwa meminjam kepada lembaga pembiayaan memerlukan

waktu yang sangat lama dan prosedur yang ruroit.

Hal ini juga diperkuat oleh penjelasan Anny Ratnawati bahwa keterbatasan

ataupun kendala dalam pembiayaan sektor pertanian di Indonesia berasal dari dua sisi.

Pertama, adanya keterbatasan dana APBN dan kedua, hambatan petani dalam

mengakses perbankan yang diakibatkan oleh tidak adanya jaminan, kurang

21 Bappenas. 2006. Profil Pangan dan Pertanian 2003-2006, Direktorat Pangan dan Pertanian Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasionai/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta.

35

pemahaman atas administrasi perbankan, tingginya biaya transaksi dan cara

pembayaran bulanan yang tidak sesuai dengan pendapatan petani yang musiman.22

Pemerintah harus bersedia menjadi penjamin bagi petani dan melakukan sosialisasi

kepada petani. Hal lain yang juga menjadi kendala adalah analisis kredit di lembaga

pembiayaan dibuat bukan oleh tenaga yang mengerti karakteristik pertanian.

Proporsi kredit perbankan untuk sektor pertanian sampai saat ini masih kecil, yaitu

di bawah 6 persen. Masih jauh lebih kecil dibandingkan kredit untuk sektor

perdagangan dan perindustrian. Ashari juga memberikan argumentasi penyebab

rendahnya alokasi kredit perbankan, yaitu: (1) perbankan memandang sektor pertanian

sangat berisiko sehingga sangat hati-hati dalam pemberian kredit; (2) pihak perbankan

trauma dengan pemberian Kredit Usaha Tani (KUT) di masa lalu yang terjadi kurang

baik; (3) banyak perbankan yang tidak mempunyai pengalaman menyalurkan kredit di

sektor pertanian; (4) dominasi usaha mikro kecil memiliki kelemahan dalam manajemen

dan pembukuan; serta (5) adanya risiko sosial dan status lahan yang kurang kondusif

bagi perbankan.23 Rendahnya alokasi kredit ini jug11 dapat disebabkan tidak adanya

kesepahaman antara Pemerintah dan lembaga pembiayaan. Pemerintah semestinya

memberikan insentif dan advokasi kepada lembaga pembiayaan agar lembaga

pembiayaan tidak ragu-ragu memberikan alokasi kredit yang lebih besar kepada petani.

Lembaga kredit, baik formal maupun informal, di tingkat desa sangat penting untuk

menutupi ketidakcukupan modal biaya usahatani dan kebutuhan lainnya. Pada

kenyataannya petani lebih akses ke lembaga informal yang menyediakan suku bunga

tinggi, sebaliknya petani kaya dan pelaku usaha besar lain seperti penggilingan padi,

pedagang saprotan dan pedagang hasil dapat akses ke lembaga kredit formal yang

menetapkan suku bunga rendah. Penomena ini sangat penting untuk dipelajari,

membuat kebijakan-kebijakan agar petani-petani dengan skala usaha kurang dari 2

hektar untuk tanaman pangan dan tidak memiliki ijin usaha bagi petani hortikultura,

peternak dan pekebun juga dapat akses ke lembaga formal yang menyediakan kredit

dengan suku bunga rendah.

Syukur dkk, (1990) menerangkan bahwa dalam menyusun skim kredit untuk

petani-petani dengan skala usaha kurang dari 2 hektar untuk tanaman pangan dan

tidak memiliki ijin usaha bagi petani hortikultura, peternak dan pekebun, lembaga

pembuat kebijakan harus mempertimbangkan karakteristik petani-petani dengan skala

usaha kurang dari 2 hektar untuk tanaman pangan dan tidak memiliki ijin usaha bagi

petani hortikultura, peternak dan pekebun sebagai pengguna seperti masih rendahnya

dalam dukungan aset, produktivitas, ketrampilan fisik, pendapatan, pendidikan dan luas

22 Anny Ratnawati. 2009. Mencari Alternatif Pembiayaan Pertanian, Makalah disampaikan pada Round Table Discussion: Mencari Alternatif Pembiayaan Pertanian, Kerjasama Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan FEM I PB, Jakarta, 16 April 2009.

23 Ashari, 2009. Peran Perbankan Nasional dalam Pembiayaan Sektor Pertanian di Indonesia, Forum Penelitian Agro Ekonomi, (27):1.

36

penguasaan lahan. Karena keterbatasan tersebut, karakteristik skim kredit yang

ditawarkan harus berada dalam batas-batas kemampuannya seperti penetapan jenis

agunan, bentuk kredit, periode kredit, cara pengembalian dan tingkat suku bunga kredit.

Selain itu permasalahan lain yang juga muncul terkait dengan lembaga perbankan

adalah: (1) jangkauan pelayanan kredit atau pembiayaan masih san gat terbatas; (2)

persyaratan aplikasi masih sangat rigid sehingga tidak semua masyarakat dapat

mengakses pinjaman yang disalurkan; (3) jangka waktu proses pencairan kredit relatif

lama karena adanya screening dan checking; (4) biaya transaksi dianggap masih terlalu

besar; (5} persyaratan agunan dengan menetapkan barang yang telah memiliki

kekuatan hukum formal sangat memberatkan; dan (6) penilaian terhadap nilai agunan

cenderung sangat underestimate sehingga dapat berpengaruh terhadap nilai pinjaman

yang diberikan.24 Selain itu, permasalahan lain yang juga muncul adalah: sosialisasi

dari lembaga perbankan yang sang at rendah, dan keharusan bergabung dalam

kelompok petani. Petani semestinya diberikan keleluasaan untuk memilih, bergabung

dalam kelompok atau mandiri. Di beberapa tempat, petani cenderung enggan

berkelompok disebabkan ketidakpercayaan kepada manajemen kelompok, dan

mekanisme pengawasan yang diterapkan. Petani beranggapan bahwa kelompok hanya

dimanfaatkan urtuk kepentingan pengurus.

Syukur dkk (1990) menemukan fakta dalam penelitiannya, bahwa penyediaan

agunan merupakan persyaratan yang paling sulit dipenuhi oleh pelaku usaha pertanian.

Apalagi jika agunan yang dipersyaratkan harus berupa sertifikat tanah atau bangunan.

Sehingga menjadi sulit bagi pelaku usaha pertanian untuk akses terhadap sumber

kredit formal.25 Apalagi bukti kepemilikan tanah atau lahan garapan yang dimiliki petani

tidak berupa sertifikat, tetapi hanya berupa "girik". Selain itu, mayoritas petani di pulau

Jawa hanya merupakan petani penggarap dan bukan petani pemilik.

Tabel2. Alokasi Penyaluran KreditPerbankan Nasional Tahun 2004-2009 ( Persen)

Sektor Ekonomi Tahun

2003 2004 2005 2006 2007 2008 Jan 2009 Pertanian 5,55 5,92 5,34 5,70 5,68 5,14 5,21 Pertambangan 1 '16 1,40 1 '17 1,78 2,62 2,46 2,46 Perindustrian 28,11 25,90 24,62 23,23 20,52 20,74 20,87 Perdagangan 19,24 20,21 19,53 20,63 21,64 19,85 19,51 Jasa listrik, Konstruksi, dan 20,35 7,80 7,50 8,51 26,10 10,69 10,64 Pengangkutan Jasa lain 25,59 38,77 41,83 40,16 40,68 41 '11 41,32

Total 100 100 100 100 100 100 100 . . Sumber: Stat1st1k Perbankan Indonesia .

24 Nurmanaf, Endang Hastuti, Ashari, Supena Friyatno, dan Bambang Wiryono. 2006. Analisis Sistem Pembiayaan Mikro dalam Mendukung Usaha Pertanian di Perdesaan, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogar.

25 Mat Syukur, Endang Hastuti, Soentoro, Adang Supriatna, Supadi, Sumedi, dan Bambang W.O. Wicaksono. 2002. Kajian Pembiayaan Pertanian Mendukung Pengembangan Agribisnis dan Agroindustri di Perdesaan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogar.

37

Tabel 2 terlihat bahwa selama periode tahun 2003 sampia dengan Januari tahun

2009, alokasi kredit untuk sektor pertanian hanya berkisar antara 5,14-5,92 persen.

Besaran pangsa sektor pertanian masih selalu di bawah sektor perindustrian,

perdagangan dan jasa. Ashari menduga hal ini terkait dengan strategi penyaluran kredit

perbankan yang lebih diarahkan pada kredit berisiko rendah26.

Sekitar 55 persen petani lndonesia27, merupakan petani-petani gurem yang

diklasifikasikan sebagai masyarakat miskin berpendapatan rendah. Keberadaan kredit

benar-benar dibutuhkan oleh petani untuk tujuan produksi, pengeluaran hidup sehari­

hari sebelum hasil panen terjual dan untuk pertemuan sosial lainnya. Dikarenakan

penguasaan lahan tergolong sempit, upah yang mahal dan kesempatan kerja terbatas

di luar musim tanam, sebagian besar petani tidak dapat memenuhi biaya hidupnya dari

satu musim ke musim lainnya tanpa pinjaman. Kredit sudah menjadi bagian hidup, bila

kredit tidak tersedia tingkat produksi dan pendapatan usahatani akan turun drastis. Kita

harus mencontoh Thailand yang memberikan kredit pertanian yang berbunga rendah

dan tanpa agunan, terutama yang disediakan oleh BAAC28• Dalam hal penyaluran kredit

perbankan, intervensi Pemerintah Thailand relatif kecil, kecuali dalam hal penyaluran

kredit pertanian yang tetap diintervensi oleh Pemerintah dengan berbagai kebijakan,

walaupun pihak perbankan memiliki komitmen yang tinggi untuk menjalankan kebijakan

terse but.

Kebijakan Pemerintah mengenai permodalan bagi petani kecil dilakukan melalui

kelompok dalam bentuk Bantu an Langsung Masyarakat (BLM), sedangkan bagi petani

yang tidak mampu dilakukan dengan bunga komersial melalui skim Kredit Ketahanan

Pangan-Energi dan Program Kemitraan Bina Lingkungan dari penyisihan laba BUMN.29

Sedangkan kebijakan Bank Indonesia dalam memberikan sejumlah fasilitasi,

diantaranya adalah pola pembiayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM),

pengembangan UMKM melalui pengembangan klaster, dan program pengembangan

inti plasma, serta fasilitasi percepatan dan pemberdayaan ekonomi daerah?0

Dengan memperhatikan peluang dan potensi yang ada, bank pertanian bukan

sesuatu kemustahilan untuk dapat diwujudkan. Apalagi beberapa negara juga telah

menerapkannya, seperti Malaysia, Thailand, Korea, dan China yang telah berhasil

mengelola bank pertanian sejak puluhan tahun yang lalu dan memberikan kontribusi

nyata bagi sektor pertanian di negaranya. Selain itu bukti empiris menunjukkan jika

ternyata petani mampu membayar jasa finansial (bunga) yang cukup tinggi. Potensi

26 Ashari, op cit. 27 BPS dan Kementerian Pertanian, 2010. 28 Made Antara, op cit. 29 Mat Syukur, Mencari Alternatif Pembiayaan Pertanian, Makalah disampaikan pada Round Table

Discussion: Mencari Alternatif Pembiayaan Pertanian, Kerjasama Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan FEM IPB, Jakarta, 16 April 2009.

30 Ashari, op cit.

38

repayment tersebut sebaiknya diiringi dengan memberikan kemudahan dalam prosedur

pemberian kredit. Contohnya dengan adanya divisi bank retail atau mikro bersegmen

khusus petani dengan sistem 'jemput bola' sehingga ada petugas bank yang secara

profesional menjelaskan skim kredit dan sekaligus mempermudah proses

administrasinya bagi petani. Sedangkan beberapa skenario rancang bangun bank

dapat dilakukan, antara lain: (1) pendekatan pola pend irian credit-agricole Perancis, (2)

pola pendirian bank Bukopin, (3) Foreign Direct Investment, (4) mendorong bank BUMN

menjadi bank pertanian, dan (5) memanfaatkan lembaga keuangan yang tumbuh dan

berkembang di tingkat lokal (seperti koperasi dan LKM). Alternatif-alternatif tersebut

perlu kajian untuk mengetahui biaya dan manfaatnya.31

Dalam konteks ini, pembentukan bank pertanian dilakukan dengan cara

mendorong Bank Rakyat Indonesia (BRI) menjadi bank pertanian. Hal ini dilakukan

karena jaringan Bank BRI sudah sangat luas, sampai ke desa, dan dari sejarah

pendiriannya Bank BRI telah melayani petani sejak dulu.

Di samping pengembangkan bank pertanian, lembaga keuangan bukan bank,

seperti pegadaian, juga harus tetap dikembangkan oleh Pemerintah untuk memberikan

pilihan pembiayaan bagi petani. Eksistensi bank pertanian dan lembaga keuangan

bukan bank diharapkan mampu mengurangi ruang gerak lintah darat di wilayah

perdesaan, khususnya pada sektor pertanian.

Jika demikian maka persoalannya berada di kemauan Pemerintah. Diakui, pertanian

memang memiliki risiko tinggi. Menjadi tugas Pemerintah untuk mengecilkan risiko itu,

di antaranya dengan memberikan regulasi yang mell)ihak kepada sektor pertanian agar

muncul kepercayaan pihak bank kepada petani dan sektor pertanian. Keberpihakan

Pemerintah terhadap sektor pertanian memberikan pengaruh sangat signifikan sebagai

benteng bank untuk meminjamkan kreditnya kepada petani.

2. Lembaga Pembiayaan Petani

Selain Bank Bagi Petani, Pemerintah juga membentuk Lembaga Pembiayaan

Petani. Jika Bank Bagi Petani diperuntukkan bagi petani yang sudah feasible dan

bankable, maka LPP dibentuk untuk melayani kebutuhan modal bagi petani yang belum

feasible dan bankable. Oleh karena itu, pembentukan lembaga baru ini dilakukan

dengan melebur lembaga keuangan atau pembiayaan pertanian yang sudah ada saat

ini, seperti Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis. Modal awal bagi LPP sebesar Rp6

triliun.

Pembentukan LPP ini untuk mengatasi permasalahan permodalan bagi petani,

khususnya petani-petani dengan skala usaha kurang dari 2 hektar untuk tanaman

pangan dan tidak memiliki ijin usaha bagi petani hortikultura, peternak dan pekebun.

31 Ashari dan Supeno Friyatno. 2006. Perspketif Pendirian Bank Pertanian di Indonesia. Forum Penelitian Agro Ekonomi, 24(2): hal 120.

39

Untuk membiayai usaha tani, pada umumnya petani masih kesulitan mengakses kredit

dari dunia perbankan. Hal ini disebabkan sifat usaha tani yang memiliki risiko tinggi.

Dari total kredit perbankan secara nasional sebesar Rp1.397 triliun dan kredit sektor

pertanian hanya sebesar Rp77 triliun atau sebesar 5,5 persen. Padahal, kontribusi

sektor pertanian terhadap PDB adalah besar. Share kredit sektor pertanian hanya

sekitar 9 persen terhadap PDB pertanian, yang mencapai Rp713 triliun pada 2008.

Kondisi tersebut menunjukkan jika banyak kegiatan sektor pertanian yang dibiayai

sendiri.32

Di Indonesia, petani selalu digambarkan sebagai sosok yang kumuh, tidak

berdaya, lemah modal, rendah pendidikan, kurang inisiatif, dan lain-lain. Gambaran

inilah yang sering mempengaruhi jalan pikiran para pemegang kebijakan dalam

mengambil keputusan, khususnya menyangkut penyaluran kredit kepada petani. Prinsip

keberhati-hatian perbankan terlihat sangat ditegakkar:1. Pertanian sering diianggap tidak

menarik oleh dunia perbankan, karena umumnya bisnis pertanian hanya dilihat on farm­

nya, yang memang didominasi petani-petani dengan skala usaha kurang dari 2 hektar

untuk tanaman pangan dan tidak memiliki ijin usaha bagi petani hortikultura,· peternak

dan pekebun. Petani gurem seperti itulah yang kerap dipandang sebelah mata oleh

pebisnis dan perbankan sebagai yang tidak bankable. Tetapi, bila bisnis pertanian

dilihat secara utuh sampai ke off farm, maka akan terlihat begitu besar potensi yang

dikandung sektor pertanian. Banyak perusahaan yang termasuk agroindustri atau

perusahaan pengolahan yang berbahan baku ·produk pertanian. Persoalannya adalah

penghasil produk primer (bahan baku) pertanian sebagian besar adalah petani-petani

dengan skala usaha kurang dari 2 hektar untuk tanaman pangan dan tidak memiliki ijin

usaha bagi petani hortikultura, peternak dan pekebun. lnilah yang sering dipandang

sebagai pelaku bisnis yang non-bankable.

Fungsi kredit yang strategis dalam pembanguan sektor pertanian dan perdesaan

digunakan Pemerintah, termasuk di banyak negara, sebagai salah satu instrumen untuk

meningkatkan kesejahteraan petani. Kredit dianggap menjadi salah satu alat yang

mampu memutus 'lingkaran setan' dari masyarakat pendapatan rendah, sehingga

mereka akan dapat mengakses sarana produksi lebih baik, kemudian produktivitas

usahatani menjadi meningkat, dan pada akhirnya pendapatan yang rendah dapat

meningkat.33 Agar kredit mikro dengan tingkat bunga yang rendah mampu menurunkan

kemiskinan petani, usahatani tersebut harus didorong menjadi usaha yang profitable,

32 Menteri Keuangan. 2010. RUU Pembiayaan Pertanian Disiapkan. Kompas 12 Januari 2010. Serial Online, http://docs.googte.com/viewer?a=v&q=cache:KdDPB6BxCRAJ:perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file%3Ffile%3 Ddigital/92711-%2558 _Konten _ %255D-RUU%2520Pembiayaan%2520pertanian.pdf+direktorat+ pembiayaan+pertanian+kredit&hl=id&gl=id&pid=bl&srcid=ADGEEShUml1sj1ZLikfdY3yDuT3LqMN301vL7wuzOJ OgtbxhXns62F8s1 KWOdv04nne_82DgihbSni9UOBqzulx6r7 _eTR1JI1ZCY7B1VBDv4oNHuZxyetUer_X1Q-EiZX­Dr5rJi8CB&sig=AHIEtbRMT-2ymUz21S7kudWCRVuiAewj2Q. Diakses tanggat 3 Mei 2011.

33 Ashari dan Supeno Friyatno. 2006. Perspketif Pendirian Bank Pertanian di Indonesia. Forum Penelitian Agro Ekonomi, 24(2): hat 108.

40

sehingga petani dapat mengakses tingkat bunga rendah pada awal aktivitas usahatani

di daerah perdesaan?4 Oleh sebab itu berdasarkan penjelasan di atas menunjukkan

bahwa bank pertanian memiliki fungsi tidak hanya melindungi petani dari permasalahan

akses permodalan dan pembiayaan usahatani, tatapi juga untuk memberdayakan

petani yang bersakala besar dan petani-petani yang skala usaha kurang dari 2 hektar

untuk tanaman pangan dan tidak memiliki ijin usaha bagi petani hortikultura, peternak

dan pekebun sehingga usahataninya menjadi berkembang.

E. Badan Usaha Milik Petani

Salah satu kelembagaan ekonomi petani yang sangat potensial untuk

dikembangkan dalam rangka memberdayakan petani adalah Badan Usaha Milik Petani

(BUMP). Adanya insentif ekonomi akan menj?di salah satu alasan bagi petani-petani

dengan skala usaha kurang dari 2 hektar untuk tanaman pangan dan tidak memiliki ijin

usaha bagi petani hortikultura, peternak dan pekebun khususnya, untuk berkumpul dan

berusaha tani sehingga skala usahanya menjadi feasible dan sekaligus bankable. Pada

dasarnya BUMP merupakan hibrida antara koperasi atau badan usaha. Semangat

koperasi secara alami akan terwujud melalui struktur kepemilikan perseroan (share)

yang melibatkan banyak petani (kelompok tani). Model BUMP ini diharapkan memiliki

kapasitas untuk me-leverage modalnya beberapa kali lipat, meningkatkan nilai tambah,

dan melakukan adu-tawar yang kuat dengan pihak mitra bisnisnya.35

BUMP yang dimiliki oleh, dari, dan untuk petani memiliki unit-unit usaha di bidang

pertanian yang dikelola secara swadaya petani. Sedangkan di sisi lain, BUMP di masa

mendatang juga dapat digunakan sebagai sarana pemberian bantuan subsidi benih dan

pupuk bagi petani serta alih teknologi. BUMP mempunyai fungsi melakukan kegiatan

usaha dari sarana produksi, pembiayaan, budidaya, panen dan pasca panen,

pengolahan, sampai dengan pemasaran hasil.

34 ADB. 2006. Indonesia, Strategic Vision for Agriculture and Rural Development. Asian Development Bank, Philippines, hal 69.

35 Agus Pakpahan. Badan Usaha Milik Petani Sebagai Sarana Gotong Royong Usaha untuk Kemajuan Petani. Serial Online, http:/ANww.Scribd.Com/Doc/8068961/Badan-Usa~a-Milik-Petaniktna, Diakses Tanggal 05 Mei 2011.

41

BAB Ill

EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT

Berbagai peraturan perundang-undangan yang ada mengenai Perlindungan dan

Pemberdayaan Petani, telah diatur secara parsial dan belum terintegrasi satu dengan

yang lain. Untuk mengetahui sejauh mana dan bagaimana masing-masing peraturan

perundang-undangan dimaksud, dalam pengaturan Perlindungan dan Pemberdayaan

Petani, dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya

Tanaman, terdapat 7 pasal yang berkaitan dengan perlindungan dan

pemberdayaan petani, yaitu:

a. Pasal6

(1) Petani memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan jenis tanaman dan

pemberdayaannya.

(3) Apabila pilihan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1 ), tidak dapat

terwujud karena ketentuan Pemerintah, maka Pemerintah berkewajiban

untuk mengupayakan agar petani yang bersangkutan memperoleh

jaminan penghasilan tertentu.

(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur lebih lanjut

dengan Peraturan Pemerintah.

b. Pasal26

(1) Kepada pemilik yang tanaman dan/atau benda lainnya dimusnahkan

dalam rangka eradikasi dapat diberikan kompensasi.

(2) Kompensasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1 ), diberikan hanya

atas tanaman dan/atau benda lainnya yang tidak terserang organisme

pengganggu tumbuhan tetapi harus dimusnahkan dalam rangka

eradikasi.

c. Pasal27

Ketentuan mengenai pengendalian dan er~dikasi dan organisms pengganggu

tumbuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 butir b dan butir c serta

ketentuan mengenai kompensasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal

26, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

d. Pasal30

Pemerintah wajib berupaya untuk meringankan beban petani-petani dengan

skala usaha kurang dari 2 hektar untuk tanaman pangan dan tidak memiliki

ijin usaha bagi petani hortikultura, peternak dan pekebun berlahan sempit

yang budidaya tanamannya gagal pailen karena bencana alam.

e. Pasal36

42

Pemerintah menetapkan harga dasar hasil budidaya tanaman tertentu.

f. Pasal37

(3) Pemerintah mengawasi pengadaan dan peredaran pupuk.

(4) Ketentuan mengenai tatacara pengawasan, pengadaan, dan peredaran

pupuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur lebih lanjut dengan

peraturan Pemerintah.

g. Pasal38

(1 ). Pestisida yang akan diedarkan di dalam wilayah Negara Republik

Indonesia wajib terdaftar, memenuhi standar mutu, terjamin

efektivitasnya, aman bagi manusia dan lingkungan hidup, serta diberi

label.

(2). Pemerintah menetapkan stan dar mutu pestisida sebagaimana dimaksud

dalam ayat (1 ), dan jenis pestisida yang boleh diimpor.

2. Di dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, lkan,

dan Tumbuhan terdapat 3 pasal yang berkaitan dengan perlindungan dan

pemberdayaan petani, yaitu:

a. Pasal1

Karantina adalah tempat, dan atau tindakan untuk mencegah keluar masuk

dan tersebarnya organisme pengganggu tumbuhan dan/atau penyakit hewan

menular.

b. Pasal14

(1) Terhadap media pembawa hama dan penyakit hewan karantina, hama

dan penyakit ikan karantina, atau organisme pengganggu tumbuhan

karantina dilakukan penahanan apabila setelah dilakukan pemeriksaan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, ternyata persyaratan karantina

untuk pemasukan ke dalam atau dari suatu area lain di dalam wilayah

Negara Republik Indonesia bel urn seluruhnya dipenuhi.

(2) Pemerintah menetapkan balas waktu pemenuhan persyaratan,

sebagaimana dimak~ud dalam ayat (1 ).

c. Pasal24

a. Jenis hama dan penyakit hewan karantina, hama dan penyakit ikan

karantina, dan organisme pengganggu tumbuhan karantina;

b. Jenis media pembawa hama dan penyakit hewan karantina, hama dan

penyakit ikan karantina, dan organisme pengganggu tumbuhan

karantina;

c. Jenis media pembawa hama dan penyakit hewan, karantina, hama dan

penyakit ikan karantina, dan organisme pengganggu tumbuhan

43

karantina yang dilarang untuk dimasukan dan/atau dibawa atau dikirim

dari suatu area lain di dalam wilayah Negara Republik Indonesia.

d. Pasal26

Pemerintah menetapkan tempat-tempat pemasukan dan pengeluaran

media pembawa hama dan penyakit ~ewan karantina, hama dan

penyakit ikan karantina, dan organisms pengganggu tumbuhan

karantina.

3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah

diu bah dengan Undang-Undan~ Nomor 1 0 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan terdapat pasal yang

berkaitan dengan perlindungan dan pemberdayaan petani, yaitu:

a. Pasal5

(1) Menu rut jenisnya, bank terdiri dari

a. Bank Umum;

b. Bank Perkreditan Rakyat.

(2) Bank Umum dapat mengkhususkan diri untuk melaksanakan kegiatan

tertentu atau memberikan perhatian yang lebih besar kepada kegiatan

tertentu.

b. Pasal12

Pemerintah dapat menugaskan Bank Umum untuk melaksanakan pro gram

Pemerintah guna mengembangkan sektor-sektor perekonomian tertentu, atau

memberikan perhatian yang lebih besar pada koperasi dan pengusaha

golongan ekonomi lemah atau pengusaha kecil dalam rangka meningkatkan

taraf hidup rakyat banyak, berdasarkan ketentuan yang diatur lebih lanjut

dengan Peraturan Pemerintah.

4. Di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan, terdapat 5 pasal

yang berkaitan dengan perlindungan dan pemberdayaan petani, yaitu:

a. Pasal4

(1) Pemerintah menetapkan persyaratan sanitasi dalam kegiatan atau

proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan/atau peredaran

pangan;

b. Pasal24

(1) Pemerintah menetapkan standar mutu pangan;

c. Pasal27

(1) Pemerintah menetapkan dan menyelenggarakan kebijakan di bidang gizi

sebagai perbaikan status gizi masyarakat

d. Pasal45

44

..•

(1) Pemerintah bersama masyarakat bertanggung jawab untuk mewujudkan

ketahanan pangan.

(2) Dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan, sebagaimana dimaksud

pada ayat (1 ), Pemerintah menyelenggarakan pengaturan, pembinaan,

pengendalian, dan pengawasan terhadap ketersediaan pangan yang

cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, bergizi, beragam, merata,

dan terjangkau oleh daya beli masyarakat.

e. Pasal48

(1) Untuk mencegah dan/atau menanggulangi gejolak harga pangan

tertentu yang dapat merugikan ketahanan pangan Pemerintah

mengambil tindakan yang diperlukan dalam rangka mengendalikan

harga pang an tertentu.

5. Di dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas

Tanaman (PVT), terdapat 2 Pasal yang berkaitan dengan perlindungan dan

pemberdayaan petani, yaitu:

a. Pasal6

(1) Pemegang hak PVT memiliki hak untuk menggunakan dan memberikan

persetujuan kepada orang atau badan hukum lain untuk menggunakan

varietas berupa benih dan hasil panen yang digunakan untuk propagasi.

b. Pasal8

(1) Pemulia yang menghasilkan varietas sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3) berhak untuk mendapatkan imbalan yang

layak dengan memperhatikan manfaat ekonomi yang dapat diperoleh

dari varietas tersebut.

6. Di dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, terdapat 7

Pasal yang berkaitan dengan perlindungan dan pemberdayaan petani, yaitu:.

a. Pasal18

(1) Pemberdayaan usaha perkebunan dilaksanakan oleh Pemerintah,

provinsi, dan kabupaten/kota bersatna pelaku usaha perkebunan serta

lembaga terkait lainnya.

(2) Pemberdayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. memfasilitasi sumber pembiayaan atau permodalan;

~. menghindari pengenaan biaya yang tidak sesuai dengan peraturan

perundang-undangan;

c. memfasilitasi pelaksanaan ekspor hasil perkebunan;

d. mengutamakan hasil perkebuna'1 dalam negeri untuk memenuhi

kebutuhan konsumsi dan bahan baku industri;

e. mengatur pemasukan dan pengeluaran hasil perkebunan; dan/atau

45

f. memfasilitasi aksesibilitas ilmu pengetahuan dan teknologi serta

informasi.

b. Pasal19

(1) Pemerintah, provinsi, kabupaten/kota mendorong dan memfasilitasi

pemberdayaan pekebun, kelompok pekebun, koperasi pekebun, serta

asosiasi pekebun beradasarkan jenis tanaman yang dibudidayakan

·untuk pengembangan usaha agribisnis perkebunan.

c. Pasal21

Setiap orang dilarang melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan

kebun dan/atau aset lainnya, penggunaan tanah perkebunan tanpa izin

dan/atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha

perkebunan.

d. Pasal22

(1) Perusahaan perkebunan melakukan kemitraan yang saling

menguntungkan, saling menghargai, saling bertanggung jawab, saling

memperkuat dan saling ketergantungan dengan pekebun, karyawan dan

masyarakat sekitar perkebunan.

(2) Kemitraan usaha perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

polanya dapat berupa kerjasama penyediaan sarana produksi,

kerjasama produksi, pengolahan dan pemasaran, transportasi,

kerjasama operasional, kepemilikan saham, dan jasa pendukung

lainnya.

e. Pasal27

(3) Pemerintah, provinsi, kabupaten/kota melakukan pembinaan dalam

rangka pengembangan usaha industri pengolahan hasil perkebunan

untuk memberikan nilai tambah yang maksimal.

f. Pasal36

(4) Pemerintah, provinsi, kabupaten/kota dan/atau pelaku usaha

perkebunan dalam hal tertentu menyediakan fasilitas untuk mendukung

peningkatan kemampuan pelaksana penelitian dan pengembangan

untuk menguasai dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi

perkebunan.

g. Pasal37

(1) Pemerintah, provinsi, kabupaten/kota memfasilitasi pelaksana penelitian

dan pengembangan, pelaku usaha perkebunan dan masyarakat dalam

mempublikasikan dan mengembangkan sistem pelayanan informasi

hasil penelitian dan pengembangan perkebunan, dengan

46

memperhatikan hak kekayaan intelektual sesuai dengan peraturan

perundang-undangan.

(2) Pemerintah memberikan perlindungan hak kekayaan intelektual atas

hasil invensi ilmu pengetahuan dan teknologi dibidang perkebunan.

7. Di dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial

Nasional, Undang-Undang ini mengatur mengenai jaminan sosial yang

merupakan salah satu bentuk jaminan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar

dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak. Namun demikian,

jangkauan pengaturannya hanya berwujud dalam bentuk jaminan sosial bagi

tenaga kerja, Pegawai Negeri Sipil (PNS), dan Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Selanjutnya jaminan tersebut diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara

Jaminan Sosial yang secara limitatif disebut dalam Undang-Undang Pasal 5 yaitu:

a. Persero Jamsostek;

b. Persero Taspen;

c. Persero Asabri; dan

d. Persero Askes.

Berarti setiap orang yang melakukan usaha termasuk usahatani tidak termasuk

jangkau~m pengaturan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004.

8. Di dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2006 tentang Pengesahan Perjanjian

lnternasional Mengenai Sumberdaya Genetik untuk Pangan dan Pertanian

mengamanatkan bahwa sumberdaya genetik tanaman yang telah dikelola oleh

komunitas petani di suatu daerah oleh Pemerintah wajib dilindungi oleh

Pemerintah dalam bentuk pengakuan atas hak kekayaan intelektual. Setiap orang

yang ingin mengakses sumberdaya genetik tersebut harus mendapat izin dari

Pemerintah Daerah dan memberikan manfaat ekonomi (benefit sharing) dari

pemuliaan sumberdaya genetik tersebut.

9. Di dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan

Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan, terdapat 2 pasal yang berkaitan dengan

perlindungan dan pemberdayaan petani, yaitu:

a. Pasal16

(2) Pas penyuluhan berfungsi sebagai tempat pertemuan para penyuluh,

pelaku utama, dan pelaku usaha untuk:

a. menyusun programa penyuluhan;

b. melaksanakan penyuluhan di desa atau kelurahan;

c. menginventarisasi permasalahan dan upaya pemecahannya;

d. melaksanakan proses pembelajaran melalui percontohan dan

pengembangan model usahatani bagi pelaku utama dan pelaku

usaha;

47

e. kepemimpinan, kewirausahaan, serta kelembagaan pelaku utama

dan pelaku usaha;

f. melaksanakan kegiatan rembug, pertemuan teknis, temu lapang, dan

metode penyuluhan lain bagi pelaku utama dan pelaku usaha.

b. Pasal19

(1) Kelembagaan pelaku utama beranggotakan petani, pekebun, peternak,

nelayan, pembudidaya ikan, pengolah ikan, serta masyarakat di dalam

dan di sekitar hutan yang dibentuk oleh pelaku utama, baik formal

maupun non-formal.

(2) Kelembagaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai fungsi

wadah proses pembelajaran, wahana kerja sama, unit penyedia sarana

dan prasarana produksi, unit produksi, unit pengolahan dan pemasaran,

serta unit jasa penunjang.

(3) Kelembagaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk

kelompok, gabungan kelompok, asosiasi, atau korporasi.

(4) Kelembagaan sebagaimana d.imaksud pada ayat (1) difasilitasi dan

diberdayakan oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah agar

tumbuh dan berkembang menjadi organisasi yang kuat dan mandiri

sehingga mampu mencapai tujuan yang diharapkan para anggotanya.

1 0. Di dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan

Bencana, Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban memberikan

perlindungan masyarakat termasuk petani terhadap kerugian akibat bencana alam

baik kerugian jiwa, fisik dan/atau berbagai usaha yang dilakukan masyarakat

termasuk petani. Kerugian usahatani biasanya tidak hanya pada usahanya tetapi

juga pada lahan usahanya sehingga diantisipasi sejak pra bencana, sampai saat

tanggap darurat dan pasca bencana. Oleh karena itu suatu keniscayaan bahwa

Pemerintah berkewajiban untuk melakukan perlindungan dan pemberdayaan

petani.

11 . Di dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan

Kesehatan Hewan, terdapat 11 pasal yang berkaitan dengan perlindungan dan

pemberdayaan petani, yaitu:

a. Pasal6

(2) Lahan yang telah ditetapkan sebagai kawasan penggembalaan umum

harus dipertahankan keberadaan dan kemanfaatannya secara

berkelanjutan.

(3) Pemerintah daerah kabupaten/kota yang di daerahnya mempunyai

persediaan lahan yang memungkinkan dan memprioritaskan budidaya

48

ternak skala kecil diwajibkan menetapkan lahan sebagai kawasan

penggembalaan umum.

(4) Pemerintah daerah kabupaten/kota membina bentuk kerja sama antara

pengusahaan peternakan dan pengusahaan tanaman pangan,

hortikultura, perikanan, perkebunan, dan kehutanan serta bidang lainnya

dalam memanfaatkan lahan di kawasan tersebut sebagai sumber pakan

ternak murah.

b. Pasal9

(1) Setiap orang yang melakukan pemanfaatan sumberdaya genetik

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) wajib membuat

perjanjian dengan pelaksana penguasaan negara atas sumberdaya

genetik yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat

(2).

(2) Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencantumkan, antara

lain, pembagian keuntungan dari hasil pemanfaatan sumberdaya genetik

yang bersangkutan dan pemberdayaan masyarakat sekitar dalam

pemanfaatannya.

c. Pasal10 ·.

(1) Pembudidayaan dan pemuliaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8

ayat (4) dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah daerah provinsi,

Pemerintah daerah kabupaten/kota, masyarakat, dan/atau korporasi.

(2) Pemerintah wajib melindungi usaha pembudidayaan dan pemuliaan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1 ).

d. Pasal13

(1) Penyediaan dan pengembangan benih, bib it, dan/atau bakalan

dilakukan dengan mengutamakan produksi dalam negeri dan

kemampuan ekonomi kerakyatan.

(2) Pemerintah berkewajiban untuk melakukan pengembangan usaha

pembenihan dan/atau pembibitan dengan melibatkan peran serta

masyarakat untuk menjamin ketersediaan benih, bibit, dan/atau bakalan.

(3) ·, Dalam hal usaha pembenihan dan/atau pembibitan oleh masyarakat

belum berkembang, Pemerintah membentuk unit pembenihan dan/atau

pembibitan.

e. Pasal29

Pemerintah berkewajtban untuk melindungi usaha peternakan dalam negeri

dari persaingan tidak sehat di antara pelaku pasar.

f. Pasal31

49

(1) Peternak dapat melakukan kemitraan usaha di bidang budi daya ternak

berdasarkan perjanjian yang saling memerlukan, memperkuat, dan

menguntungkan serta berkeadilan.

(2) Kemitraan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan:

a. antar peternak;

b. antara peternak dan perusahaan peternakan;

c. antara peternak dan perusahaan di bidang lain; dan

d. antara perusahaan peternakan dan Pemerintah atau Pemerintah

Daerah.

(3) Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan pembinaan kemitraan

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan memerhatikan ketentuan

peraturan perundang-undangan di bidang kemitraan usaha.

g. Pasal32

(3) Pemerintah dan Pemerintah Daerah membina dan memberikan fasilitas

untuk pertumbuhan dan perkembangan koperasi dan badan usaha di

bidang peternakan.

h. Pasal 44

(1 )' Pemberantasan penyakit hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

39 meliputi penutupan daerah, pembatasan lalu lintas hewan,

pengebalan hewan, pengisolasian hewan sakit atau terduga sakit,

penanganan hewan sakit, pemusnahan bangkai, pengeradikasian

penyakit hewan, dan pendepopulasian hewan.

(2) Pemerintah tidak memberikan kompensasi kepada setiap orang atas

tindakan depopulasi terhadap hewannya yang positif terjangkit penyakit

hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3) Pemerintah memberikan kompensasi bagi hewan sehat yang

berdasarkan pedoman pemberantasan wabah penyakit hewan harus

didepopulasi.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberantasan penyakit hewan

sebagaimana dimaksud pad a ayat (1) sampai dengan ayat (4) diatur

dengan Peraturan Menteri.

i. Pasal76

(1) Pemberdayaan peternak, usaha dibidang peternakan, dan usaha

dibidang kesehatan hewan dilakukan dengan memberikan kemudahan

bagi kemajuan usaha dibidang peternakan dan kesehatan hewan serta

peningkatan daya saing.

(2) Kemudahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

50

a. pengaksesan sumber pembiayaan, permodalan, ilmu pengetahuan

dan teknologi, serta informasi;

b. pelayanan peternakan, pelayanan kesehatan hewan, dan bantuan

teknik;

c. penghindaran pengenaan biaya yang menimbulkan ekonomi biaya

tinggi;

d. pembinaan kemitraan dalam meningkatkan sinergi antarpelaku

usaha;

e. penciptaan iklim usaha yang kondusif dan/atau meningkatan

kewirausahaan;

f. pengutamaan pemanfaatan sumberdaya peternakan dan

kesehatan hewan dalam negeri;

g. fasilitasi terbentuknya kawasan pengembangan usaha peternakan;

h. fasilitasi pelaksariaan promosi dan pemasaran;.dan/atau

i. perlindungan har.ga dan produk hewan dari luar negeri.

(4} Pemerintah dan Pemerintah Daerah bersama pemangku kepentingan di

bidang peternakan dan kesehatan hewan melakukan pemberdayaan

peternak guna meningkatkan kesejahteraan peternak.

(5} Pengembangan produk hewan yang ditetapkan sebagai bahan pangan

pokok strategis dalam mewujudkan ketahanan pangan.

j. Pasal77

(2} Pemerintah dan Pemerintah Daerah melindungi peternak dari perbuatan

yang mengandung unsur peme~asan oleh pihak lain untuk memperoleh

pendapatan yang layak.

(3} Pemerintah dan Pemerintah Daerah mencegah penyalahgunaan

kebijakan dibidang permodalan dan/atau fiskal yang ditujukan untuk

pemberdayaan peternak, perusahaan peternakan, dan usaha kesehatan

hewan.

(4) Pemerintah dan Pemerintah Daerah mencegah penyelenggaraan

kemitraan usaha dibidang peternakan dan kesehatan hewan yang

menyebabkan terjadinya eksploitasi yang merugikan peternak dan

masyarakat.

k. Pasal 81

Negara memberikan perlindungan terhadap hak kekayaan intelektual hasil

aplikasi ilmu pengetahuan dan invensi teknologi di bidang peternakan dan

kesehatan hewan.

51

12. Di dalam .Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan ;

Pertanian Pangan Berkelanjutan, terdapat 6 pasal yang berkaitan dengan

perlindungan dan pemberdayaan petani, yaitu:

a. Pasal34

(1) Setiap orang yang memiliki hak atas tanah yang ditetapkan sebagai

Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan berkewajiban:

b. memanfaatkan tanah sesuai peruntukan; dan

c. mencegah kerusakan irigasi.

(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku bagi pihak lain

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

b. Pasal35

(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan:

a. pembinaan setiap orang yang terikat dengan pemanfaatan Lahan

Pertanian Pangan ~erkelanjutan; dan

b. perlindungan terhadap Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.

c. Pasal37

Pengendalian lahan pertanian pangan berkelanjutan dilakukan oleh

Pe~erintah dan Pemerintah Daerah melalui pemberian:

a. insentif;

b. disinsentif;

c. mekanisme perizinan;

d. proteksi; dan

e. penyuluhan.

d. Pasal61

Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melindungi dan memberdayakan

petani, kelompok petani, koperasi petani, serta asosiasi petani.

e. Pasal62

(1) · Perlindungan petani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 berupa

pemberian jaminan:

a. harga komoditas pangan pokok yang menguntungkan;

b. memperoleh sarana produksi dan prasarana pertanian;

c. pemasaran hasil pertanian pangan pokok;

d. pengutamaan hasil pertanian pangan dalam negeri untuk

memenuhi kebutuhan pangan nasional; dan/atau

e. ganti rugi akibat gagal panen;

d. perlindungan sosial bagi petani-petani dengan skala usaha kurang

dari 2 hektar untuk tanaman pangan dan tidak memiliki ijin usaha

bagi petani hortikultura, peternak dan pekebun merupakan bagian

52

f. Pasal63

yang tidak terpisahkan dari sistem jaminan sosial nasional yang

diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Pemberdayaan petani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 meliputi:

a. penguatan kelembagaan petani·;

b. penyuluhan dan pelatihan untuk peningkatan kualitas sumber daya

manusia;

c. pemberian fasilitasi sumber pembiayaan atau permodalan;

d. pemberian bantuan kredit kepemilikan lahan pertanian;

e. pembentukan bank bagi petani;

f. pemberian fasilitas pendidikan dan kesehatan rumah tangga petani;

dan/atau

g. pemberian fasilitas untuk mengakses ilmu pengetahuan, teknologi, dan

informasi.

13. Di dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 201 0 tentang Hortikultura, yang

berkaitan dengan perlindungan dan pemberdayaan petani, diatur dalam Bab X

Pasa,l 112 dinyatakan bahwa pemberdayaan usaha hortikultura meliputi:

a. Penguatan kelembagaan pelaku usaha dan peningkatan kualitas sumberdaya

manusia;

b. Pemberian bantuan teknik penerapan teknologi dan pengembangan usaha;

c. Fasilitasi akses kepada lembaga pembiayaan atau permodalan;

d. Penyediaan data dan informasi;

e. Fasilitasi pelak~anaan promosi dan pemasaran;

f. Bantuan sarana dan prasarana hortikultura;

g. Sertifikasi kompetensi bagi perseorangan yang memiliki keahlian usaha

hortikultura; dan

h. Pengembangan kemitraan.

Pasal 113 menyatakan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban

memberdayakanp usaha hortikultura mikro kecil.

53

BABIV

LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS

A. Landasan Filosofis

Bhineka Tunggal lka, Pancasila, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)

merupakan filosofi dasar dari penyusunan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

yang sudah empat kali diamandemen, terakhir pada tahun 2002, merupakan landasan

filosofis dalam penyusunan Undang-Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.

Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

mengamanatkan bahwa perekonomian disusun bersama berdasarkan atas asas

kekeluargaan. Selanjutnya, bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di

dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran

rakyat. Berdasarkan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 tersebut, filosofis pembangunan pertanian diarahkan untuk mewujudkan

sebesar-besarnya kemakmuran petani.

Perlindungan dan pemberdayaan petani merupakan bagian dari upaya melindungi

dan mencerdaskan kehidupan petani dalam rangka meningkatkan kemandirian dan

kesejahteraan petani. Untuk mewujudkan cita-cita luhur tersebut, diperlukan peran dan

komitmen dari Pemerintah, masyarakat, swasta, dan pemangku kepentingan lainnya.

B. Landasan Sosiologis

Indonesia merupakan negara kepulauan, yang memiliki keragaman sosial,

budaya, dan bahasa. Oleh karena itu, perlindungan dan pemberdayaan petani harus

ditempatkan dalam konteks keragaman tersebut di atas, agar dapat diterima oleh

seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Perlindungan dan pemberdayaan petani tidak

hanya dilakukan dengan memperhatikan pertimbangan kesejahteraan, tetapi juga sosial

dan budaya yang melingkupi kehidupan petani dalam berusaha tani.

Sebagai negara kepulauan dengan jumlah penduduk terbesar nomor empat di

dunia, Indonesia memerlukan kestabilan sosial, budaya, ekonomi, politik, dan

keamanan sebagai upaya mewujudkan pembangunan pertanian yang berkelanjutan

menuju masyarakat yang adil dan makmur.

Banyaknya penduduk yang bekerja sebagai petani menyebabkan Iand-man ratio

semakin kecil. Hal ini berakibat rendahnya skala usaha ekonomi petani yang pada

akhirnya menyebabkan rendahnya pendapatan petani. Di negara maju, jumlah

penduduk yang bermata pencaharian di bidang pertanian berkisar lebih kecil atau sama

dengan satu persen.

54

Namun demikian, dari sisi usia, tenaga kerja pertanian yang berusia di atas 45

tahun mencapai sekitar 42 persen, dan diperkirakan akan meningkat di masa

mendatang. Sementara itu, generasi muda cenderung tidak tertarik bekerja disektor

pertanian. Kondisi ini menunjukkan peran, tantangan, dan permasalahan pertanian

dalam pembangunan ekonomi nasional akan semakin kompleks.

Untuk menjawab peran, tantangan, dan permasalahan pertanian tersebut, perlu

dilakukan upaya perlindungan dan pemberdayaan petani. Sebagai contoh, di beberapa

negara maju, seperti Jepang, Amerika Serikat, dan Taiwan yang jumlah petaninya

relatif kecil, perlindungan dan pemberdayaan petani dilakukan antara lain melalui

agrarian reform untuk meningkatkan kepemilikan lahan atau skala usaha,

pemberlakuan tarif impor yang tinggi bagi komoditas pertanian strategis,

pengembangan kelembagaan ekonomi petani di tingkat perdesaan, pemberian subsidi

input dan output dalam rangka meningkatkan daya s~ing produk pertanian.

C. Landasan Yuridis

Permasalahan perlindungan dan pemberdayaan petani dalam pembangungan

pertanian untuk mendukung ketahanan pangan dalam memenuhi kebutuhan pangan

yang merupakan hak dasar bagi masyarakat perlu diwujudkan secara nyata dan

mandiri.

Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Tahun

1945 pada alinea 2 menyatakan: "Dan perjuangan pergerakan Indonesia telah

sampailah pada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa menghantarkan rakyat

Indonesia kedepan pintu gerbang·· .kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka,

bersatu, berdaulat, adil, dan makmur", dan Alinea 4 menyatakan:"Dan kemudian dari

pada itu untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi

segenap bang~a Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan

kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan

ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan ... ".

Di dalam sila kelima Pancasila dan pembukaan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, secara jelas dinyatakan bahwa keadilan sosial bagi

seluruh rakyat Indonesia menjadi dasar salah satu filosofi pembangunan bangsa,

karenanya setiap warga Negara Indonesia, berhak atas kesejahteraan. Oleh karena itu

setiap warga Negara Indonesia berhak dan wajib sesuai kemampuannya ikut serta

dalam pengembangan usaha di bidang pertanian.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada Bab XIV

"Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial", Pasal 33 ayat (4) menyatakan:

"Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan asas demokrasi ekonomi

dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan

55

lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan

kesatuan ekonomi nasional".

Dalam Pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh

semua, untuk semua dibawah pimpinan atau pemil!kan anggota-anggota masyarakat.

Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan bukan kemakmuran orang- orang, sebab

perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.

Bentuk perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi.

Perekonomian berdasarkan demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi segala orang.

Oleh karena itu cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang

menguasai hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Kalau tidak, maka produksi

akan jatuh ke tangan orang-orang yang berkuasa dan rakyat dirugikan. Hal ini selaras

dengan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang

menyatakan bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai

oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Dalam upaya meningkatkan pendapatan dan taraf hidup petani serta memperluas

pemerataan kesempatan berusaha dan kesempatan kerja, diperlukan langkah-langkah

yang mendorong tumbuhnya kerjasama saling menguntungkan antara usaha berskala

kecil dengan yang berskala besar agar terbuka peluang bagi petani dan usaha kecil

turut masuk kedalam kepemilikan usaha skala besar melalui perlindungan dan

pemberdayaan petani.

Selain itu, terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang dapat

dijadikan acuan dan dalam rangka sinkronisasi terkait dengan substansi pengaturan

perlindungan dan pemberdayaan petani. Beberapa Undang-Undang tersebut

diantaranya:

1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Bagi Hasil Tanah Pertanian;

2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria;

3. Undang-Undang Nomor 56 PAP Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah

Pertanian:

4. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian;

5. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah

diu bah dengan Undang-Undang Nom or 1 0 Tahun 1998 tentang Perubahan

Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan,

6. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman;

7. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, lkan, dan

Tumbuhan;

8. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian;

56

9. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement

Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan

Organisasi Perdagangan Dunia);

1 0. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan;

11. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas

Tanaman;

12. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;

13. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air;

14. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan;

15. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan

Pembangunan Nasional;

16. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial

Nasional;

17. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2006 tentang Perjanjian lnternasional

Mengenai Sumberdaya Genetik Untuk Pangan dan Pertanian;

18. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan

Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan;

19. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan

Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 - 2025;

20. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana;

21. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang;

22. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan

Menengah;

23. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial;

24. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan

Hewan;

25. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi

Daerah;

26. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan

Pertanian Pangan Berkelanjutan; dan

27. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura.

57

BABV

JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LJNGKUP MATERI MUATAN UNDANG-UNDANG, PERATURAN DAERAH PROVINSI, ATAU PERATURAN

DAERAH KABUPATEN/KOTA

A. Perencanaan

Perencanaan perlindungan dan pemberdayaan petani merupakan bagian integral

dari perencanaan pembangunan pertanian nasional. Perencanaan perlindungan dan

pemberdayaan petani disusun berdasarkan kebutuhan petani yang diakibatkan oleh

permasalahan yang dihadapi petani, yang dilakukan mulai dari tingkat desa,

kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, dan nasional. Tata cara perencanaan

perlindungan dan pemberdayaan petani dilaksanakan dengan mengikutsertakan petani

dan pemangku kepentingan lainnya. Mekanisme perencanaan menggunakan metode

kombinasi antara bottom up dan top down. Perencanaan disusun dengan persyaratan

simple, measurable, attainable, reasonable and timely (SMART).

Perencanaan perlindungan dan pemberdayaan petani sekurang-kurangnya

memuat strategi, dan kebijakan, dengan mempertimbangkan kemampuan anggaran,

baik di pusat, provinsi, kabupaten/kota. Disamping itu, perlu dioptimalkan pemanfaatan

dana dari masyarakat/swasta antara lain berupa corporate social responsibility (CSR)

dan program kemitraan bina lingkungan (PKBL).

Kebijakan perlindungan dan pemberdayaan petani ditetapkan oleh Pemerintah

dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya dengan memperhatikan asas

dan tujuan per1indungan dan pemberdayaan petani. Dalam menetapkan kebijakan

perlindungan dan pemberdayaan petani, Pemerintah dan Pemerintah Daerah

memperhatikan ketentuan sebagai berikut: daya dukung sumber daya alam dan

lingkungan; kebutuhan sarana dan prasarana; kebutuhan teknis, ekonomis,

kelembagaan dan budaya setempat; perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;

dan tingkat pertumbuhan ekonomL

B. Perlindungan Petani

Perlindungan petani dilakukan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai

dengan kewenangannya. Strategi perlindungan petani melalui penyediaan prasarana

pertanian, kemudahan memperoleh sarana produksi, asuransi pertanian, dan jaminan

harga komoditas, utamanya diberikan kepada petani yang tidak mempunyai lahan yang

mata pencaharian pokoknya adalah melakukan usaha tani; petani yang mempunyai

lahan dan melakukan usaha budidaya tanaman pangan dengan skala usaha yang

didasarkan pada luas lahan paling banyak 2 hektar; dan/atau petani hortikultura,

pekebun, atau peternak yang tidak memerlukan izin usahapetani, sedangkan

perlindungan petani melalui penghapusan praktik ekonomi biaya tinggi, dan

58

pembangunan sistem peringatan dini dan penanganan dampak perubahan iklim

diberikan kepada petani, termasuk petani yang tidak mempunyai lahan yang mata

pencaharian pqkoknya adalah melakukan usaha tani; petani yang mempunyai lahan

dan melakukan usaha budidaya tanaman pangan dengan skala usaha yang didasarkan

pada luas lahan paling banyak 2 hektar; dan/atau petani hortikultura, pekebun, atau

peternak yang tidak memerlukan izin usaha.

C. Pemberdayaan Petani

Pemberdayaan petani dilakukan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai

dengan kewenangannya. Strategi pemberdayaan petani dilakukan melalui pendidikan

dan pelatihan, penyuluhan dan pendampingan, pengembangan sistem dan sarana

pemasaran hasil pertanian, pengutamaan hasil pertanian dalatn negeri untuk memenuhi

kebutuhan pangan nasional, konsolidasi lahan pertanian dan jaminan luasan lahan

pertanian, penyediaan fasilitas pembiayaan dan permodalan, kemudahan akses ilmu

pengetahuan, teknologi, informasi, dan penguatan kelembagaan petani. Pemberdayaan

petani diberikan kepada petani, termasuk petani yang tidak mempunyai lahan yang

mata pencaharian pokoknya adalah melakukan usaha tani; petani yang mempunyai

lahan dan melakukan usaha budidaya tanaman pangan dengan skala usaha yang

didasarkan pada luas lahan paling banyak 2 hektar; dan/atau petani hortikultura,

pekebun, atau peternak yang tidak memerlukan izin usaha.

D. Pembiayaan

Pembiayaan perlindungan dan pemberdayaan petani yang dilakukan oleh

Pemerintah bersumber dari APBN, sedangkan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah

bersumber dari APBD. Untuk pembiayaan yang dilakukan oleh pelaku usaha

bersumber dari dana pelaku usaha, dana lembaga pembiayaan, dana masyarakat, dan

dana lainnya yang sah. Untuk mewujudkan lembaga pembiayaan tersebut, Pemerintah

berkewajiban memfasilitasi bank bagi pertanian atau meningkatkan alokasi pembiayaan

sektor pertanian di bank konvensional dan lembaga keuangan bukan bank.

Pengamatan selama ini, petani mengalami kesulitan finansial dalam mengakses

kredit yang disediakan oleh perbankan. Pada sisi lain, perbankan mengalami kesulitan

dalam mencari petani sebagai nasabah yang layak diberikan kredit. Untuk mengatasi

permasalahan tersebut, Pemerintah perlu memfasilitasi terbentuknya Bank Bagi Petani

yang secara penuh melayani kebutuhan modal bagi petani. Bank tersebut harus

memenuhi pengaturan dalam Undang-Undang mengenai perbankan dan Undang­

Undang mengenai Bank Indonesia.

Selain bank bagi petani, Pemerintah membentuk Lembaga Pembiayaan Petani

(LPP) guna memenuhi kebutuhan modal bagi petani yang tidak mempunyai lahan yang

mata pencaharian pokoknya adalah melakukan usaha tani; petani yang mempunyai

lahan dan melakukan usaha budidaya tanaman pangan dengan skala usaha yang

59

didasarkan pada luas lahan paling banyak 2 hektar; dan/atau petani hortikultura,

pekebun, atau peternak yang tidak memerlukan izin usaha.

E. Pengawasan

Pengawasan dilakukan terhadap kinerja perencanaan dan pelaksanaan

perlindungan dan pemberdayaan petani. Pengawasan berbentuk pelaporan,

pemantauan dan evaluasi. Selain itu, pengawasan dilakukan secara berjenjang oleh

Pemerintah,., Pemerintah daerah provinsi, dan Pemerintah daerah kabupaten/kota

sesuaikewenangannya.

F. Peran serta Masyarakat

Masyarakat dapat berperan dalam perlindungan dan pemberdayaan petani. Peran

serta masyarakat dalam perlindungan petani di.lakukan melalui: memelihara prasarana

pertanian, mengutamakan konsumsi hasil pertanian dalam negeri, mencegah alih fungsi

lahan pertanian, melaporkan adanya pungutan yang tidak sesuai dengan peraturan

perundang-undangan, menyediakan bantuan sosial bagi petani yang mengalami

bencana, dan kepemilikan saham asuransi pertanian. Sedangkan peran serta

masyarakat dalam pemberdayaan petani dilakukan melalui: pendidikan non-formal,

pelatihan dan pemagangan, penyuluhan, penguatan kelembagaan petani dan

kelembagaan ekonomi petani, dan fasilitasi sumber pembiayaan atau permodalan.

60

BABVI

PENUTUP

Petani, sebagai pelaku utama pembangunan pertanian, sebagian besar didominasi

oleh petani-petani dengan skala usaha kurang dari 2 hektar untuk tanaman pangan dan

tidak memiliki ijin usaha bagi petani hortikultura, peternak dan pekebun yang bergerak

pada usaha budidaya (on farm). Hanya sebagian kecil pelaku utama pembangunan

pertanian yang berasal dari usaha menengah besar. Pada umumnya mereka

berkonsentrasi pada usaha hulu, hilir, dan jasa pendukung.

Selama ini, petani telah memberikan kontribusi yang nyata terhadap penyediaan

pangan bagi penduduk Indonesia, penyediaan bahan baku bagi industri, peningkatan

pada PDB atau PDRB, peningkatan devisa negara melalui ekspor produk pertanian,

penyediaan lapangan kerja, dan pelestarian lingkungan hidup.

Namun demikian, keberhasilan petani dalam mewujudkan ketahanan pangan,

ekonomi, sosial, politik, dan keamanan nasional belum diikuti dengan peningkatan

kesejahteraan mereka. Kondisi ini mencerminkan adanya ketidakadilan bagi petani

sebagai pelaku utama pembangunan pertanian, karena di dalam konstitusi

diamanatkan bahwa negara harus menjamin hak petani sebagai warga negara untuk

mendapatkan perlindungan, hidup layak, mengembangkan diri, berserikat dan

menyampaikan pendapat, dan hak memperoleh pendidikan.

Upaya untuk melindungi dan memberdayakan petani, juga merupakan upaya

untuk melindungi sektor pertanian Indonesia dari ancaman neo-liberalisasi global.

Pengaturan mengenai lahan, komoditas, pasar, sarana produksi, sistem informasi,

pembiayaan dan kelembagaan merupakan pengaturan terhadap pertanian secara

menyeluruh, dan termasuk sebagai upaya untuk revitalisasi sektor pertanian.

Di samping itu, Indonesia mempertegas komitmennya untuk menjamin

terselenggaranya hak asasi manusia, terutama hak atas kesejahteraan, hak

memperoleh keadilan, hak atas kebebasan pribadi, dan hak mengembangkan diri

sebagaimana telah diratifikasi kovenan internasional yang harus secara konkrit

diejawantahkan dalam berbagai Undang-Undang, program dan kegiatan sebagai

pelaksanaan dalam penegakan hak asasi manusia.

Untuk mewujudkan kesejahteraan petani sebagaimana diamanatkan dalam

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Dewan Perwakilan

Rakyat (DPR) perlu menyusun Undang~Undang tentang Perlindungan Dan

Pemberdayaan Petani sebagai landasan untuk menyelesaikan permasalahan petani.

Rancangan Undang..:Undang tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani terdiri

dari 117 Pasal dan 12 Bab.

61

Adapun pokok-pokok materi yang akan diatur dalam Rancangan Undang-Undang

tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani ini dapat digambarkan dalam

kerangka sebagai berikut:

BABI

BAB II

BAB Ill

KERANGKA RANCANGAN UNDANG-UNDANG

TENTANG PERLINDUNGAN DAN PEMBERDAYAAN PETANI

KETENTUAN UMUM (Pasal 1)

ASAS, TUJUAN, DAN LINGKUP PENGATURAN (Pasal 2-Pasal 4)

PER EN CANAAN (Pasal 5-Pasal 11)

BAB IV PERLINDUNGAN PETANI (Pasai12-Pasal40) Bagian Kesatu Umum (Pasal 12-Pasal 15) Bagian Kedua Prasarana Pertanian dan Sarana Produksi Pertanian (Pasal

Paragraf 1 Paragraf 2

Bagian Ketiga Bagian Keempat

Paragraf 1

16-Pasal 18) Prasarana Pertanian (Pasal 16-Pasal 18) Sarana Produksi Pertanian (Pasal 19-Pasal 21) Kepastian Usaha (Pasai22-Pasal24) Harga Kom,oditas Pertanian (Pasal 25-Pasal 32) Umum (Pasal 25 )

Paragraf 2 Paragra! 3

Tarif Bea Masuk Komoditas Pertanian (Pasal 26-Pasal28) Kawasan Pabean Pemasukan Komoditas Pertanian (Pasal 29-Pasal 31) Persyaratan Administrasi (Pasal 32) Asuransi Pertanian (Pasal 33-Pasal 37)

Paragraf 4 Bagian Kelima Bagian Keenam Bagian Ketujuh

Penghapusan Praktik Ekonomi Biaya Tinggi (Pasal 38) Pembangunan Sistem Peringatan Dini Dampak Perubahan lklim (Pasal 39-Pasal40)

BAB V PEMBERDAYAAN PETANI (Pasai41-Pasal85) Bagian Kesatu Umum (Pasal 41-Pasal 43) Bagian Kedua Pendidikan dan Pelatihan (Pasai44-Pasal47) Bagian Ketiga Penyuluhan dan Pendampingan (Pasal 48-Pasal 49) Bagian Keempat Pemasaran Hasil Pertanian (Pasal 50-Pasal 57) Bagian Kelima Konsolidasi dan Jaminan Luasan Lahan Pertanian (Pasal

Paragraf 1 Paragraf 2 Paragraf 3 Paragraf 4

58-Pasal68 Umum (Pasal 58) Konsolidasi Lahan Pertanian (Pasal 59-Pasal 60) Jaminan Luasan Lahan Pertanian (Pasal 61-Pasal 67) Pengaturan Lebih Lanjut (Pasal 68) Fasilitas Pembiayaan dan Permodalan (Pasal 73) Bagian Keenam

Bagian Ketujuh Akses llmu Pengetahuan, Teknologi, dan lnformasi (Pasal 7 4-Pasal 75)

Bagian Kedelapan Penguatan Kelembagaan Petani (Pasal 76-Pasal ) Paragraf 1 Umum (Pasal 76-Pasal 78) Paragraf 2 Kelembagaan Petani (Pasal 79-Pasal 86) Paragraf 3 Kelembagaan Ekonomi Petani (Pasal 87 -Pasal 88)

Bab VI PEMBIAYAAN (Pasai86-Pasal98) Bagian Kesatu Umum (Pasal 86-Pasal 87) Bagian Kedua Bank Bagi Petani (Pasal 88-Pasal94) Bagian Ketiga Lembaga Pembiayaan Petani (Pasal 95-Pasal 98)

Bab VII PENGAWASAN (Pasai99-Pasal101)

Bab VIII PERAN SERTA MASYARAKAT (Pasai102-Pasal105)

62

DAFTAR PUSTAKA

Buku

ADB. 2006. Indonesia, Strategic Vision for Agriculture and Rural Development. Asian Development Bank, Mandaluyong City.

Bappenas. 2006. Profil Pangan dan Pertanian 2003-2006, Direktorat Pangan dan Pertanian Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasionai/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta.

Ellis, F. 1992. Agricultural Policies In Developing Countries. Cambridge University Press. Cambridge

Kementerian Pertanian. 201 0. Rencana Strategis Kementerian Pertanian Tahun 2010-2014. Kementerian Pertanian, Jakarta.

Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian. 2011. Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta.

Internet

Menteri Keuangan. 2010. RUU Pembiayaan Pertanian Disiapkan. Kompas 12 Januari 2010. (http://docs.google.com/viewer?a=y&q=cache:KdDPB6BxCRAJ:perpustakaan.bapp enas.go.id/lontar/file%3Ffile%3Ddigitai/92711-%255B_Konten_%255D-R U U%2520Pembiayaan%2520pertanian.pdf+direktorat + pembiayaan+pertanian+kredit&hl=id&gl=id&pid=bl&srcid=ADGEEShUml1 sj1 ~LikfdY 3yDuT3LqMN301vL7wuzOJOgtbxhXns62F8s1 KWOdv04nne_82DgihbSni9UOBqzul x6r7 _eTR1 Jl1 ZCY781VBDv4oNHuZxyeiUer_X1 Q-EiZX­Dr5rJi8CB&sig=AHIEtbRMT-2ymUz21S7kudWCRVuiAewj2Q, diakses tanggal 3 Mei 2011 ).

Pakpahan, A. Badan Usaha Milik Petani Sebagai Sarana Gotong Royong Usaha untuk Kemajuan Petani. (http:/!Www.Scribd.Com/Doc/8068961 /Badan-Usaha-Milik-Petaniktna, diakses Tanggal 05 Mei 2011 ).

Pribadi, A. 2009. "Guncangan Ekonomi Tingkatkan Penduduk Miskin". (http://www.wartakota.eo.id/read/news/7614, diakses tanggal 18 Maret 2011 ).

Solihin, D. "Teori-Teori Pembangunan: Sebuah Analisis Komparatif'. 2005. (http://www.slideshare.net/DadangSolihin/teoriteori-pembangunan-sebuah-analisis­komparatif, diakses tanggal 02 Maret 2011 ).

www.detikpos.net. 2011. Merapi 15 November 201 o, Kerugian Akibat Erupsi Tembus Triliun. (http://www.detikpos.net/201 0/11 /merapi-15-november-201 0-kerugian-akibat.html, diakses tanggal 29 April 2011 ).

Laporan

BPS. 201 Oa. lndikator Ekonomi Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta.

BPS. 201 Ob. Perkembangan lndikator Utama Sosiai-Ekonomi Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta.

Makalah

Ashari dan S. Friyatno. 2006. Perspketif Pendirian Bank Pertanian di Indonesia. Forum Penelitian Agro Ekonomi, 24(2): 108.

PT. Media Data Riset. 2009. Studi Tentang: Optimalisasi lndustri Pupuk Menghadapi Krisis Pupuk di Indonesia. Survey and Reseacrh Service, Jakarta.

64

Ratnawati, A. 2009. Mencari Alternatif Pembiayaan Pertanian, Makalah disampaikan pada Round Table Discussion: Mencari Alternatif Pembiayaan Pertanian, Kerjasama Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan FEM IPB, Jakarta, 16 April 2009.

Suprapto, A. 2011. Program Pemberdayaan Masyarakat Tani. Badan Penulutuah dan Pengembangan SDM Pertanian. Disampaikan pada saat Penyusunan RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani 21 Maret 2011, Jakarta.

Syukur. M, E. Hastuti, Soentoro, A. Supriatna, Supadi, Sumedi, dan B. W. D. Wicaksono. 2002. Kajian Pembiayaan Pertanian Mendukung Pengembangan Agribisnis dan Agroindustri di Perdesaan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogar.

Tambunan, T. 2006. Apakah Pertumbuhan di Sektor Pertanian Sangat Krusial bagi Pengentasan Kemiskinan di Indonesia?. Kadin lndonesia-JETRO, Jakarta.

Tim Sintesis Kebijakan. 2008. Dampak Perubahan lklim terhadap Sektor Pertanian, serta Strategi Antisipasi da Teknologi Adaptasi. Pengembangan lnovasi Pertanian, 1(2): 138-140.

Zhai, F. and J. Zhuang. 2009. Agricultural Impact of Climate Change: A General Equilibrium Analysis with Special Reference to Southeast Asia. ADBI Working Paper No. 131. Asian Development Bank.

65