Upload
others
View
12
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
...
DRAFT
NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOM OR .... TAHUN ...•
TENTANG
PERLINDUNGAN DAN PEMBERDAYAAN PETANI
Diajukan oleh :
KOMISI IV DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
2011
A. Latar Belakang
BABI
PENDAHULUAN
Peran penting sektor pertanian di wilayah Asia Tenggara secara khusus dapat
dilihat dari kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar lebih dari 1 0
persen dan menyediakan lapangan pekerjaan lebih dari sepertiga jumlah
penduduknya.1 Sedangkan bagi Indonesia, meskipun peran sektor pertanian terhadap
PDB cenderung menurun namun sektor ini menampung jumlah tenaga kerja terbesar
(39,87 persen) dibandingkan sektor industri (12, 15 persen) dan jasa (20,68 persen)
pada tahun 201 0.2
Laju pertumbuhan penduduk sebesar 1 ,6 persen per tahun dan peningkatan
pendapatan masyarakat di masa yang akan datang, mengakibatkan meningkatnya
kebutuhan pangan, sandang, papan, dan energi. Petani dengan jumlah 43,03 juta
orang atau 41 , 18 persen dari total angkatan kerja tahun 20093 merupakan segmen
masyarakat yang mempunyai peran panting untuk memenuhi peningkatan kebutuhan
tersebut.
Peran strategis sektor pertanian lainnya ditunjukkan melalui perolehan devisa,
penyediaan pangan dan energi, penyerapan tenaga kerja (pro-job), mengurangi
kemiskinan (pro-poor), dan pelestarian lingkungan (pro-environment) serta dampak
ikutan keterkaitan input-output antar industri, konsumsi, dan investasi. Oleh sebab itu
tidak heran jika sektor pertanian juga dipandang sebagai sektor yang mampu untuk
memadukan pertumbuhan dan pemeratan atau mewujudkan pertumbuhan ekonomi
yang berkualitas. Dengan memperhatikan kondisi tersebut, fenomena dinamika global
yang terjadi, memperhatikan potensi dan peluang ~eunggulan geografis dan sumber
daya yang ada di Indonesia serta mempertimbangkan prinsip pembangunan
berkelanjutan, maka di dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan
Ekonomi (MP3EI) Tahun 2011-2025, Indonesia berusaha memposisikan diri sebagai
basis ketahanan pangan dunia, pusat pengolahan produk pertanian, perkebunan,
perikanan, dan sumber daya mineral serta pusat mobilitas logistik global. Dari 22
kegiatan ekonomi utama, 6 kegiatan di antaranya berkaitan sangat erat dengan sektor
pertanian (pertanian pangan, peternakan, perkayuan, kelapa sawit, karet, dan kakao ).4
Fan Zhai and Juzhong Zhuang. 2009. Agricultural Impact of Climate Change: A General Equilibrium Analysis with Special Reference to Southeast Asia. ADBI Working Paper No. 131. Asian Development Bank, hal. 1, 14, dan 15.
2 BPS. 2010a. lndikator Ekonomi Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta. BPS, 2010.
4 Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian. 2011. Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia. Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta.
1
Tingkat kemiskinan dan pengangguran di Indonesia masih tetap tinggi, dimana
sebagian besar berada di sektor pertanian5. Menu rut data BPS6 tahun 2010, angka
kemiskinan Indonesia mencapai 31,20 juta orang atau sebesar 13,33 persen, dimana
kemiskinan di perkotaan sebesar 9,87 persen dan di perdesaan sebesar 16,56 persen.
Oleh sebab itu fokus kebijakan Pemerintah seharusnya meningkatkan pertumbuhan
ekonomi dengan mendorong sektor pertanian.7 Selain itu peran sektor pertanian di
Indonesia seharusnya tidak dipandang hanya sebagai sektor pra kondisi dalam
pembangunan seperti dalam teori transformasi ekonomi ataupun teori dual ekonomi
Lewis.
Bagaimanapun juga· struktur ekonomi Indonesia hingga saat ini masih berfokus
pada sektor pertanian dan industri yang mengolah hasil alam. Pada sektor pertanian
terdapat tiga komponen utama yang meliputi lahan, komoditas, dan petani. Ketiga
komponen tersebut saling terkait, sehingga pengaturan mengenai masing-masing
komponen akan memberikan dampak terhadap pengaturan komponen lainnya dan
subyek pembangunan sektor pertanian yang berada di garis garda terdepan adalah
petani. Eksi~tensinya membawa konsekuensi terhadap upaya-upaya peningkatan
produksi komoditas pertanian yang penting bagi 'kelangsungan hidup masyarakat,
industri, dan negara, sehingga pengaturan terhadap petani akan melindungi seluruh
komponen penting dalam sektor pertanian.
Upaya-upaya untuk melindungi eksistensi petani Indonesia tidak hanya dalam
tataran nasional tetapi juga internasional, khususnya dari neoliberalisasi ekonomi dunia.
Perlindungan petani yang diejawantahkan dalam bentuk kebijakan dan regulasi
selayaknya tetap memperhatikan koridor kesepakatan dalam Organisasi Perdagangan
Dunia (World Trade Organization), yang telah diratifikasi dalam Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade
Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia). Beberapa
bentuk kebijakan yang dapat diberikan untuk melindungi kepentingan petani, antara lain
subsidi sarana produksi, penetapan tarif bea masuk, dan penetapan pintu masuk
barang impor. Penetapan tarif bea masuk didasarkan pada harga domestik, komoditas
strategis nasional dan lokal, serta produksi dan kebutuhan nasional. Selain itu, juga
dilakukan penetapan pintu masuk barang impor yang bertujuan melindungi sumberdaya
dan budidaya pertanian yang merupakan daerah produsen komoditas pertanian yang
.diusahakan petani. Penetapan pintu masuk barang impor komoditas pertanian
5
6
7
Ato Suprapto. 2011. Program Pemberdayaan Masyarakat Tani. Badan Penulutuah dan Pengembangan SDM Pertanian. Disampaikan pada saat Penyusunan RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani 21 Maret 2011, Jakarta. BPS. 201 Ob. Perkembangan lndikator Utama Sosiai-Ekonomi Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta. Pribadi, A. 2009. "Guncangan Ekonomi Tingkatkan Penduduk Miskin". Warta Kota Serial Online, http://www.wartakota.eo.id/read/news/7614. Diakses tanggal 18 Maret 2011.
2
dilakukan tidak boleh berdekatan dengan sentra produksi komoditas pertanian, dan
dilengkapi balai karantina.
Selain upaya-upaya perlindungan terhadap petani, upaya pemberdayaan juga
memiliki peran penting untuk mencapai kesejahteraan petani yang lebih baik.
Pemberdayaan dilakukan dengan memfasilitasi petani agar mampu mandiri dan
memiliki keuntungan kompetitif dalam berusaha tani. Beberapa kegiatan yang
diharapkan mampu menstimulasi petani agar lebih berdaya, antara lain pendidikan,
penyuluhan, pendampingan, akses petani terhadap sumber modal dan pembiayaan,
akses petani terhadap informasi dan teknologi, hingga kelembagaan petani dan
kelembagaan ekonomi petani.
Arti penting perlindungan dan pemberdayaan petani tersebut juga tidak terlepas
dari amanat Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Indonesia memiliki tanggung jawab untuk melindungi segenap bangsa Indonesia
dan memajukan kesejahteraan umum serta mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia. Perlindungan dan pembe~dayaan petani merupakan bagian dari
upaya melindungi segenap bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan ban gsa yang mendukung bagi · tercapainya tujuan
pembangunan nasional. Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat harus
mengupayakan peningkatan kapasitas petani agar menjadi petani yang mandiri dan
berdaulat.
B. ldentifikasi Masalah
Kerja keras petani ternyata belum diikuti oleh peningkatan kesejahteraan petani,
karena secara umum pembangunan sektor pertanian masih berorientasi pada
peningkatan produksi (production oriented) yang belum diikuti dengan pendekatan
peningkatan kesejahteraan petani. Kurangnya perhatian negara terhadap
kesejahteraan petani dan menganggap sektor pertanian sebagai sektor 'sebelah mata',
turut menambah petani menghadapi ketidakpastian berusaha tani.
ldentifikasi kondisi sosial ekonomi petani secara baik dapat menjadi masukan bagi
penentu kebijakan nasional. Berdasarkan data statistik ternyata sebesar 75,19 persen
petani hanya lulus pendidikan setingkat Sekolah Dasar (SD) atau tidak lulus SD,
sebesar 23,63 persen lulus pendidikan setingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama
(SLTP) dan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA), sebesar 1,18 persen lulus
pendidikan setingkat Perguruan Tinggi.8 Dengan latar belakang tingkat pendidikan dan
kompetensi yang rendah, kemampuan mengadopsi teknologi pertanian menjadi
berjalan lambat sehingga berakibat pada masih rendahnya produktivitas dan efisiensi
usaha tani. Jiwa kewirausahaan merupakan modal dasar kemampuan petani untuk
8 Kementerian Pertanian. Rencana Strategis Kementerian Pertanian Tahun 2010-2014.
3
mandiri dalam mengembangkan usaha taninya. Pada saat ini, tingkat ketergantungan
petani kepada Pemerintah masih sangat tinggi.
Pada umumnya petani masih berusaha tani untuk kepentingan keluarganya atau
bersifat subsisten dengan masih berorientasi pada produksi pertanian. Petani-petani
dengan skala usaha kurang dari 2 hektar untuk tanaman pangan dan tidak memiliki ijin
usaha bagi petani hortikultura, peternak dan .Pekebun, serta buruh tani (petani tanpa
memiliki tanah) dengan pendapatan terendah di sektor pertanian diidentifikasi sebagai
penyebab sebagian besar kemiskinan di perdesaan9. Kepemilikan lahan oleh petani
cenderung semakin sempit. Berdasarkan data BPS tahun 200310, bahwa rumah tangga
petani yang memiliki lahan kurang dari 0,5 hektar sebanyak 39,2 persen dan luas lahan
di antara 0,5-1,0 hektar sebanyak 18,4 persen. Hasil penelitian Pusat Sosial Ekonomi
dan Kebijakan Pertanian (PSEKP) pada tahun 2008 menunjukkan bahwa rataan
kepemilikan lahan petani di perdesaan sebesar 0,41 hektar di pulau Jawa dan sebesar
0,96 hektar di luar pulau Jawa.11 Di samping itu, alih fungsi atau konversi lahan
pertanian ke non-pertanian mempunyai implikasi yang . serius terhadap produksi
pangan, lingkungan fisik, serta kesejahteraan masyarakat pertanian dan perdesaan.
Alih fungsi lahan, kepemilikan lahan, dan fragmentasi lahan tersebut akan
mempengaruhi skala usaha tani oleh petani dalam rangka mencapai usaha budidaya
yang menguntungkan. Kondisi ini semakin diperparah dengan adanya hukum waris
tanah. Salah satu upaya yang dapat dilakukan Pemerintah adalah dengan
merevitalisasi reformasi agraria kembali sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 juncto Undang-Undang Nomor 56 PAP Tahun 1960 yang memungkinkan
petani mengelola lahan usaha tani 'yang lebih luas. Dengan kepemilikan Jahan yang
sempit dan pola pikir usaha tani yang masih subsisten maka akan membuat petani sulit
meningkatkan kesejahteraannya.
Usaha tani juga terkait erat dengan up stream dan down stream dalam sistem
agribisnis. Petani yang melakukan usaha tani memerlukan sarana produksi (contohnya
benih, pupuk, pestisida), dan alat-mesin pertanian (traktor, dan mesin pendingin) untuk
mendukung budidaya pertanian. Tahap selanjutnya, hasil komoditas pertanian tersebut
juga perlu segera dipasarkan karena sifatnya yang mudah busuk dan mudah rusak.
Ketersediaan input produksi yang tepat waktu, tepat cara, tepat jumlah, dan tepat
kualitas menjadi syarat wajib bagi upaya-upaya melindungi dan bahkan mendorong
peningkatan kesejahteraan petani.
Prasarana pertanian yang keberadaaannya saat ini sangat memprihatinkan adalah
jaringan irigasi teknis dan jaringan irigasi di perdesaan. Kurangnya pembangunan
9 Mason dan Baptist, 1996 dalam Tulus Tambunan. 2006. Apakah Pertumbuhan di Sektor Pertanian Sangat Krusial bagi Pengentasan Kemiskinan di Indonesia?. Kadin lndonesia-JETRO, Jakarta, hal. 8.
10 Tulus Tambunan. 2006. Apakah Pertumbuhan di Sektor Pertanian Sangat Krusial bagi Pengentasan Kemiskinan di Indonesia?. Kadin lndonesia-JETRO, Jakarta, hal. 8.
11 Kementerian Pertanian. Op cit.
4
waduk dan jaringan irigasi yang baru, serta rusaknya jaringan irigasi yang ada
mengakibatkan daya dukungnya sangat menurun. Prasarana usaha tani lainnya yang
sangat dibut~hkan oleh masyarakat dan pedagang komoditas pertanian, namun
keberadaannya sangat terbatas antara lain jalan usaha tani, jalan produksi, pelabuhan
yang dilengkapi dengan gudang berpendingin, laboratorium uji standar mutu, dan
terminal dan sub terminal agribisnis.
Pada down stream, petani sebagai produsen sering dihadapkan dengan hanya
satu atau beberapa pembeli (monopsoni atau oligopsoni) produk pertanian. Dengan
struktur pasar yang tidak sempurna tersebut, petani dieksploitasi oleh pembeli yang
terbatas sehingga harga yang diterima oleh petani sangat rendah (bergaining power
yang rendah). Pada struktur pasar seperti ini, petani hanya diposisikan sebagai price
taker. Sedangkan sebagai pembeli, petani sering dihadapkan hanya dengan satu atau
beberapa penjual (monopoli atau oligopoli) produk pertanian. Contoh lain dari struktur
pasar yang tidak sempurna, yaitu pada kasus kemitraan antara peternak dengan mitra
usahanya. Peternak sering dihadapkan pada situasi pasar oligopoli untuk input (pakan
ternak dan day on chicken atau DOC) bagi peternak dan pasar oligopsoni bagi produk
peternak (telur dan daging ayam). Dalam kasus ini, peternak kembali diposisikan
sebagai penerima harga di pasar input dan output, sehingga pendapatan peternak
san gat rendah.
Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa disparitas harga komoditas pertanian
di tingkat konsumen dan produsen· berfluktuatif sangat tajam. Sebagai contoh, pada
tahun 2010, harga cabai merah keriting di tingkat konsumen menjelang Hari Raya ldul
Fitri mencapai Rp70.000 per kg, sedangkan harga yang diterima petani hanya sebesar
Rp24.000 per kg. Contoh lain, harga daging sapi menjelang Hari Raya ldul Fitri sebesar
Rp70.000 per kg, sementara harga sapi yang diterima peternak sangat rendah, yaitu
sekitar Rp20.000 per kg berat hidup. Pada komoditas perkebunan, harga minyak
goreng di tingkat konsumen relatif stabil, sementara itu harga tandan buah segar kelapa
sawit di tingkat petani turun. Gambaran tersebut di atas menunjukkan bahvva margin
keuntungan lebih banyak dinikmati oleh pedagang antara dibandingkan dengan petani,
karena posisi tawar petani sangat rendah. '
Sub sistem lain yang tidak kalah pentingnya adalah sub sistem jasa penunjang,
seperti lembaga keuangan non-bank, perbankan, dan asuransi. Sub sistem ini berperan
untuk mendukung aliran kegiatan produksi tetap lancar dari up stream hingga ke down
stream. Pada kenyataannya dukungan lembaga keuangan atau perbankan dalam
menyalurkan kredit atau pembiayaan kepada petani relatif masih rendah. Syarat
feasible dan bankable usaha tani mempengaruhi lembaga keuangan dan perbankan
dalam menyalurkan kreditnya. Sekitar 55 persen petani memiliki skala usaha tani yang
dinilai oleh perbankan masih belum feasible dan belum bankable, sehingga perbankan
5
tidak tertarik menyalurkan kreditnya. Sekitar 35 persen petani yang dinilai oleh
perbankan sudah feasible tetapi belum bankable juga mengalami kesulitan untuk
mengakses permodalan dari perbankan, karena perbankan masih menilai bahwa usaha
tani yang dikelola oleh kelompok ini masih memiliki risiko tinggi. Walaupun Pemerintah
telah memberikan subsidi bunga kredit untuk meringankan beban petani pada skim
Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKP-E) dan Kredit Usaha Pembibitan Sapi
(KUPS) serta penjaminan bagi Kredit Usaha Rakyat (KUR), namun penyaluran kredit
program tersebut masih sangat rendah (baru 19 persen dari total plafon Rp19,2 trilun).
Pad a kasus kredit usaha pembibitan sapi (KUPS), yang suku bunganya disubsidi oleh
Pemerintah, dari total plafon sebesar Rp3,87 trilun hanya tersalurkan sebesar 3 persen.
Perbankan selama ini hanya tertarik menyalurkan kreditnya kepada usaha tani yang
feasible dan bankable yang jumlahnya tidak lebih dari 15 persen. Rendahnya
penyaluran kredit kepada sektor pertanian khususnya pada petani-petani dengan skala
usaha kurang dari 2 hektar untuk tanaman pangan dan tidak memiliki ijin usaha bagi
petani hortikultura, peternak dan pekebun tersebut, antara Jain disebabkan ole belum
ditetapkannya portofolio oleh otoritas perbankan sebagian besar petani belum mampu
memenuhi persyaratan bank yang· ditetapkan oleh perbankan (termasuk adanya
agunan dan birokrasi yang berbelit-belit). Hal tersebut salah satunya disebabkan belum
terbentuknya lembaga pembiayaan atau bank pertanian yang berpihak khusus kepada
petani dimana sahamnya dimiliki oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau pet~mi
itu sendiri. Hal ini juga menjadi salah satu alasan petani terpaksa dan lebih 'suka'
meminjam modal kepada rentenir (pelepas ua.ng) walaupun dengan bunga yang tinggi
untuk membiayai usaha taninya.
Aksesibiltas petani rendah pada informasi pasar jika dibandingkan dengan Badan
Usaha Milik Swasta (BUMS), Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik
Daerah (BUMD), dan Koperasi. Asimetris aksesibilitas terhadap informasi harga,
mengakibatkan harga yang diterima cenderung tidak menguntungkan petani.
Rendahnya aksesibilitas petani terhadap informasi teknologi dan sumberdaya lainnya
berakibat rendahnya penguasaan dan pemanfaatan teknologi dan sumberdaya lainnya
oleh petani. Kondisi ini berakibat rendahnya tingkat produktivitas, efisiensi, dan daya
saing usaha tani.
Kelembagaan petani sebenarnya dapat menjadi wadah yang ideal untuk
meningkatkan posisi tawar petani bahkan berfungsi sebagai unit penyedia sarana
produksi, unit usaha pengolahan, unit usaha pemasaran, dan unit usaha keuangan
mikro (simpan pinjam). Namun demikian, baik kelembagaan teknis seperti gapoktan
maupun kelembagaan ekonomi petani seperti koperasi tani dibentuk dengan
pendekatan top-down, yang notabene hanya untuk menangkap program dan fasilitas
yang disediakan Pemerintah. Pendekatan pembentukan kelembagaan seperti ini
6
akhirnya membuat dana yang disalurkan kepada kelompoktani dan gabungan
kelompoktani tidak berkembang sesuai yang diharapkan. Pada saat ini, asosiasi
asosiasi di · bidang pertanian tumbuh dan berkembang secara parsial di berbagai
komoditas, seperti Asosiasi Obat Hewan, Asosiasi Pengusaha Pakan Ternak, Asosiasi
Petani Tebu Rakyat, Asosiasi Petani Kelapa Sawit, .Gabungan Asosiasi Petani Kelapa
Sawit (GAPKI), Dewan Hortikultura Nasional, Paguyuban Petani Padi Organik, Dewan
Jagung. Asosiasi-asosiasi yang bersifat parsial ini lebih berorientasi kepada
kepentingan pengusaha dari pada memperjuangkan kemandirian dan kedaulatan
petani.
Keberadaan lembaga petani saat ini lebih bersifat budaya dan sebagian besar
berorientasi hanya untuk mendapatkan fasilitas Pemerintah, belum sepenuhnya
diarahkan untuk memanfaatkan peluang ekonomi melalui pemanfaatan aksesibilitas
terhadap berbagai informasi teknologi, permodalan dan pasar yang diperlukan bagi
pengembangan usahatani dan usaha pertanian. Di sisi lain, kelembagaan usaha yang
ada di perdesaan, seperti koperasi belum dapat sepenuhnya mengakomodasi
kepentingan petani atau kelompok tani sebagai wadah pembinaan teknis. Berbagai
kelembagaan petani yang sudah ada seperti Kelompok Tani, Gabungan Kelompok
Tani, Perhimpunan Petani Pemakai Air dan Subak dihadapkan pada tantangan ke
depan untuk merevitalisasi diri dari kelembagaan yang saat ini lebih dominan hanya
sebagai wadah pembinaan teknis dan sosial menjadi kelembagaan yang juga berfungsi
sebagai wadah pengembangan usaha yang berbadan hukum atau dapat berintegrasi
dalam koperasi yang ada di perdesaan.
Lembaga asuransi juga diperlukan pada sektor pertanian dan hingga sampai saat
ini tidak banyak lembaga asuransi yang tertarik untuk memberikan jaminan
Ketidaktertarikan lembaga asuransi terhadap sektor pertanian tersebut disebabkan oleh
risiko usaha sektor pertanian sangat tinggi dan sulit diprediksi dan belum adanya
landasan hukum yang mengatur asuransi pertanian. Oleh sebab itu untuk mendorong
tumbuhnya lembaga asuransi yang menjamin risiko usaha pertanian, diperlukan peran
Pemerintah., Asuransi pertanian tidak hanya mencakup jaminan terhadap
keberlangsungan usaha tani di masa mendatang, namun meliputi pula jaminan
terhadap kesehatan dan keselamatan jiwa petani itu sendiri.
Terjadinya biaya ekonomi tinggi disebabkan oleh banyaknya praktik pungutan liar
dan peraturan daerah pada tingkat kabupaten/kota maupun provinsi yang membebani
petani, sehingga biaya produksi meningkat. Sebagai akibatnya, harga komoditas
pertanian tidak mampu bersaing di pasar regional maupun internasional. Pada
umumnya, petani juga belum menerapkan tata cara budidaya pertanian, pengolahan,
pengepakan, dan pemasaran yang baik, yang mengakibatkan kualitas produk yang
dihasilkan rendah dan belum bisa menembus pasar modern.
7
Peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat ini masih bersifat parsial
dan hanya mengatur kepentingan sub sektor, antara lain: Undang-Undang Nomor 2
Tahun 1960 tentang Bagi Hasil Tanah Pertanian; Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960 tentang Pokok-Pokok Agraria; Undang-Undang Nomor 56 PRP Tahun 1960
tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian; Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992
tentang Usaha Perasuransian; Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang
Budidaya Tanaman; Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan,
lkan, dan Tumbuhan; Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan; Undang
Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman; Undang
Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air; Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang
Perkebunan; Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional; Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2006 tentang Perjanjian lnternasional
mengenai Sumberdaya Genetik untuk Pangan dan Pertanian (International Treaty on
Plant Genetic Resources for Food and Agriculture); Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan; Undang
Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana; Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang; Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah; Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2009 tentang Kesejahteraan Sosial; Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang
Peternakan dan Kesehatan Hewan; Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang
Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan; dan Undang-Undang No 13
Tahun 201 0 tentang Hortikultura.
Dengan diratifikasinya perjanijian dari Organisasi Perdagangan Dunia dengan
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1994 tentang Pengesahan Kyoto Protocol to The
United Nations Framework Convention on Climate Change (Protokol Kyoto atas
Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan lklim),
maka para pelaku usaha di bidang pertanian termasuk petani, harus mengikuti aturan
aturan perdagangan bebas yang dalam beberapa hal kurang berpihak kepada petani,
misalnya standardisasi produk, keamanan pangan, subsidi, dan tarif.
Pengenaan tarif masih diperbolehkan hanya 'untuk komoditas-komoditas yang
strategis dan penting bagi kelangsungan hidup suatu bangsa. Standarisasi produk
pertanian mengikuti program Standar Nasional Indonesia (SNI) dapat dijadikan
instrumen hambatan teknis perdagangan (Technical Barrier to Trade atau TBT) untuk
membendung produk-produk impor dan sekaligus meningkatkan daya saing produk
pertanian dalam negeri. Sementara itu, petani sebagai pelaku usaha di bidang
agribisnis belum mampu memenuhi standar produk yang diwajibkan di pasar global,
penerapan ketentuan keamanan pangan, penurunan subsidi, dan tarif. Oleh sebab itu
8
Pemerintah harus memiliki andil untuk memfasilitasi proses SNI bagi petani sehingga
mampu bersaing dengan petani luar negeri (farmer to farmer).
Faktor lingkungan yang berada di luar kendali petani dan pemangku kepentingan
lainnya adalah perubahan iklim global, bencana alam (gempa bumi, tsunami, banjir
bandang, dan kekeringan), dan eksplosi organisme pengganggu tumbuhan atau wabah
penyakit hewan menular. Namun, faktor lingkungan ini bisa diprediksi selama sistem
informasi dan data yang diperoleh akurat.
Perubahan iklim global menyebabkan tidak menentunya cuaca yang
mengakibatkan curah hujan ekstrim (La Nina) dan musim kemarau yang kering (E/
Nino) sehingga terjadinya kegagalan panen dan kerugian bagi petani. Kenaikan suhu
udara dan permukaan air laut berdampak luas terhadap sektor pertanian, contohnya
meningkatnya serangan hama dan penyakit atau serangan organisme pengganggu
tumbuhan. Seperti yang terjadi baru-baru ini adanya serangan ulat bulu di beberapa
daerah di Indonesia, seperti Pasuruan dan Probolinggo.
Indonesia termasuk negara yang berada dalam kawasan rawan gempa, baik
gempa bumi tektonik maupun vul.kanik. Kejadian gempa bumi vulkanik gunung Merapi
di Jawa Tengah dan Yogyakarta meluluhlantahkan sektor pertanian tanaman pangan,
hortikultura, peternakan, perkebunan, dan kehutanan yang menyebabkan kerugian dan
penderitaan bagi petani. Contohnya kerugian di empat kabupaten, yaitu Sleman,
Magelang, Klaten, dan Boyolali diperkirakan sebesar lebih dari Rp1 triliun. Kerugian
terbesar dialami oleh para petani salak pondoh y~ng diperkirakan mencapai sekitar
Rp200 miliar dengan luasan 1.400 hektar. Selain itu, sedikitnya 15 pasar tradisional di
Kabupaten Sleman, Yogyakarta, Klaten, Jawa Tengah lumpuh. Harga sayuran dan
sembako naik akibat terhambatnya distribusi dari dan ke daerah Yogyakarta 12. Bencana
alam lainnya adalah tsunami yang menimpa Aceh tahun 2004 dan kepulauan Mentawai
tahun 201 0, dimana juga telah merusak lahan pertanian dan membinasakan hewan
ternak. Banjir bandang dan kekeringan di berbagai wilayah Indonesia juga
menimbulkan kerugian bagi petani.
Oleh sebab itu, untuk mengatasi permasalahan tersebut di atas dan dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan petani, perlu disusun peraturan perundang-undangan
yang komprehensif, integratif, dan sistemik untuk melindungi dan memberdayakan
petani Indonesia.
C. Tujuan dan Kegunaan Kegiatan Penyusunan Naskah Akademlk
1. Tujuan
12 www.detikpos.net. 2011. Merapi 15 November 2010, Kerugian Akibat Erupsi Tembus Triliun. Serial Online, http://www.detikpos.net/201 0/11 /merapi-15-november-201 0-kerugian-akibat.html, diakses tanggal 29 April 2011.
9
a. Sebagai landasan ilmiah agar dapat memberikan arah, dan menetapkan
ruang lingkup bagi penyusunan Undang-Undang tentang Perlindungan dan
Pemberdayaan Petani.
b. Sebagai acuan dalam merumuskan pokok-pokok pikiran yang menjadi bahan
dasar Undang-Undang tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.
2. Kegunaan dan Manfaat
a. Menjadi dokumen resmi yang menyatu dengan konsep Undang-Undang
tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.
b. Memberikan pemahaman kepada mengenai urgensi konsep dasar dan
konsep hirarki peraturan perundang-undangan yang wajib diacu dan
diakomodasi dalam peraturan perundang-undangan tersebut.
c. Memberikan pemahaman mengenai pe.nyusunan peraturan perundang
undangan dengan mengacu dan mengakomodasi konsep dasar dan konsep
hirarki sebagaimana di atas.
d. Mempermudah perumusan asas-asas dan tujuan serta pasal-pasal yang
akan diatur dalam Undang-Undang tentang perlindungan dan pemberdayaan
petani.
D. Metode
Dalam penyusunan Naskah Akademis ini digunakan metode yuridis normatif
dengan menggunakan data sekunder berupa bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder, dan bahan tersier. Bahan hukum primer merupakan peraturan perundang
undangan yang terkait dengan hortikultura baik Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, maupun berbagai Undang-Undang terkait. Bahan
hukum sekunder terdiri dari Buku-buku, dan makalah yang terkait dengan substansi
hortikultura. sedangkan Bahan hukum tersier yang digunakan antara lain ensiklopedia,
kamus, maupun informasi dari berbagai lembaga yang terkait, seperti Badan
Pengembangan Sumber daya Manusia Kementerian Pertanian, Pemangku kepentingan
di bidang Perbankan dan Asuransi, Pengajar di Perguruan Tinggi, Petani, Asosiasi
Petani, dan Pakar.
Dalam penyusunan Naskah Akademis Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang
Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, tim penyusun melakukan penelitian dengan
pendekatan kualitatif untuk menganalisis aspek yuridis dalam penentuan kebijakan dan
strategi perlindungan dan pemberdayaan petani. Pengumpulan dan pengolahan data
dilakukan melalui:
1. lnventarisasi permasalahan yang dihadapi di lapangan dan identifikasi aspirasi
stakeholder dalam perlindungan dan pemberdayaan petani.
2. lnventarisasi peraturan perundang-undangan yang terkait.
10
3. Seminar, lokakarya, dan atau pertemuan untuk membahas perlindungan dan
pemberdayaan petani.
4. Pendangan narasumber untuk mendukung kegiatan perlindungan dan
pemberdayaan petani.
Berbagai data yang diperoleh selanjutnya diajukan sebagai referensi bagi
pengkajian data melalui forum diskusi dengan tim pakar dalam berbagai pertemuan
ilmiah serta dalam rapat dengar pendapat umum. Pengkajian dilakukan secara
deskrpitif analisis dan dilengkapi dengan berbagai pendekatan multidisipliner guna
memperoleh kajian yang komprehensif yaitu pendekatan filosofis guna memperoleh
pemahaman kerangka dasar pengaturan mengenai perlindungan dan pemberdayaan
petani, pendekatan sosiologis guna memperoleh data tentang kecenderungan
masyarakat secara umum terhadap kebutuhan Undang-Undang tentang perlindungan
dan pemberdayaan petani, dan selanjutnya diajukan pendekatan komparatif guna
memperoleh penilaian keunggulan dan kelemahan dari peraturan perundang-undangan
yang terkait dengan perlindungan dan pemberdayaan petani.
11
BAB II
KAJIAN TEORI DAN 'PRAKTIK EMPIRIS
A. Kajian Teoritis
Konteks perlindungan dan pemberdayaan petani minimal harus memberikan hak
dan kedaulatan kepada petani. Hak dan kedaulatan petani menurut ketentuan lembaga
swadaya masyarakat internasional sangat beragam. Menurut International Poverty
Center for Food Sovereignity, hak dan kedaulatan petani terdiri atas:
1 . Hak atas pangan: merupakan adopsi hak dasar atas pangan dan kebijakan
pertanian.
2. Akses terhadap sumber daya produktif: memudahkan akses petani kecil terhadap
sumber daya lahan, air, genetik dan sumber daya alam, dan reforma agrari.
3. Produksi pertanian agro-ekologi: model pertanian agro-ekologi yang berpusat di
komunitas dan keluarga.
4. Perdagangan dan pasar lokal.
Sedangkan menu rut Organisasi Petani Sedunia, La Via Campesina, hak dan
kedaulatan petani terdiri atas:
1. Pangan: Hak dasar manusia.
2. Reforma agraria: petani kecil dan tuna tanah memiliki dan mengontrol lahan.
3. Proteksi sumber daya alam: Manajemen sumber daya alam berkelanjutan,
konservasi keanekaragaman hayati.
4. Reorganisasi perdagangan pangan: pangan untuk pangan.
5. Mengakhiri kelaparan global.
6. Perdamaian sosial: hak bebas dari kekerasan, pangan bukan untuk senjata.
7. Demokrasi: petani kecil memiliki hak untuk menetapkan kebijakan pertanian pada
semua tingkatan.
Sedangkan dalam pertemuan petani internasional di Bali, tanggal 11-13 Maret
2011, menghasilkan rumusan mengenai hak dan kedaulatan petani yang terdiri atas:
1. Hak untuk belajar.
2. Hak untuk melakukan pemuliaan tanaman atau hewan.
3. Hak untuk mengembangkan benih dari berbagai sumber, baik publik maupun
swasta.
4. Hak untuk menyimpan benih.
5. Hak untuk memasarkan benih.
6. Hak untuk bebas dari kriminalisasi akibat Undang-Undang.
Dari ketiga sumber tersebut, hak dan kedaulatan petani Indonesia dirumuskan
dalam bentuk:
12
1. Hak atas sumber daya: kemudahan petani mengakses sumber daya alam,
peningkatan kapasitas atau kemampuan, dan mengakses sumber daya buatan.
Petani diberikan kemudahan untuk memperoleh air bagi irigasi, memperoleh
pendidikan dan keterampilan yang layak, serta dibangunnya sarana dan
prasarana produksi pertanian di kawasan pertanian.
2. Hak atas tanah: tanah merupakan faktor produksi penting dalam usaha tani.
Upaya yang dilakukan adalah: pemberian lahan pertanian seluas maksimal 4
hektar bagi petani yang mengusahakan lahan pertanian di lahan yang
diperuntukan untuk kawasan pertanian selama 5 (lima) tahun berturut-turut; atau
memberikan pinjaman modal bagi petani penggarap dan petani yang memiliki
lahan kurang dari 2 hektar untuk memiliki tanah negara maupun tanah milik pribadi
yang diusahakan, berdampingan, dan/atau lahan pertanian di tempat lain yang
luasannya lebih kecil.
3. Hak atas modal: pendirian Bank Bagi Petani sebagaimana disebutkan dalam
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan ~ertanian
Pangan Berkelanjutan dijelaskan secara lebih rinci dan pembentukan Lembaga
Pembiayaan Petani. Pembentukan dua lembaga ini diharapkan dapat menjawab
kebutuhan modal petani, yang sulit mengakses modal dari lembaga perbankan
konvensional.
4. Hak berdemokrasi: pembentukan kelompok tani, gabungan kelompok tani,
asosiasi, dan dewan komoditas pertanian oleh, untuk, dan dari petani membuat
petani memiliki akses untuk memperjuangkan kepentingannya.
5. Hak untuk memperoleh informasi: kemudahan mengakses informasi, baik
mengenai harga, fasilitas pembiayaan, teknologi, baik budidaya sampai pasca
panen, prakiraan iklim disediakan agar petani dapat meningkatkan kapasitasnya
berusaha tani.
6. Hak untuk bebas dari kriminalisasi akibat Undang-Undang: petani merupakan
warga masyarakat yang perlu dilindungi. Oleh karena itu, kegiatan petani selama
tidak mengganggu kepentingan dan ketertiban umum perlu dijaga. Kegiatan petani
hanya meliputi aspek pemuliaan tanaman, budidaya, produksi, pasca panen, dan
pemasaran.
Dalam konteks teori, perlindungan dan pemberdayaan petani diberikan hak
memperoleh: prasarana pertanian dan sarana produksi pertanian, kepastian usaha,
harga komoditas pertanian yang menguntungkan, asuransi pertanian, penghapusan
praktik ekonomi biaya tinggi, pendidikan dan pelatihan, penyuluhan dan pendampingan,
pengembangan pemasaran, luasan lahan pertanian, fasilitas pembiayaan dan
permodalan, kemudahan akses ilmu pengetahuan; teknologi dan informasi, serta
berorganisasi melalui kelembagaan.
13
Selain mengetahui hak dan kedaulatan petani, maka berdasarkan perspektif yang
lebih luas diperlukan pula pemahaman tentang peran sektor pertanian Indonesia,
khususnya terkait dengan perubahan struktur ekonomi Indonesia dari waktu ke waktu.
Kondisi tersebut secara komprehensif dapat mengetahui pentingnya peran sektor
pertanian dan petani terhadap pembangunan ekonomi di Indonesia serta sekaligus
mengetahui bagaimana keterkaitan sektor pertanian beririsan dengan sektor-sektor
lainnya. Oleh sebab itu, diperlukan dukungan teori pertumbuhan ekonomi. Secara
umum terdapat dua teori pertumbuhan ekonomi, yaitu (1) mazhab analitis yang
menekankan pada sebab akibat terjadinya pertumbuhan ekonomi dan (2) mazhab
historis yang menekankan tahapan dalam pertumbuhan ekonomi. Sedangkan
pembagian lain dilakukan berdasarkan waktu, sehingga muncul teori klasik dan
modern.
Perspektif dari transformasi struktur ekonomi terkait dengan peran sektor pertanian
banyak dipengaruhi oleh pandangan dari Lewis, Rosenstein-Rodan (1943), dan Rostow
(1960), di mana disebutkan jika pada awal pertumbuhan ekonomi suatu negara, sektor
pertanian subsisten sebagai sumber tenaga kerja dan sektor industri modern
menciptakan lapangan kerja baru, sehingga mengabsorbsi tenaga kerja sektor
pertanian. Model dual ekonomi ini menyebabkan perbedaan upah dan menjadi insentif
bagi urbanisasi, di sisi lain sektor modern hanya menyediakan pekerjaan terbatas
dengan upah di atas .rata-rata pasar Kondisi ini relatif masih banyak dijumpai di
Indonesia.
Menurut Tambunan, 2006, bahwa sektor pertanian merupakan sektor yang
memiliki hubungan yang paling kuat dan signifikan antara pertumbuhan output sektoral
(sektor industri dan perdagangan) dan penurunan kemiskinan. Sedangkan menurut
World development Report, 2009 bahwa semakin maju suatu negara yang dicirikan
dengan pendapatan per kapita yang semakin tinggi, sumbangan relatif sektor agribisnis
(agro-manufacturing dan agro-service) terhadap PDB juga semakin besar, sementara
itu kontribusi relatif sektor. pertanian terhadap total PDB justru semakin kecil. Oleh
sebab itu mengapa dalam struktur ekonomi di Indonesia, sumbangan sektor pertanian
sektor primer cenderung menurun dan industri pengolahan mengalami peningkatan.
l 1950an·l960an I l 1970an I I 1980an I I Awall980 • Awall990an
-. I I - I I I I .. . Pembangunan ekonoml • Transformasl . Kontrarevolusl pasar . Teorl pertumbuhan
bertahap (Pendekatan pembangunan ekonoml bebas neoklasik atau ekonoml baru linear) (Pendekatan perubahan neoliberaf . Menjefaskan ekuiffbrium . Rostow dan Harrod·Domar struktural) . Model paradlgma palsu jangka panjang . Lewis (Transformasi (kapltalisme) pertumbuhan ekonomi
struktural dan model dua • Teorl pembangunan blsa posltlf dan bervariasi sektor) dualistlk (negara kaya dan • Menjelaskan allran modal 14
mlskln) darl negara miskln ke
• Peran pemerlntah negara kaya mesklpun
menghambat capita/labor ratio nya oemban2unan ekonoml rendah
Gambar 1. Perkembangan Teori Pertumbuhan Ekonomi yang terkait dengan Sektor Pertanian
Sumber: Solihin, 200513 (dimodifikasi).
B. Praktik Empiris
Dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perlindungan dan
Pemberdayaan Petani perlu diketahui sejarah model pertanian Indonesia mulai dari
masa sebelum kemerdekaan Indonesia, masa orde lama, masa orde baru, masa
reformasi, dan periode sekarang. ,
1. Masa Sebelum kemerdekaan
Tahun 1811-1816: Sistem pajak tanah yang dikenalkan oleh Raffles telah
membawa beberapa persoalan terhadap kaum feodal Jawa di daerah-daerah
taklukan dan juga perubahan panting berupa sistem kepemilikan tanah oleh desa.
Kekecewaan para feodal terhadap sistem ini telah mendorong lahirnya
pemberontakan kerajaan. Pemberontakan ini kemudian lebih dikenal dengan
Perang Jawa atau perang Diponegoro.
Tahun 1830-1870: Era tanam paksa (cultuur stelsel) Gubernur Jenderal Johannes
van den Bosch mewajibkan setiap desa harus menyisihkan sebagian tanahnya (20
persen) untuk ditanami komoditas ekspor khususnya kopi, tebu, nila. Hasil
tanaman ini akan dijual kepada Pemerintah kolonial dengan harga yang sudah
dipastikan dan hasil panen diserahkan kepada Pemerintah kolonial. Penduduk
desa yang tidak memiliki tanah harus bekerja 75 hari dalam setahun (20 persen)
pada kebun-kebun milik Pemerintah yang menjadi semacam pajak. Pada
prakteknya peraturan itu dapat dikatakan tidak berarti karena seluruh wilayah
pertanian wajib ditanami tanaman laku ekspor dan hasilnya diserahkan kepada
pemerintahan Belanda. Wilayah yang digunakan untuk praktek cultur stelstel pun
tetap dikenakan pajak. Warga yang tidak memiliki lahan pertanian wajib bekerja
selama setahun penuh di lahan pertanian. Tanam paksa adalah era paling
13 Dadang Solihin. "Teori-Teori Pembangunan: Sebuah Analisis Komparatif'. 2005. (http://www.slideshare.net/DadangSolihin/teoriteori-pembangunan-sebuah-analisis-komparatif, diakses tanggal 02 Maret 2011).
15
eksploitatif dalam praktek ekonomi Hindia Belanda. Sistem tanam paksa ini jauh
lebih keras dan kejam dibanding sistem monopoli VOC karena ada sasaran
pemasukan penerimaan negara yang sangat dibutuhkan Pemerintah. Petani yang
pada jaman VOC wajib menjual komoditas tertentu pada VOC, kini harus
menanam tanaman tertentu dan sekaligus menjualnya dengan harga yang
ditetapkan kepada Pemerintah. Aset tanam paksa inilah yang memberikan
sumbangan besar bagi modal pada zaman keemasan kolonialis liberal Hindia
Belanda pada tahun 1835 hingga tahun 1940. Akibat sistem yang memakmurkan
dan menyejahterakan negeri Belanda ini, Van den Bosch seraku penggagas
dianugerahi gelar Graaf oleh raja Belanda, pada 25 Desember 1839.
Tahun 1870: Lahirnya hukum agraria kolonial yang tertuang dalam Agrarische
Wet tahun 1870. Dalam aturan ini dijamin adanya Hak Erfpacht sampai selama 75
tahun, dan menjamin pemegang hak itu untuk menggunakan Hak Eigendom, serta
memberi peluang kepada mereka dapat menggunakan tanahnya sebagai agunan
kredit. Lahirnya Agrarische Wet tahun 1870 dipengaruhi dan atas desakan
kepentingan pemilik modal swasta Belanda untuk berbisnis perkebunan besar di
negeri jajahannya. Sebelumnya, di masa culturrstelsel, mereka hanya dibolehkan
sebatas menyewa tanah. Dampak dari hukum kolonial. terhadap rakyat tani
Indonesia, hanya menghadirkan sejarah kelam kemelaratan, kemiskinan,
keterbelakangan dan penindasan.
Tahun 1890: Dimulainya "Politik Etnik", yaitu gerakan oposisi kaum sosialis di
Belanda yang kemudian berpengaruh kepada golongan-golongan Belanda-Hindia
juga. Yaitu mulai diterapkan pelayanan kesehatan umum yang lebih baik,
memperluas kesempatan menempuh pendidikan, serta memberikan otonomi desa
yang lebih besar.
Tahun 1918: Berdiri Balai Besar Penyelidikan .Pertanian (Aigemeen Proefstation
voor den Landbouw), yang kemudian semenjak tahun 1949 menjadi Jawatan
Penyelidikan Pertanian, lalu tahun 1952 menjadi Balai Besar Penyelidikan
Pertanian atau General Agriculture Experiment Station (Aigemeen Proefstation
voor den Landbouw). Selanjutnya tahun 1966 menjadi Lembaga Pusat Penelitian
Pertanian, tahun 1980 berubah lagi menjadi Balai Penelitian Tanaman Bogor
(Balittan), tahun 1994 menjadi Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan
(Balitbio), tahun 2002 menjadi Balai Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya
Genetik Pertanian (Balitbiogen), dan terakhir tahun 2003 berganti nama menjadi
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik
Pertanian (BB-Biogen)
2. Masa Orde Lama
16
Tahun 1960: Lahirnya UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok
pokok Agraria (UUPA) yaitu tanggal 24 September 1960. Kelahiran UUPA melalui
proses panjang, memakan waktu 12 tahun. Dimulai dari pembentukan "Panitia
Agraria Yogya" (1948), "Panitia Agraria Jakarta" (1951 ), "Panitia Soewahjo"
(1955), "Panitia Negara Urusan Agraria" (1956), "Rancangan Soenarjo" (1958),
"Rancangan Sadjarwo" (1960)., akhirnya digodok dan diterima bulat Dewan
Perwak41an Rakyat Gotong Royong (DPR-GR), yang kala itu dipimpin Haji Zainul
Arifin. Kelahiran Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) mengandung dua makna
besar bagi kehidupan bangsa dan negara Indonesia. Pertama, UUPA bermakna
sebagai upaya mewujudkan amanat Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 (Naskah Asli),
yang menyatakan, "Bumi dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat". Kedua,
UUPA bermakna sebagai penjungkirbalikan hukum agraria kolonial dan penemuan
hukum agraria nasional yang bersendikan realitas susunan kehidupan rakyatnya.
Tujuan UUPA pada pokoknya meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum
agraria nasional, mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum
pertanahan, dan meletakkan dasar-dasar kepastian hukum hak-hak atas tanah
bagi seluruh rakyat. Semuanya semata-mata untuk mewujudkan kemakmuran,
kebahagiaan, keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam
menuju masyarakat adil dan makmur. Sebenarnya apa yang tersurat maupun
tersirat dari tujuan UUPA, pada hakikatnya merupakan kesadaran dan jawaban
bangsa Indonesia atas keserakahan dan kekejaman hukum agraria kolonial.
3. Masa Orde Baru
Tahun ~974: Dibentuk Badan Litbang Pertanian. Keppres tahun 1974 dan 1979
menetapkan bahwa Badan Litbang Pertanian sebagai unit Eselon I, membawahi
12 unit Eselon II, yaitu: 1 Sekretariat, 4 Pusat (Pusat Penyiapan Program, Pusat
Pengolahan Data Statistik, Pusat Perpustakaan Biologi dan Pertanian, dan Pusat
Karantina Pertanian) 2 Pusat Penelitian (Puslit Tanah dan Puslit Agro-Ekonomi),
serta 5 Pusat Penelitian Periqembangan (Puslitbang Tanaman Pangan, Puslitbang
Tanaman lndustri, Puslitbang Kehutanan, Puslitbang Peternakan, dan Puslitbang
Perikanan).
Tahun 1980: Berdirinya Departemen Koperasi secara khusus, untuk membantu
golongan petani lemah di luar Jawa dan Bali untuk membangun usaha tani
berskala lebih besar. Setelah koperasi diterima sebagai satuan ekonomi yang
· mendasar dalam mengembangkan ekonomi pribumi, dirangsang agar semua desa
membentuk koperasi primer, namun demikian sejumlah masalah yang dihadapi
adalah kekurangan modal, manajemen lemah, kesulitan menjangkau pasaran
antara lain karena turut pedagang perantara. Koperasi dirasakan sebagai
17
"paksaan" sehingga namanya pun yang sudah tercemar perlu dirubah menjadi
BUUD.
Tahun 1983: Berdasarkan Kepres Nomor 24 tahun 1983, terjadi reorganisasi di
Badan Litbang Pertanian sehingga terdiri atas: Sekretariat, Pusat Data Statistik,
Pusat Perpustakaan Pertanian, Puslit Tanah, Puslit Agro-Ekonomi, Puslitbang
Tanaman Pangan, Puslitbang Tanaman lndustri, Puslitbang Hortikultura,
Puslitbang Peternakan, dan Puslitbang Perikanan.
Tahun 1993: Sesuai dengan Keppres Nomor 83 tahun 1993 dibentuk Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) dan Loka Pengkajian Teknologi Pertanian
(LPTP) yang tersebar di seluruh propinsi di Indonesia. Selain itu juga terjadi
pembentukan 2 unit organisasi BPTP di 2 Propinsi, yaitu Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian Banten, dan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kepulauan
Bangka Belitung (Kepmentan No. 633/Kpts/OT.140/12/2003).
4. Masa Reformasi
Tahun 1998: Departemen Pertanian kehilangan arah. Hal ini dikarenakan
pudarnya Pembangunan jangka Panjarig ke 6 yang menjadi ciri khas tahap
orientasi pemerintahan Orde Lama. Pada era ini rakyat sudah kehilangan
kepercayaan kepada pemerintahan, meski tidak semuanya, tapi mendominasi.
Dampak yang ditimbulkannya sangatlah besar. Kegiatan-kegiatan penyuluhan dan
intensifikasi pertanian melambat. Dampak yang ditimbulkannya adalah rendahnya
produktivitas pertanian tanaman pangan dan hortikultura.
5. Masa Sekarang
Tahun 2005: Pada tahun ini muncul rencana Pemerintah dalam melakukan
revitalisasi pertanian di Indonesia. Hal ini ditindak lanjuti dengan Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Peternakan dan
Kehutanan. Kemudian ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor
273 Tahun 2007 terkait tentang penjabaran Penyuluhan Pertanian. Konsentrasi
peningkatan produksi dan produktivitas komoditas pertanian ini mengantarkan
Indonesia mencapai swa sembada beras ke 2 pada tahun 2008. Hal ini ditunjang
dengan penambahan tanaga penyuluh pertanian melalui Tenaga Harian Lepas
Tenaga Bantu Penyuluh Pertanian (THL TBPP).
Tahun 2010: Pertanian di Indonesia mengarah kepada pertanian organik. Pada
awalnya pada tahun ini dicanangkan program pertanian organik, karena banyak
hal tentang kekurangsiapan para petani di Indonesia menjadikan rencana
pertanian organik diundur sampai tahun 2014. Akan tetapi pada tahun 201 0 ini
penggunaan pupuk kimia sudah mulai dikurangi, dan pertanian organik mulai
digalakkan di beberapa daerah.
18
Konstalasi mikro yang berhubungan dengan hak dan kedaulatan petani (internal
factor) dan konstalasi makro yang terkait dengan perubahan struktur ekonomi dan
kebijakan sektor pertanian (external factor), disinergikan dalam tindakan nyata berupa
praktik-praktik yang mempunyai tujuan untuk melindungi dan memberdayakan petani
sehingga pada ahirnya kesejahteraan petani meningkat. Adapun secara empiris upaya
upaya perlindungan petani diberikan pada usaha on farm dan off farm, seperti
dijelaskan di bawah ini:
1. Prasarana Pertanian dan Sarana Produksi Pertanian
Salah satu prasarana pertanian yang saat ini sangat dibutuhkan oleh petani
adalah jaringan irigasi, termasuk sekalipun di daerah sentra produksi pertanian
seperti di wilayah Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan. Kurangnya
pembangunan waduk dan jaringan irigasi yang baru serta rusaknya jaringan irigasi
yang ada akan mengakibatkan daya dukung irigasi terhadap sektor pertanian
menurun. Kerusakan tersebut pada umumnya diakibatkan banjir dan erosi,
kerusakan sumber daya alam di daerah aliran sungai, bencana alam, serta
kurangnya pemeliharaan jaringan irigasi hingga ke tingkat usaha tani. Tantangan
yang dihadapi dalam pengelolaan prasarana pengairan adalah bagaimana
meningkatkan partisipasi masyarakat dalam perlindungan daerah aliran sungai;
pemeliharaan jaringan irigasi di perdesaan; pengembangan sumber-sumber air
alternatif dan berskala kecil antara lain melalui pemanfaatan teknologi
pengambilan air permukaan dan bawah tanah; pembangunan dan pemeliharaan
embung dan bendungan serta pemanfaatan sumber air tanah, danau, rawa dan air
hujan.
Prasarana pertanian lain yang juga dibutuhkan petani adalah jalan usahatani,
jalan produksi, pelabuhan yang dilengkapi dengan pergudangan berpendingin
udara, laboratorium, dan kebun percobaan bagi penelitian, laboratorium pelayanan
uji standar dan mutu, pos dan laboratorium perkarantinaan, kebun dan kandang
untuk penangkaran benih dan bibit, klinik konsultasi kesehatan tanaman dan
hewan, balai informasi dan promosi pertanian, balai-balai penyuluhan serta pasar
pasar yang spesifik bagi komoditas. Keberpihakan Pemerintah menjadi hal yang
penting karena pada umumnya prasarana pertanian menjadi prioritas
pembangunan yang bukan utama karena harus berkompetisi dengan sektor atau
sub sektor yang sedang menjadi primadona.
Di sisi sarana produksi, permasalahan yang dihadapi adalah belum cukup
tersedianya dan dapat diperoleh tepat waktu terhadap benih atau bibit unggul
bermutu, pupuk, pakan, pestisida atau obat-obatan, alat dan mesin pertanian
hingga ke tingkat usaha tani, serta belum berkembangnya kelembagaan
pelayanan penyedia sarana produksi. Belum berkembangnya usaha penangkaran
19
benih atau bibit secara luas hingga di sentra produksi mengakibatkan harga benih
atau bibit menjadi mahal, bahkan mengakibatkan banyak beredarnya benih atau
bibit palsu di masyarakat yang pada akhirnya sangat merugikan petani.
Sebagai salah satu sarana produksi pertanian, pupuk menjadi penentu
keb~rhasilan panen hingga 50 persen. Konsumsi pupuk urea sebagai pupuk yang
paling banyak dikonsumsi setiap tahunnya.14 Namun demikian pupuk seringkali
menjadi langka pada saat dibutuhkan, terutama pupuk bersubsidi. Keterbatasan
penyediaan pupuk kimia diperparah dengan pengetahuan dan kesadaran petani
menggunakan dan mengembangkan pupuk organik sendiri sebagai pupuk
alternatif yang masih rendah.
Oleh sebab itu tantangan yang harus dihadapi ke depan adalah bagaimana
menyediakan semua prasarana tersebut dalam jumlah yang cukup, memiliki
aksesibilitas yang tinggi, sesuai dengan yang dibutuhkan oleh petani, dan dengan
biaya pelayanan yang terjangkau. Penyedia prasarana pertanian tidak harus
bergantung kepada kemampuan Pemerintah atau Pemerintah Daerah saja, para
pelaku usaha di bidang pertanian juga dapat memberikan andil untuk bekerja
sama dalam menyediakan prasarana pertanian tersebut.
2. Kepastian Usaha
Di Indonesia, sektor pertanian didominasi oleh petani pemilik tanah berskala
usaha relatif kecil (rata-rata 0,5 hektar di pulau Jawa), petani penyakap, dan buruh
tani. Oleh sebab itu petani yang memiliki lahan sempit cenderung juga memiliki
skala usaha yang tidak feasible dan tidak bankable. Dalam hal ini, Pemerintah dan
Pemerintah Daerah dapat membantu petani dengan memberikan jaminan kepada
petani-petani dengan skala usaha kurang dari. 2 hektar untuk tanaman pangan
dan tidak memiliki ijin usaha bagi petani hortikultura, peternak dan pekebun
tersebut, melalui (1) penetapan suatu kawasan usaha tani berdasarkan kondisi
dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan
yang tersedia, (2) pemasaran hasil pertanian bagi petani yang melaksanakan
program pemerintah tersebut, (3) mewujudkan fasilitas pendukung pasar hasil
pertanian dan (4) memberikan insentif pajak berupa keringanan Pajak Bumi dan
Bangunan bagi lahan pertanian. Kebijakan Pemerintah yang telah menetapkan
suatu kawasan untuk diusahakan tanaman atau dipelihara ternak tertentu, maka
apabila terjadi ketidaksesuaikan program pemerintan dan hasil di tingkat petani,
Pemerintah harus menjamin penghasilan petani atas hilangnya kebebasan petani
dalam memilih komoditas pertanian tersebut. Selain itu dari segi pemasaran hasil
pertanian, Pemerintah dan Pemerintah Daerah juga dapat melakukan tindakan
14 PT. Media Data Riset. 2009. Studi Tentang: Optimalisasi lndustri Pupuk Menghadapi Krisis Pupuk di Indonesia. Survey and Reseacrh Service, Jakarta.
20
berupa dengan pembelian secara langsung, menampung, ataupun menyediakan
akses · pasar hasil pertanian tersebut sehingga petani benar-benar memiliki
kepastian usaha tani ketika memilih mengembangkan komoditas yang ditetapkan
pemerintah tersebut.
3. Harga komoditas pertanian
Harga merupakan sinyal bagi petani untuk memasuki pasar atau melakukan
produksi. Menurut teori cobweb, harga komoditas waktu sebelumnya ternyata
dapat mempengaruhi harga komoditas sekarang. Hal ini terjadi karena produk
produk pertanian dapat disimpan dalam jangka waktu yang lama dengan
perlakuan tertentu. Contoh pada komoditas padi dan beras, pemerintah telah
menerapkan kebijakan harga dasar, harga atap, dan harga pembelian pemerintah.
Namun demikian dalam pelaksanaannya cenderung tidak tepat sasaran dan
banyak dimanfaatkan oleh rent seeker. Oleh sebab itu paradigma menentukan
harga omoditas pertanian sebenarnya mulai banyak ditinggalkan dan hal yang
lebih realistis bagi pemerintah saat ini adalah menciptakan kodisi harga yang
menguntungkan khususnya bagi petani. Kebijakan untuk menciptakan kondisi
harga komoditas yang menguntungkan bagi petani dapat dilakukan melalui (1)
penetapan tarif bea masuk komoditas pertanian, (2) penetapan pintu masuk
barang impor komoditas pertanian, dan (3) persyaratan administrasi.
Menu rut Ellis (1992) 15, salah satu tujuan kebijakan harga pertanian adalah
menstabilkan harga pertanian agar mengurangi ketidakpastian usahatani,
menjamin harga pangan stabil bagi konsumen, dan stabilitas harga di tingkat
makro. Selanjutnya dikatakan, kebijaka.n harga pertanian dapat dilakukan melalui
berbagai instrumen, yaitu kebijakan perdagangan, kebijakan nilai tukar, pajak dan
subsidi, serta intervensi langsung. Secara tidak langsung stabilisasi harga dapat
juga dilakukan melalui kebijakan pemasaran output dan kebijakan input. Kebijakan
input antara lain berupa subsidi harga sarana produksi yang diberlakukan
Pemerintah terhadap pupuk, benih, pestisida, dan bunga kredit.
4. Asuransi Pertanian
15
Usaha tani merupakan salah satu kegiatan yang memiliki risiko usaha yang tinggi.
Hal ini terkait dengan kerentanannya terhadap perubahan iklim, bencana alam,
ledakan organisme pengganggu tumbuhan, wabah penyakit menular, dan gagal
panen akibat kesalahan program Pemerintah atau Pemerintah Daerah. Salah satu
upaya yang dapat dilakukan melalui asuransi pertanian, meskipun kegiatan usaha
tani tersebut sangat teknis dan komplek. Produksi pertanian diatur oleh proses
biologis yang komplek yang harus dipahami oleh penjamin pertanian. Hubungan
F. Ellis. 1992. Agricultural Policies In Developing Countries. Cambridge University Press. Cambridge.
21
sebab-akibat di bidang pertanian tidak selalu mudah diamati dan banyak variabel
yang mempengaruhi hasil pertanian.
Sebuah perusahaan asuransi harus mampu membangun hubungan antara
kerugian yang diasuransikan dan penyebab kerugian. Produksi pertanian bersifat
sangat teknis, oleh sebab itu dibutuhkan tenaga ahli yang berkompeten untuk
memahami biologis dan faktor teknis untuk menetapkan premi sepadan dengan
risiko dan sekaligu juga untuk menilai sendiri uji coba dan manajemen risiko dalam
asuransi pertanian.
Polis dalam asuransi pertanian harus menjamin kerugian bagi petani atas
ketidakpastian pengembalian biaya produksi akibat kegagalan memanen hasil
pertanian atau peternakan, yang disebabkan oleh risiko dasar yang terdiri dari:
1. Kekeringan karena iklim,
2. Angin topan,
3. Hama dan penyakit pertanian atau peternakan,
4. Kebakaran, petir, ledakan, kejatuhan pesawat terbang, dan asap,
5. Ledakan organisme penganggu tumbuhan,
6. Serangan hewan liar, dan
7. Kesalahan program Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah.
Asuransi pertanian tidak dilakukan dengan membentuk lembaga asuransi baru,
namun membuat polis asuransi pertanian di Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
Asuransi. Badan Usaha Milik Swasta (BUMS) di bidang asuransi dapat membuat
asuransi pertanian, namun Pemerintah hanya membayar premi bagi: 1) petani
yang tidak mempunyai lahan yang mata pencaharian pokoknya adalah melakukan
usaha tani, 2) petani yang mempunyai lahan dan melakukan usaha budidaya
tanaman pangan pada luas lahan paling banyak 2 (dua) hektar; dan/atau 3) petani
hortikultura, pekebun, atau peternak yang tidak memerlukan izin usaha, kepada
BUMN Asuransi. Premi akan dibayarkan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah
sampai petani dengan klasiifikasi tersebut dinyatakan mampu oleh Pemerintah
atau Pemerintah Daerah untuk membayar preminya Alasan polis asuransi
pertanian dikembangkan di BUMN Asuransi adalah agar ketika tidak ada klaim,
maka biaya premi yang dikeluarkan bdapat kembali ke Negara.
Sumber pembayaran premi berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara
(APBN) dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) dan dilakukan secara
bertahap atau tidak dilakukan langsung di seluruh Indonesia. Berdasarkan
hitungan sederhana, sebenarnya biaya yang dikeluarkan oleh Pemerintah atau
Pemerintah Daerah untuk memfasilitasi asuransi tersebut tidak terlalu besar.
Dengan jumlah petani tahun 2009 mencapai 43,029 juta orang dan jumlah petani
yang tidak mempunyai lahan yang mata pencaharian pokoknya adalah melakukan
22
usaha tani, petani yang mempunyai lahan dan melakukan usaha budidaya
tanaman pangan pada luas lahan paling banyak 2 hektar; dan/atau petani
hortikultura, pekebun, atau peternak yang tidak memerlukan izin usaha berjumlah
75 persen 16 dari jumlah petani atau seb.anyak 32,27 juta. Dengan asumsi premi
yang akan dibayarkan adalah Rp500.000 per sekali musim tanam, maka biaya
premi yang dikeluarkan mencapai Rp16 triliun. Angka ini akan dibayarkan oleh
Pemerintah atau Pemerintah Daerah jika dilakukan secara serentak di seluruh
Indonesia dan seluruh petani menanam jenis tanaman yang sama, dengan musim
tanam yang sama. Sehingga angka ini sesungguhnya masih bisa jauh berkurang.
Pemerintah tidak perlu khawatir pemberian biaya premi ini dibebankan sampai
petani dinyatakan sanggup akan membebani APBN atau APBD, mengingat
banyak pos dana yang saat ini dialokasikan untuk kegiatan yang tidak efektif bisa
digunakan untuk membiayai asuransi pertanian.
5. Penghapusan Praktik Biaya Tinggi
Walaupun labor costs di Indonesia relatif lebih rendah daripada negara-negara
Association South East Asian Nations (ASEAN) lainnya (kecuali Vietnam),
ternyata biaya untuk memberhentikan tenaga kerja di Indonesia sangat tinggi.
Selain itu, upah minimum regional (UMR) di wilayah perkotaan yang relatif lebih
tinggi menstimulasi banyak perusahaan membangun pabriknya dan
mempekerjakan buruh di wilayah perdesaan dengan upah minimumnya lebih
rendah. Pada akhirnya hal ini akan berimplikasi terhadap meningkatnya biaya
transporl;?Si dan pengeluaran infrastruktur penunjang.
Masalah birokrasi dan faktor politik diyakini menjadi salah satu penyebab utama
terjadinya high cost economy di Indonesia. Biaya birokrasi, baik yang resmi
maupun tidak resmi di beberapa daerah dapat mencapai 20 persen dari biaya
produksi. Tingginya biaya birokrasi tersebut pada akhirnya akan menyebabkan
harga output yang diproduksi Indonesia menjadi lebih mahal bila dibandingkan
dengan negara lain (menurunkan daya saing). Masalah birokrasi ini semakin
diperparah dengan korupsi. Untuk menjamin kelancaran usaha dan kemudahan
dalam mengurus perizinan, tak jarang petani dan pelaku usaha harus memberikan
uang pelicin. Jumlah uang pelicin yang diberikan pun tidak sedikit sehingga total
biaya yang harus dikeluarkan petani dan pelaku usaha untuk menjalankan
usahanya juga semakin tinggi.
6. Pembangunan Sistem Peringatan Dini dan Penanganan Dampak Perubahan lklim
Perubahan iklim akan menyebabkan antara lain (1) seluruh wilayah Indonesia
mengalami kenaikan suhu udara, dengan laju lebih rendah dibanding wilayah
16 Dwi Andreas Santosa dalam keterangan lisan dalam RDPU dengan Komisi IV DPR AI tanggal 13 September 2011.
23
subtropis dan (2) wilayah selatan Indonesia mengalami penurunan curah hujan,
sedangkan wilayah utara mengalami peningkatan curah hujan. Perubahan pola
hujan tersebut menyebabkan berubahnya awal dan panjang musim hujan. Di
wilayah Indonesia bagian selatan, musim hujan yang makin pendek akan
menyulitkan upaya meningkatkan indeks pertanaman (IP) apabila tidak tersedia
varietas yang berumur lebih pendek dan tanpa rehabilitasi jaringan irigasi.
Meningkatnya hujan pada musim hujan menyebabkan tingginya frekuensi kejadian
banjir, sedangkan menurunnya hujan pada musim kemarau akan meningkatkan
risiko kekekeringan. Sedangkan pada wilayah Indonesia sebelah utara dengan
meningkatnya hujan pada musim hujan akan meningkatkan peluang IP, namun
kondisi lahan tidak sebaik di pulau Jawa.17 Oleh sebab itu strategi antisipasi dapat
dilakukan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah dengan membangun sistem
peringatan dini dan penanganan dampak perubahan iklim tersebut. Hal ini
bertujuan untuk mengembangkan sektor pertanian yang tahan terhadap
variabilitas iklim saat ini dan mendatang. Tindakan-tindakan nyata dapat dilakukan
melalui peramalan iklim dan eksplosi organisme pengganggu tumbuhan dan/atau
wabah penya.kit hewan menular serta upaya penanganannya.
Sedangkan upaya-upaya yang ditujukan untuk memberdayakan petani dijelaskan
seperti di bawah ini, yaitu:
1. Pendidikan dan Pelatihan
Belum berkembangnya usaha tani di perdesaan, sehingga usaha tani masih
dominan di aspek produksi on-farm dengan tingkat pendapatan yang relatif kecil
dan belum berkembangnya usaha jasa pelayanan permodalan, dan teknologi,
mengakibatkan citra petani dan pertanian lebih sebagai aktifitas sosial budaya
tradisional, bukan sosial ekonomi yang dinamis dan menantang. Semua itu
disebabkan oleh rendahnya pendidikan yang dimiliki petani. Rendahnya
pendidikan yang dimiliki oleh petani perlu ditingkatkan melalui pendidikan dan
pelatihan.
2. Penyuluhan dan Pendampingan
Tingkat penguasaan teknologi petani yang relatif terbatas di tengah persaingan
pasar yang semakin ketat membutuhkan pendampingan pembinaan teknis dan
manajemen secara intensif dan berkesinambungan. Hal tersebut juga menuntut
adanya kapasitas aparat pembina teknis yang mampu melayani bimbingan
teknologi secara spesifik (komoditas) sesuai dengan kebutuhan petani, berperan
sebagai mediator terhadap sumber pembiayaan dan pasar (analisis kelayakan
usaha), dan dapat berkomunikasi serta berkoordinasi dengan stakeholder,
17 Tim Sintesis Kebijakan. 2008. Dampak Perubahan lklim terhadap Sektor Pertanian, serta Strategi Antisipasi da Teknologi Adaptasi. Pengembangan lnovasi Pertanian, 1(2): 138-140.
24
termasuk petugas lapang lainnya, dalam meningkatkan kesejahteraan petani dan
ketahanan pangan keluarga. Luasnya wilayah kerja penyuluhan pertanian dan
banyaknya individu atau kelompok petani yang harus dilayani juga membutuhkan
rasio petani dan penyuluh yang ideal serta terpenuhinya sarana tranportasi,
komunikasi, alat peraga, dan biaya operasional pembinaan yang memadai.
Sehingga diperlukan upaya-upaya untuk mewujudkan sistem penyuluhan dan
pendampingan yang efektif melalui terbangunnya kelembagaan penyuluhan yang
didukung dengan kapasitas dan jumlah penyuluh yang proporsional, sarana kerja
dan fasilitas operasional yang memadai, pembinaan yang berkesinambungan
serta terbuka bagi masyarakat yang berminat untuk berperan serta dalam kegiatan
penyuluhan. Penyuluh harus mendampingi kelompok tani dan gabungan kelompok
tani dalam menyelesaikan permasalahan terkait dengan usaha tani. Dalam
memenuhi kebutuhan penyuluh pertanian untuk pembangunan pertanian dan
ketahanan, tidak hanya ditugaskan dengan penyuluh berstatus pegawai negeri
sipil, tetapi harus melibatkan penyuluh swadaya dari masyarakat dan penyuluh
swasta secara partisipatif dan sukarela.
3. Pengembangan Sistem dan Sarana Pemasaran Hasn Pertanian
Di daerah tertentu, pasar muncul pada waktu dan lokasi tertentu dengan
komoditas yang diperjualbelikan tertentu pula. Contohnya pasar ikan di Boger,
pasar hewan ternak, dan lain sebagainya. Bahkan pasar telah bergeser
maknanya, tidak hanya berkaitan dengari pertemuan antara penjual dan pembeli
secara ekonomi, tetapi juga berkaitan dengan sosial dan budaya. Pasar tradisional
mulai banyak ditinggalkan oleh masyarakat seiring dengan perkembangnya pasar
modern atau swalayan. Komoditas pertanian bersifat mudah busuk, mudah rusak,
dan membutuhkan ruang yang relatif besar. Saluran pemasaran (marketing
channen menjadi salah satu faktor fundamental yang mempengaruhi kualitas
komoditas pertanian hingga ke tingkat konsumen terakhir (end user). Dalam
rangka memperpendek mata rantai perdagangan komoditas pertanian khususnya
produk-produk segar, salah satu hal yang dapat dilakukan Pemerintah adalah
dengan mengembangkan institusi pasar komoditas untuk meningkatkan peran
para aktor pasar agribisnis, khususnya petani, yaitu Sub Terminal Agribisnis
(STA). Tujuan STA antara lain adalah memperpendek mata rantai perdagangan,
membentuk harga yang wajar, meningkatkan akses pasar dan informasi (harga,
permintaan dan pasokan komoditas), menciptakan ajang promosi produk-produk
unggulan komoditas pertanian membuka peluang, pasar baru, dan memperluas
jaring agribisnis; dan menciptakan forum yang mempertemukan para pelaku
agribisnis, antara pihak petani produsen dan menciptakan media promosi produk
25
unggulan pertanian. Contohnya STA Soropadan di Jawa Tengah yang mulai
dibangun tahun 200218.
Pada skala internasional, contoh sukses produk pertanian Thailand di pasar
interasional dapat digunakan sebagai refleksi produk pertanian Indonesia. Banyak
elemen yang dibutuhkan untuk menopang sistem pemasaran, antara lain adalah:
1. Memperkenalkan produk agribisnis dan makanan khas melalui: (1)
masyarakat negara tersebut di luar negeri dengan mengundang rekan
rekannya untuk acara seremonial sambil menikmati makanan khas tersebut;
(2) mendirikan restoran-restoran khas negara tersebut di luar negeri yang
dilengkapi dengan acara kesenian negara tersebut, di mana promosinya
dibantu oleh masyarakat ; negar~ tersebut di sekitar restoran; (3)
menghidangkan berbagai produk makanan, buah-buahan serta penampilan
hiasan bunga pada semua acara kenegaraan; (4) pasar swalayan di luar
negeri dipasok dengan pengiriman melalui udara dan sistem konsinyasi, baik
dengan atau tanpa membuka Letter of Credit (L/C).
2. Promosi di dalam negeri melalui: (1) agrowisata, terutama perkebunan yang
menampilkan teknik budidaya, demonstrasi bunga hias dan penawaran pasar;
(2) kerjasama antara restoran dengan perusahaan biro perjalan untuk
memasukkan acara makan malam dalam rangkaian acara yang dijadwalkan;
(3) kerjasama antara media masa dengan pengusaha agribisnis untuk
mempromosikan produk-produk agribisnis negara tersebut dengan biaya yang
rendah, melalui penampilan· gambar-gambar dan profil komoditas yang indah;
{4) brosur yang indah dan lengkap menggambarkan profil komoditas yang
mudah diperoleh di mana-mana; (5) upaya untuk mempromosikan daerah
produsen baru bagi masyarakat dari daerah lain terus digalakkan melalui
pameran produk, dengan harapan memperkenalkan potensi pengembangan
daerah produsen baru tersebut kepada masyarakat di daerah lain; (6)
kerjasama terpadu antara pengusaha, masyarakat, dan Pemerintl;lh secara
langgeng dan berkesimbangungan, di mana ide-ide dan motivasi pengusaha
berkembang dengan mendapat dukungan dari Pemerintah untuk
merealisasikannya.
3. Penampilan dan mutu produk mendapat perhatian serius dalam upaya
menembus persaingan di pasar global. Dengan demikian pengawasan mutu
produk menjadi suatu strategi penting untuk meraih pangsa pasar yang besar,
di samping upaya-upaya yang mengefisienkan operasi sistem komoditas.
Penampilan produk meliputi penyempurnaan tingkat keseragaman bentuk dan
18 Bank Indonesia. 2011. Sub Terminal Agribisnis Soropadan Mendorong Pertumbuhan Sektor Pertanian Jawa Tengah. Serial Online, http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/255E127 A-C3E1-4491-88F2-086943477EED/ 14930/Boks2_ TerminaiAgroSoropadan.pdf, diakses tanggal 05 Mei 2011.
26
warna, keberhasilan, dan teknik pengemasan, selain menjaga mutu yang
tinggi.
Koordinasi antara instansi Pemerintah dengan asosiasi-asosiasi harus dijaga,
seperti antara board of trade (BOT), Federation of Thai-industry Assoiation
(FT A), dan Thailand Banking Assosiation (TBA). Berbagai masukan yang
berharga dari asosiasi-asosiasi tersebut menjadi pertimbangan dalam
pengambilan kebijakan yang berkaitan dengan upaya meningkatkan pangsa
pasar produk agribisnis dan agroindustri serta dukungan pendanaan yang
cukup, di samping kebijakan-kebijakan yang langsung berpengaruh terhadap
perdagangan dan ekspor komoditas.
4. Konsolidasi dan Jaminan Luasan Lahan Pertanian
Konsolidasi lahan merupakan upaya menata kembali penggunaan dan
pemanfaatan tanah, melalui pengendalian alih fungsi lahan pertanian dan
pemanfaatan lahan pertanian terlantar. Status penguasaan lahan oleh petani
belum memiliki legalitas yang kuat dalam bentuk sertifikat, sehingga lahan belum
bisa dijadikan sebagai jaminan untuk memperoleh modal usaha melalui
perbankan. Menurut data yang dikutip dari Rencana Startegis (Renstra)
Kementerian Pertanian Tahun 2010-2014 dari Himpunan Kerukunan Tani
Indonesia (HKTI) bahwa hingga tahun 2003 sertifikat tanah yang telah diterbitkan
baru mencapai jumlah 24,5 juta persil atau sekitar 30 persen dari seluruh persil
yang ada di Indonesia (±75 juta persil). Dari jumlah yang telah memperoleh
sertifikat tersebut, 50 persen adalah tanah di perkotaan (pemukiman dan industri)
yang luas arealnya tidak lebih dari 3 juta hektar. Sedangkan lahan pertanian di
perdesaan yang luasnya lebih dari 25 juta hektar baru memperoleh sertifikat 50
persen dari seluruh sertifikat yang sudah diterbitkan atau ±12 juta persil.
Tantangan ke depan untuk mengatasi terbatasnya pemilikan dan lemahnya status
penguasaan lahan adalah bagaimana meningkatkan efisiensi dan produktifitas
usaha tani, penataan kelembagaan pengelolan lahan, pengendalian pertumbuhan
penduduk, reformasi agraria serta penguatan status kepemilikan lahan. Upaya ini
bisa dilakukan melalui konsolidasi lahan pertanian.
Berdasarkan sensus Pertanian tahun 2003, dari sisi skala penguasaan lahan,
sejak tahun 1993 jumlah petani yang kepemilikan lahannya kurang dari 0,5 hektar
meningkat dari 1 0,9 juta rumah tangga menjadi 13,7 juta rumah tangga pada
tahun 2003. Pada periode tahun 1995-2007 rataan pemilikan lahan cenderung
menurun. Kondisi kepemilikan lahan tersebut antara lain disebabkan oleh
meningkatnya konversi lahan pertanian untuk keperluan pemukiman dan fasilitas
umum serta terjadinya fragmentasi lahan karena proses pewarisan, khususnya
untuk lahan beragroekosistem sawah dan lahan kering tanaman pangan. Di sisi
27
lain, menurunnya rata-rata luas pemilikan lahan diikuti pula dengan meningkatnya
ketimpangan distribusi pemilikan lahan khususnya untuk agroekosistem
persawahan di pulau Jawa.
Dwi Andreas Santosa dalam acara Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di
Komisi IV DPR Rl 19 memaparkan bahwa ketersediaan lahan pangan per kapita di
Indonesia sangat rendah, khususnya apabila dibandingkan dengan Argentina,
Australia, Bangladesh, Brazil, dan bahkan Vietnam. Jika dilihat dari tingkat
produktivitas lahan sawah tahunan, maka tingkat produktivitas lahan sawah di
Indonesia dari tahun 1990 sampai tahun 2007 sekitar 9,03 ton per hektar per
tahun. Produktivitas ini lebih tinggi dibandingkan produktivitas tahunan Cina,
Jepang, Korea dan Amerika Serikat.20
Tabel 1. Ketersediaan Lahan Pangan di Beberapa Negara
Lahan untuk Jumlah Penduduk Rasio No. Negara Pangan (dalam Ribu) Lahan/Kapita
(1.000 hektar) (2002) (m2)
1. Argentina 33.700 37.074 9.089,9 2. Australia 50.304 19.153 26.264,3 3. Bangladesh 8.085 123.406 655,2 4. Brazil 58.865 171.796 3.426,4 5. Kanada 45.740 30.769 14.865,6 6. Gina 143.625 1.282.172 1.120,2 7. India 161.750 1.016.938 1.590,6 8. Indonesia 7.780 217.000 358,5 9. Thailand 31.839 60.925 5.225,9 10. Amerika Serikat 175.209 285.003 6.147,6 11. Vietnam 7.500 78.137 959,9
Sumber: Dw1 Andreas Santosa (2011)
Untuk menghindari agar rataan. pemilikan lahan terus menu run dan menghindari
ketimpangan distribusi pemilikan lahan, maka perlu dilakukan upaya terobosan,
khususnya terhadap petani yang tidak mempunyai lahan yang mata pencaharian
pokoknya adalah melakukan usaha tani, petani yang mempunyai lahan dan
melakukan usaha budidaya tanaman pangan dengan skala usaha yang
didasarkan pada luas lahan paling banyak 2 hektar; dan/atau petani hortikultura,
pekebun, atau peternak yang tidak memerlukan izin usaha.
Jaminan ketersediaan lahan yang dilakukan melalui (1) pemberian kemudahan
bagi petani yang memiliki lahan kurang dari 2 hektar untuk memperoleh tanah
negara yang peruntukannya untuk pertanian, (2) petani yang menggarap lahan
pertanian dilahan yang diperuntukan untuk kawasan pertanian selama 5 tahun
berturut-turut berhak memperoleh lahan pertanian seluas maksimal 4 hektar, (3)
bagi petani yang memiliki lahan pertanian kurang dari dua hektar di kawasan
pertanian berhak mendapatkan pinjaman modal dari Pemerintah dan/atau
19 Santosa, D. A. 2011. RUU tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Disampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat RUU Perlintan, DPR-Jakarta, 13 September 2011.
20 Santoso, D. A. 2011.
28
Pemerintah Daerah untuk memiliki lahan pertanian yang berdampingan dengan
lahannya yang luasannya lebih kecil.
Selain itu, agar tetap menjaga ketahanan dan kedaulatan pangan nasional,
Pemerintah dan Pemerintah Daerah harus mencadangkan lahan pertanian baru di
wilayahnya. Luasan lahan cadangan ini berdasarkan pada pertumbuhan jumlah
penduduk, tingkat konsumsi masyarakat, dan luasan lahan yang dapat digunakan
sebagai kawasan pertanian tersebut.
5. Penyediaan Fasilitas Pembiayaan dan Permodalan
Hingga saat ini kondisi petani dihadapkan pada kecilnya skala penguasaan dan
pengusahaan lahan petani yang mengakibatkan terbatasnya kemampuan petani
untuk melakukan pemupukan modal melalui tabungan dan investasi. Di sisi lain
petani j~ga belum memiliki kemampuan untuk mengakses sumber permodalan
atau lembaga keuangan formal, diantaranya diakibatkan oleh tidak mudahnya
prosedur pengajuan kredit dan ketiadaan agunan yang dipersyaratkan, sehingga
petani lebih memilih rentenir yang menyediakan pinjaman modal dengan cepat
walau dengan tingkat bunga yang lebih tinggi dibanding lembaga keuangan
formal. Kondisi ini, pada akhirnya semaki.n memperburuk kondisi arus tunai (cash
flow) dan kesejahteraan petani.
Tantangan ke depan yang harus dikembangkan adalah bagaimana menjembatani
kesenjangan manajemen antara lembaga perbankan formal yang kebanyakan
berada di daerah perkotaan dengan petani yang tersebar di perdesaan.
Sementara menunggu perbankan lebih berpihak kepada pertanian, maka
pemberdayaan kelembagaan usaha kelompok untuk menjadi cikal bakal lembaga
keuangan mikro di perdesaan perlu dilakukan. Pada akhirnya lembaga ini dituntut
dapat berkembang menjadi lembaga mandiri milik petani. Namun pengembangan
lembaga ini membutuhkan dukungan Pemerintah dalam bentuk pembinaan
manajemen dan seed capital kepada kelompok atau gabungan kelompok yang
sudah benar-benar siap dirintis untuk tumbuh menjadi lembaga keuangan mikro di
perdesaan.
6. Kemudahan Akses IPTEK dan lnformasi
Perkembangan inovasi teknologi informasi dan komunikasi saat ini sudah
berkembang pesat. Hal tersebut berlaku pula di sektor pertanian, dimana semakin
cepat dan akuratnya arus informasi pasar dan agribisnis dari satu wilayah ke
wilayah lain. Kondisi tersebut menuntut Pemerintah harus dapat mengimbangi
kecepatan informasi, sehingga mutu pelayanan Pemerintah terhadap petani dapat
meningkat dan bermanfaat.
29
Hingga saat ini, petani dengan skala usaha mikro (rumah tangga) dihadapkan
kepada keterbatasan aksesibilitas terhadap ilmu pengetahuan, teknologi, . komunikasi, dan informasi. Kondisi ini membutuhkan pendampingan dan
ketersediaan fasilitasi layanan penyediaan informasi yang terkait dalam proses
produksi, pengolahan, pemasaran dan pembiayaan. Namun, aspek yang penting
adalah upaya pengenalan terhadap teknologi informasi dan komunikasi
(Information and Communication Technology atau 1cn. Teknologi informasi dan komunikasi (len adalah terminologi yang mencakup
seluruh peralatan teknis untuk memproses dan menyampaikan informasi. ICT
mencakup dua aspek, yaitu teknologi informasi dan teknologi komunikasi.
Teknologi informasi meliputi segala hal yang berkaitan dengan proses,
penggunaan sebagai alat bantu, manipulasi, dan pengelolaan informasi.
Sedangkan teknologi komunikasi adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan
penggunaan alat bantu untuk memproses dan mentransfer data dari perangkat
yang satu ke perangkat lainnya.
ICT merupakan faktor yang sa~gat penting dalam mendukung peningkatan
kualitas sumber daya manusia dan pelayanan Pemerintah kepada masyarakat.
ICT mempunyai tiga peranan pokok:
1. lnstrumen dalam mengoptimalkan proses pembangunan, yaitu dengan
memberikan dukungan terhadap manajemen dan pelayanan kepada
masyarakat.
2. Produk dan jasa teknologi informasi merupakan komoditas yang mampu
memberikan peningkatan pendapatan baik bagi perorangan, dunia usaha dan
bahkan negara dalam bentuk devisa hasil ekspor jasa dan produk industri
telematika.
3. Teknologi informasi bisa menjadi perekat persatuan dan kesatuan bangsa,
melalui pengembangan sistem informasi yang menghubungkan semua
institusi dan area seluruh wilayah nusantara.
Kesadaran pentingnya ICT, bukan hanya monopoli kalangan pengusaha besar
saja tetapi juga bertumbuh di kalangan pengusaha kecil dan kekuatan-kekuatan
masyarakat lain, seperti Koperasi, Kelompok Tani, dan Masyarakat biasa. ICT
diyakini berperan panting dalam pengembangan bisnis, kelembagaan organisasi,
dan juga mampu mendorong percepatan kegiatan ekonomi dan taraf hidup
masyarakat.
Pengenalan akses terhadap ICT merupakan upaya yang telah teridentifikasi
sebagai alat bantu yang sangat penting dalan'l penyampaian informasi tentang
permasalahan pertanian beserta solusinya. Dengan begitu, sudah sewajarnya
saat ini mulai diadakan penekanan terhadap penelitian untuk mengembangkan
30
ICT, khususnya pada di wilayah pertanian. Penekanan pada wilayah pertanian ini
dilakukan sebagai upaya agar teknologi informasi dan jaringan komunikasi
elektronik lebih dapat diakses oleh petani dalam rangka mengumpulkan dan
. menyebarkan informasi hingga ke luar batas wilayahnya. Pada akhirnya
pengetahuan dan wawasan petani akan berkembang pula dan hal ini sebagai
bekal untuk mengembangkan kualitas kehidupan mereka di masa mendatang.
7. Penguatan Kelembagaan Petani
Kelembagaan adalah suatu aturan yang merupakan produk dari nilai, yang
diharapkan terus berevolusi dan menjadi bagian dari budaya. Hal itu merupakan
prasyarat keharusan untuk menjadi "kunci pembuka" pengembangan agribisnis
yang berdaya saing, berkerakyatan, dan berkeadilan. Secara operasional, sosok
koperasi agribisnis dan koperasi (masyarakat, petani) semacam Badan Usaha
Milik Petani dipandang sebagai bangun kelembagaan yang mampu berperan
dalam mewujudkan pembangunan pertanian.
Kelembagaan usaha kelompok yang ada saat ini banyak yang tidak berfungsi,
sementara sebagian besar yang masih ada juga belum mampu berperan dalam
mendukung peningkatan pendapatan petani. Untuk itu perlu dilakukan upaya
upaya merevitalisasi kelembagaan usaha kelompok dan gabungan usaha
kelompok sehingga mampu berperan sebagai media untuk meningkatkan
kapasitas anggota, khususnya meningkatkan aksesibiltas kelompok maupun
anggotanya terhadap sumber pembiayaan, teknologi, pasar, dan informasi pasar,
serta mempermudah pembinaan dan fasilitasi yang diberikan Pemerintah dan
masyarakat.
Pada umumnya pembentukan kelompok tani didasarkan pada pendekatan top
down, dimana 'hanya' memiliki tujuan untuk mendapatkan fasilitas dari program
Pemerintah. Lembaga petani dan lembaga ekonomi petani seharusnya dibentuk
karena dibutuhkan oleh petani untuk menghimpun kekuatan dalam melakukan
posisi tawar dengan pihak lain. Sedangkan dasar pembentukan lembaga petani
dan lembaga ekonomi petani adalah modal sosial sehingga lembaga yang
dibentuk akan kuat dan solid. Misalnya kelompok tani dibentuk atas dasar
kesamaan kepentingan, kondisi lingkungan, lokasi, dan komoditas yang
diusahakan, untuk meningkatkan dan mengembangkan usahatani anggotanya.
Lebih lanjut kelompok-kelompok tani bergabung membentuk gabungan kelompok
tani (gapoktan). Sedangkan kelompok yang anggotanya terdiri antara petani dan
telah melibatkan pelaku ahli di bidang pertanian dinamakan asosiasi. Asosiasi
asosiasi kemudian bergabung dapat membentuk dewan komoditas.
Pembangunan kelembagaan sebagai prasyarat keharusan dalam pengembangan
agribisnis yang bagian terbesar pelakunya petani "kecil dan gurem" adalah bangun
31
koperasi dan koperasi agribisnis. Secara substansial, upaya kelembagaan
tersebut pada dasarnya dapat dipandang sebagai langkah menuju rekonstruksi
ulang dalam penguasaan dan akses sumberdaya produktif di bidang pertanian,
terutama berkaitan dengan pengembangan agribisnis.
Di kalangan masyarakat sendiri, masih beragam pendapat tentang eksistensi
koperasi dalam sistem ekonomi Indonesia saat ini. Sebagian lain memandang
koperasi sebagai entitas perlu dikembangkan, walaupun seadanya saja.
Sementara itu, berbagai pendapat lain merasa penting untuk mengembangkan
koperasi sebagai sosok kelembagaan ekonomi yang kokoh bagi pemberdayaan
masyarakat. Pendapat terakhir ini meyakini bahwa koperasi sebagai · upaya
kelembagaan dapat merupakan instrumen bagi upaya restrukturisasi ekonomi
pertanian, untuk mewujudkan keseimbangan dalam penguasaan sumber-sumber
ekonomi pertanian. Ada dua argumen yang melandasi pendapat ini, yaitu (a)
secara kolektif, koperasi dapat penghimpun para pelaku ekonomi pertanian dalam
menjual produk-produk yang dihasilkannya dengan posisi tawar yang baik, dan (b)
koperasi secara organisasi dapat menjadi wadah yang bertanggung jawab bagi
kebutuhan pengadaan sarana produksi pertanian maupun kebutuhan lain secara
bertanggungjawab pula.
Menghadapi milleninum ketiga, dimana sistem pasar akan mendominasi dan
persaingan menjadi semakin ketat, harus dicari bentuk kelembagaan yang tepat
bagi sektor pertanian kita. Bangun kelembagaan koperasi dipandang salah satu
sosok yang tepat, mengingat entitas tersebut berciri sebagai asosiasi
(perkumpulan orang atau petani), badan usaha dan juga sebagai suatu gerakan
yang bersifat pembangunan kedalam (untuk melawan penindasan ekonomi dan
ketidakadilan sistem pasar). Apabila mertgamati sejarah lahirnya koperasi yang
tumbuh dari masyarakat kecil serta prinsip-prinsip yang dianutnya, maka terasa
bahwa bangun organisasi inilah yang sesuai bagi petani dalam kegiatan
pertaniannya, karena diharapakan mampu mendorong pengembangan usahanya,
tidak saja dalam sosok sebagai lembaga ekonomi, tetapi menjadi lembaga sosial
bagi para anggotanya.
Berdasarkan uraian di atas, kelembagaan koperasi adalah bangun organisasi
yang tepat untuk pengembangan masyarakat pertanian dan telah terbukti di
beberapa negara mampu meningkatkan daya saing petani. Dengan kelembagaan
tersebut diharapkan berkembang dan mampu menangani aspek skala ekonomi
dalam kaitannya dengan sistem produksi, pengolahan, dan pemasaran secara
keseluruhan. Misalnya, koperasi dapat mengkordinasikan penawaran input secara
lebih baik dan lebih murah. Demikian juga dengan posisi tawar pada saat mereka
dalam menjual hasil produksinya yang lebih baik. Pemerintah selaku fasilitator
32
diharapkan dapat menumbuhkan kondisi yang menstimulasi berkembangnya
koperasi pertanian agar potensi besar yang mereka miliki dapat tumbuh menjadi
kekuatan besar, sehingga kondisi harmonis baik secara sosial, ekonomi maupun
ekologi dapat dicapai.
Walaupun demikian, ke depan, usaha-usaha untuk mengatasi berbagai masalah
yang dihadapi bagi pengembangan agribisnis di perdesaan tahap awal tetap
masih membutuhkan keberpihakan Pemerintah secara langsung, akan tetapi
dengan pengertian bentuk "ulur tangan" Peme.rintah tersebut harus ditempatkan
dalam upaya pengembangan iklim berusaha yang sesuai. Misalnya,
pengembangan program dan metoda penyuluhan pertanian yang diarahkan
kepada upaya pengembangan orientasi dan kemampuan kewirausahaan, yang
lebih mencakup substansi manajemen usaha dan penyesuaian terhadap materi
materi di bidang produksi dan pemasaran. Dalam hubungan ini maka pola magang
dan sistem pencangkokan manajer dapat menjadi alternatif yang dipertimbangkan.
Disamping itu pemberian kredit tersebut perlu di atur sedemikian sehingga
kemungkinan re-investasi dan keberhasilan usaha dapat lebih terjamin. Dalam hal
ini bentuk supervised credit dapat menjadi alternative model pemberian kredit.
Banyak contoh sukses koperasi kredit di bidang agribisnis yang kuat dan besar,
seperti Credit Agricole di Perancis, Rabobank di Belanda, dan lain-lain.
Pengembangan agribisnis dengan agro-industri perdesaan juga perlu didukung
oleh kelembagaan yang sesuai, mengingat kerakteristiknya yang sangat beragam.
Dalam kelembagaan usaha tersebut misalnya, perlu dikaji kombinasi optimal dari
penguasan dan pemanfaatan skala usaha dengan efisiensi unit usaha, sesuai
dengan sifat kegiatan yang dilakukan. Salah satu contoh, jika kegiatan,
agroindustri memang akan lebih efisien apabila dilakukan dalam skala yang relatif
kecil, maka pengembangan kegiatan usaha individual perlu didorong. Akan tetapi
untuk kegiatan pengangkutan yang memerlukan skala kegiatan yang lebih besar,
perlu dipertimbangkan suatu unit kegiatan yang sesuai pula. Dengan demikian,
dimungkinkan terjadinya kondisi, dimana kegiatan agroindustri dilakukan secara
individual (tidak harus dipaksakan berada dalam unit usaha koperasi dalam bidang
pengangkutan. Hal-hal semacam memerlukan penelaahan lebih lanjut secara
mendalam, dikaitkan dengan sosok spesifik unit usaha yang dikembangkan dalam
koperasi agribisnis tersebut.
Pada saat ini, struktur pasar produk-produk pertanian bersifat oligopoli, dalam
wujudnya sebagai perusahaan multinasional, dengan kekuatan luar biasa
besarnya. Harga-harga produk pertanian dunia dikondisikan oleh keputusan
keputusan perusahaan multinasional ini. lndustrialisasi pertanian seharusnya
sejalan dengan pengembangan kemampuan petani untuk beradaptasi dengan
33
perusahaan-perusahaan multi nasional, sehingga menjadi medan untuk
mengembangakan kemampuan dan kesejahteraan petani Indonesia.
Terkendalanya petani akibat masalah teknis dan akses sebagaimana selama ini
merupakan pembatas utama bagi peningkatan posisi tawarnya, memerlukan
hadirnya kelembagaan yang dapat mengatasi hal itu. Sebagai individu, petani
sangat terbatas dalam aspek-aspek hak kepemilikan, batas-batas yurisdiksi dan
aturan representasi sebagai individual. Misalnya, masalah-masalah teknis seperti
skala ekonomi, dan ketiadaan akses sebagaimana dimiliki oleh individu
pengusaha dalam wujud institusi perusahaan. Dalam wujud perusahaan,
seseorang atau sekelompok orang, memiliki hak kepemilikan, batas-batas yuridiksi
dan aturan representasi yang lebih luas dari pada sebagai individu manusia.
lnstitusi da.lfim wujud perusahaan memperluas kesempatan-kesempatan untuk
meningkatkan usaha atau kerja, martabat dan kesejahteraan petani. Pemikiran ini
bukanlah suatu hal yang baru di !ndonesia. Namun, hingga saat ini belum banyak
menghasilkan kinerja petani yang lebih baik, seperti yang terjadi di negara-negara
maju.
Korporasi petani dalam bidang agribisnis telah menjadi wacana dan diskusi publik
sebagai suatu pembangunan kelembagaan. Korporasi masyarakat (petani
agribisnis) pada dasarnya adalah perusahaan yang dimiliki oleh masyarakat pada
dasarnya akan menjadi kuat manakala memanfaatkan segenap modal sosial yang . ada pada masyarakat tersebut. Contoh yang dikemukakan adalah pengalaman
empirik perusahaan American Crystal Sugar Company (ACSC) yang dibeli oleh
1 .300 petani pada tahun 1973 melalui NYSE senilai US$ 86 juta. Sejak saat itu,
ACSC berkembang pesat, baik dalam areal, produksi, rendemen, kepemilikan
petani, dan usaha patungan. Demikian pula, pelajaran yang dikembangkan di
Malaysia dalam merestrukturisasi kepemilikan saham melalui skema Amanah
Saham Nasional tampaknya dapat menjadi bahan pengkajian.
Korporasi petani sebagai suatu kelembagaan ekonomi misalnya, adalah suatu
lembaga atau perusahaan yang dimiliki oleh petani. Dalam sosok tersebut,
kepemilikan petani ini dinyatakan dalam bentuk kepemilikan individual dan kolektif
melalui lembaga koperasi sekaligus. Kepemilikan yang sifatnya individual
dirancang agar petani secara individual langsung dapat berpartisipasi dalam
pengembangan kesempatan-kesempatan dan memanfaatkannya.
Sedangkan kepemilikan kolektif ditujuan agar organisasi petani dapat menjalankan
fungsinya. Korporasi petani pada dasarnya merupakan kumpulan petani sekaligus
juga kumpulan modal, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta modal sosial seperti
semangat serta dukungan dari para pihak yang memiliki kesadaran untuk
terwujudnya industrialiasi pertanian di Indonesia.
34
C. Pembiayaan Pertanian
Ciri khas dari kehidupan petani adalah perbedaan pola penerimaan, pendapatan,
dan pengeluarannya. Hasil produksi hanya diterima petani setiap musim sedangkan
pengeluaran harus diadakan setiap hari, setiap minggu atau kadang-kadang dalam
waktu yang sangat mendesak seperti kematian, pesta perkawinan dan selamatan lain.
Keberadaan kredit benar-benar dibutuhkan oleh petani untuk tujuan produksi,
pengeluaran hidup sehari-hari sebelum hasil panen terjual dan untuk pertemuan sosial
lainnya. Dikarenakan penguasaan lahan tergolong sempit, upah yang mahal dan
kesempatan kerja terbatas di luar musim tanam, sebagian besar petani tidak dapat
memenuhi biaya hidupnya dari satu musim ke musim lainnya tanpa pinjaman. Kredit
sudah menjadi bagian hidup dan ekonomi usahatani, bila kredit tidak tersedia tingkat
produksi dan pendapatan usahatani akan turun drastis.
1. Bank Bagi Petani
Masalah utama dalam penyediaan kredit ke petani gurem adalah adanya jurang
pemisah antara penyaluran dengan penerimaan kredit. Banyak lembaga permodalan
dengan berbagai skim kreditnya ditawarkan ke petani, tetapi pada kenyataannya hanya
dapat diakses oleh kelompok masyarakat tertentu $edangkan petani-petani dengan
skala usaha kurang dari 2 hektar untuk tanaman pangan dan tidak memiliki ijin usaha
bagi petani hortikultura, peternak dan pekebun masih tetap kesulitan.
Menurut laporan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), salah
satu faktor penyebab lemahnya sektor pertanian Indonesia karena sulitnya petani
mendapatkan akses ke sumber modal yang ada. Akses petani ke perbankan yang
sangat lemah dapat disebabkan karen a: (1) petani tidak memiliki jaminan atau agunan
guna mendapatkan kredit; (2) pertanian dianggap s~bagai usaha yang memiliki risiko
tinggi sehingga perbankan mengalami kesulitan dalam menyalurkan kreditnya; dan (3)
skala kredit yang dibutuhkan rumah tangga petani sangat kecil (karena sempitnya
lahan) sehingga tidak memenuhi skala kredit kecil dari perbankan.21 Lembaga
pembiayaan juga masih belum membuka pintu bagi petani, hal ini dibuktikan dengan
rendahnya alokasi kredit bagi sektor pertanian. Kesadaran petani untuk meminjam
kepada lembaga pembiayaan, dan bukan kepada tauke atau tengkulak juga rendah.
Petani beranggapan bahwa meminjam kepada lembaga pembiayaan memerlukan
waktu yang sangat lama dan prosedur yang ruroit.
Hal ini juga diperkuat oleh penjelasan Anny Ratnawati bahwa keterbatasan
ataupun kendala dalam pembiayaan sektor pertanian di Indonesia berasal dari dua sisi.
Pertama, adanya keterbatasan dana APBN dan kedua, hambatan petani dalam
mengakses perbankan yang diakibatkan oleh tidak adanya jaminan, kurang
21 Bappenas. 2006. Profil Pangan dan Pertanian 2003-2006, Direktorat Pangan dan Pertanian Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasionai/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta.
35
pemahaman atas administrasi perbankan, tingginya biaya transaksi dan cara
pembayaran bulanan yang tidak sesuai dengan pendapatan petani yang musiman.22
Pemerintah harus bersedia menjadi penjamin bagi petani dan melakukan sosialisasi
kepada petani. Hal lain yang juga menjadi kendala adalah analisis kredit di lembaga
pembiayaan dibuat bukan oleh tenaga yang mengerti karakteristik pertanian.
Proporsi kredit perbankan untuk sektor pertanian sampai saat ini masih kecil, yaitu
di bawah 6 persen. Masih jauh lebih kecil dibandingkan kredit untuk sektor
perdagangan dan perindustrian. Ashari juga memberikan argumentasi penyebab
rendahnya alokasi kredit perbankan, yaitu: (1) perbankan memandang sektor pertanian
sangat berisiko sehingga sangat hati-hati dalam pemberian kredit; (2) pihak perbankan
trauma dengan pemberian Kredit Usaha Tani (KUT) di masa lalu yang terjadi kurang
baik; (3) banyak perbankan yang tidak mempunyai pengalaman menyalurkan kredit di
sektor pertanian; (4) dominasi usaha mikro kecil memiliki kelemahan dalam manajemen
dan pembukuan; serta (5) adanya risiko sosial dan status lahan yang kurang kondusif
bagi perbankan.23 Rendahnya alokasi kredit ini jug11 dapat disebabkan tidak adanya
kesepahaman antara Pemerintah dan lembaga pembiayaan. Pemerintah semestinya
memberikan insentif dan advokasi kepada lembaga pembiayaan agar lembaga
pembiayaan tidak ragu-ragu memberikan alokasi kredit yang lebih besar kepada petani.
Lembaga kredit, baik formal maupun informal, di tingkat desa sangat penting untuk
menutupi ketidakcukupan modal biaya usahatani dan kebutuhan lainnya. Pada
kenyataannya petani lebih akses ke lembaga informal yang menyediakan suku bunga
tinggi, sebaliknya petani kaya dan pelaku usaha besar lain seperti penggilingan padi,
pedagang saprotan dan pedagang hasil dapat akses ke lembaga kredit formal yang
menetapkan suku bunga rendah. Penomena ini sangat penting untuk dipelajari,
membuat kebijakan-kebijakan agar petani-petani dengan skala usaha kurang dari 2
hektar untuk tanaman pangan dan tidak memiliki ijin usaha bagi petani hortikultura,
peternak dan pekebun juga dapat akses ke lembaga formal yang menyediakan kredit
dengan suku bunga rendah.
Syukur dkk, (1990) menerangkan bahwa dalam menyusun skim kredit untuk
petani-petani dengan skala usaha kurang dari 2 hektar untuk tanaman pangan dan
tidak memiliki ijin usaha bagi petani hortikultura, peternak dan pekebun, lembaga
pembuat kebijakan harus mempertimbangkan karakteristik petani-petani dengan skala
usaha kurang dari 2 hektar untuk tanaman pangan dan tidak memiliki ijin usaha bagi
petani hortikultura, peternak dan pekebun sebagai pengguna seperti masih rendahnya
dalam dukungan aset, produktivitas, ketrampilan fisik, pendapatan, pendidikan dan luas
22 Anny Ratnawati. 2009. Mencari Alternatif Pembiayaan Pertanian, Makalah disampaikan pada Round Table Discussion: Mencari Alternatif Pembiayaan Pertanian, Kerjasama Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan FEM I PB, Jakarta, 16 April 2009.
23 Ashari, 2009. Peran Perbankan Nasional dalam Pembiayaan Sektor Pertanian di Indonesia, Forum Penelitian Agro Ekonomi, (27):1.
36
penguasaan lahan. Karena keterbatasan tersebut, karakteristik skim kredit yang
ditawarkan harus berada dalam batas-batas kemampuannya seperti penetapan jenis
agunan, bentuk kredit, periode kredit, cara pengembalian dan tingkat suku bunga kredit.
Selain itu permasalahan lain yang juga muncul terkait dengan lembaga perbankan
adalah: (1) jangkauan pelayanan kredit atau pembiayaan masih san gat terbatas; (2)
persyaratan aplikasi masih sangat rigid sehingga tidak semua masyarakat dapat
mengakses pinjaman yang disalurkan; (3) jangka waktu proses pencairan kredit relatif
lama karena adanya screening dan checking; (4) biaya transaksi dianggap masih terlalu
besar; (5} persyaratan agunan dengan menetapkan barang yang telah memiliki
kekuatan hukum formal sangat memberatkan; dan (6) penilaian terhadap nilai agunan
cenderung sangat underestimate sehingga dapat berpengaruh terhadap nilai pinjaman
yang diberikan.24 Selain itu, permasalahan lain yang juga muncul adalah: sosialisasi
dari lembaga perbankan yang sang at rendah, dan keharusan bergabung dalam
kelompok petani. Petani semestinya diberikan keleluasaan untuk memilih, bergabung
dalam kelompok atau mandiri. Di beberapa tempat, petani cenderung enggan
berkelompok disebabkan ketidakpercayaan kepada manajemen kelompok, dan
mekanisme pengawasan yang diterapkan. Petani beranggapan bahwa kelompok hanya
dimanfaatkan urtuk kepentingan pengurus.
Syukur dkk (1990) menemukan fakta dalam penelitiannya, bahwa penyediaan
agunan merupakan persyaratan yang paling sulit dipenuhi oleh pelaku usaha pertanian.
Apalagi jika agunan yang dipersyaratkan harus berupa sertifikat tanah atau bangunan.
Sehingga menjadi sulit bagi pelaku usaha pertanian untuk akses terhadap sumber
kredit formal.25 Apalagi bukti kepemilikan tanah atau lahan garapan yang dimiliki petani
tidak berupa sertifikat, tetapi hanya berupa "girik". Selain itu, mayoritas petani di pulau
Jawa hanya merupakan petani penggarap dan bukan petani pemilik.
Tabel2. Alokasi Penyaluran KreditPerbankan Nasional Tahun 2004-2009 ( Persen)
Sektor Ekonomi Tahun
2003 2004 2005 2006 2007 2008 Jan 2009 Pertanian 5,55 5,92 5,34 5,70 5,68 5,14 5,21 Pertambangan 1 '16 1,40 1 '17 1,78 2,62 2,46 2,46 Perindustrian 28,11 25,90 24,62 23,23 20,52 20,74 20,87 Perdagangan 19,24 20,21 19,53 20,63 21,64 19,85 19,51 Jasa listrik, Konstruksi, dan 20,35 7,80 7,50 8,51 26,10 10,69 10,64 Pengangkutan Jasa lain 25,59 38,77 41,83 40,16 40,68 41 '11 41,32
Total 100 100 100 100 100 100 100 . . Sumber: Stat1st1k Perbankan Indonesia .
24 Nurmanaf, Endang Hastuti, Ashari, Supena Friyatno, dan Bambang Wiryono. 2006. Analisis Sistem Pembiayaan Mikro dalam Mendukung Usaha Pertanian di Perdesaan, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogar.
25 Mat Syukur, Endang Hastuti, Soentoro, Adang Supriatna, Supadi, Sumedi, dan Bambang W.O. Wicaksono. 2002. Kajian Pembiayaan Pertanian Mendukung Pengembangan Agribisnis dan Agroindustri di Perdesaan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogar.
37
Tabel 2 terlihat bahwa selama periode tahun 2003 sampia dengan Januari tahun
2009, alokasi kredit untuk sektor pertanian hanya berkisar antara 5,14-5,92 persen.
Besaran pangsa sektor pertanian masih selalu di bawah sektor perindustrian,
perdagangan dan jasa. Ashari menduga hal ini terkait dengan strategi penyaluran kredit
perbankan yang lebih diarahkan pada kredit berisiko rendah26.
Sekitar 55 persen petani lndonesia27, merupakan petani-petani gurem yang
diklasifikasikan sebagai masyarakat miskin berpendapatan rendah. Keberadaan kredit
benar-benar dibutuhkan oleh petani untuk tujuan produksi, pengeluaran hidup sehari
hari sebelum hasil panen terjual dan untuk pertemuan sosial lainnya. Dikarenakan
penguasaan lahan tergolong sempit, upah yang mahal dan kesempatan kerja terbatas
di luar musim tanam, sebagian besar petani tidak dapat memenuhi biaya hidupnya dari
satu musim ke musim lainnya tanpa pinjaman. Kredit sudah menjadi bagian hidup, bila
kredit tidak tersedia tingkat produksi dan pendapatan usahatani akan turun drastis. Kita
harus mencontoh Thailand yang memberikan kredit pertanian yang berbunga rendah
dan tanpa agunan, terutama yang disediakan oleh BAAC28• Dalam hal penyaluran kredit
perbankan, intervensi Pemerintah Thailand relatif kecil, kecuali dalam hal penyaluran
kredit pertanian yang tetap diintervensi oleh Pemerintah dengan berbagai kebijakan,
walaupun pihak perbankan memiliki komitmen yang tinggi untuk menjalankan kebijakan
terse but.
Kebijakan Pemerintah mengenai permodalan bagi petani kecil dilakukan melalui
kelompok dalam bentuk Bantu an Langsung Masyarakat (BLM), sedangkan bagi petani
yang tidak mampu dilakukan dengan bunga komersial melalui skim Kredit Ketahanan
Pangan-Energi dan Program Kemitraan Bina Lingkungan dari penyisihan laba BUMN.29
Sedangkan kebijakan Bank Indonesia dalam memberikan sejumlah fasilitasi,
diantaranya adalah pola pembiayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM),
pengembangan UMKM melalui pengembangan klaster, dan program pengembangan
inti plasma, serta fasilitasi percepatan dan pemberdayaan ekonomi daerah?0
Dengan memperhatikan peluang dan potensi yang ada, bank pertanian bukan
sesuatu kemustahilan untuk dapat diwujudkan. Apalagi beberapa negara juga telah
menerapkannya, seperti Malaysia, Thailand, Korea, dan China yang telah berhasil
mengelola bank pertanian sejak puluhan tahun yang lalu dan memberikan kontribusi
nyata bagi sektor pertanian di negaranya. Selain itu bukti empiris menunjukkan jika
ternyata petani mampu membayar jasa finansial (bunga) yang cukup tinggi. Potensi
26 Ashari, op cit. 27 BPS dan Kementerian Pertanian, 2010. 28 Made Antara, op cit. 29 Mat Syukur, Mencari Alternatif Pembiayaan Pertanian, Makalah disampaikan pada Round Table
Discussion: Mencari Alternatif Pembiayaan Pertanian, Kerjasama Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan FEM IPB, Jakarta, 16 April 2009.
30 Ashari, op cit.
38
repayment tersebut sebaiknya diiringi dengan memberikan kemudahan dalam prosedur
pemberian kredit. Contohnya dengan adanya divisi bank retail atau mikro bersegmen
khusus petani dengan sistem 'jemput bola' sehingga ada petugas bank yang secara
profesional menjelaskan skim kredit dan sekaligus mempermudah proses
administrasinya bagi petani. Sedangkan beberapa skenario rancang bangun bank
dapat dilakukan, antara lain: (1) pendekatan pola pend irian credit-agricole Perancis, (2)
pola pendirian bank Bukopin, (3) Foreign Direct Investment, (4) mendorong bank BUMN
menjadi bank pertanian, dan (5) memanfaatkan lembaga keuangan yang tumbuh dan
berkembang di tingkat lokal (seperti koperasi dan LKM). Alternatif-alternatif tersebut
perlu kajian untuk mengetahui biaya dan manfaatnya.31
Dalam konteks ini, pembentukan bank pertanian dilakukan dengan cara
mendorong Bank Rakyat Indonesia (BRI) menjadi bank pertanian. Hal ini dilakukan
karena jaringan Bank BRI sudah sangat luas, sampai ke desa, dan dari sejarah
pendiriannya Bank BRI telah melayani petani sejak dulu.
Di samping pengembangkan bank pertanian, lembaga keuangan bukan bank,
seperti pegadaian, juga harus tetap dikembangkan oleh Pemerintah untuk memberikan
pilihan pembiayaan bagi petani. Eksistensi bank pertanian dan lembaga keuangan
bukan bank diharapkan mampu mengurangi ruang gerak lintah darat di wilayah
perdesaan, khususnya pada sektor pertanian.
Jika demikian maka persoalannya berada di kemauan Pemerintah. Diakui, pertanian
memang memiliki risiko tinggi. Menjadi tugas Pemerintah untuk mengecilkan risiko itu,
di antaranya dengan memberikan regulasi yang mell)ihak kepada sektor pertanian agar
muncul kepercayaan pihak bank kepada petani dan sektor pertanian. Keberpihakan
Pemerintah terhadap sektor pertanian memberikan pengaruh sangat signifikan sebagai
benteng bank untuk meminjamkan kreditnya kepada petani.
2. Lembaga Pembiayaan Petani
Selain Bank Bagi Petani, Pemerintah juga membentuk Lembaga Pembiayaan
Petani. Jika Bank Bagi Petani diperuntukkan bagi petani yang sudah feasible dan
bankable, maka LPP dibentuk untuk melayani kebutuhan modal bagi petani yang belum
feasible dan bankable. Oleh karena itu, pembentukan lembaga baru ini dilakukan
dengan melebur lembaga keuangan atau pembiayaan pertanian yang sudah ada saat
ini, seperti Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis. Modal awal bagi LPP sebesar Rp6
triliun.
Pembentukan LPP ini untuk mengatasi permasalahan permodalan bagi petani,
khususnya petani-petani dengan skala usaha kurang dari 2 hektar untuk tanaman
pangan dan tidak memiliki ijin usaha bagi petani hortikultura, peternak dan pekebun.
31 Ashari dan Supeno Friyatno. 2006. Perspketif Pendirian Bank Pertanian di Indonesia. Forum Penelitian Agro Ekonomi, 24(2): hal 120.
39
Untuk membiayai usaha tani, pada umumnya petani masih kesulitan mengakses kredit
dari dunia perbankan. Hal ini disebabkan sifat usaha tani yang memiliki risiko tinggi.
Dari total kredit perbankan secara nasional sebesar Rp1.397 triliun dan kredit sektor
pertanian hanya sebesar Rp77 triliun atau sebesar 5,5 persen. Padahal, kontribusi
sektor pertanian terhadap PDB adalah besar. Share kredit sektor pertanian hanya
sekitar 9 persen terhadap PDB pertanian, yang mencapai Rp713 triliun pada 2008.
Kondisi tersebut menunjukkan jika banyak kegiatan sektor pertanian yang dibiayai
sendiri.32
Di Indonesia, petani selalu digambarkan sebagai sosok yang kumuh, tidak
berdaya, lemah modal, rendah pendidikan, kurang inisiatif, dan lain-lain. Gambaran
inilah yang sering mempengaruhi jalan pikiran para pemegang kebijakan dalam
mengambil keputusan, khususnya menyangkut penyaluran kredit kepada petani. Prinsip
keberhati-hatian perbankan terlihat sangat ditegakkar:1. Pertanian sering diianggap tidak
menarik oleh dunia perbankan, karena umumnya bisnis pertanian hanya dilihat on farm
nya, yang memang didominasi petani-petani dengan skala usaha kurang dari 2 hektar
untuk tanaman pangan dan tidak memiliki ijin usaha bagi petani hortikultura,· peternak
dan pekebun. Petani gurem seperti itulah yang kerap dipandang sebelah mata oleh
pebisnis dan perbankan sebagai yang tidak bankable. Tetapi, bila bisnis pertanian
dilihat secara utuh sampai ke off farm, maka akan terlihat begitu besar potensi yang
dikandung sektor pertanian. Banyak perusahaan yang termasuk agroindustri atau
perusahaan pengolahan yang berbahan baku ·produk pertanian. Persoalannya adalah
penghasil produk primer (bahan baku) pertanian sebagian besar adalah petani-petani
dengan skala usaha kurang dari 2 hektar untuk tanaman pangan dan tidak memiliki ijin
usaha bagi petani hortikultura, peternak dan pekebun. lnilah yang sering dipandang
sebagai pelaku bisnis yang non-bankable.
Fungsi kredit yang strategis dalam pembanguan sektor pertanian dan perdesaan
digunakan Pemerintah, termasuk di banyak negara, sebagai salah satu instrumen untuk
meningkatkan kesejahteraan petani. Kredit dianggap menjadi salah satu alat yang
mampu memutus 'lingkaran setan' dari masyarakat pendapatan rendah, sehingga
mereka akan dapat mengakses sarana produksi lebih baik, kemudian produktivitas
usahatani menjadi meningkat, dan pada akhirnya pendapatan yang rendah dapat
meningkat.33 Agar kredit mikro dengan tingkat bunga yang rendah mampu menurunkan
kemiskinan petani, usahatani tersebut harus didorong menjadi usaha yang profitable,
32 Menteri Keuangan. 2010. RUU Pembiayaan Pertanian Disiapkan. Kompas 12 Januari 2010. Serial Online, http://docs.googte.com/viewer?a=v&q=cache:KdDPB6BxCRAJ:perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file%3Ffile%3 Ddigital/92711-%2558 _Konten _ %255D-RUU%2520Pembiayaan%2520pertanian.pdf+direktorat+ pembiayaan+pertanian+kredit&hl=id&gl=id&pid=bl&srcid=ADGEEShUml1sj1ZLikfdY3yDuT3LqMN301vL7wuzOJ OgtbxhXns62F8s1 KWOdv04nne_82DgihbSni9UOBqzulx6r7 _eTR1JI1ZCY7B1VBDv4oNHuZxyetUer_X1Q-EiZXDr5rJi8CB&sig=AHIEtbRMT-2ymUz21S7kudWCRVuiAewj2Q. Diakses tanggat 3 Mei 2011.
33 Ashari dan Supeno Friyatno. 2006. Perspketif Pendirian Bank Pertanian di Indonesia. Forum Penelitian Agro Ekonomi, 24(2): hat 108.
40
sehingga petani dapat mengakses tingkat bunga rendah pada awal aktivitas usahatani
di daerah perdesaan?4 Oleh sebab itu berdasarkan penjelasan di atas menunjukkan
bahwa bank pertanian memiliki fungsi tidak hanya melindungi petani dari permasalahan
akses permodalan dan pembiayaan usahatani, tatapi juga untuk memberdayakan
petani yang bersakala besar dan petani-petani yang skala usaha kurang dari 2 hektar
untuk tanaman pangan dan tidak memiliki ijin usaha bagi petani hortikultura, peternak
dan pekebun sehingga usahataninya menjadi berkembang.
E. Badan Usaha Milik Petani
Salah satu kelembagaan ekonomi petani yang sangat potensial untuk
dikembangkan dalam rangka memberdayakan petani adalah Badan Usaha Milik Petani
(BUMP). Adanya insentif ekonomi akan menj?di salah satu alasan bagi petani-petani
dengan skala usaha kurang dari 2 hektar untuk tanaman pangan dan tidak memiliki ijin
usaha bagi petani hortikultura, peternak dan pekebun khususnya, untuk berkumpul dan
berusaha tani sehingga skala usahanya menjadi feasible dan sekaligus bankable. Pada
dasarnya BUMP merupakan hibrida antara koperasi atau badan usaha. Semangat
koperasi secara alami akan terwujud melalui struktur kepemilikan perseroan (share)
yang melibatkan banyak petani (kelompok tani). Model BUMP ini diharapkan memiliki
kapasitas untuk me-leverage modalnya beberapa kali lipat, meningkatkan nilai tambah,
dan melakukan adu-tawar yang kuat dengan pihak mitra bisnisnya.35
BUMP yang dimiliki oleh, dari, dan untuk petani memiliki unit-unit usaha di bidang
pertanian yang dikelola secara swadaya petani. Sedangkan di sisi lain, BUMP di masa
mendatang juga dapat digunakan sebagai sarana pemberian bantuan subsidi benih dan
pupuk bagi petani serta alih teknologi. BUMP mempunyai fungsi melakukan kegiatan
usaha dari sarana produksi, pembiayaan, budidaya, panen dan pasca panen,
pengolahan, sampai dengan pemasaran hasil.
34 ADB. 2006. Indonesia, Strategic Vision for Agriculture and Rural Development. Asian Development Bank, Philippines, hal 69.
35 Agus Pakpahan. Badan Usaha Milik Petani Sebagai Sarana Gotong Royong Usaha untuk Kemajuan Petani. Serial Online, http:/ANww.Scribd.Com/Doc/8068961/Badan-Usa~a-Milik-Petaniktna, Diakses Tanggal 05 Mei 2011.
41
BAB Ill
EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT
Berbagai peraturan perundang-undangan yang ada mengenai Perlindungan dan
Pemberdayaan Petani, telah diatur secara parsial dan belum terintegrasi satu dengan
yang lain. Untuk mengetahui sejauh mana dan bagaimana masing-masing peraturan
perundang-undangan dimaksud, dalam pengaturan Perlindungan dan Pemberdayaan
Petani, dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya
Tanaman, terdapat 7 pasal yang berkaitan dengan perlindungan dan
pemberdayaan petani, yaitu:
a. Pasal6
(1) Petani memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan jenis tanaman dan
pemberdayaannya.
(3) Apabila pilihan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1 ), tidak dapat
terwujud karena ketentuan Pemerintah, maka Pemerintah berkewajiban
untuk mengupayakan agar petani yang bersangkutan memperoleh
jaminan penghasilan tertentu.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.
b. Pasal26
(1) Kepada pemilik yang tanaman dan/atau benda lainnya dimusnahkan
dalam rangka eradikasi dapat diberikan kompensasi.
(2) Kompensasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1 ), diberikan hanya
atas tanaman dan/atau benda lainnya yang tidak terserang organisme
pengganggu tumbuhan tetapi harus dimusnahkan dalam rangka
eradikasi.
c. Pasal27
Ketentuan mengenai pengendalian dan er~dikasi dan organisms pengganggu
tumbuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 butir b dan butir c serta
ketentuan mengenai kompensasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
26, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
d. Pasal30
Pemerintah wajib berupaya untuk meringankan beban petani-petani dengan
skala usaha kurang dari 2 hektar untuk tanaman pangan dan tidak memiliki
ijin usaha bagi petani hortikultura, peternak dan pekebun berlahan sempit
yang budidaya tanamannya gagal pailen karena bencana alam.
e. Pasal36
42
Pemerintah menetapkan harga dasar hasil budidaya tanaman tertentu.
f. Pasal37
(3) Pemerintah mengawasi pengadaan dan peredaran pupuk.
(4) Ketentuan mengenai tatacara pengawasan, pengadaan, dan peredaran
pupuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur lebih lanjut dengan
peraturan Pemerintah.
g. Pasal38
(1 ). Pestisida yang akan diedarkan di dalam wilayah Negara Republik
Indonesia wajib terdaftar, memenuhi standar mutu, terjamin
efektivitasnya, aman bagi manusia dan lingkungan hidup, serta diberi
label.
(2). Pemerintah menetapkan stan dar mutu pestisida sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1 ), dan jenis pestisida yang boleh diimpor.
2. Di dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, lkan,
dan Tumbuhan terdapat 3 pasal yang berkaitan dengan perlindungan dan
pemberdayaan petani, yaitu:
a. Pasal1
Karantina adalah tempat, dan atau tindakan untuk mencegah keluar masuk
dan tersebarnya organisme pengganggu tumbuhan dan/atau penyakit hewan
menular.
b. Pasal14
(1) Terhadap media pembawa hama dan penyakit hewan karantina, hama
dan penyakit ikan karantina, atau organisme pengganggu tumbuhan
karantina dilakukan penahanan apabila setelah dilakukan pemeriksaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, ternyata persyaratan karantina
untuk pemasukan ke dalam atau dari suatu area lain di dalam wilayah
Negara Republik Indonesia bel urn seluruhnya dipenuhi.
(2) Pemerintah menetapkan balas waktu pemenuhan persyaratan,
sebagaimana dimak~ud dalam ayat (1 ).
c. Pasal24
a. Jenis hama dan penyakit hewan karantina, hama dan penyakit ikan
karantina, dan organisme pengganggu tumbuhan karantina;
b. Jenis media pembawa hama dan penyakit hewan karantina, hama dan
penyakit ikan karantina, dan organisme pengganggu tumbuhan
karantina;
c. Jenis media pembawa hama dan penyakit hewan, karantina, hama dan
penyakit ikan karantina, dan organisme pengganggu tumbuhan
43
karantina yang dilarang untuk dimasukan dan/atau dibawa atau dikirim
dari suatu area lain di dalam wilayah Negara Republik Indonesia.
d. Pasal26
Pemerintah menetapkan tempat-tempat pemasukan dan pengeluaran
media pembawa hama dan penyakit ~ewan karantina, hama dan
penyakit ikan karantina, dan organisms pengganggu tumbuhan
karantina.
3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah
diu bah dengan Undang-Undan~ Nomor 1 0 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan terdapat pasal yang
berkaitan dengan perlindungan dan pemberdayaan petani, yaitu:
a. Pasal5
(1) Menu rut jenisnya, bank terdiri dari
a. Bank Umum;
b. Bank Perkreditan Rakyat.
(2) Bank Umum dapat mengkhususkan diri untuk melaksanakan kegiatan
tertentu atau memberikan perhatian yang lebih besar kepada kegiatan
tertentu.
b. Pasal12
Pemerintah dapat menugaskan Bank Umum untuk melaksanakan pro gram
Pemerintah guna mengembangkan sektor-sektor perekonomian tertentu, atau
memberikan perhatian yang lebih besar pada koperasi dan pengusaha
golongan ekonomi lemah atau pengusaha kecil dalam rangka meningkatkan
taraf hidup rakyat banyak, berdasarkan ketentuan yang diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.
4. Di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan, terdapat 5 pasal
yang berkaitan dengan perlindungan dan pemberdayaan petani, yaitu:
a. Pasal4
(1) Pemerintah menetapkan persyaratan sanitasi dalam kegiatan atau
proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan/atau peredaran
pangan;
b. Pasal24
(1) Pemerintah menetapkan standar mutu pangan;
c. Pasal27
(1) Pemerintah menetapkan dan menyelenggarakan kebijakan di bidang gizi
sebagai perbaikan status gizi masyarakat
d. Pasal45
44
..•
(1) Pemerintah bersama masyarakat bertanggung jawab untuk mewujudkan
ketahanan pangan.
(2) Dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan, sebagaimana dimaksud
pada ayat (1 ), Pemerintah menyelenggarakan pengaturan, pembinaan,
pengendalian, dan pengawasan terhadap ketersediaan pangan yang
cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, bergizi, beragam, merata,
dan terjangkau oleh daya beli masyarakat.
e. Pasal48
(1) Untuk mencegah dan/atau menanggulangi gejolak harga pangan
tertentu yang dapat merugikan ketahanan pangan Pemerintah
mengambil tindakan yang diperlukan dalam rangka mengendalikan
harga pang an tertentu.
5. Di dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas
Tanaman (PVT), terdapat 2 Pasal yang berkaitan dengan perlindungan dan
pemberdayaan petani, yaitu:
a. Pasal6
(1) Pemegang hak PVT memiliki hak untuk menggunakan dan memberikan
persetujuan kepada orang atau badan hukum lain untuk menggunakan
varietas berupa benih dan hasil panen yang digunakan untuk propagasi.
b. Pasal8
(1) Pemulia yang menghasilkan varietas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3) berhak untuk mendapatkan imbalan yang
layak dengan memperhatikan manfaat ekonomi yang dapat diperoleh
dari varietas tersebut.
6. Di dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, terdapat 7
Pasal yang berkaitan dengan perlindungan dan pemberdayaan petani, yaitu:.
a. Pasal18
(1) Pemberdayaan usaha perkebunan dilaksanakan oleh Pemerintah,
provinsi, dan kabupaten/kota bersatna pelaku usaha perkebunan serta
lembaga terkait lainnya.
(2) Pemberdayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. memfasilitasi sumber pembiayaan atau permodalan;
~. menghindari pengenaan biaya yang tidak sesuai dengan peraturan
perundang-undangan;
c. memfasilitasi pelaksanaan ekspor hasil perkebunan;
d. mengutamakan hasil perkebuna'1 dalam negeri untuk memenuhi
kebutuhan konsumsi dan bahan baku industri;
e. mengatur pemasukan dan pengeluaran hasil perkebunan; dan/atau
45
f. memfasilitasi aksesibilitas ilmu pengetahuan dan teknologi serta
informasi.
b. Pasal19
(1) Pemerintah, provinsi, kabupaten/kota mendorong dan memfasilitasi
pemberdayaan pekebun, kelompok pekebun, koperasi pekebun, serta
asosiasi pekebun beradasarkan jenis tanaman yang dibudidayakan
·untuk pengembangan usaha agribisnis perkebunan.
c. Pasal21
Setiap orang dilarang melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan
kebun dan/atau aset lainnya, penggunaan tanah perkebunan tanpa izin
dan/atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha
perkebunan.
d. Pasal22
(1) Perusahaan perkebunan melakukan kemitraan yang saling
menguntungkan, saling menghargai, saling bertanggung jawab, saling
memperkuat dan saling ketergantungan dengan pekebun, karyawan dan
masyarakat sekitar perkebunan.
(2) Kemitraan usaha perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
polanya dapat berupa kerjasama penyediaan sarana produksi,
kerjasama produksi, pengolahan dan pemasaran, transportasi,
kerjasama operasional, kepemilikan saham, dan jasa pendukung
lainnya.
e. Pasal27
(3) Pemerintah, provinsi, kabupaten/kota melakukan pembinaan dalam
rangka pengembangan usaha industri pengolahan hasil perkebunan
untuk memberikan nilai tambah yang maksimal.
f. Pasal36
(4) Pemerintah, provinsi, kabupaten/kota dan/atau pelaku usaha
perkebunan dalam hal tertentu menyediakan fasilitas untuk mendukung
peningkatan kemampuan pelaksana penelitian dan pengembangan
untuk menguasai dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi
perkebunan.
g. Pasal37
(1) Pemerintah, provinsi, kabupaten/kota memfasilitasi pelaksana penelitian
dan pengembangan, pelaku usaha perkebunan dan masyarakat dalam
mempublikasikan dan mengembangkan sistem pelayanan informasi
hasil penelitian dan pengembangan perkebunan, dengan
46
memperhatikan hak kekayaan intelektual sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
(2) Pemerintah memberikan perlindungan hak kekayaan intelektual atas
hasil invensi ilmu pengetahuan dan teknologi dibidang perkebunan.
7. Di dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional, Undang-Undang ini mengatur mengenai jaminan sosial yang
merupakan salah satu bentuk jaminan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar
dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak. Namun demikian,
jangkauan pengaturannya hanya berwujud dalam bentuk jaminan sosial bagi
tenaga kerja, Pegawai Negeri Sipil (PNS), dan Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Selanjutnya jaminan tersebut diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial yang secara limitatif disebut dalam Undang-Undang Pasal 5 yaitu:
a. Persero Jamsostek;
b. Persero Taspen;
c. Persero Asabri; dan
d. Persero Askes.
Berarti setiap orang yang melakukan usaha termasuk usahatani tidak termasuk
jangkau~m pengaturan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004.
8. Di dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2006 tentang Pengesahan Perjanjian
lnternasional Mengenai Sumberdaya Genetik untuk Pangan dan Pertanian
mengamanatkan bahwa sumberdaya genetik tanaman yang telah dikelola oleh
komunitas petani di suatu daerah oleh Pemerintah wajib dilindungi oleh
Pemerintah dalam bentuk pengakuan atas hak kekayaan intelektual. Setiap orang
yang ingin mengakses sumberdaya genetik tersebut harus mendapat izin dari
Pemerintah Daerah dan memberikan manfaat ekonomi (benefit sharing) dari
pemuliaan sumberdaya genetik tersebut.
9. Di dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan
Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan, terdapat 2 pasal yang berkaitan dengan
perlindungan dan pemberdayaan petani, yaitu:
a. Pasal16
(2) Pas penyuluhan berfungsi sebagai tempat pertemuan para penyuluh,
pelaku utama, dan pelaku usaha untuk:
a. menyusun programa penyuluhan;
b. melaksanakan penyuluhan di desa atau kelurahan;
c. menginventarisasi permasalahan dan upaya pemecahannya;
d. melaksanakan proses pembelajaran melalui percontohan dan
pengembangan model usahatani bagi pelaku utama dan pelaku
usaha;
47
e. kepemimpinan, kewirausahaan, serta kelembagaan pelaku utama
dan pelaku usaha;
f. melaksanakan kegiatan rembug, pertemuan teknis, temu lapang, dan
metode penyuluhan lain bagi pelaku utama dan pelaku usaha.
b. Pasal19
(1) Kelembagaan pelaku utama beranggotakan petani, pekebun, peternak,
nelayan, pembudidaya ikan, pengolah ikan, serta masyarakat di dalam
dan di sekitar hutan yang dibentuk oleh pelaku utama, baik formal
maupun non-formal.
(2) Kelembagaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai fungsi
wadah proses pembelajaran, wahana kerja sama, unit penyedia sarana
dan prasarana produksi, unit produksi, unit pengolahan dan pemasaran,
serta unit jasa penunjang.
(3) Kelembagaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk
kelompok, gabungan kelompok, asosiasi, atau korporasi.
(4) Kelembagaan sebagaimana d.imaksud pada ayat (1) difasilitasi dan
diberdayakan oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah agar
tumbuh dan berkembang menjadi organisasi yang kuat dan mandiri
sehingga mampu mencapai tujuan yang diharapkan para anggotanya.
1 0. Di dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana, Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban memberikan
perlindungan masyarakat termasuk petani terhadap kerugian akibat bencana alam
baik kerugian jiwa, fisik dan/atau berbagai usaha yang dilakukan masyarakat
termasuk petani. Kerugian usahatani biasanya tidak hanya pada usahanya tetapi
juga pada lahan usahanya sehingga diantisipasi sejak pra bencana, sampai saat
tanggap darurat dan pasca bencana. Oleh karena itu suatu keniscayaan bahwa
Pemerintah berkewajiban untuk melakukan perlindungan dan pemberdayaan
petani.
11 . Di dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan
Kesehatan Hewan, terdapat 11 pasal yang berkaitan dengan perlindungan dan
pemberdayaan petani, yaitu:
a. Pasal6
(2) Lahan yang telah ditetapkan sebagai kawasan penggembalaan umum
harus dipertahankan keberadaan dan kemanfaatannya secara
berkelanjutan.
(3) Pemerintah daerah kabupaten/kota yang di daerahnya mempunyai
persediaan lahan yang memungkinkan dan memprioritaskan budidaya
48
ternak skala kecil diwajibkan menetapkan lahan sebagai kawasan
penggembalaan umum.
(4) Pemerintah daerah kabupaten/kota membina bentuk kerja sama antara
pengusahaan peternakan dan pengusahaan tanaman pangan,
hortikultura, perikanan, perkebunan, dan kehutanan serta bidang lainnya
dalam memanfaatkan lahan di kawasan tersebut sebagai sumber pakan
ternak murah.
b. Pasal9
(1) Setiap orang yang melakukan pemanfaatan sumberdaya genetik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) wajib membuat
perjanjian dengan pelaksana penguasaan negara atas sumberdaya
genetik yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat
(2).
(2) Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencantumkan, antara
lain, pembagian keuntungan dari hasil pemanfaatan sumberdaya genetik
yang bersangkutan dan pemberdayaan masyarakat sekitar dalam
pemanfaatannya.
c. Pasal10 ·.
(1) Pembudidayaan dan pemuliaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
ayat (4) dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah daerah provinsi,
Pemerintah daerah kabupaten/kota, masyarakat, dan/atau korporasi.
(2) Pemerintah wajib melindungi usaha pembudidayaan dan pemuliaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1 ).
d. Pasal13
(1) Penyediaan dan pengembangan benih, bib it, dan/atau bakalan
dilakukan dengan mengutamakan produksi dalam negeri dan
kemampuan ekonomi kerakyatan.
(2) Pemerintah berkewajiban untuk melakukan pengembangan usaha
pembenihan dan/atau pembibitan dengan melibatkan peran serta
masyarakat untuk menjamin ketersediaan benih, bibit, dan/atau bakalan.
(3) ·, Dalam hal usaha pembenihan dan/atau pembibitan oleh masyarakat
belum berkembang, Pemerintah membentuk unit pembenihan dan/atau
pembibitan.
e. Pasal29
Pemerintah berkewajtban untuk melindungi usaha peternakan dalam negeri
dari persaingan tidak sehat di antara pelaku pasar.
f. Pasal31
49
(1) Peternak dapat melakukan kemitraan usaha di bidang budi daya ternak
berdasarkan perjanjian yang saling memerlukan, memperkuat, dan
menguntungkan serta berkeadilan.
(2) Kemitraan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan:
a. antar peternak;
b. antara peternak dan perusahaan peternakan;
c. antara peternak dan perusahaan di bidang lain; dan
d. antara perusahaan peternakan dan Pemerintah atau Pemerintah
Daerah.
(3) Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan pembinaan kemitraan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan memerhatikan ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang kemitraan usaha.
g. Pasal32
(3) Pemerintah dan Pemerintah Daerah membina dan memberikan fasilitas
untuk pertumbuhan dan perkembangan koperasi dan badan usaha di
bidang peternakan.
h. Pasal 44
(1 )' Pemberantasan penyakit hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
39 meliputi penutupan daerah, pembatasan lalu lintas hewan,
pengebalan hewan, pengisolasian hewan sakit atau terduga sakit,
penanganan hewan sakit, pemusnahan bangkai, pengeradikasian
penyakit hewan, dan pendepopulasian hewan.
(2) Pemerintah tidak memberikan kompensasi kepada setiap orang atas
tindakan depopulasi terhadap hewannya yang positif terjangkit penyakit
hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Pemerintah memberikan kompensasi bagi hewan sehat yang
berdasarkan pedoman pemberantasan wabah penyakit hewan harus
didepopulasi.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberantasan penyakit hewan
sebagaimana dimaksud pad a ayat (1) sampai dengan ayat (4) diatur
dengan Peraturan Menteri.
i. Pasal76
(1) Pemberdayaan peternak, usaha dibidang peternakan, dan usaha
dibidang kesehatan hewan dilakukan dengan memberikan kemudahan
bagi kemajuan usaha dibidang peternakan dan kesehatan hewan serta
peningkatan daya saing.
(2) Kemudahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
50
a. pengaksesan sumber pembiayaan, permodalan, ilmu pengetahuan
dan teknologi, serta informasi;
b. pelayanan peternakan, pelayanan kesehatan hewan, dan bantuan
teknik;
c. penghindaran pengenaan biaya yang menimbulkan ekonomi biaya
tinggi;
d. pembinaan kemitraan dalam meningkatkan sinergi antarpelaku
usaha;
e. penciptaan iklim usaha yang kondusif dan/atau meningkatan
kewirausahaan;
f. pengutamaan pemanfaatan sumberdaya peternakan dan
kesehatan hewan dalam negeri;
g. fasilitasi terbentuknya kawasan pengembangan usaha peternakan;
h. fasilitasi pelaksariaan promosi dan pemasaran;.dan/atau
i. perlindungan har.ga dan produk hewan dari luar negeri.
(4} Pemerintah dan Pemerintah Daerah bersama pemangku kepentingan di
bidang peternakan dan kesehatan hewan melakukan pemberdayaan
peternak guna meningkatkan kesejahteraan peternak.
(5} Pengembangan produk hewan yang ditetapkan sebagai bahan pangan
pokok strategis dalam mewujudkan ketahanan pangan.
j. Pasal77
(2} Pemerintah dan Pemerintah Daerah melindungi peternak dari perbuatan
yang mengandung unsur peme~asan oleh pihak lain untuk memperoleh
pendapatan yang layak.
(3} Pemerintah dan Pemerintah Daerah mencegah penyalahgunaan
kebijakan dibidang permodalan dan/atau fiskal yang ditujukan untuk
pemberdayaan peternak, perusahaan peternakan, dan usaha kesehatan
hewan.
(4) Pemerintah dan Pemerintah Daerah mencegah penyelenggaraan
kemitraan usaha dibidang peternakan dan kesehatan hewan yang
menyebabkan terjadinya eksploitasi yang merugikan peternak dan
masyarakat.
k. Pasal 81
Negara memberikan perlindungan terhadap hak kekayaan intelektual hasil
aplikasi ilmu pengetahuan dan invensi teknologi di bidang peternakan dan
kesehatan hewan.
51
12. Di dalam .Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan ;
Pertanian Pangan Berkelanjutan, terdapat 6 pasal yang berkaitan dengan
perlindungan dan pemberdayaan petani, yaitu:
a. Pasal34
(1) Setiap orang yang memiliki hak atas tanah yang ditetapkan sebagai
Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan berkewajiban:
b. memanfaatkan tanah sesuai peruntukan; dan
c. mencegah kerusakan irigasi.
(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku bagi pihak lain
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
b. Pasal35
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan:
a. pembinaan setiap orang yang terikat dengan pemanfaatan Lahan
Pertanian Pangan ~erkelanjutan; dan
b. perlindungan terhadap Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
c. Pasal37
Pengendalian lahan pertanian pangan berkelanjutan dilakukan oleh
Pe~erintah dan Pemerintah Daerah melalui pemberian:
a. insentif;
b. disinsentif;
c. mekanisme perizinan;
d. proteksi; dan
e. penyuluhan.
d. Pasal61
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melindungi dan memberdayakan
petani, kelompok petani, koperasi petani, serta asosiasi petani.
e. Pasal62
(1) · Perlindungan petani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 berupa
pemberian jaminan:
a. harga komoditas pangan pokok yang menguntungkan;
b. memperoleh sarana produksi dan prasarana pertanian;
c. pemasaran hasil pertanian pangan pokok;
d. pengutamaan hasil pertanian pangan dalam negeri untuk
memenuhi kebutuhan pangan nasional; dan/atau
e. ganti rugi akibat gagal panen;
d. perlindungan sosial bagi petani-petani dengan skala usaha kurang
dari 2 hektar untuk tanaman pangan dan tidak memiliki ijin usaha
bagi petani hortikultura, peternak dan pekebun merupakan bagian
52
f. Pasal63
yang tidak terpisahkan dari sistem jaminan sosial nasional yang
diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Pemberdayaan petani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 meliputi:
a. penguatan kelembagaan petani·;
b. penyuluhan dan pelatihan untuk peningkatan kualitas sumber daya
manusia;
c. pemberian fasilitasi sumber pembiayaan atau permodalan;
d. pemberian bantuan kredit kepemilikan lahan pertanian;
e. pembentukan bank bagi petani;
f. pemberian fasilitas pendidikan dan kesehatan rumah tangga petani;
dan/atau
g. pemberian fasilitas untuk mengakses ilmu pengetahuan, teknologi, dan
informasi.
13. Di dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 201 0 tentang Hortikultura, yang
berkaitan dengan perlindungan dan pemberdayaan petani, diatur dalam Bab X
Pasa,l 112 dinyatakan bahwa pemberdayaan usaha hortikultura meliputi:
a. Penguatan kelembagaan pelaku usaha dan peningkatan kualitas sumberdaya
manusia;
b. Pemberian bantuan teknik penerapan teknologi dan pengembangan usaha;
c. Fasilitasi akses kepada lembaga pembiayaan atau permodalan;
d. Penyediaan data dan informasi;
e. Fasilitasi pelak~anaan promosi dan pemasaran;
f. Bantuan sarana dan prasarana hortikultura;
g. Sertifikasi kompetensi bagi perseorangan yang memiliki keahlian usaha
hortikultura; dan
h. Pengembangan kemitraan.
Pasal 113 menyatakan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban
memberdayakanp usaha hortikultura mikro kecil.
53
BABIV
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS
A. Landasan Filosofis
Bhineka Tunggal lka, Pancasila, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
merupakan filosofi dasar dari penyusunan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
yang sudah empat kali diamandemen, terakhir pada tahun 2002, merupakan landasan
filosofis dalam penyusunan Undang-Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.
Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
mengamanatkan bahwa perekonomian disusun bersama berdasarkan atas asas
kekeluargaan. Selanjutnya, bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat. Berdasarkan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 tersebut, filosofis pembangunan pertanian diarahkan untuk mewujudkan
sebesar-besarnya kemakmuran petani.
Perlindungan dan pemberdayaan petani merupakan bagian dari upaya melindungi
dan mencerdaskan kehidupan petani dalam rangka meningkatkan kemandirian dan
kesejahteraan petani. Untuk mewujudkan cita-cita luhur tersebut, diperlukan peran dan
komitmen dari Pemerintah, masyarakat, swasta, dan pemangku kepentingan lainnya.
B. Landasan Sosiologis
Indonesia merupakan negara kepulauan, yang memiliki keragaman sosial,
budaya, dan bahasa. Oleh karena itu, perlindungan dan pemberdayaan petani harus
ditempatkan dalam konteks keragaman tersebut di atas, agar dapat diterima oleh
seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Perlindungan dan pemberdayaan petani tidak
hanya dilakukan dengan memperhatikan pertimbangan kesejahteraan, tetapi juga sosial
dan budaya yang melingkupi kehidupan petani dalam berusaha tani.
Sebagai negara kepulauan dengan jumlah penduduk terbesar nomor empat di
dunia, Indonesia memerlukan kestabilan sosial, budaya, ekonomi, politik, dan
keamanan sebagai upaya mewujudkan pembangunan pertanian yang berkelanjutan
menuju masyarakat yang adil dan makmur.
Banyaknya penduduk yang bekerja sebagai petani menyebabkan Iand-man ratio
semakin kecil. Hal ini berakibat rendahnya skala usaha ekonomi petani yang pada
akhirnya menyebabkan rendahnya pendapatan petani. Di negara maju, jumlah
penduduk yang bermata pencaharian di bidang pertanian berkisar lebih kecil atau sama
dengan satu persen.
54
Namun demikian, dari sisi usia, tenaga kerja pertanian yang berusia di atas 45
tahun mencapai sekitar 42 persen, dan diperkirakan akan meningkat di masa
mendatang. Sementara itu, generasi muda cenderung tidak tertarik bekerja disektor
pertanian. Kondisi ini menunjukkan peran, tantangan, dan permasalahan pertanian
dalam pembangunan ekonomi nasional akan semakin kompleks.
Untuk menjawab peran, tantangan, dan permasalahan pertanian tersebut, perlu
dilakukan upaya perlindungan dan pemberdayaan petani. Sebagai contoh, di beberapa
negara maju, seperti Jepang, Amerika Serikat, dan Taiwan yang jumlah petaninya
relatif kecil, perlindungan dan pemberdayaan petani dilakukan antara lain melalui
agrarian reform untuk meningkatkan kepemilikan lahan atau skala usaha,
pemberlakuan tarif impor yang tinggi bagi komoditas pertanian strategis,
pengembangan kelembagaan ekonomi petani di tingkat perdesaan, pemberian subsidi
input dan output dalam rangka meningkatkan daya s~ing produk pertanian.
C. Landasan Yuridis
Permasalahan perlindungan dan pemberdayaan petani dalam pembangungan
pertanian untuk mendukung ketahanan pangan dalam memenuhi kebutuhan pangan
yang merupakan hak dasar bagi masyarakat perlu diwujudkan secara nyata dan
mandiri.
Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Tahun
1945 pada alinea 2 menyatakan: "Dan perjuangan pergerakan Indonesia telah
sampailah pada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa menghantarkan rakyat
Indonesia kedepan pintu gerbang·· .kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka,
bersatu, berdaulat, adil, dan makmur", dan Alinea 4 menyatakan:"Dan kemudian dari
pada itu untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi
segenap bang~a Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan ... ".
Di dalam sila kelima Pancasila dan pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, secara jelas dinyatakan bahwa keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia menjadi dasar salah satu filosofi pembangunan bangsa,
karenanya setiap warga Negara Indonesia, berhak atas kesejahteraan. Oleh karena itu
setiap warga Negara Indonesia berhak dan wajib sesuai kemampuannya ikut serta
dalam pengembangan usaha di bidang pertanian.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada Bab XIV
"Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial", Pasal 33 ayat (4) menyatakan:
"Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan asas demokrasi ekonomi
dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan
55
lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan
kesatuan ekonomi nasional".
Dalam Pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh
semua, untuk semua dibawah pimpinan atau pemil!kan anggota-anggota masyarakat.
Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan bukan kemakmuran orang- orang, sebab
perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
Bentuk perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi.
Perekonomian berdasarkan demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi segala orang.
Oleh karena itu cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang
menguasai hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Kalau tidak, maka produksi
akan jatuh ke tangan orang-orang yang berkuasa dan rakyat dirugikan. Hal ini selaras
dengan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang
menyatakan bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Dalam upaya meningkatkan pendapatan dan taraf hidup petani serta memperluas
pemerataan kesempatan berusaha dan kesempatan kerja, diperlukan langkah-langkah
yang mendorong tumbuhnya kerjasama saling menguntungkan antara usaha berskala
kecil dengan yang berskala besar agar terbuka peluang bagi petani dan usaha kecil
turut masuk kedalam kepemilikan usaha skala besar melalui perlindungan dan
pemberdayaan petani.
Selain itu, terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang dapat
dijadikan acuan dan dalam rangka sinkronisasi terkait dengan substansi pengaturan
perlindungan dan pemberdayaan petani. Beberapa Undang-Undang tersebut
diantaranya:
1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Bagi Hasil Tanah Pertanian;
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria;
3. Undang-Undang Nomor 56 PAP Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah
Pertanian:
4. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian;
5. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah
diu bah dengan Undang-Undang Nom or 1 0 Tahun 1998 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan,
6. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman;
7. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, lkan, dan
Tumbuhan;
8. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian;
56
9. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement
Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan
Organisasi Perdagangan Dunia);
1 0. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan;
11. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas
Tanaman;
12. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
13. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air;
14. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan;
15. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional;
16. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional;
17. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2006 tentang Perjanjian lnternasional
Mengenai Sumberdaya Genetik Untuk Pangan dan Pertanian;
18. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan
Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan;
19. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 - 2025;
20. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana;
21. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang;
22. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan
Menengah;
23. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial;
24. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan
Hewan;
25. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah;
26. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan; dan
27. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura.
57
BABV
JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LJNGKUP MATERI MUATAN UNDANG-UNDANG, PERATURAN DAERAH PROVINSI, ATAU PERATURAN
DAERAH KABUPATEN/KOTA
A. Perencanaan
Perencanaan perlindungan dan pemberdayaan petani merupakan bagian integral
dari perencanaan pembangunan pertanian nasional. Perencanaan perlindungan dan
pemberdayaan petani disusun berdasarkan kebutuhan petani yang diakibatkan oleh
permasalahan yang dihadapi petani, yang dilakukan mulai dari tingkat desa,
kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, dan nasional. Tata cara perencanaan
perlindungan dan pemberdayaan petani dilaksanakan dengan mengikutsertakan petani
dan pemangku kepentingan lainnya. Mekanisme perencanaan menggunakan metode
kombinasi antara bottom up dan top down. Perencanaan disusun dengan persyaratan
simple, measurable, attainable, reasonable and timely (SMART).
Perencanaan perlindungan dan pemberdayaan petani sekurang-kurangnya
memuat strategi, dan kebijakan, dengan mempertimbangkan kemampuan anggaran,
baik di pusat, provinsi, kabupaten/kota. Disamping itu, perlu dioptimalkan pemanfaatan
dana dari masyarakat/swasta antara lain berupa corporate social responsibility (CSR)
dan program kemitraan bina lingkungan (PKBL).
Kebijakan perlindungan dan pemberdayaan petani ditetapkan oleh Pemerintah
dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya dengan memperhatikan asas
dan tujuan per1indungan dan pemberdayaan petani. Dalam menetapkan kebijakan
perlindungan dan pemberdayaan petani, Pemerintah dan Pemerintah Daerah
memperhatikan ketentuan sebagai berikut: daya dukung sumber daya alam dan
lingkungan; kebutuhan sarana dan prasarana; kebutuhan teknis, ekonomis,
kelembagaan dan budaya setempat; perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;
dan tingkat pertumbuhan ekonomL
B. Perlindungan Petani
Perlindungan petani dilakukan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai
dengan kewenangannya. Strategi perlindungan petani melalui penyediaan prasarana
pertanian, kemudahan memperoleh sarana produksi, asuransi pertanian, dan jaminan
harga komoditas, utamanya diberikan kepada petani yang tidak mempunyai lahan yang
mata pencaharian pokoknya adalah melakukan usaha tani; petani yang mempunyai
lahan dan melakukan usaha budidaya tanaman pangan dengan skala usaha yang
didasarkan pada luas lahan paling banyak 2 hektar; dan/atau petani hortikultura,
pekebun, atau peternak yang tidak memerlukan izin usahapetani, sedangkan
perlindungan petani melalui penghapusan praktik ekonomi biaya tinggi, dan
58
pembangunan sistem peringatan dini dan penanganan dampak perubahan iklim
diberikan kepada petani, termasuk petani yang tidak mempunyai lahan yang mata
pencaharian pqkoknya adalah melakukan usaha tani; petani yang mempunyai lahan
dan melakukan usaha budidaya tanaman pangan dengan skala usaha yang didasarkan
pada luas lahan paling banyak 2 hektar; dan/atau petani hortikultura, pekebun, atau
peternak yang tidak memerlukan izin usaha.
C. Pemberdayaan Petani
Pemberdayaan petani dilakukan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai
dengan kewenangannya. Strategi pemberdayaan petani dilakukan melalui pendidikan
dan pelatihan, penyuluhan dan pendampingan, pengembangan sistem dan sarana
pemasaran hasil pertanian, pengutamaan hasil pertanian dalatn negeri untuk memenuhi
kebutuhan pangan nasional, konsolidasi lahan pertanian dan jaminan luasan lahan
pertanian, penyediaan fasilitas pembiayaan dan permodalan, kemudahan akses ilmu
pengetahuan, teknologi, informasi, dan penguatan kelembagaan petani. Pemberdayaan
petani diberikan kepada petani, termasuk petani yang tidak mempunyai lahan yang
mata pencaharian pokoknya adalah melakukan usaha tani; petani yang mempunyai
lahan dan melakukan usaha budidaya tanaman pangan dengan skala usaha yang
didasarkan pada luas lahan paling banyak 2 hektar; dan/atau petani hortikultura,
pekebun, atau peternak yang tidak memerlukan izin usaha.
D. Pembiayaan
Pembiayaan perlindungan dan pemberdayaan petani yang dilakukan oleh
Pemerintah bersumber dari APBN, sedangkan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah
bersumber dari APBD. Untuk pembiayaan yang dilakukan oleh pelaku usaha
bersumber dari dana pelaku usaha, dana lembaga pembiayaan, dana masyarakat, dan
dana lainnya yang sah. Untuk mewujudkan lembaga pembiayaan tersebut, Pemerintah
berkewajiban memfasilitasi bank bagi pertanian atau meningkatkan alokasi pembiayaan
sektor pertanian di bank konvensional dan lembaga keuangan bukan bank.
Pengamatan selama ini, petani mengalami kesulitan finansial dalam mengakses
kredit yang disediakan oleh perbankan. Pada sisi lain, perbankan mengalami kesulitan
dalam mencari petani sebagai nasabah yang layak diberikan kredit. Untuk mengatasi
permasalahan tersebut, Pemerintah perlu memfasilitasi terbentuknya Bank Bagi Petani
yang secara penuh melayani kebutuhan modal bagi petani. Bank tersebut harus
memenuhi pengaturan dalam Undang-Undang mengenai perbankan dan Undang
Undang mengenai Bank Indonesia.
Selain bank bagi petani, Pemerintah membentuk Lembaga Pembiayaan Petani
(LPP) guna memenuhi kebutuhan modal bagi petani yang tidak mempunyai lahan yang
mata pencaharian pokoknya adalah melakukan usaha tani; petani yang mempunyai
lahan dan melakukan usaha budidaya tanaman pangan dengan skala usaha yang
59
didasarkan pada luas lahan paling banyak 2 hektar; dan/atau petani hortikultura,
pekebun, atau peternak yang tidak memerlukan izin usaha.
E. Pengawasan
Pengawasan dilakukan terhadap kinerja perencanaan dan pelaksanaan
perlindungan dan pemberdayaan petani. Pengawasan berbentuk pelaporan,
pemantauan dan evaluasi. Selain itu, pengawasan dilakukan secara berjenjang oleh
Pemerintah,., Pemerintah daerah provinsi, dan Pemerintah daerah kabupaten/kota
sesuaikewenangannya.
F. Peran serta Masyarakat
Masyarakat dapat berperan dalam perlindungan dan pemberdayaan petani. Peran
serta masyarakat dalam perlindungan petani di.lakukan melalui: memelihara prasarana
pertanian, mengutamakan konsumsi hasil pertanian dalam negeri, mencegah alih fungsi
lahan pertanian, melaporkan adanya pungutan yang tidak sesuai dengan peraturan
perundang-undangan, menyediakan bantuan sosial bagi petani yang mengalami
bencana, dan kepemilikan saham asuransi pertanian. Sedangkan peran serta
masyarakat dalam pemberdayaan petani dilakukan melalui: pendidikan non-formal,
pelatihan dan pemagangan, penyuluhan, penguatan kelembagaan petani dan
kelembagaan ekonomi petani, dan fasilitasi sumber pembiayaan atau permodalan.
60
BABVI
PENUTUP
Petani, sebagai pelaku utama pembangunan pertanian, sebagian besar didominasi
oleh petani-petani dengan skala usaha kurang dari 2 hektar untuk tanaman pangan dan
tidak memiliki ijin usaha bagi petani hortikultura, peternak dan pekebun yang bergerak
pada usaha budidaya (on farm). Hanya sebagian kecil pelaku utama pembangunan
pertanian yang berasal dari usaha menengah besar. Pada umumnya mereka
berkonsentrasi pada usaha hulu, hilir, dan jasa pendukung.
Selama ini, petani telah memberikan kontribusi yang nyata terhadap penyediaan
pangan bagi penduduk Indonesia, penyediaan bahan baku bagi industri, peningkatan
pada PDB atau PDRB, peningkatan devisa negara melalui ekspor produk pertanian,
penyediaan lapangan kerja, dan pelestarian lingkungan hidup.
Namun demikian, keberhasilan petani dalam mewujudkan ketahanan pangan,
ekonomi, sosial, politik, dan keamanan nasional belum diikuti dengan peningkatan
kesejahteraan mereka. Kondisi ini mencerminkan adanya ketidakadilan bagi petani
sebagai pelaku utama pembangunan pertanian, karena di dalam konstitusi
diamanatkan bahwa negara harus menjamin hak petani sebagai warga negara untuk
mendapatkan perlindungan, hidup layak, mengembangkan diri, berserikat dan
menyampaikan pendapat, dan hak memperoleh pendidikan.
Upaya untuk melindungi dan memberdayakan petani, juga merupakan upaya
untuk melindungi sektor pertanian Indonesia dari ancaman neo-liberalisasi global.
Pengaturan mengenai lahan, komoditas, pasar, sarana produksi, sistem informasi,
pembiayaan dan kelembagaan merupakan pengaturan terhadap pertanian secara
menyeluruh, dan termasuk sebagai upaya untuk revitalisasi sektor pertanian.
Di samping itu, Indonesia mempertegas komitmennya untuk menjamin
terselenggaranya hak asasi manusia, terutama hak atas kesejahteraan, hak
memperoleh keadilan, hak atas kebebasan pribadi, dan hak mengembangkan diri
sebagaimana telah diratifikasi kovenan internasional yang harus secara konkrit
diejawantahkan dalam berbagai Undang-Undang, program dan kegiatan sebagai
pelaksanaan dalam penegakan hak asasi manusia.
Untuk mewujudkan kesejahteraan petani sebagaimana diamanatkan dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) perlu menyusun Undang~Undang tentang Perlindungan Dan
Pemberdayaan Petani sebagai landasan untuk menyelesaikan permasalahan petani.
Rancangan Undang..:Undang tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani terdiri
dari 117 Pasal dan 12 Bab.
61
Adapun pokok-pokok materi yang akan diatur dalam Rancangan Undang-Undang
tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani ini dapat digambarkan dalam
kerangka sebagai berikut:
BABI
BAB II
BAB Ill
KERANGKA RANCANGAN UNDANG-UNDANG
TENTANG PERLINDUNGAN DAN PEMBERDAYAAN PETANI
KETENTUAN UMUM (Pasal 1)
ASAS, TUJUAN, DAN LINGKUP PENGATURAN (Pasal 2-Pasal 4)
PER EN CANAAN (Pasal 5-Pasal 11)
BAB IV PERLINDUNGAN PETANI (Pasai12-Pasal40) Bagian Kesatu Umum (Pasal 12-Pasal 15) Bagian Kedua Prasarana Pertanian dan Sarana Produksi Pertanian (Pasal
Paragraf 1 Paragraf 2
Bagian Ketiga Bagian Keempat
Paragraf 1
16-Pasal 18) Prasarana Pertanian (Pasal 16-Pasal 18) Sarana Produksi Pertanian (Pasal 19-Pasal 21) Kepastian Usaha (Pasai22-Pasal24) Harga Kom,oditas Pertanian (Pasal 25-Pasal 32) Umum (Pasal 25 )
Paragraf 2 Paragra! 3
Tarif Bea Masuk Komoditas Pertanian (Pasal 26-Pasal28) Kawasan Pabean Pemasukan Komoditas Pertanian (Pasal 29-Pasal 31) Persyaratan Administrasi (Pasal 32) Asuransi Pertanian (Pasal 33-Pasal 37)
Paragraf 4 Bagian Kelima Bagian Keenam Bagian Ketujuh
Penghapusan Praktik Ekonomi Biaya Tinggi (Pasal 38) Pembangunan Sistem Peringatan Dini Dampak Perubahan lklim (Pasal 39-Pasal40)
BAB V PEMBERDAYAAN PETANI (Pasai41-Pasal85) Bagian Kesatu Umum (Pasal 41-Pasal 43) Bagian Kedua Pendidikan dan Pelatihan (Pasai44-Pasal47) Bagian Ketiga Penyuluhan dan Pendampingan (Pasal 48-Pasal 49) Bagian Keempat Pemasaran Hasil Pertanian (Pasal 50-Pasal 57) Bagian Kelima Konsolidasi dan Jaminan Luasan Lahan Pertanian (Pasal
Paragraf 1 Paragraf 2 Paragraf 3 Paragraf 4
58-Pasal68 Umum (Pasal 58) Konsolidasi Lahan Pertanian (Pasal 59-Pasal 60) Jaminan Luasan Lahan Pertanian (Pasal 61-Pasal 67) Pengaturan Lebih Lanjut (Pasal 68) Fasilitas Pembiayaan dan Permodalan (Pasal 73) Bagian Keenam
Bagian Ketujuh Akses llmu Pengetahuan, Teknologi, dan lnformasi (Pasal 7 4-Pasal 75)
Bagian Kedelapan Penguatan Kelembagaan Petani (Pasal 76-Pasal ) Paragraf 1 Umum (Pasal 76-Pasal 78) Paragraf 2 Kelembagaan Petani (Pasal 79-Pasal 86) Paragraf 3 Kelembagaan Ekonomi Petani (Pasal 87 -Pasal 88)
Bab VI PEMBIAYAAN (Pasai86-Pasal98) Bagian Kesatu Umum (Pasal 86-Pasal 87) Bagian Kedua Bank Bagi Petani (Pasal 88-Pasal94) Bagian Ketiga Lembaga Pembiayaan Petani (Pasal 95-Pasal 98)
Bab VII PENGAWASAN (Pasai99-Pasal101)
Bab VIII PERAN SERTA MASYARAKAT (Pasai102-Pasal105)
62
DAFTAR PUSTAKA
Buku
ADB. 2006. Indonesia, Strategic Vision for Agriculture and Rural Development. Asian Development Bank, Mandaluyong City.
Bappenas. 2006. Profil Pangan dan Pertanian 2003-2006, Direktorat Pangan dan Pertanian Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasionai/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta.
Ellis, F. 1992. Agricultural Policies In Developing Countries. Cambridge University Press. Cambridge
Kementerian Pertanian. 201 0. Rencana Strategis Kementerian Pertanian Tahun 2010-2014. Kementerian Pertanian, Jakarta.
Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian. 2011. Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta.
Internet
Menteri Keuangan. 2010. RUU Pembiayaan Pertanian Disiapkan. Kompas 12 Januari 2010. (http://docs.google.com/viewer?a=y&q=cache:KdDPB6BxCRAJ:perpustakaan.bapp enas.go.id/lontar/file%3Ffile%3Ddigitai/92711-%255B_Konten_%255D-R U U%2520Pembiayaan%2520pertanian.pdf+direktorat + pembiayaan+pertanian+kredit&hl=id&gl=id&pid=bl&srcid=ADGEEShUml1 sj1 ~LikfdY 3yDuT3LqMN301vL7wuzOJOgtbxhXns62F8s1 KWOdv04nne_82DgihbSni9UOBqzul x6r7 _eTR1 Jl1 ZCY781VBDv4oNHuZxyeiUer_X1 Q-EiZXDr5rJi8CB&sig=AHIEtbRMT-2ymUz21S7kudWCRVuiAewj2Q, diakses tanggal 3 Mei 2011 ).
Pakpahan, A. Badan Usaha Milik Petani Sebagai Sarana Gotong Royong Usaha untuk Kemajuan Petani. (http:/!Www.Scribd.Com/Doc/8068961 /Badan-Usaha-Milik-Petaniktna, diakses Tanggal 05 Mei 2011 ).
Pribadi, A. 2009. "Guncangan Ekonomi Tingkatkan Penduduk Miskin". (http://www.wartakota.eo.id/read/news/7614, diakses tanggal 18 Maret 2011 ).
Solihin, D. "Teori-Teori Pembangunan: Sebuah Analisis Komparatif'. 2005. (http://www.slideshare.net/DadangSolihin/teoriteori-pembangunan-sebuah-analisiskomparatif, diakses tanggal 02 Maret 2011 ).
www.detikpos.net. 2011. Merapi 15 November 201 o, Kerugian Akibat Erupsi Tembus Triliun. (http://www.detikpos.net/201 0/11 /merapi-15-november-201 0-kerugian-akibat.html, diakses tanggal 29 April 2011 ).
Laporan
BPS. 201 Oa. lndikator Ekonomi Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta.
BPS. 201 Ob. Perkembangan lndikator Utama Sosiai-Ekonomi Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta.
Makalah
Ashari dan S. Friyatno. 2006. Perspketif Pendirian Bank Pertanian di Indonesia. Forum Penelitian Agro Ekonomi, 24(2): 108.
PT. Media Data Riset. 2009. Studi Tentang: Optimalisasi lndustri Pupuk Menghadapi Krisis Pupuk di Indonesia. Survey and Reseacrh Service, Jakarta.
64
Ratnawati, A. 2009. Mencari Alternatif Pembiayaan Pertanian, Makalah disampaikan pada Round Table Discussion: Mencari Alternatif Pembiayaan Pertanian, Kerjasama Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan FEM IPB, Jakarta, 16 April 2009.
Suprapto, A. 2011. Program Pemberdayaan Masyarakat Tani. Badan Penulutuah dan Pengembangan SDM Pertanian. Disampaikan pada saat Penyusunan RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani 21 Maret 2011, Jakarta.
Syukur. M, E. Hastuti, Soentoro, A. Supriatna, Supadi, Sumedi, dan B. W. D. Wicaksono. 2002. Kajian Pembiayaan Pertanian Mendukung Pengembangan Agribisnis dan Agroindustri di Perdesaan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogar.
Tambunan, T. 2006. Apakah Pertumbuhan di Sektor Pertanian Sangat Krusial bagi Pengentasan Kemiskinan di Indonesia?. Kadin lndonesia-JETRO, Jakarta.
Tim Sintesis Kebijakan. 2008. Dampak Perubahan lklim terhadap Sektor Pertanian, serta Strategi Antisipasi da Teknologi Adaptasi. Pengembangan lnovasi Pertanian, 1(2): 138-140.
Zhai, F. and J. Zhuang. 2009. Agricultural Impact of Climate Change: A General Equilibrium Analysis with Special Reference to Southeast Asia. ADBI Working Paper No. 131. Asian Development Bank.
65