Upload
feby-mayasari
View
113
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Minyak erat kaitannya dengan kehidupan sehari-hari. Hampir semua bahan
pangan, terdapat minyak dengan kandungan yang berbeda-beda. Minyak
seringkali ditambahkan dengan sengaja ke dalam makanan dengan berbagai
tujuan. Mayoritas, minyak kelapa sawit yang paling banyak digunakan dalam
rangka memenuhi kebutuhan sehari-hari, khususnya sebagai minyak goreng.
Penggorengan adalah pengolahan bahan pangan yang paling digemari di
Indonesia, merupakan proses memasak bahan pangan dengan menggunakan
media minyak. Penggorengan berkali-kali dapat menyebabkan perubahan sifat
fisik maupun kimia pada minyak, hal ini sangat berpengaruh pada bahan pangan
yang digoreng. Oleh karena itu, praktikum ini dilakukan untuk mengetahui
pengaruh penggorengan berkali-kali pada minyak yang digunakan.
1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari praktikum ini adalah :
a. Untuk mengetahui pengaruh penggorengan berkali-kali pada warna dan
kekentalan minyak goreng
b. Untuk mengetahui pengaruh penggorengan berkali-kali pada warna,
aroma, rasa dan kerenyahan pada produk yang digunakan
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penggorengan
Penggorengan merupakan proses dehidrasi dari produk pangan, baik dari
bagian luar maupun keseluruhan bagian produk yang menggunakan minyak atau
lemak sebagai menida pindah panas. Proses pindah panas terjadi dari permukaan
penggorengan menuju minyak, dari minyak panas menuju permukaan produk
yang digoreng. Selama penggorengan, air mengalami penguapan dan permukaan
produk menjadi crust, sedangkan tekstur bagian dalam produk dapat mengeras
atau tetap lunak, bergantung pada sifat bahan yang digoreng (Estiasih, 2009).
Tingginya kandungan asam lemak tak jenuh menyebakan minyak mudah
rusak oleh proses penggorengan, karena selama proses menggoreng minyak
dipanaskan secara terus menerus pada suhu tinggi serta terjadinya kontak dengan
okesigen dari luar yang memudahkan terjadinya reaksi oksidasi pada minyak
(Ketaren, 1986). Minyak yang diserap untuk mengempukkan crust makanan,
sesuai dengan jumlah air yang menguap pada saat menggoreng. Jumlah yang
terserap tergantung dari perbandingan antara lapisan tengah dan lapisan dalam.
Semakin tebal lapisan tengah maka semakin banyak minyak yang akan diserap
(Fennema, 1996).
2.2 Minyak Goreng
Minyak goreng berfungsi sebagai medium penghantar panas, penambah rasa
gurih dan penambah nilai kalori (Winarno, 2004). Menurut SNI 01-3741-2002
(BSN, 2002), minyak goreng didefinisikan sebagai minyak yang diperoleh dengan
cara memurnikan minyak makan nabati.
Minyak goreng yang umum digunakan adalah minyak kelapa. Warna
cokelat pada minyak yang mengandung protein dan karbohidrat bukan disebabkan
oleh zat warna alamiah, tetapi oleh reaksi browning. Warna ini merupakan hasil
reaksi dari senyawa karbonil (berasal dari pemecahan peroksida) dengan asam
amino dari protein dan terjadi terutama pada suhu tinggi. Warna pada minyak
kelapa disebabkan oleh zat warna dan kotoran-kotoran lainnya. Zat warna alamiah
yang terdapat pada minyak kelapa adalah karoten yang merupakan hidrokarbon
tidak jenuh dan tidak stabil pada suhu tinggi. Pada pengolahan minyak
menggunakan uap panas, maka warna kuning yang disebabkan oleh karoten akan
mengalami degradasi (Ketaren, 2008).
2.3 Sifat Minyak
Sifat minyak goreng dibagi menjadi 2, yaitu sifat fisik dan sifat kimia. Sifat
fisik terdiri dari warna, odor dan flavor, kelarutan, titik cair dan polymorphism,
titik didih (boiling point), titik lunak (softening point), slipping point, shot melting
point, bobot jenis, indeks bias, titik asap, dan titik kekeruhan (turbidity point).
Sedangkan sifat kimia terdiri dari hidrolisa, oksidasi, hidrogenasi, dan esterfikasi
(Zainal, 2010).
Warna minyak goreng yang telah digunakan berulang kali lebih gelap
dibandingkan minyak goreng segar. Hal ini disebabkan senyawa-senyawa hasil
degradasi minyak goreng akibat pemanasan (Blumenthal, 1996). Selama proses
penggorengan, minyak goreng mengalami proses hidrolisis dan oksidasi (Osawa
dan Goncalves, 2012). Pada saat minyak teroksidasi akan terbentuk senyawa
polimer. Kenaikan senyawa polimer menyebabkan kenaikan viskositas minyak,
kenaikan viskositas minyak dapat membuat produk hasil penggorengan lebih
berminyak karena banyaknya jumlah minyak yang tertahan pada permukaan
produk (Stier, 2001). Hasil penelitian Lin (1998), menunjukkan pembentukan
polimer saat proses penggorengan akan mengakibatkan terjadinya viskositas pada
minyak goreng.
2.4 Faktor Kerusakan Minyak
Perubahan sifat fisiko kimia akibat pemanasan mengakibatkan terjadinya
kerusakan pada minyak dan menurunkan mutu produk gorengnya (Blumethal,
1996). Kerusakan minyak selama proses penggorengan akan mempengaruhi mutu
dan nilai gizi bahan yang digoreng (Ketaren, 2008). Karena menurut Pokomy
(1999), proses penggorengan memungkinkan makanan menyerap sejumlah
minyak.
Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan kerusakan pada minyak,
yaitu lama minyak kontak dengan panas, suhu dan akselator oksidasi (Ketaren,
2005). Pengaruh dari kerusakan pada minyak goreng adalah akan mengurangi laju
perpindahan panas ke dalam produk, waktu penggorengan lebih lama, terjadi
perubahan warna pada produk dan meningkatkan penyerapan minyak goreng ke
dalam produk, dan proses hidrolisis pada minyak goreng akan berlangsung
semakin cepat apabila terdapat air di dalam bahan pangan yang digoreng (Hara,
2006).
Reaksi penting pada minyak dan lemak adalah reaksi hidrolisis, oksidasi,
polimerasi dan pembentukan warna (Lawson, 1995). Menurut Choe dan Min
(2007), selama proses pemanasan reaksi hidrolisis, oksidasi, polimerisasi akan
menyebabkan minyak berasap, berbusa, dan meninggalkan warna coklat serta
flavor yang tidak disukai. Perubahan sifat fisik minyak yang terjadi selama
pemanasan menyebabkan kenaikan indeks bias, viskositas, warna, dan penurunan
titik asap. Viskositas meningkat selama pemanasan disebabkan peningkatan
komponen hasil degradasi minyak (Wan, 2000).
2.5 Pengaruh Penggorengan pada Produk Pangan
Semakin banyak penggorengan berulang, penyerapan minyak pada produk
pangan akan meningkat (Pinthus dan Saguy, 1994). Produk hasil penggorengan
yang berasal dari bahan pangan nabati dan mengandung pati akan menyerap
minyak lebih banyak daripada bahan pangan hewani. Penyerapan minyak
dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya suhu dan lama waktu, air yang
terkandung dalam bahan yang akan tergantikan oleh minyak selama proses
penggorengan dan kualitas minyak yang digunakan.
Kombinasi lamanya pemanasan dan suhu yang tinggi mengakibatkan
terjadinya beberapa reaksi penyebab kerusakan minyak. Reaksi yang terjadi
adalah hidrolisa, oksidasi dan polimerisasi akan menghasilkan bahan dengan rupa
yang kurang menarik dan cita rasa yang tidak enak, serta kerusakan sebagian
vitamin dan asam lemak esensial yang terdapat dalam minyak. Minyak yang telah
rusak tidak hanya mengakibatkan kerusakan nilai gizi, tetapi juga merusak tektur
flavor dari bahan pangan yang digoreng (Ketaren, 2008).
Polimer dapat terbentuk dari radikal bebas atau trigliserida. Penggorengan
berulang dan suhu yang tinggi dapat meningkatkan komponen polimer (Akoh dan
Min, 2002). Minyak yang telah mengalami polimerisasi ditandai dengan
peningkatan viskositas dan penurunan bilangan iod. Hasil polimerisasi akan
mempengaruhi kualitas minyak goreng, menghasilkan warna coklat pada minyak
dan terbentuk bahan berupa gum yang mengendap dan bau serta rasa yang tidak
enak. Minyak goreng dengan viskositas tinggi akan menghasilkan produk akhir
yang berminyak karena minyak goreng tertahan didalam produk (Blumenthal,
1996).
Menurut Blumenthal (1996), proses goreng merupakan fenomena transfer
panas yang terjadi secara simultan, yaitu transfer panas, transfer massa air, dan
transfer massa minyak. Ketiga proses transfer tersebut akan menentukan kualitas
akhir produk goreng yang dicirikan dengan perubahan aroma, warna produk
menjadi kecoklatan, dan tekstur renyah. Selama proses goreng berlangsung terjadi
transfer air dari bahan pangan dengan minyak. Minyak yang masuk akan
menempati pori-pori yang ditinggalkan oleh air, proses difusi ini akan
berlangsung terus sampai akhir penggorengan bahkan pada waktu pendinginan
setelah penggorengan. Pori-pori yang terbentuk disebabkan perbedaan tekanan
ketika produk tercelup ke dalam minyak panas. Air yang terdapat dalam bahan
akan keluar dengan cepat dalam bentuk uap air sehingga terbentuklah pori dalam
produk. Semakin banyak pori yang terdapat pada produk dikatakan produk
semakin renyah (Mellema, 2003).
BAB 3. METODOLOGI PRAKTIKUM
3.1 Alat dan Bahan
3.1.1 Alat
Adapun alat yang digunakan pada praktikum yaitu :
1. Wajan
2. Loyang
3. Spatula
4. Serok
5. Sendok
6. Beaker glass
7. Baskom
3.1.2 Bahan
Adapun bahan praktikum yang digunakan adalah :
1. Minyak goreng
2. Rengginang
3.2 Skema Kerja
Minyak 500ml dipanaskan
rengginang 6 biji
PenggorenganPengambilan minyak 10ml
setiap perlakuan
Produk kering
Amati aroma, kerenyahan, warna, dan rasa
Minyak goreng bekas
Amati aroma, kekentalan, dan volume
BAB 4. DATA HASIL PENGAMATAN DAN PERHITUNGAN
4.1 Data Hasil Pengamatan
Sampel Parameter
I II III IV V
Rengginang
Warna +++ +++++
+ ++++ ++
Aroma + ++ +++++
++++ +++
Kerenyahan
++ +++ +++++
++++ +
Rasa ++ +++ +++++
++++ +
Keterangan :Warna : semakin +, semakin baikAroma : semakin +, semakin tengikKerenyahan : semakin +, semakin renyahRasa : semakin +, semakin tengik
4.2 Data Hasil Perhitungan
Sampel Parameter
I II III IV V VI
Minyak
Warna +++++
++++
+++
++ + ++++++
Kekentalan
++ +++
++++
+++++
++++++
+
Volume Minyak 90 ml = 90
500x100 %=18 %
Keterangan :Warna : semakin +, semakin jernihKekentalan : semakin +, semakin kentalVolume Minyak : Awal : 500 ml
Akhir : 410 ml
Minyak pada bahan : 90 ml
BAB 5. PEMBAHASAN
5.1 Skema Kerja dan Fungsi Perlakuan
Sebelum memulai praktikum, siapkan alat dan bahan terlebih dahulu. Pada
praktikum ini bahan yang digunakan adalah minyak 500 ml dan rengginang.
Pertama ukur minyak sebanyak 500 ml menggunakan gelas ukur. Pisahkan
sebanyak 10 ml untuk diamati sebagai sample perlakuan kontrol. Sebagian
lainnya tuang dan panaskan dalam wajan. Setelah minyak panas, goreng
rengginang sampai matang. Taruh produk kering rengginang pada loyang dan
diberi label untuk membedakan proses penggorengan. Ulangi cara tersebut hingga
5 kali penggorengan. Minyak yang diambil sample sebanyak 5 kali di uji
berdasarkan warna dan kekentalan serta volume minyak. Sedangkan produk
kering rengginang, di uji berdasarkan warna, aroma, kerenyahan dan rasa.
5.2 Analisa Data
5.2.1 Produk Kering Rengginang
Praktikum penggorengan menggunakan bahan rengginang. Hasil uji
sample yang didapat adalah sebagai berikut :
Sampel Parameter
I II III IV V
Rengginang
Warna +++ +++++
+ ++++
++
Aroma + ++ +++++
++++
+++
Kerenyahan
++ +++ +++++
++++
+
Rasa ++ +++ +++++
++++
+
Berdasarkan data pengamatan tersebut, untuk warna yang dihasilkan
semakin (+) semakin baik. Dari data yang ada, produk kering rengginang dengan
warna terbaik adalah penggorengan kedua dengan nilai (+++++). Menurut
pernyataan dari Blumenthal (1996), proses transfer panas akan mempengaruhi
aroma, warna dan tekstur produk yang dihasilkan. Seharusnya semakin banyak
penggorengan yang dilakukan pada minyak yang sama, produk kering yang
dihasilkan memiliki warna yang kurang menarik. Diperkuat dengan pernyataan
Ketaren (2008), bahwa kombinasi lamanya pemanasan dan suhu yang tinggi
mengakibatkan terjadinya beberapa reaksi penyebab kerusakan minyak. Reaksi
yang terjadi adalah hidrolisa, oksidasi dan polimerisasi akan menghasilkan bahan
dengan rupa yang kurang menarik dan cita rasa yang tidak enak, serta kerusakan
sebagian vitamin dan asam lemak esensial yang terdapat dalam minyak.
Penyimpangan warna yang terjadi pada produk akhir rengginang, disebabkan oleh
transfer panas yang diterima oleh bahan pangan tersebut. Bahan yang digunakan
adalah rengginang yang berbahan dasar ketan dan memiliki karbohidrat. Dengan
adanya transfer panas yang diberikan pada bahan, jika panas tersebut diberikan
secara berlebihan dapat menyebakan terjadinya browning yang menyebabkan
warna menjadi kecoklatan.
Uji pengamatan aroma pada produk kering rengginang yang dihasilkan,
aroma terbaik diperoleh pada penggorengan ke-1 dengan nilai (+), sedangkan
aroma tertengik diperoleh pada penggorengan ke-3 dengan nilai (+++). Jika
dikaitkan dengan pernyataan Blumenthal (1996), proses transfer panas yang
diterima akan mempengaruhi aroma, warna dan tekstur produk yang dihasilkan.
Seharusnya produk kering pada penggorengan ke-5 memiliki aroma yang paling
tengik, karena semakin sering minyak digunakan akan menimbulkan aroma yang
tidak sedap atau telah mengalami kerusakan/ketengikan. Namun penyimpangan
terjadi pada penggorengan ke-3, produk yang dihasilkan merupakan produk paling
tengik. Hal tersebut bisa disebabkan oleh jumlah pemanasan yang diterima oleh
minyak sebagai media penggorengan. Lama waktu dan jumlah pemanasan yang
diterima oleh produk dapat menyebabkan kerusakan pada minyak. Minyak yang
telah rusak tidak hanya mengakibatkan kerusakan nilai gizi, tetapi juga merusak
tektur, flavor dari bahan pangan yang digoreng (Ketaren, 2008).
Hasil data pengamatan kerenyahan dan rasa memiliki nilai yang sama,
yaitu sama-sama terjadi penyimpangan pada produk penggorengan ke-3.
Seharusnya produk hasil penggorengan ke-1 lebih renyah dibanding hasil
penggorengan ke-3. Karena minyak yang digunakan pada penggorengan ke-1
belum mengalami kerusakan. Begitupun seterusnya, semakin banyak pemanasan
yang diberikan pada media minyak, dan semakin banyak penggorengan yang
dilakukan, makan minyak semakin banyak mengalami kerusakan. Minyak yang
digunakan pada saat menggoreng. dapat menyebabkan kerusakan tekstur pada
bahan yang digoreng. (Ketaren, 2008).
Rasa yang didapat pada penggorengan ke-5 merupakan rasa terbaik yang
diperoleh pada praktikum ini. Penyimpangan ini disebabkan oleh jumlah minyak
yang terserap pada produk. Rengginang hasil penggorengan ke-5 tidak terlalu
mekar, sehingga pori-pori yang dimiliki tidak semua terdifusi oleh minyak.
Sehingga rasa yang dihasilkan tidak terlalu tengik. Proses difusi menurut Mellema
(2003), minyak yang masuk akan menempati pori-pori yang ditinggalkan oleh air,
proses difusi ini akan berlangsung terus sampai akhir penggorengan bahkan pada
waktu pendinginan setelah penggorengan. Pori-pori yang terbentuk disebabkan
perbedaan tekanan ketika produk tercelup ke dalam minyak panas. Air yang
terdapat dalam bahan akan keluar dengan cepat dalam bentuk uap air sehingga
terbentuklah pori dalam produk. Semakin banyak pori yang terdapat pada produk
dikatakan produk semakin renyah (Mellema, 2003). Sesuai dengan pernyataan
tersebut, hasil data pengamatan parameter kerenyahan hasil penggorengan ke-5
memiliki kerenyahan paling rendah dengan nilai (+).
5.2.2 Minyak
Pengamatan yang dilakukan pada minyak yang digunakan pada
praktikum ini, menghasilkan data sebagai berikut :
Sampel
Parameter
I II III IV V Kontrol
Minyak
Warna +++++
++++
+++ ++ + ++++++
Kekentalan
++ +++ ++++
+++++
++++++
+
Volume Minyak 90 ml = 90
500x100 %=18 %
Berdasarkan data yang didapat perlakuan kontrol memiliki nilai terbaik pada warna maupun kejernihannya.
Pada pengujian minyak yang digunakan sebagai media pemanas, hasil data yang didapat sesuai dengan literatur yang ada. Untuk warna, menurut Ketaren (2008), zat warna alamiah yang
terdapat pada minyak kelapa adalah karoten yang merupakan hidrokarbon tidak
jenuh dan tidak stabil pada suhu tinggi. Pada pengolahan minyak menggunakan
uap panas, maka warna kuning yang disebabkan oleh karoten akan mengalami
degradasi. Diperkuat oleh pendapat Blumenthal (1996), warna minyak goreng
yang telah digunakan berulang kali lebih gelap dibandingkan minyak goreng
segar. Hal ini disebabkan senyawa-senyawa hasil degradasi minyak goreng akibat
pemanasan. Begitu pula pendapat Lawson (1995), reaksi penting pada minyak dan
lemak adalah reaksi hidrolisis, oksidasi, polimerasi dan pembentukan warna dan
Choe dan Min (2007), menambahkan selama proses pemanasan reaksi hidrolisis,
oksidasi, polimerisasi akan menyebabkan minyak berasap, berbusa, dan
meninggalkan warna coklat serta flavor yang tidak disukai. Perubahan sifat fisik
minyak yang terjadi selama pemanasan menyebabkan kenaikan indeks bias,
viskositas, warna, dan penurunan titik asap. Perubahan warna yang terjadi
merupakan salah satu tanda kerusakan atau ketengikan pada minyak.
Kekentalan atau viskositas merupakan salah satu pengukuran yang dapat
menggambarkan sifat fisik dari suatu minyak. Viskositas pada minyak goreng
akan mengalami peningkatan seiring dengan lama waktu penggorengan. Semakin
lama waktu penggorengan, viskositas minyak akan mengalami kenaikan yang
sangat nyata. Peningkatan viskositas ini terbentuk akibat minyak mengalami
pembentukan senyawa polimer akibat proses pemanasan dan oksidasi. Hal
tersebut sesuai dengan pernyataan para ahli, berikut pernyataan dari Osawa dan
Goncalves (2012), selama proses penggorengan, minyak goreng mengalami
proses hidrolisis dan oksidasi. Pada saat minyak teroksidasi akan terbentuk
senyawa polimer. Diperkuat oleh pendapat Stier (2001), kenaikan senyawa
polimer menyebabkan kenaikan viskositas minyak dan hasil penelitian Lin (1998),
pembentukan polimer saat proses penggorengan akan mengakibatkan terjadinya
viskositas pada minyak goreng.
Selama 5 kali proses penggorengan, minyak yang terserap pada produk
sebanyak 18% atau sebanyak 90 ml, diperoleh dengan perhitungan berat minyak
awal – berat minyak akhir. Minyak yang terserap pada produk cukup banyak, ini
dikarenakan bahan yang terkandung dalam produk yang digoreng, jumlah pori-
pori yang dimiliki oleh produk dan ketebalan produk tersebut. Produk yang
digunakan dalam praktikum penggorengan ini adalah rengginang yang berbahan
dasar beras ketan. Beras ketan merupakan bahan pangan nabati dan memiliki pati.
Produk hasil penggorengan yang berasal dari bahan pangan nabati dan
mengandung pati akan menyerap minyak lebih banyak daripada bahan pangan
hewani (Pinthus dan Saguy, 1994).
BAB 6. PENUTUP
6.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan pada praktikum ini adalah :
a. Pengaruh penggorengan berkali-kali dapat menyebabkan warna minyak
menjadi gelap karena adanya proses oksidasi dan hidrolisis yang terjadi
pada waktu penggorengan, dan kenaikan viskositas pada minyak.
Kenaikan viskositas terjadi akibat proses pemanasan dan oksidasi yang
menyebabkan terbentuknya senyawa polimer dalam minyak.
b. Penggorengan produk pangan pada minyak yang telah digunakan berkali-
kali dapat menyebabkan rasa dan aroma produk menjadi semakin tengik,
warna produk semakin tidak menarik bahkan cenderung lebih gelap dan
kerenyahan semakin berkurang. Hal tersebut disebabkan oleh minyak yang
telah mengalami kerusakan akibat pemanasan yang dilakukan dan adanya
proses hidrolisis serta oksidasi selama penggorengan.
6.2 Saran
Saran yang dapat diberikan untuk praktikum selanjutnya adalah catat waktu
pemanasan yang dilakukan karena lama waktu pemanasan merupakan salah satu
faktor utama kerusakan pada minyak.
DAFTAR PUSTAKA
Akoh, CC. dkk. 2002. The Recovery of Used Frying Oils with Various Adsorbents. Journal of Food Lipids.
Blumenthal, M.M. 1996. Frying Technology.Di dalam : Romaria, Mayland. 2008. Karakteristik Fisiko Kimia Minyak Goreng Pada Proses Penggorengan Berulang Dan Umur Simpan Kacang Salut Yang Dihasilkan. Institute Pertanian Bogor, Bogor.
BSN, 1995. Minyak Goreng. SNI 01-3741-1995. Badan Standarisasi Nasional.
Estiasih, Teti. 2009. Teknologi Pengolahan Pangan. PT bumi Aksara. Jakarta.
Fennema, OR. 1996. Food Chemistry 3rd ed. New York USA. Marcel Dekker, Inc.
Hara, E. dkk. 2006. Evaluation of Heatideteriorated Oils. TLC-FID Method for
Determining Polar Coumpond Content. Journal of Oleo Science.
Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Universitas Indonesia. Jakarta.
Ketaren, S. 2005. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Universitas Indonesia. Jakarta.
Ketaren, S. 2008. Minyak dan Lemak Pangan. Universitas Indonesia. Jakarta.
Lawson, H. 1995. Food Oils and Fats : Technology, Utilization, and Nutrition. Chapman and Hall, New York.
Lin, S. 1998. The Recovery of Used Frying Oils with Various Adsorbents. Journal of Food Lipids.
Mellema, M. 2003. Mechanism and Reduction of Fat Uptake in Deep Fat Fried Food. Food Sci.
Osawa, CC. 2012. Changes in Breaded Chiken and Oil Degration During Continuous Frying with Cottonseed Oil. Compinas.
Pinthus, E.J. dan I.S. Saguy. 1994. Initial Interfacial Tension and Oil Uptake by Deep Fat Fried Food. J. Food Sci.
Pokorny, J. 1989. Flavor Chemistry of Deep-Fat Frying ini Oil. Di dalam : Romaria, Mayland. 2008. Karakteristik Fisiko Kimia Minyak Goreng Pada Proses Penggorengan Berulang Dan Umur Simpan Kacang Salut Yang Dihasilkan. Institute Pertanian Bogor, Bogor.
Stier, R. F., 2003. Finding Functionality in Fat and Oil. www.preparedFood.com. [22 Februari 2012]
Wan, P.J., 2000. Properties of Fats and Oils. Di dalam: O’Brien, R.D., W.E. Farr, dan P.J. Wan (eds). Introduction to Fats and Oils Technology 2nd ed. AOCS Press, Illnois.
Winarno, F., G., 2004. Kimia Pangan dan Gizi. Penerbit PT Gramedia, Jakarta.
Zainal, 2010. Investigaion on The Stability of Different Frying Oils During Frying With And Without Foods. Shaker Verlag, Germany.
No
.
Gambar Keterangan
1. Pengambilan 10 ml minyak
goreng dari 500 ml sebagai
kontrol. Kemudian minyak
goreng dipanaskan sebelum
dilakukan penggorengan.
2. Proses penggorengan
rengginang, satu kali
penggorengan dimasukkan 6
rengginang.
3. Proses penirisan rengginang
yang berfungsi untuk
mengurangi kadar minyak
pada bahan pangan.
4. Proses peletakan
rengginang pada loyang
kemudian diberi label
5. Pengujian 10 ml sampel
minyak goreng setiap setelah
proses penggorengan (5 kali
penggorengan)
LAMPIRAN