157
DISERTASI KADAR INTERLEUKIN – 6 PLASMA YANG TINGGI DAN RASIO KADAR INTERLEUKIN – 6 / INTERLEUKIN – 10 PLASMA YANG TINGGI MERUPAKAN FAKTOR RISIKO TERJADINYA OSTEOARTHRITIS LUMBAL SIMTOMATIK PADA PENDERITA WANITA PASCA MENOPAUSE DEFISIENSI ESTROGEN I KETUT SUYASA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2016

KADAR INTERLEUKIN – 6 PLASMA YANG TINGGI DAN RASIO …

  • Upload
    others

  • View
    3

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

DISERTASI

KADAR INTERLEUKIN – 6 PLASMA YANG TINGGI

DAN RASIO KADAR INTERLEUKIN – 6 / INTERLEUKIN – 10 PLASMA YANG TINGGI

MERUPAKAN FAKTOR RISIKO TERJADINYA OSTEOARTHRITIS LUMBAL SIMTOMATIK PADA

PENDERITA WANITA PASCA MENOPAUSE DEFISIENSI ESTROGEN

I KETUT SUYASA

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR 2016

DISERTASI

KADAR INTERLEUKIN – 6 PLASMA YANG TINGGI DAN RASIO KADAR INTERLEUKIN – 6 /

INTERLEUKIN – 10 PLASMA YANG TINGGI MERUPAKAN FAKTOR RISIKO TERJADINYA

OSTEOARTHRITIS LUMBAL SIMTOMATIK PADA PENDERITA WANITA PASCA MENOPAUSE

DEFISIENSI ESTROGEN

I KETUT SUYASA NIM 1390271014

PROGRAM DOKTOR

PROGRAM STUDI ILMU KEDOKTERAN PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR

2016

ii !!

KADAR INTERLEUKIN – 6 PLASMA YANG TINGGI DAN RASIO KADAR INTERLEUKIN – 6 /

INTERLEUKIN – 10 PLASMA YANG TINGGI MERUPAKAN FAKTOR RISIKO TERJADINYA

OSTEOARTHRITIS LUMBAL SIMTOMATIK PADA PENDERITA WANITA PASCA MENOPAUSE

DEFISIENSI ESTROGEN

Disertasi untuk Memperoleh Gelar Doktor dalam Bidang Ilmu Kedokteran Biomedik, Program Studi Ilmu Kedokteran,

pada Program Pascasarjana Universitas Udayana. Dipertahankan di hadapan Sidang Khusus Badan Perwakilan Program

Pascasarjana Universitas Udayana

I KETUT SUYASA NIM 1390271014

PROGRAM DOKTOR PROGRAM STUDI ILMU KEDOKTERAN

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR 2016

iii !!

Lembar Pengesahan

NASKAH DISERTASI INI TELAH DISETUJUI

PADA TANGGAL 25 JULI 2016

Promotor

Prof. Dr. dr. I Ketut Siki Kawiyana, Sp B., Sp OT (K) NIP: 194809091979031002

Kopromotor I, Kopromotor II,

Prof. Dr.dr. I Made Bakta, Prof. Dr.dr. I Gde Raka Sp PD-KHOM Widiana, Sp PD-KGH NIP: 19480628 197903 1 001 NIP:19560707 198211 1 001

Mengetahui

Direktur Ketua Program Studi Doktor Program Pascasarjana Ilmu Kedokteran Universitas Udayana Program Pascasarjana Universitas Udayana Prof. Dr. dr. Anak Agung Dr. dr. Bagus Komang Raka Sudewi, Sp S(K) Satriyasa, M. Repro NIP: 19590215 198510 2 001 NIP: 196404171996011001

iv !!

Naskah Ujian Tertutup ini Telah Diuji dan Dinilai oleh Panitia

Penguji pada Program Studi Doktor Ilmu Kedokteran

Program Pascasarjana Universitas Udayana

Pada Tanggal 25 April 2016

Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana

Nomor : 1594/UN14.4/HK/2016

Tanggal : 15 April 2016

Panitia Penguji Ujian Tertutup adalah:

Ketua : Prof. Dr. dr. Putu Astawa, M Kes., Sp OT (K)

Anggota : Prof. Dr. dr. I Ketut Siki Kawiyana, Sp B, Sp OT (K)

Prof. Dr. dr. I Made Bakta, Sp PD-KHOM

Prof. Dr. dr. I Gde Raka Widiana, Sp PD-KGH

Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp S (K)

Dr. dr. Luthfi Gatam, Sp OT (K)

Prof. drh. I Nyoman Mantik Astawa, Ph D

Dr. dr. I Wayan Putu Sutirta Yasa, M Si

v !!!

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME

Yang bertanda tangan di bawah ini saya:

Nama : dr. I Ketut Suyasa Sp B, Sp OT (K)

NIM : 1390271014

Program Studi : Program Doktor Pogram Studi Ilmu Kedokteran

Program Pascasarjana Universitas Udayana

Konsentrasi : Ilmu Kedokteran Biomedik

Alamat : Jalan Dahlia No. 33 Denpasar Bali Indonesia

E-mail : [email protected]

Handphone : 081558724088 / 087862400166

Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Disertasi saya ini bebas plagiat dan

jika di kemudian hari terbukti plagiat, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai

peraturan Mendiknas RI No. 17 Tahun 2010 dan Peraturan Perundang – undangan

yang berlaku.

Denpasar, 18 April 2016

yang membuat pernyataan

dr. I Ketut Suyasa Sp B, Sp OT (K)

vi !!

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa/ Ida Sang Hyang Widhi Wasa,

karena atas asung kerta wara nugraha-Nya, desertasi ini dapat terselesaikan.

Perkenankan pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang

sebesar – besarnya kepada Prof. Dr. dr. I Ketut Siki Kawiyana, SpB, SpOT(K)

sebagai promotor yang penuh dengan kesabaran dan ketulusan hati serta penuh

perhatian telah memberikan bimbingan dan dorongan semangat serta saran - saran

selama penulis mengikuti pendidikan program doktor sampai dengan penyelesaian

desertasi ini. Begitu pula penghargaan dan rasa terima kasih kami yang sebesar –

besarnya kami sampaikan kehadapan Prof. Dr. dr. I Made Bakta, SpPD-KHOM

sebagai Kopromotor I dan Prof. Dr. dr. I Gde Raka Widiana, SpPD-KGH sebagai

Kopromotor II yang telah meluangkan waktu untuk membimbing dan memotivasi

penulis dalam menyelesaikan desertasi ini.

Terima kasih juga kami sampaikan kehadapan Bapak Rektor Universitas

Udayana Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, SpPD-KEMD atas kesempatan yang

diberikan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan Program Doktor pada

Program Pascasarjana Universitas Udayana. Ucapan terima kasih juga penulis

sampaikan kepada Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp.S (K) selaku direktur

program pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. Made Budiarsa, M.A, selaku

Asisten Direktur I dan Prof. Made Sudiana Mahendra, PhD, selaku Asisten

Direktur II Program Pascasarjana Universitas Udayana. Ucapan terima kasih

penulis sampaikan kepada Dr. dr. Bagus Komang Satriyasa, M. Repro dan Dr. dr.

vii !!

Tjokorda Gde Bagus Mahadewa, M.Kes, Sp.BS selaku Ketua dan Sekretaris

Program Studi Doktor Ilmu Kedokteran Program Pascasarjana Universitas

Udayana serta Dr. dr. I Wayan Sutirta Yasa, M.Si dan Dr. dr. I Dewa Made

Sukrama, M.Si., Sp.MK (K) selaku mantan Ketua dan Sekretaris Program Studi

Doktor Ilmu Kedokteran Program Pascasarjana Universitas Udayana atas

kesempatan dan dorongan yang diberikan kepada penulis selama menempuh

pendidikan di Pascasarjana Universitas Udayana.

Pada kesempatan yang baik ini, penulis juga menyampaikan rasa terima kasih

kepada Prof. Dr. dr. I Putu Astawa, M.Kes, Sp.OT selaku Dekan Fakultas

Kedokteran Universitas Udayana dan dr. Anak Ayu Sri Saraswati, M.Kes sebagai

Direktur Utama RSUP Sanglah Denpasar atas izin yang diberikan kepada penulis

dalam mengikuti Program Doktor ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: Prof.

Dr. dr. Putu Astawa, Sp.OT, M.Kes, Prof. Dr. dr. I Ketut Siki Kawiyana, SpB.,

SpOT (K), Prof. Dr. dr. I Made Bakta, Sp.PD-KHOM, Prof. Dr. dr. I Gde Raka

Widiana, Sp.PD-KGH, Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K), Dr. dr. Luthfi

Gatam, Sp.OT (K), Prof. drh. I Nyoman Mantik Astawa, Ph.D, Dr. dr. I Wayan

Putu Sutirta Yasa, M.Si, sebagai penguji disertasi ini mulai dari tahap awal

sampai ujian terbuka, atas semua masukan dan bimbingannya yang dengan penuh

kesabaran dan perhatian telah memberikan dorongan semangat, saran, sanggahan,

dan koreksi sehingga disertasi ini dapat terwujud.

Ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya juga penulis sampaikan kepada

teman sejawat di Sub Bagian/SMF Orthopaedi dan Traumatologi FK Unud/RSUP

viii !!

Sanglah atas kerja sama, kerelaan hati dan dukungannya yang dengan tulus

menggantikan tugas-tugas yang menjadi beban pekerjaan penulis selama

mengikuti pendidikan sehingga mendapat kesempatan untuk menyelesaikan

pendidikan doktor ini. Utamanya kepada dr. K. G. Mulyadi Ridia, Sp.OT (K), dr.

Wayan Suryanto Dusak, Sp.OT (K), dr. Made Bramantya Karna, Sp.OT (K), dr. I

Gst. Ngr. Wien Aryana, Sp.OT, dr. Cokorda Gd Oka Dharmayuda, Sp.OT (K), dr.

I Gst. L. N. A. Artha Wiguna, Sp.OT (K), dr. I Gd Eka Wiratnaya, Sp.OT, dr. A.

A. Gd Yuda Asmara, Sp.OT, dr. Kadek Ayu Candra Dewi, Sp.OT, dr. I Wayan

Subawa, Sp.OT, penulis ucapkan banyak terima kasih atas bantuannya dalam

penyusunan disertasi ini. Terima kasih juga penulis tujukan kepada seluruh

residen PPDS Orthopaedi dan Traumatologi atas dukungan dan bantuan selama

proses penelitian dan penyusunan disertasi ini, serta kepada Made Sujani, Ni

Ketut Budiasih, Ketut Ari Fibrianingsih, A. A. Dwi Kartika Mahadewi, Kadek

Widianingsih yang telah banyak membantu dalam penyusunan disertasi ini.

Ucapan terima kasih pula kepada dr. H. M. Danun, Sp.Rad (K) dan Dr. dr.

Elysanti D.M., Sp.Rad, Dr. dr. A.A. Wiradewi Lestari Sp.PK, Dr. dr. Sianny

Herawati, Sp.PK, Ibu Alit Ardani, I Ketut Gede Adi Santika, Amd.Ak dan Ni

Wayan Meni atas bantuannya selama penelitian ini dilaksanakan. Penulis juga

menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus disertai penghargaan kepada

Kepala Dinas Kesehatan kota Denpasar, Kepala Puskesmas 2 Denpasar Utara,

Kepala Puskesmas 3 Denpasar Timur, Kepala Puskesmas 1 Kuta beserta staf dan

ibu – ibu responden penelitian. Demikian pula guru-guru yang telah membimbing

penulis, mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi.

ix !!

Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar – sebesarnya kepada

Ayahanda Kapten Polisi (Purn) I Wayan Surpha, SH (Almarhum) dan Ibunda

tercinta Ni Nengah Murtiasih Sulasmi, yang telah mengasuh, membesarkan

penulis dan selalu memberi dorongan untuk terus maju menuntut ilmu dengan

penuh disiplin dan kasih sayang hingga sampai pada jenjang pendidikan doktor.

Demikian pula terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak mertua I G.N.

Sudana (almarhum) dan Ibu mertua Ni Wayan Sumiati yang selalu memberikan

dorongan dan dukungan kepada penulis dalam menempuh pendidikan ini.

Akhirnya penulis juga menyampaikan terima kasih kepada istri tercinta Ir.

Gusti Ayu Aryani yang dengan penuh pengertian dan kesabaran selalu

mendampingi penulis selama ini, serta anak – anak tercinta Putu Ayu Suryani, I

Made Agus Satrya Wibawa dan I Nyoman Adi Satya Wiradharma yang telah ikut

memberikan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan pendidikan ini.

Demikian pula terima kasih kepada semua saudara tersayang I Wayan Suambara,

SH, MM, Ir. Ni Luh Wayan Suparmi, MMA, I Made Sudharma, S.Sos,

SH,MM,MH, dr. Ni Nyoman Ayu Sutrini, SpKK, M.Repro termasuk semua ipar,

sepupu yang telah memberikan dorongan semangat dan dukungan moril selama

penulis menjalani pendidikan.

x !!!

Semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa selalu

melimpahkan karunia-Nya kepada semua pihak yang telah membantu penulisan

dalam mengikuti pendidikan doktor dan penyelesaian desertasi ini.

Denpasar, 25 April 2016

Penulis

I Ketut Suyasa

xi !!

ABSTRAK

Nyeri pinggang bawah merupakan keluhan yang sering ditemukan pada usia tua karena proses degenerasi. Proses degenerasi pada tulang belakang terutama daerah lumbal disebut osteoarthritis lumbal. Berbagai faktor diduga menjadi penyebab terjadinya OA lumbal, di antaranya akibat perubahan hormonal utamanya estrogen pada wanita pasca menopause. Di samping perubahan hormonal akibat proses degenerasi, nyeri pinggang bawah akibat OA lumbal dapat diakibatkan oleh karena proses inflamasi. Tujuan penelitian ini adalah untuk memperkuat teori inflamasi dan peran biomarker sebagai patogenesis osteoarthritis lumbal simtomatik pada wanita pasca menopause defisiensi estrogen dengan membuktikan peran COMP serum, IL-6 dan IL-10 plasma sebagai faktor risiko terjadinya osteoarthritis lumbal simtomatik pada wanita pasca menopause defisiensi estrogen. Telah dilakukan studi kasus kontrol untuk mengetahui peran COMP serum, IL-6 dan IL-10 plasma sebagai faktor risiko terjadinya OA lumbal simtomatik pada wanita pasca menopause defisiensi estrogen. Studi dilaksanakan di RSUP Sanglah dari bulan Oktober 2015 - Maret 2016 dengan melakukan pemeriksaan sampel darah dan diperiksa dengan metode ELISA. Dari 44 pasang sampel yang terdiri atas 44 kasus dan 44 kontrol, didapatkan bahwa kadar COMP serum tinggi pada wanita pasca menopause defisiensi estrogen tidak berisiko terhadap terjadinya OA lumbal simtomatik (OR = 0,7; CI 95% = 0,261-1,751; p = 0,393) dari yang memiliki kadar COMP serum rendah (cut-off point 0,946). Wanita pasca menopause defisiensi estrogen dengan kadar IL-6 plasma yang tinggi mempunyai risiko 2,7 kali (OR=2,7; CI 95%=0,991-8,320 dengan p=0,033) untuk mengalami OA lumbal simtomatik dari yang memiliki kadar IL-6 plasma yang rendah (cut-off point 2,264). Wanita pasca menopause defisiensi estrogen dengan kadar IL-10 plasma yang rendah tidak mempunyai risiko (OR=0,6; CI 95%=0,209 – 1,798; p=0,345) untuk mengalami OA lumbal simtomatik dari yang memiliki kadar IL-10 plasma yang tinggi (cut-off point 6,049). Sedangkan pada wanita pasca menopause defisiensi estrogen dengan rasio kadar IL-6/ IL-10 plasma yang tinggi mempunyai risiko 3,4 kali (OR=3,4; CI 95%=1,204-11,787; p=0,011) untuk mengalami OA lumbal simtomatik dari yang memiliki rasio kadar IL-6/IL-10 plasma yang rendah (cut-off point 0,364). Hasil studi ini menunjukkan bahwa rasio kadar IL-6/IL-10 plasma yang tinggi merupakan faktor risiko paling kuat terjadinya osteoarthritis lumbal simtomatik pada wanita pasca menopause dengan defisiensi estrogen. Kata kunci: OA lumbal simtomatik, IL-6, IL-10, COMP serum, rasio IL-6/IL-10

xii !!

ABSTRACT

Low back pain is a common symptom, usually in elderly due to a degeneration process. Degeneration process of the spine, especially in the lumbar region is termed as lumbar osteoarthritis. Numerous factors are thought to be the cause of lumbar OA, it is primarily due to hormonal changes of estrogen in postmenopausal women. Besides hormonal changes due to degeneration process, low back pain of lumbar OA may be caused by inflammatory process. The purpose of this study is to strengthen the theory of inflammation and the role of biomarker as the pathogenesis of symptomatic lumbar osteoarthritis in postmenopausal women with estrogen deficiency by proving the role of serum COMP, IL-6 and IL-10 as a risk factor to the lumbar symptomatic osteoarthritis in postmenopausal women with estrogen deficiency. Case-control study had been conducted to determine the role of COMP, IL-6 and IL-10 as a risk factor to symptomatic lumbar OA estrogen deficiency in postmenopausal women. The study was conducted in Sanglah General Hospital from October 2015 until March 2016 by obtaining blood samples and measure the COMP, IL-6 and IL-10 level by enzyme-linked immunisorbent assay (ELISA). From 44 pairs of samples consisting of 44 samples as case group and 44 samples as control group showed that high level of COMP in estrogen deficiency postmenopausal women are not at risk (OR = 0,7; CI 95% = 0,261-1,751; p = 0,393) for symptomatic lumbar OA (cut-off point 0,946). Estrogen deficiency postmenopausal women with the high level of IL-6 have 2.7 times risk (OR=2,7; CI 95%=0,991-8,320; p=0,033) for symptomatic lumbar OA from the low level of IL-6 (cut-off point 2,264). At lower level of IL-10, there is no risk for symptomatic lumbar OA (OR=0,6; CI 95%=0,209 – 1,798; p=0,345) than with the higher level of IL-10 (cut-off point 6,049). While the high ratio of IL-6 / IL-10 level in estrogen deficiency postmenopausal women give 3,4 times risk (OR=3,4; CI 95%=1,204-11,787; p=0,011) for symptomatic lumbar OA than the low ratio of IL-6 / IL-10 level (cut-off point 0,364). The results of the study showed that the high ratio of IL-6/IL-10 plasma level is the highest risk factor for causing symptomatic lumbar osteoarthritis in postmenopausal women with estrogen deficiency. Keywords: Symptomatic lumbar OA, IL-6, IL-10, COMP, the ratio of IL-6/IL-10 !

xiii !!

RINGKASAN

KADAR INTERLEUKIN – 6 PLASMA YANG TINGGI DAN RASIO KADAR INTERLEUKIN – 6 / INTERLEUKIN – 10 PLASMA YANG

TINGGI MERUPAKAN FAKTOR RISIKO TERJADINYA OSTEOARTHRITIS LUMBAL SIMTOMATIK PADA PENDERITA

WANITA PASCA MENOPAUSE DEFISIENSI ESTROGEN

Nyeri pinggang bawah merupakan keluhan yang sering ditemukan pada usia tua karena proses degenerasi. Proses degenerasi pada tulang belakang terutama di daerah lumbal disebut osteoarthritis (OA) lumbal. Osteoarthritis lumbal adalah terjadinya degenerasi tulang rawan yang melibatkan three joint complex lumbal yang ditandai dengan penyempitan diskus intervertebralis, terbentuknya vertebral osteofit dan terjadinya osteoarthritis pada facet joint. Ketiga keadaan patologis ini dapat terjadi oleh karena beban stress mekanik oleh karena peningkatan berat badan, bertambahnya usia, serta akibat terjadinya proses inflamasi (Richette et al, 2003; Sniekers et al, 2010). Degradasi kartilago mengakibatkan terjadinya peningkatan kadar COMP dalam cairan sinovium dan dalam serum. Produk degradasi kartilago ini akan difagositosis oleh sinovium dan menstimulasi proses inflamasi. Sel–sel sinovium akan teraktivasi dan memproduksi berbagai mediator katabolik dan pro inflamasi serta enzim proteolitik yang akan menyebabkan terjadinya kerusakan kartilago (Yuan et al, 2003).

Proses inflamasi yang terjadi pada osteoarthritis lumbal adalah proses inflamasi kronik yang melibatkan peran sitokin, baik sitokin pro inflamasi seperti IL-6 maupun sitokin anti inflamasi seperti IL-1ra atau IL-10. Interleukin-6 juga berperan penting dalam metabolisme tulang melalui induksi osteoklastogenesis dan merangsang aktifitas osteoklas terutama apabila kadar hormon estrogen menurun (Maggio et al, 2006; Holm et al, 2012). Interleukin-10 yang sebelumnya dikenal sebagai cytokine synthesis inhibitory factor dikenal juga sebagai anti inflamasi dan sitokin imunosupresif (Kresno, 2001). Rendahnya kadar IL-10 merupakan indikator kegagalan dalam proses penekanan terhadap produksi TNF-α dan IL-6 (Holm et al., 2012). Sampai saat ini belum diketahui apakah COMP yang tinggi, kadar IL-6 lebih tinggi dan IL-10 yang rendah serta rasio kadar IL-6/IL-10 pada wanita pasca menopause defisiensi estrogen sebagai faktor risiko terjadinya osteoarthritis lumbal simtomatik. Pada penelitian ini penulis ingin membuktikan bahwa COMP, IL-6 dan IL-10 merupakan faktor risiko terjadinya osteoarthritis lumbal simtomatik pada wanita pasca menopause defisiensi estrogen. Tujuan penelitian ini adalah untuk memperkuat teori inflamasi dan peran biomarker sebagai patogenesis osteoarthritis lumbal simtomatik pada wanita pasca menopause defisiensi estrogen dengan mengetahui peran COMP, IL-6, IL-10 dan rasio IL-6/IL-10 terhadap terjadinya osteoarthritis lumbal simtomatik pada wanita pasca menopause defisiensi estrogen.

xiv !!

Rancangan penelitian ini dibagi dalam 2 fase yaitu fase 1 berupa studi cross sectional yang bertujuan untuk mencari prevalensi osteoarthritis lumbal. Sedangkan fase 2 dalam bentuk studi case control, yang dimulai dengan mengidentifikasi kelompok kasus, yaitu 44 orang wanita pasca menopause defisiensi estrogen dengan OA lumbal simtomatik, yang dipasangkan dengan 44 orang dari kelompok kontrol yaitu wanita pasca menopause defisiensi estrogen dengan OA lumbal asimtomatik. Kemudian dilakukan pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan kadar COMP serum, kadar IL-6 dan IL-10 plasma. Analisis dilakukan dengan membandingkan probabilitas paparan faktor risiko (odd ratio). Penelitian dilakuan di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar pada bulan Oktober 2015 sampai dengan bulan Maret 2016.

Hasil penelitian pada fase 1 dengan sampel sebanyak 196 sampel wanita pasca menopause didapatkan sebanyak 189 sampel (96,4 %) defisiensi estrogen. Wanita pasca menopause defisiensi estrogen tersebut kemudian dilakukan pemeriksaan x-ray untuk mengetahui prevalensi OA Lumbal. Didapatkan sebanyak 184 sampel (97,3 %) mengalami OA Lumbal. Dari 184 sampel wanita pasca menopause defisiensi estrogen dengan OA lumbal tersebut, sebanyak 98 sampel (53,2 %) dengan nyeri pinggang dan 86 sampel (46,8%) tanpa nyeri pinggang. Pada fase 2, hasil penelitian menunjukkan wanita pasca menopause defisiensi estrogen dengan kadar COMP serum di atas atau sama dengan 0,946 (cut-off point) tidak terbukti secara signifikan berperan sebagai faktor risiko untuk mengalami OA lumbal simtomatik (OR = 0,7; CI 95% = 0,261-1,751; p = 0,393) dari yang memiliki kadar COMP serum rendah. Sedangkan wanita pasca menopause defisiensi estrogen yang memiliki kadar IL-6 sama atau lebih besar dari 2,264 (cut-off point) memiliki risiko OA lumbal simtomatik 2,7 kali dari yang memiliki kadar IL-6 lebih rendah dari 2,264 (OR=2,7; CI 95%=0,991-8,320 dengan p=0,033). Wanita pasca menopause defisiensi estrogen yang memiliki kadar IL-10 sama atau lebih rendah dari 6,049 (cut-off point) tidak memiliki risiko untuk mengalami OA lumbal simtomatik (OR=0,6; CI 95%=0,209 – 1,798; p=0,345) dari yang memiliki kadar IL-10 plasma yang tinggi. Sedangkan pada wanita pasca menopause defisiensi estrogen yang memiliki rasio kadar IL-6/IL-10 sama atau lebih besar dari 0,364 (cut-off point) memiliki risiko OA lumbal simtomatik 3,4 kali dari yang memiliki rasio kadar IL-6/IL-10 lebih kecil dari 0,364 (OR=3,4; CI 95%=1,204-11,787; p=0,011).

Kebaharuan dari penelitian ini adalah peranan rasio kadar IL-6/IL-10 plasma yang tinggi sebagai faktor risiko yang paling kuat terjadinya osteoarthritis lumbal simtomatik pada wanita pasca menopause defisiensi estrogen. Hal ini memperkuat teori inflamasi pada osteoarthritis lumbal simtomatik.

Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa rasio kadar IL-6/IL-10 plasma yang tinggi merupakan faktor risiko yang paling kuat terhadap terjadinya osteoarthritis lumbal simtomatik pada wanita pasca menopause defisiensi estrogen. Sehingga pemeriksaan rasio IL-6/IL-10 plasma untuk mengetahui faktor risiko terjadinya inflamasi pada OA lumbal simtomatik pada wanita pasca menopause defisiensi estrogen, dapat dilakukan untuk mendapatkan hasil akurat. Sedangkan biomarker COMP yang diambil dari darah tidak berpengaruh signifikan terhadap kejadian osteoarthritis lumbal simtomatik.

xv !!

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DEPAN

SAMPUL DALAM ............................................................................................... i

PRASYARAT GELAR ........................................................................................ ii

LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................. iii

PENETAPAN PANITIA PENGUJI ..................................................................... iv

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ........................................... v

UCAPAN TERIMA KASIH ................................................................................ vi

ABSTRAK ............................................................................................................ xi

ABSTRACT .......................................................................................................... xii

RINGKASAN ....................................................................................................... xiii

DAFTAR ISI ......................................................................................................... xv

DAFTAR TABEL ................................................................................................. xix

DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xx

DAFTAR SINGKATAN ...................................................................................... xxi

DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... xxiv

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1

1.1.! Latar Belakang Masalah ......................................................................... 1

1.2.! Rumusan Masalah ................................................................................... 6

1.3.! Tujuan Penelitian .................................................................................... 7

1.3.1.! Tujuan umum ......................................................................... 7

1.3.2.! Tujuan khusus ........................................................................ 7

1.4.! Manfaat Penelitian .................................................................................. 8

xvi !!

1.4.1.! Manfaat akademik/ilmiah ...................................................... 8

1.4.2.! Manfaat praktis ...................................................................... 8

BAB II KAJIAN PUSTAKA ................................................................................ 9

2.1 Anatomi Lumbal ............................................................................... 9

2.2 Biomekanik, Fungsi Diskus, dan Disc Dysfunction ......................... 12

2.2.1 Biomekanik ............................................................................ 12

2.2.2 Fungsi diskus .......................................................................... 13

2.2.3 Disc dysfunction ..................................................................... 14

2.3 Estrogen, Kartilago, dan Osteoarthritis ............................................ 16

2.4 Biomarker COMP ............................................................................ 18

2.5 Sitokin ............................................................................................... 20

2.5.1 Sifat umum sitokin .............................................................. 21

2.5.2 Fungsi sitokin ...................................................................... 23

2.5.3 Sitokin IL-6 ......................................................................... 24

2.5.4 Sitokin IL-10 ........................................................................ 25

2.6 Inflamasi dan Respon Nyeri ............................................................. 27

2.7 Hubungan Inflamasi, Defisiensi Estrogen dengan OA Lumbal

Simtomatik ....................................................................................... 38

2.8 Hubungan COMP Serum dengan OA Lumbal Simtomatik ............. 43

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS 46

3.1 Kerangka Berpikir ............................................................................ 46

3.2 Kerangka Konsep .............................................................................. 49

3.3 Hipotesis ........................................................................................... 50

xvii !!

BAB IV METODE PENELITIAN ....................................................................... 51

4.1 Rancangan Penelitian ........................................................................ 51

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................................... 54

4.3 Penentuan Sumber Data ................................................................... 54

4.3.1 Besar sampel ........................................................................ 54

4.3.1.1 Besar sampel untuk studi cross sectional ............. 54

4.3.1.2 Besar sampel untuk studi case control ................. 55

4.3.2 Teknik pemilihan sampel ..................................................... 56

4.3.3 Kriteria inklusi ..................................................................... 57

4.3.4 Kriteria eksklusi .................................................................. 57

4.4 Variabel Penelitian ............................................................................ 58

4.4.1 Variabel ............................................................................... 58

4.4.2 Definisi operasional variabel ............................................... 60

4.5 Alur Penelitian .................................................................................. 63

4.5.1 Penapisan subyek ................................................................ 63

4.5.2 Pemilihan kasus dan kontrol ................................................ 64

4.5.3 Pemeriksaan sampel darah ................................................... 64

4.6 Analisis Statistik .............................................................................. 66

4.6.1 Normalitas data ................................................................... 66

4.6.2 Analisis karakteristik kasus dan kontrol ............................. 66

4.6.3 Analisis faktor risiko osteoarthritis ..................................... 66

4.7 Waktu dan Tempat Penelitian ........................................................... 67

BAB V HASIL PENELITIAN ............................................................................. 68

xviii !!

5.1 Normalitas Data ................................................................................ 70

5.2 Karakteristik OA Lumbal Simtomatik dan OA

Lumbal Asimtomatik ....................................................................... 70

5.3 Faktor Risiko OA Lumbal Simtomatik ............................................. 71

5.3.1 Kadar COMP serum dengan OA lumbal simtomatik ............. 72

5.3.2 Kadar IL-6 plasma dengan OA lumbal simtomatik ................ 73

5.3.3 Kadar IL-10 plasma dengan OA lumbal simtomatik .............. 74

5.3.4 Rasio kadar IL-6/IL-10 dengan OA lumbal simtomatik ........ 75

BAB VI PEMBAHASAN .................................................................................... 76

6.1 Karakteristik Umur, IMT, Lama Menopause dan Kadar Estrogen

pada OA Lumbal Simtomatik .......................................................... 76

6.2 Peran kadar COMP Serum pada OA Lumbal Simtomatik ............... 77

6.3 Peran Kadar IL-6 Plasma pada OA Lumbal Simtomatik ................. 80

6.4 Peran Kadar IL-10 Plasma pada OA Lumbal Simtomatik ............... 82

6.5 Rasio Kadar IL-6/IL-10 Plasma pada OA Lumbal Simtomatik ....... 84

6.6 Kelemahan Penelitian ....................................................................... 85

6.7 Novelty .............................................................................................. 86

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN .................................................................. 87

7.1 Simpulan Penelitian .......................................................................... 87

7.2 Saran ................................................................................................. 88

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 89

LAMPIRAN .......................................................................................................... 95

xix !!

DAFTAR TABEL

Halaman

2.1 Substansi Kimia yang Dilepaskan pada Stimulus Kerusakan Jaringan .......... 30

5.1 Prevalensi wanita pasca menopause dengan defisiensi estrogen .................... 68

5.2 Prevalensi wanita pasca menopause defisiensi estrogen dengan

atau tanpa OA Lumbal dan keluhan nyeri pinggang ..................................... 69

5.3 Normalitas Data COMP, IL-6, IL-10 dan Rasio IL-6/IL-10

dengan Kolmogorov Smirnov ......................................................................... 70

5.4 Karakteristik OA Lumbal Simtomatik dan OA Lumbal Asimtomatik ........... 71

5.5 Tabulasi Silang antara Variabel Kadar COMP Serum dengan Variabel

OA lumbal simtomatik .................................................................................... 72

5.6 Tabulasi Silang antara Variabel Kadar IL-6 plasma dengan Variabel OA

lumbal simtomatik.. ....................................................................................... 73

5.7 Tabulasi Silang antara Variabel Kadar IL-10 plasma dengan Variabel OA

lumbal simtomatik ......................................................................................... 74

5.8 Tabulasi Silang antara Variabel Rasio Kadar IL-6/IL-10 plasma dengan

Variabel OA lumbal simtomatik ................................................................... 75

xx !!!

DAFTAR GAMBAR

Halaman

2.1 Anatomi Lumbal ........................................................................................... 11

2.2. Osteoartritis Lumbal ...................................................................................... 18

2.3 Peran Sitokin pada Respon Nyeri ................................................................... 28

2.4 Beberapa substansi kimia yang dilepaskan pada kerusakan jaringan

yang menstimulasi nosiseptor ........................................................................ 31

2.5 Jalur Nyeri Perifer Menuju ke Otak ................................................................ 32

2.6 Potensi Crosstalk antara Reseptor Kemokin dan Reseptor Opioid di Jalur

Nociceptive ..................................................................................................... 34

2.7 Respon Inflamasi Terhadap Degenerasi Diskus ............................................. 35

2.8 Visual Analogue Scale .................................................................................... 38

3.1 Bagan Kerangka Pikir ..................................................................................... 48

3.2 Bagan Kerangka Konsep Penelitian ................................................................ 49

4.1 Bagan Rancangan Penelitian Fase I ................................................................ 52

4.2 Bagan Rancangan Penelitian Fase II .............................................................. 53

4.3 Bagan Fase Penelitian ..................................................................................... 59

4.4 Bagan Alur Penelitian ..................................................................................... 65

xxi !!

DAFTAR SINGKATAN

ADAMTs : a Disintegrin and Metalloproteinase with Thrombospondin Motifs

BIRC3 : Baculoviral IAP Repeat Containing 3

BIRC5 : Baculoviral IAP Repeat Containing 5

BMD : Bone Mineral Density

BNP : Brain derived Neurotrophic Factor

C1 : Cervical 1

C2 : Cervical 2

CBP : CREB binding Protein

CGRP : Calcitonin gene-related peptide

COMP : Cartilage Oligomeric Matrix Protein

DD : Disc Degeneration

E2 : Hormone Estradiol

ELISA : Enzyme Linked Immunosorbent Assay

ERE : Estrogen Responsive Elements

Erα : Estrogen Receptor Alpha

ERß : Estrogen Receptor Beta

FGF : Fibroblast Growth Factor

FSU : Functional Spine Unit

GAG : Glycosaminoglycan

HRT : Hormone Replacement Therapy

IAP : Inhibitor Apoptosis Protein

xxii !!

IFN : Interferon

IL-10 : Interleukin 10

IL-12 : Interleukin 12

IL-1ra : Interleukin 1ra

IL-1ß : Interleukin 1beta

IL-6 : Interleukin 6

IL-8 : Interleukin 8

IMT : Indeks Massa Tubuh

MHC : Major Histocompatibility Complex

MMPs : Matrix Metalloproteinases

MMP-1 : Matrix Metalloproteinase - 1

MMP-3 : Matrix Metalloproteinases -3

MMP- 13 : Matrix Metalloproteinases - 13

NGF : Nerve Growth Factor

NRSs : Numerical Rating Scales

OA : Osteoarthritis

PAG : Periaqueductual Grey Matter

PGE2 : Prostaglandin E2

RNA : Ribonucleic Acid

RVM : Rostral Ventromedial Medulla

SMRT : Silencing Mediator for Retinoid and Thyroid Hormone

SRC-1 : Steroid Receptor Coactivator 1

TGF-1ß : Transforming Growth Factor

xxiii !!

TNFα : Tumor Necrosing Factor α

TRPV : Transient Receptor Potential Subfamily V Member I

VRSs : Verbal Rating Scales

VAS : Visual Analogue Scale

VEGF : Vascular Endothelial Growth Factor

XIAP : X-linked IAP

xxiv !!

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Penjelasan Persetujuan Penelitian ...................................................... 95

Lampiran 2. Surat Persetujuan Peserta dalam Penelitian ........................................ 99

Lampiran 3. Kuesioner Penelitian ........................................................................... 100

Lampiran 4. Protokol Penelitian ............................................................................. 103

Lampiran 5. Pemeriksaan Interleukin-6 .................................................................. 104

Lampiran 6. Pemeriksaan Interleukin-10 ................................................................ 110

Lampiran 7. Pemeriksaan COMP Serum ................................................................ 116

Lampiran 8. Surat Keterangan Kelaikan Etik (Ethical Clearance) ........................ 120

Lampiran 9. Surat Ijin Penelitian ............................................................................ 121

Lampiran 10. Data Dasar Penelitian ...................................................................... 122

Lampiran 11. Hasil Analisis Data (STATA/S.E. 12.1) ........................................... 126

!

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.!Latar Belakang Masalah

Nyeri pinggang bawah merupakan keluhan yang sering ditemukan pada usia

tua karena proses degenerasi. Proses degenerasi pada tulang belakang terutama di

daerah lumbal disebut osteoarthritis (OA) lumbal. Prevalensi osteoarthritis pada

usia 50 tahun baik pada laki-laki maupun pada wanita sama, sedangkan pada usia

di atas 50 tahun prevalensinya meningkat pada wanita. Namun demikian sampai

saat ini penyebabnya belum diketahui. Berbagai faktor diduga menjadi penyebab

terjadinya nyeri pinggang bawah, di antaranya adalah perubahan hormonal yang

sering terjadi pada wanita tua, termasuk perubahan hormon estrogen.

Defisiensi estrogen terdapat pada wanita menopause. Menopause adalah proses

berhentinya menstruasi akibat berkurangnya produksi hormon estrogen pada

wanita. Proses dan kerja organ tubuh akan mengalami perubahan seiring dengan

bertambahnya usia. Beban mekanik akan menimbulkan penipisan kartilago yang

mengakibatkan rusaknya kartilago, sehingga sendi menjadi kaku dan terasa nyeri.

Kellgren dan Moore menyatakan menopausal arthritis dengan Heberden Nodes

pada wanita ditandai dengan timbulnya gejala osteoarthritis yang cepat dan

mengenai berbagai sendi yang disebut dengan primary generalized osteoarthritis

yang mengenai tangan, lutut dan tulang belakang (Wluka et al., 2000).

Regio lumbal adalah bagian bawah dari susunan tulang belakang yang terdiri

dari 5 vertebral body yang mobile, 4 diskus intervertebralis, dengan 1 diskus pada

2 !

!

thoracolumbar junction dan lumbosacral junction, dan pada penampang sagital

regio ini berbentuk lordosis karena posisinya paling banyak menahan beban

mekanik (Urban, 2000; Bullough, 2004). Akibat dari bentuk dan strukturnya ini,

secara biomekanik regio ini merupakan regio yang paling mudah dan cepat

mengalami degenerasi.

Proses degenerasi tulang belakang yang diklasifikasikan sebagai osteoarthritis

ditandai dengan penyempitan diskus intervertebralis, terbentuknya osteofit dan

degenerasi pada facet joint. Ketiga komponen ini dikenal dengan three joint

complex yang saling mempengaruhi dan menimbulkan osteoarthritis lumbal. Pada

tahun 1982, Kirkaldy-Willis dan Parfan mengajukan 3 tanda klinis dan stadium

biomekanik pada degenerasi tulang belakang yaitu: disc disfunction, instability

dan stability (Dugan, 2013). Degenerasi tulang belakang meliputi disc

degeneration (DD), facet joint osteoarthritis (OA facet joint), perubahan

komponen otot dan proses degenerasi pada ligamen (Fujiwara et al., 2000).

Facet joint sebagai sendi diarthrodial merupakan salah satu sendi yang

memegang peranan penting pada gerakan satu segmen tulang belakang. Load

bearing pada facet joint akan mengalami perubahan pada degenerasi tulang

belakang. Degenerasi pada facet joint ditandai dengan adanya degradasi kartilago

berupa erosi fokal dan difus serta sklerosis dari tulang subkondral. Terbentuknya

facet hyperthrophy, malalignment apophyseal, stenosis dari foramen intervertebral

central maupun lateral (Kalichman dan Hunter, 2007). Secara klinis penderita

mengeluhkan nyeri pinggang bawah.

3 !

!

Degenerasi pada facet joint yang ditandai dengan adanya degradasi kartilago

akan dapat menyebabkan peningkatan kadar COMP dalam cairan sinovium

maupun dalam serum. Goode AP et al (2012) pada riset terbarunya menemukan

hasil yang menarik mengenai hubungan antara menyempitnya diskus

intervertebralis, cartilage oligomeric matrix protein (COMP) dan nyeri pinggang

bawah. Di antara penderita nyeri pinggang bawah (n= 265) terdapat hubungan

positif kuat antara COMP dan penyempitan diskus intervetebralis (OR=1,82; 95%

CI 1,02-3,27) yang tidak ditemukan pada pasien tanpa nyeri pinggang bawah

(OR=0,65; 95% CI 0,35-1,20). Oleh karena itu, sangat mungkin peningkatan

kadar COMP mencerminkan proses degenerasi diskus intervertebralis yang

ditandai dengan penyempitan diskus intervertebralis dan gejala-gejala yang

berkaitan dengan proses degenerasi ini (Goode et al., 2012).

Perubahan degenerasi seperti tersebut di atas, juga dapat disebabkan oleh

karena defisiensi estrogen. Ada beberapa studi melaporkan adanya pengaruh

hormon terhadap terjadinya osteoarthritis. Dilaporkan pada penderita pasca

histerektomi yang mengalami osteoarthritis knee meningkat secara signifikan.

Sedangkan pada percobaan binatang dilaporkan pemberian estrogen eksogen

secara parenteral dan intraarticular dengan dosis supra pharmacologic mengurangi

terjadinya osteoarthritis (Rosner et al., 1979; Chandler dan Desa, 1991).

Estrogen secara langsung mempengaruhi jaringan karena adanya reseptor

estrogen pada kondrosit human articular dan secara tidak langsung melalui

secondary messenger. Estrogen mempengaruhi level sitokin pada in vitro dan in

vivo. Identifikasi 2 reseptor estrogen ERα dan ERβ pada kondrosit membuktikan

4 !

!

bahwa kartilago sensitif terhadap estrogen (Ushiyama, 1999). Beberapa studi in

vivo dan in vitro menunjukkan bahwa kondrosit merespon estrogen dan adanya

mekanisme bahwa estrogen mempengaruhi metabolisme kondrosit (Richette et al.,

2003).

Perubahan hormonal yang terjadi selama menopause akan mempengaruhi

terjadinya osteoarthritis. Pada wanita post menopause, penggunaan HRT

(Hormone Replacement Therapy) menurunkan progresinya secara radiologis.

Estrogen akan merangsang perubahan proteoglikan pada kartilago baik secara

langsung maupun tidak langsung melalui sitokin.

Tumor Necrosis Factor-α (TNF-α) dan Interleukin-6 (IL-6) adalah sitokin pro

inflamasi. Sitokin pro inflamasi menstimulasi inflamasi sendi dan destruksi

kartilago. Peningkatan sitokin ini dapat dideteksi dari cairan sinovial (Wluka et

al., 2000). Tumor Necrosis Factor-α (TNF-α) adalah mediator inflamasi pada

diskus intervertebralis lumbal yang mengalami degenerasi dan herniasi, dapat

diidentifikasi pada ekstrak jaringan, histiosit, fibroblast, sel endotelial dan

kondrosit. Pada analisis imunohistokimia, TNF-α diproduksi pada situasi akut

setelah herniasi diskus intervertebralis dan digunakan secara lokal pada saraf

spinalis atau ganglion dorsalis untuk menginduksi nyeri sepanjang perjalanan

saraf tersebut (Holm et al., 2012).

Produksi IL-6 oleh human kondrosit juga dipengaruhi oleh estradiol, hal ini

menunjukkan kemungkinan adanya suatu mekanisme yang mempengaruhi

metabolisme tulang rawan (Wluka et al., 2000). Peningkatan IL-6 akan

memfasilitasi proses degenerasi dan menstimulasi pembentukan prekursor

5 !

!

osteoklas dari unit pembentuk koloni granulosit makrofag dan meningkatkan

jumlah osteoklas in vivo yang menyebabkan peningkatan resorpsi tulang, dan

berkontribusi terhadap terjadinya perubahan spondiloarthrosis (Holm et al., 2012).

Interleukin-6 (IL-6) sendiri juga diproduksi oleh sel lemak. Inhibitor dari IL-6

(termasuk estrogen) digunakan untuk pengobatan osteoporosis pada wanita-wanita

post menopause (Bastard dan Jardel, 1999).

Interleukin-10 yang sebelumnya dikenal sebagai cytokine synthesis inhibitory

factor dikenal juga sebagai anti inflamasi dan sitokin imunosupresif. Interleukin-

10 (IL-10) selain dapat diproduksi dari sel T regulator, juga diproduksi oleh

sejumlah besar sel - sel lain termasuk makrofag. Interleukin-10 sangat ampuh

dalam menekan makrofag untuk melepaskan TNF-α.

Osteoarthritis lumbal secara radiologis ditandai dengan penyempitan diskus

intervertebralis, terbentuknya osteofit dan degenerasi pada facet joint, namun

tidak semuanya menimbulkan nyeri pinggang. Osteoarthritis lumbal yang disertai

nyeri pinggang disebut osteoarthritis lumbal simtomatik.

Sampai saat ini belum diketahui apakah COMP yang tinggi, kadar IL-6 lebih

tinggi dan IL-10 yang rendah pada wanita pasca menopause defisiensi estrogen

sebagai faktor risiko terjadinya osteoarthritis lumbal simtomatik. Pada penelitian

ini penulis ingin membuktikan bahwa COMP, IL-6 dan IL-10 merupakan faktor

risiko terjadinya osteoarthritis lumbal simtomatik pada wanita pasca menopause

defisiensi estrogen. Dengan mengetahui peran COMP, IL-6 dan IL-10 berisiko

terhadap terjadinya osteoarthritis lumbal simtomatik pada wanita pasca

6 !

!

menopause defisiensi estrogen, maka diharapkan secara dini prediksi, pencegahan

dan penatalaksanaannya dapat diketahui.

1.2.!Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah yang diuraikan di atas, untuk membuktikan

adanya peranan biomarker COMP, sitokin IL-6, IL-10 dan rasio IL-6/IL-10

sebagai faktor risiko terjadinya osteoarthritis lumbal simtomatik pada wanita

pasca menopause defisensi estrogen, maka disusun rumusan masalah sebagai

berikut:

1.! Apakah wanita pasca menopause defisiensi estrogen dengan COMP serum

yang tinggi mempunyai risiko lebih tinggi mengalami osteoarthritis lumbal

simtomatik daripada wanita pasca menopause defisiensi estrogen dengan

COMP serum yang rendah?

2.! Apakah wanita pasca menopause defisiensi estrogen dengan IL-6 plasma

yang tinggi mempunyai risiko lebih tinggi terhadap terjadinya

osteoarthritis lumbal simtomatik daripada wanita pasca menopause

defisiensi estrogen dengan IL-6 yang rendah?

3.! Apakah wanita pasca menopause defisiensi estrogen dengan IL-10 plasma

yang rendah mempunyai risiko lebih tinggi terhadap terjadinya

osteoarthritis lumbal simtomatik daripada wanita pasca menopause

defisiensi estrogen dengan IL-10 yang tinggi?

7 !

!

4.! Apakah rasio kadar IL-6/IL-10 plasma yang tinggi merupakan faktor risiko

terjadinya osteoarthritis lumbal simtomatik pada wanita pasca menopause

defisiensi estrogen.

1.3.!Tujuan Penelitian

1.3.1! Tujuan umum

Untuk memperkuat teori inflamasi dan peran biomarker sebagai patogenesis

osteoarthritis lumbal simtomatik pada wanita pasca menopause defisiensi estrogen

dengan mengetahui peran COMP, IL-6, IL-10 dan rasio IL-6/IL-10 terhadap

terjadinya osteoarthritis lumbal simtomatik pada wanita pasca menopause

defisiensi estrogen.

1.3.2! Tujuan khusus

1.! Untuk membuktikan pada wanita pasca menopause defisiensi estrogen

dengan COMP serum yang tinggi mempunyai risiko lebih tinggi untuk

terjadinya osteoarthritis lumbal simtomatik dibandingkan dengan wanita

pasca menopause defisiensi estrogen dengan kadar COMP serum yang

rendah.

2.! Untuk membuktikan pada wanita pasca menopause defisiensi estrogen

dengan IL-6 plasma yang tinggi mempunyai risiko lebih tinggi untuk

terjadinya osteoarthritis lumbal simtomatik daripada wanita pasca

menopause defisiensi estrogen dengan IL-6 plasma yang rendah.

8 !

!

3.! Untuk membuktikan pada wanita pasca menopause defisiensi estrogen

dengan IL-10 plasma yang rendah mempunyai risiko lebih tinggi untuk

terjadinya osteoarthritis lumbal simtomatik daripada wanita pasca

menopause defisiensi estrogen dengan IL-10 plasma yang tinggi.

4.! Untuk membuktikan rasio kadar IL-6/IL-10 plasma yang tinggi merupakan

faktor risiko terjadinya osteoarthritis lumbal simtomatik pada wanita pasca

menopause defisiensi estrogen.

1.4.!Manfaat Penelitian

1.4.1.! Manfaat Akademik/Ilmiah

Apabila penelitian ini terbukti, diharapkan hasilnya dapat menambah

khasanah ilmu pengetahuan mengenai teori inflamasi dan peran biomarker sebagai

pathogenesis terjadinya osteoarthritis lumbal simtomatik pada wanita pasca

menopause defisiensi estrogen (peran pro inflamasi dan sitokin anti inflamasi).

1.4.2.! Manfaat praktis

Apabila pada penelitian ini terbukti kadar COMP serum dan IL-6 plasma

yang tinggi serta kadar IL-10 plasma yang rendah dan rasio IL-6/IL-10 plasma,

dapat merupakan petanda atau prediktor akan terjadinya osteoarthritis lumbal

simtomatik penderita wanita pasca menopause defisiensi estrogen, maka akan

dapat diupayakan secara dini pencegahan terjadinya osteoarthritis lumbal

simtomatik pada wanita pasca menopause defisiensi estrogen dan tatalaksana

pengobatannya.

!!

9 !

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Osteoarthritis lumbal adalah proses degenerasi tulang belakang pada daerah

lumbal yang melibatkan three joint complex, yang ditandai dengan penyempitan

diskus intervertebralis, terbentuknya osteofit dan degenerasi pada facet joint.

Ketiga komponen ini saling mempengaruhi dan menimbulkan keluhan nyeri

pinggang. Pada tahun 1982 Kirkaldy-Willis dan Parfan mengajukan 3 tanda klinis

dan stadium biomekanik pada degenerasi tulang belakang yaitu: disc dysfunction,

instability dan stability. Degenerasi tulang belakang meliputi disc degeneration

(DD), facet joint osteoarthritis (OA Facet joint), perubahan komponen otot dan

proses degenerasi pada ligamen (Fujiwara et al., 2000).

2.1 Anatomi Lumbal

Regio lumbal adalah bagian bawah dari susunan tulang belakang yang terdiri

dari 5 vertebral body yang mobile, 4 diskus intervertebralis, dengan 1 diskus pada

thoracolumbar junction dan lumbosacral junction, dan pada penampang sagital

regio ini berbentuk lordosis. Oleh karena posisinya paling banyak menahan beban

mekanik (Urban, 2000; Bullough, 2004). Akibat dari bentuk dan strukturnya ini,

secara biomekanik regio ini merupakan regio yang paling mudah dan cepat

mengalami degenerasi.

10 !

!!

Di antara dua vertebral body terdapat diskus intervertebralis yang terdiri dari

dua regio utama dengan nukleus pulposus yang lembut di bagian tengahnya dan

annulus fibrosus yang merupakan sebagai lapisan luar kolagen yang keras. Diskus

intervertebralis merupakan sendi yang menghubungkan tulang-tulang vertebra

pada tulang belakang (Bullough, 2004). Struktur diskus intervertebralis terdiri dari

tiga daerah anatomi yang terintegrasi yaitu nukleus pulposus di bagian tengah

yang banyak mengandung air dan berisi kolagen tipe II, anulus fibrosus di bagian

tepi mengandung kolagen tipe I dan II serta dua end plate yang terdiri dari tulang

rawan hyalin di bagian superior dan inferior (Martin, 2002). Kandungan air dan

proteoglikan pada nukleus pulposus memungkinkan meneruskan gaya beban dari

vertebra ke vertebra di bawahnya (compressive load), sedangkan gaya beban

radial (tensile load) diabsorbsi oleh tegangan pada serabut annulus fibrosus

(Melrose et al., 2008). Perubahan isi kolagen yang terdapat dalam diskus

intervertebralis dapat berlangsung secara alami bersamaan dengan proses

penuaan, proses ini disebut sebagai degenerasi diskus intervertebralis.

Facet joint sebagai sendi diarthrodial merupakan salah satu sendi yang

memegang peranan penting pada gerakan satu segmen tulang belakang. Load

bearing pada facet joint akan mengalami perubahan pada degenerasi tulang

belakang. Degenerasi pada facet joint ditandai dengan adanya degradasi kartilago

berupa erosi fokal dan difus serta sklerosis dari tulang subkondral. Terbentuknya

facet hyperthrophy, malalignment apophyseal, stenosis dari foramen

intervertebral central maupun lateral (Kalichman dan Hunter, 2007).

11 !

!!

Dua vertebral body yang dihubungkan oleh diskus intevertebralis, facet joint

dan ligamen (kecuali pada segment C1-C2, tidak ada diskus intervertebralis)

disebut sebagai suatu functional spine unit (FSU). Functional spine unit ini

dikenal sebagai three joint complex yang terdiri dari diskus intervertebralis (suatu

cartilagenous joint) dan dua facet joint (synovial joints), yang secara dinamis

bersama-sama dalam suatu physiologics loads.

Gambar 2.1 Anatomi lumbal (Bohinski,!Ryan,!2013)!

Satu kesatuan functional spine unit ini, dalam pergerakannya juga merupakan

satu kesatuan pergerakan sebagai satu segmen pergerakan. Oleh karena posisinya

paling banyak menahan beban mekanik, maka pada penampang sagital alignment

regio lumbal ini adalah lordosis. Sehingga akibat dari bentuk dan strukturnya ini,

secara biomekanik regio ini merupakan regio yang mudah dan cepat mengalami

degenerasi.

12 !

!!

2.2!Biomekanik, Fungsi Diskus dan Disc Dysfunction

2.2.1! Biomekanik

Fungsi dari tulang belakang, secara umum dibagi menjadi 2 bagian penting

dari masing-masing unit fungsional yaitu bagian anterior yang bersifat statik dan

bagian posterior yang bersifat dinamik. Bagian anterior yang fleksibel sebagai

pembawa beban dan pengabsorbsi getaran. Sedangkan bagian posterior yang

terdiri dari 2 arcus vertebrae, 2 processus transversus, 1 processus spinosus dan 2

buah facet joint, berfungsi melindungi elemen neural berperan sebagai fulcrum

dan mengarahkan pergerakan suatu unit fungsional. Elemen posterior ini akan

membagi beban kompresif dan mempengaruhi pola pergerakan tulang belakang

(Urban, 2000; Bullough, 2004).

Gerakan vertikal facet joint memungkinkan gerakan fleksi ekstensi tulang

belakang. Pada posisi netral, pergerakan lateral dan rotasi dapat dicegah dengan

aposisi permukaan sendi, sedangkan pada posisi agak fleksi, permukaan facet

joint akan bergeser sehingga memungkinkan pergerakan lateral dan rotasi. Pada

posisi ekstensi permukaan sendi facet mengalami aproksimasi sehingga dapat

mencegah pergerakan lateral dan miring. Pada saat postur diekstensikan, volume

kanalis spinalis dan foraminal neural akan berkurang.

Diskus intervertebralis adalah bagian dari sistem muskuloskeletal manusia

yang paling sering dan terparah mengalami proses degenerasi; diduga karena

sistem nutrisi yang mengandalkan difusi dari end plate (Grunhagen, 2006;

Johnson, 2008; Junger, 2009). Di samping karena faktor nutrisinya, posisi lumbal

merupakan daerah yang paling banyak menahan beban mekanik sehingga daerah

13 !

!!

ini merupakan daerah yang paling rentan dan paling mudah mengalami

degenerasi.

Setiap segmen pergerakan akan mewakili komponen pembentuk tulang

belakang yang merupakan suatu functional spine unit. Pada pergerakan ini peran

mekanik dari diskus intervertebralis menerima dan meneruskan gaya tekanan dari

atas dan ke bawah serta mengadakan pergerakan untuk fleksi, ekstensi, lateral dan

memutar aksial/rotasi, serta kompleks pergerakan kombinasi.

2.2.2! Fungsi diskus

Diskus intervertebralis terdiri dari dua komponen utama yaitu nucleus

pulposus mengandung banyak proteoglikan (50%) dengan konsistensi lunak di

bagian tengah dan lapisan luarnya yang disebut annulus fibrosus mengandung

proteoglikan 20%. Proteoglikan merupakan glikoprotein yang tersusun dari

glycosaminoglycan (GAG), yang paling banyak adalah aggrecan. Aggrecan

terbentuk dari rantai kondroitin-6 sulfat dan keratin sulfat yang terikat pada inti

protein. Molekul aggrecan memiliki kemampuan mengikat air yang kuat karena

sifat tekanan negatif dan hidrofilik alami. Sel nukleus pulposus memproduksi

banyak proteoglikan dan aggrecan. Hal ini menyebabkan nukleus pulposus

menarik air dan memberinya konsistensi kenyal sebagai bantalan. Sel annulus

fibrosus juga memproduksi proteoglikan tapi lebih sedikit dibandingkan nukleus

pulposus. Proteoglikan juga diperkirakan mempengaruhi permeabilitas jaringan

dan kemampuan difusi pada diskus dan mempengaruhi homeostasis diskus

(Slikker et al., 2012).

14 !

!!

Kandungan kolagen dari diskus intervertebralis terdiri dari kolagen tipe I dan

tipe II, dengan nukleus pulposusnya hanya mengandung kolagen tipe II dan

annulus fibrosus mengandung kolagen tipe I dan tipe II. Perubahan kandungan

kolagen dalam diskus intervertebralis dapat terjadi secara alami karena penuaan

maupun karena proses degenerasi. Fungsi utama kolagen adalah memberikan

kekuatan pada diskus intervertebralis (Slikker et al., 2013).

Ada 2 keseimbangan yang terdapat dalam diskus yaitu:

1.! Keseimbangan swelling pressure atau keseimbangan kimiawi, yaitu

keseimbangan antara nukleus pulposus yang mengandung proteoglikan

yang menyerap air dengan serat kolagen yang menolak penyerapan air.

Adanya keseimbangan antara proteoglikan dengan serat kolagen.

2.! Keseimbangan mekanik

Kesimbangan yang terjadi bila ada gaya/beban diberikan pada nukleus,

maka gaya tersebut akan akan diteruskan ke anulus yang ada sekitarnya.

Apabila keseimbangan kimiawi dan keseimbangan mekanik ini terganggu,

maka akan terjadi kehilangan kemampuan diskus dalam mengatur kandungan air

di dalam diskus, yang mengakibatkan terjadinya proses degenerasi pada diskus

intervertebralis (Wong, 2007).

2.2.3! Disc dysfunction

Lumbar disc degeneration (dysfunction) disebabkan oleh karena menurunnya

komponen mekanis dan komponen kimiawi pada diskus. Hal ini disebabkan oleh

15 !

!!

karena proses penuaan dan diperberat oleh faktor lingkungan seperti trauma,

aktifitas dengan high impact, jenis pekerjaan dan merokok.

Pada tahun 1982 Kirkaldy-Willis dan Parfan mengajukan 3 tanda klinis dan

stadium biomekanik pada degenerasi tulang belakang yaitu: disc dysfunction,

instability dan stability. Degenerasi tulang belakang meliputi disc degeneration

(DD), facet joint osteoarthritis (OA facet joint), perubahan komponen otot dan

proses degenerasi pada ligamen (Fujiwara et al., 2000). Pada stadium I (disc

dysfunction) diskus tidak mampu menanggung beban aksial, tinggi diskus juga

berkurang, hal ini terjadi sebagai akibat dari berkurangnya kandungan air di

nukleus pulposus, sehingga proteoglikannya juga berkurang. Pada stadium II

(instability) terjadinya penyempitan ruang diskus akan mengakibatkan struktur

ligamen menjadi lemah, terbentuknya vertebral osteofit dari periosteum junction

antara tulang dan tulang rawan. Instability ini juga akan mempengaruhi stabilitas

facet joint. Pada stadium III (stability), functional spine unit akan melakukan

usaha-usaha stabilisasi dengan jalan menyempitnya diskus intervertebralis,

fibrosis ligamen, terbentuknya osteofit, subluksasi facet joint dan fibrosis kapsul

sendi (Wong, 2007).

Proses degenerasi pada tulang belakang diduga diawali dengan adanya

degenerasi diskus. Degenerasi diskus ini mengakibatkan ketidakstabilan

segmental yang meningkatkan beban pada facet joint dan menyebabkan kerusakan

pada tulang rawan sendi.

16 !

!!

2.3!Estrogen, Kartilago dan Osteoarthritis

Peran estrogen pada osteoarthritis pertama kali diungkapkan 75 tahun yang

lalu oleh Cecil dan Archer, yang menggambarkan arthritis pada menopause

sebagai perkembangan cepat pada osteoarthritis tangan dan lutut yang terjadi

setelah berhentinya menstruasi. Hal ini didukung data epidemiologis adanya

hubungan penurunan estrogen dengan perkembangan osteoarthritis pada usia yang

prevalensinya meningkat pada usia di atas 50 tahun (Richette et al., 2003).

Studi prevalensi osteoarthritis pada wanita post menopause dengan dan tanpa

hormone replacement therapy (HRT) menunjukkan bukti yang kuat adanya

manfaat estrogen pada osteoarthritis. Identifikasi 2 reseptor estrogen ERα dan

ERβ pada kondrosit membuktikan bahwa kartilago sensitif terhadap estrogen.

Beberapa studi in vivo dan in vitro menunjukkan bahwa kondrosit merespon

estrogen dan adanya mekanisme bahwa estrogen mempengaruhi metabolisme

kondrosit (Richette et al., 2003).

Reseptor estrogen merupakan protein nukleus yang termasuk dalam family

reseptor steroid. Setelah aktivasi ligand, mereka berperan sebagai faktor

transkripsi. Estradiol mengikat sitosol pada palindromic reseptor element (ERE)

yang tampak pada gen promotor target, dengan demikian terjadi aktivasi dan

inhibisi transaktivasi gen. Adanya variasi fungsional ERα dan ERβ membuat

pembelahan gen alternatif, melibatkan koaktivator transkripsi (CBP, SRC-1 dan

SMRT) dan kemampuan reseptor estrogen untuk membentuk heterodimer ERα

dan ERβ menambahkan regulasi lebih lanjut. Efek estrogen non nuclear

meningkatkan kompleksitas mekanisme kerjanya. Banyak ligand, termasuk

17 !

!!

estrogen fisiologis (17β estradiol) dan anti estrogen, memiliki afinitas yang mirip

dengan kedua reseptor tersebut (Richette et al., 2003).

Identifikasi dua reseptor pada sendi dan cartilage growth plate pada berbagai

spesies termasuk manusia, memberikan bukti kuat bahwa kartilago bereaksi

terhadap estrogen. Studi immunohistokimia mendeteksi ERβ pada kondrosit

growth plate yang hipertropi pada manusia. Transkripsi dari kedua reseptor ini

telah diidentifikasi pada kondrosit dari hip dan lutut dengan osteoarthritis,

mendukung hipotesis bahwa kartilago pada osteoarthritis responsif terhadap

estrogen (Richette et al., 2003).

Pada studi in vivo pada binatang, injeksi estrogen intra artikular memiliki

dosis dependen; dosis suprafisiologis 17β estradiol menginduksi osteoarthritis

secara histologis, dimana jika menggunakan dosis rendah tidak berefek. Chandler

dan Desa (1991) dalam studinya mengenai kartilago, menunjukkan menurunnya

ketahanan terhadap kompresi setelah oovorectomy, kecuali saat HRT telah

diberikan. Pada percobaan secara in vivo pada tikus dengan oovorectomy,

penggantian estrogen mencegah kerusakan kartilago yang disebabkan interleukin-

1β (Richette et al., 2003).

Efek berlawanan estrogen pada kartilago tergantung pada 2 faktor utama yaitu

dosis estrogen dan usia pasien. Estradiol memiliki efek menguntungkan pada

dosis fisiologis dan merugikan pada dosis yang lebih tinggi. Identifikasi reseptor

estrogen α dan β pada kartilago normal dan osteoarthritis, dan efek 17β estradiol

pada kartilago binatang secara in vivo dan in vitro menegaskan bahwa kartilago

berespon terhadap estrogen. Respon ini sifatnya dose dependent; dosis fisiologis

18 !

!!

(seperti HRT) bersifat protektif dan dosis lebih tinggi sifatnya merugikan. Pada

wanita post menopause, estrogen dapat menurunkan kecepatan remodelling tulang

subkondral yang merupakan faktor kunci patofisiologi osteoarthritis. Selanjutnya

ekspresi reseptor estrogen ditunjukkan pada sinoviosit, dimana merupakan target

yang mungkin bagi estrogen untuk memberikan efek pada sendi.

Gambar 2.2 Osteoartritis lumbal (Bohinski,!Ryan,!2013)!

!

2.4!Biomarker COMP

Cartilage Oligomeric Matrix Protein (COMP) yang disebut juga

thrombospondin 5 adalah suatu homopentamer glikoprotein non kolagen dari

matiks ekstraseluler, merupakan anggota family trombospondin dengan berat

molekul 524 kDa (Tseng dkk, 2009). Cartilage oligomeric matrix protein

terutama diproduksi oleh kartilago sendi. Selain oleh fibroblas dalam synovium,

tendon, ligamen, meniskus, otot polos pembuluh darah dan corpus vitreus bola

mata. Cartilage oligomeric matrix protein tersusun oleh 5 sub unit yang identik,

masing – masing dengan domain EGF like dan calcium bending thrombospondin

19 !

!!

like (Mobasheri dan Henrotin, 2008). Domain karboksiterminal globular dari

COMP terikat pada kolagen tipe I, II dan IX. Pada ujung aminoterminal, lima

untai molekul bersama–sama membentuk suatu domain coiled yang berperan

dalam penyimpanan dan pendistribusian molekul signaling sel yang hidrofobik,

seperti vitamin D (Jordan, 2004).

Sebagai biomarker konsentrasi COMP pada cairan sinovial ataupun dalam

serum dapat digunakan sebagai indikator awal adanya kelainan pada pemeriksaan

radiologis (Dragomir et al, 2002; Sharif et al, 2004). Demikian pula COMP

sangat sensitif untuk mendeteksi dini terjadinya prematur OA pada penderita yang

secara genetik menderita OA (Bleasel et al, 1999; William et al, 2006).

Sampai saat ini fungsi COMP belum diketahui dengan pasti. Namun

demikian COMP dinyatakan berperan pada osifikasi endokondral, pembentukan

dan stabilisasi matriks ekstrasel melalui interaksi dengan fibril kolagen dan

fibronektin. Di samping itu, cartilage oligomeric matrix protein juga menjadi

mediator interaksi antara kondrosit dan matriks ekstrasel tulang rawan melalui

interaksi dengan reseptor–reseptor integrin di permukaan sel (Mobasheri dan

Henrotin, 2008). Cartilage oligomeric matrix protein (COMP) juga berperan

sebagai katalis dalam fibrilogenesis kolagen tipe I dan II (Hallasz et al, 2007).

Oleh karena COMP berikatan dengan agreccan, diduga COMP berperan juga

sebagai mediator interaksi berbagai molekul matriks ekstrasel dalam

mengorganisasikan matriks tulang rawan untuk mempertahankan fungsinya

sebagai penyangga beban (Chen et al, 2007).

20 !

!!

Cartilage oligomeric matrix protein (COMP) dapat mempertahankan

integritas struktural dari kartilago melalui interaksi dengan berbagai protein

matriks ekstraseluler. Melalui interaksi dengan integrin, COMP dapat membantu

dalam perlekatan dari kondrosit kepada cell culture dishes. Cartilage oligomeric

matrix protein ini dapat menghambat proliferasi sel serta juga meningkatkan

chondrogenesis. Selanjutnya, dengan meningkatkan survival protein, COMP bisa

melindungi kondrosit dari kematian sel. Cartilage oligomeric matrix protein

mempunyai tempat berikatan yang unik untuk vitamin D, yang mengindikasikan

kemungkinan juga berperan dalam penyimpanan dan penghantaran cell-signaling

molecules.

!

2.5! Sitokin

Degenerasi tulang belakang pada daerah lumbal yang melibatkan three joint

complex, selalu diawali dengan degenerasi pada diskus intervertebralis, yang

ditandai dengan penyempitan diskus intervertebralis, terbentuknya osteofit dan

degenerasi pada facet joint. Ketiga komponen ini saling mempengaruhi dan

menimbulkan keluhan nyeri pinggang. Berbagai faktor diduga menjadi penyebab

terjadinya nyeri pinggang antara lain: beban mekanik, usia, hormonal dan

terjadinya proses inflamasi.

Pada reaksi inflamasi banyak substansi berupa hormon dan faktor

pertumbuhan yang dilepaskan oleh limfosit T dan B maupun oleh sel–sel lain

yang berfungsi sebagai sinyal interseluler yang mengatur aktifitas sel yang terlibat

dalam respon imun dan respon inflamasi baik lokal maupun sistemik terhadap

21 !

!!

rangsangan dari luar. Substansi ini secara umum disebut sitokin. Substansi yang

dilepaskan oleh limfosit disebut limfokin sedangkan yang dilepaskan oleh

monosit disebut monokin.

Sitokin ini berperan dalam pengendalian hemopoesis dan limfopoesis dan

juga berfungsi dalam mengendalikan respon imun dan reaksi inflamasi dengan

cara mengatur pertumbuhan, serta mobilitas dan diferensiasi leukosit maupun sel–

sel lain. Pada reaksi inflamasi, sitokin yang berperan menstimuli terjadinya

inflamasi pada sendi dikenal sebagai sitokin pro inflamasi misalnya TNF-α dan

IL-6. Sedangkan sitokin yang berperan sebagai faktor penghambat sintesis disebut

sitokin anti inflamasi misalnya IL-10.

2.5.1 Sifat umum sitokin

Sitokin adalah polipeptida yang diproduksi sebagai respon terhadap mikroba

dan antigen lain yang memperantarai dan mengatur reaksi imunologi dan reaksi

inflamasi (Abbas et al, 2007). Setiap jenis sitokin mempunyai struktur yang

berbeda satu dengan yang lainnya, walaupun demikian ada beberapa sifat umum

yang dimiliki bersama yaitu: (Abbas et al, 2007; Oppenheim et al, 1991)

1.! Sekresi sitokin terjadi singkat dan tidak pernah disimpan sebagai molekul

yang preformed dan sintesisnya biasanya diawali dengan transkripsi gen

yang terjadi akibat stimulasi. Segera setelah disintesis sitokin dengan cepat

disekresikan dan menghasilkan aktivitas yang diperlukan.

2.! Aktivitas sitokin seringkali pleiotropic dan redundant. Pleiotropic berarti

kemampuan satu jenis sitokin untuk merangsang berbagai jenis sel yang

22 !

!!

berbeda. Sedangkan redundant berarti banyak sitokin yang menghasilkan

efek fungsional yang sama.

3.! Sitokin sering mempengaruhi sintesis dan aktivitas sitokin lainnya.

4.! Aktivitas sitokin dapat lokal maupun sistemik. Sebagian besar sitokin

bereaksi dekat dengan tempatnya diproduksi, bila dalam sel yang

memproduksinya disebut autocrine reaction, bila bereaksi pada sel yang

berdekatan disebut paracrine reaction, dan bila diproduksi dalam jumlah

yang banyak, masuk kedalam sirkulasi dan bekerja sistemik disebut

endocrine reaction.

5.! Sitokin merupakan mediator respon imun yang sangat poten dan mampu

berinteraksi dengan reseptor pada permukaan sel.

6.! Sinyal eksternal mengatur ekspresi reseptor sitokin, sehingga juga

mengatur respon sel terhadap sitokin.

7.! Respon selular terhadap sebagian besar sitokin terdiri atas perubahan

ekspresi gen pada sel sasaran yang berakibat ekspresi fungsi baru atau

proliferasi sel sasaran.

8.! Respon seluler terhadap sitokin diatur secara ketat dan ada mekanisme

umpan balik untuk menghambat dan menekan respon imun tersebut.

Sitokin merupakan messenger kimia atau perantara dalam komunikasi

interseluler yang sangat poten, aktif pada kadar yang sangat rendah (10-10 – 10-15

mol/L dapat merangsang sel sasaran) (Karnen, 2000). Seperti halnya hormon

polipeptida, sitokin mengawali aksinya dengan berikatan dengan reseptor sitokin

pada membran sel sasaran dengan afinitas yang sangat tinggi.

23 !

!!

2.5.2 Fungsi Sitokin

Berdasarkan aktivitas biologik yang utama, sitokin dapat diklasifikasikan

dalam 3 kelompok fungsional: (Abbas et al, 2007)

1.! Mediator dan regulator imunitas bawaan.

Kelompok sitokin ini terutama diproduksi oleh fagosit mononuklear

sebagai respon terhadap agen infeksi. Sebagian besar sitokin kelompok ini

bekerja pada sel endotel dan leukosit untuk merangsang reaksi inflamasi

dini dan sebagian lagi untuk mengontrol respon ini.

2.! Mediator dan regulator imunitas didapat.

Diproduksi terutama oleh limfosit T sebagai respon terhadap pengenalan

spesifik antigen asing, berfungsi terutama untuk mengatur pertumbuhan

dan diferensiasi berbagai populasi limfosit. Di samping itu juga berfungsi

merekrut, mengaktivasi dan mengatur sel – sel efektor spesifik seperti

fagosit mononuklear, neutrophil dan eosinophil untuk mengeliminasi

antigen pada fase respon imun didapat.

3.! Stimulator hemopoesis.

Sitokin ini diproduksi oleh sel – sel stroma dalam sumsum tulang, leukosit

dan sel – sel lain dan merangsang pertumbuhan dan diferensiasi leukosit

imatur.

Banyak sitokin yang telah teridentifikasi, baik struktur molekul maupun

fungsinya, beberapa di antaranya merupakan mediator utama yang meningkatkan

reaksi imunologik yang melibatkan makrofag, limfosit dan sel-sel lain. Sehingga

berfungsi sebagai imunoregulator spesifik maupun non spesifik. Mediator-

24 !

!!

mediator tersebut ternyata mempunyai sifat biokimia dan sifat biologik serta

fungsi yang serupa dan kemudian diberi nama Interleukin yang berarti adanya

komunikasi antar sel. Sampai saat ini telah ditemukan berbagai jenis interleukin

yaitu IL-1 hingga IL-35.

2.5.3! Sitokin IL-6

Interleukin-6 dahulu dikenal dengan sebagai IFN-β2, hepatocyte stimulating

factor dan plasmacytoma growth factor merupakan sitokin yang berfungsi pada

imunitas bawaan maupun didapat. Interleukin-6 dibentuk oleh banyak sel dan

mempengaruhi banyak sasaran. Sumber utama dari IL-6 adalah makrofag dan

limfosit di daerah inflamasi. Interleukin-6 dapat juga diproduksi oleh sel tulang di

bawah pengaruh hormon osteotropik (PTH, 1,25-dihidroksi vitamin D3) dan

Interleukin-1 (Feyen et al. dalam Mundy, 1995). Selain berperan dalam proses

imunologi dan inflamasi, IL-6 juga berperan penting dalam metabolisme tulang

melalui induksi osteoklastogenesis dan merangsang aktifitas osteoklas (Keller,

1996). Interleukin-6 meningkatkan pembentukan sel osteoklas, terutama apabila

kadar hormon estrogen menurun (Roitt et al., 1998). Interleukin-6 menstimulasi

pembentukan prekursor osteoklas dari unit pembentuk koloni granulosit makrofag

dan meningkatkan jumlah osteoklas in vivo, yang menyebabkan peningkatan

resorpsi tulang, yang berkontribusi pada perubahan spondiloarthrosis dan

degenerasi diskus intervertebralis (Holm et al., 2012). Demikian pula Keller,

Harman dan Ershler (2002) menemukan peningkatan IL-6 pada penuaan dan

penderita menopause. Sehingga diduga bahwa IL-6 merupakan salah satu sitokin

25 !

!!

yang memegang peranan penting dalam proses penyerapan tulang, melalui

pengaruh aktivitas sel osteoklas, termasuk pada tulang subkondral.

2.5.4! Sitokin IL-10

Interleukin-10 yang sebelumnya dikenal sebagai cytokine synthesis inhibitory

factor dikenal juga sebagai anti inflamasi dan sitokin imunosupresif. Interleukin-

10 dapat diproduksi selain dari sel T regulator, dengan sejumlah besar sel-sel lain

termasuk makrofag. Interleukin-10 sangat ampuh dalam menekan makrofag untuk

melepaskan TNF-α.

Meningkatnya kadar IL-10 didahului oleh meningkatnya sitokin pro inflamasi

(TNF-α, IL-1, IL-6 dan GM-CSF). Sitokin IL-10 merupakan komponen dari T

helper (Th) yang berfungsi untuk menentukan bagian spesifik dari sel Th: Th0,

Th1 dan Th2. Bagian-bagian ini telah dapat dibedakan dengan jelas pada tikus

dimana IL-10 disintesis oleh Th2. Prekursor dari IL-10 memproduksi IL-2, IFN-γ,

IL-4 dan IL-10. Penelitian yang dilakukan pada manusia menunjukkan bahwa

kadar IL-10 yang tinggi bekerja antagonis terhadap respon inflamasi. Fungsi dari

sel T diregulasi oleh IL-10. Efek dari IL-10 adalah melemahkan respon selular

dari Th1 dan memperkuat respon humoral dari Th2. Interleukin-10 menghambat

IFN-γ yang diproduksi oleh sel Th1. Efek inhibisi ini terjadi secara tidak langsung

dan merupakan hasil dari beberapa mekanisme tertentu. Yang pertama yaitu

bahwa IL-10 menghambat ekspresi dari HLA-DR pada antigen presenting cell

(APC), sehingga menghalangi aktivasi dari sel T yang dimediasi oleh antigen.

Interleukin-10 juga menghambat ekspresi dari ICAM-1, CD8 dan CD86 pada

26 !

!!

permukaan APC, sehingga menurunkan aktifitas ko-stimulator. Mekanisme

lainnya yaitu IL-10 menghambat IL-12 yang dikendalikan oleh respon selular dari

Th1 dengan cara menurunkan transkripsi subunit p40 dari reseptor IL-12 (Clair,

1999).

Interleukin-10 juga berperan meningkatkan sel Th2 yang memediasi imunitas

humoral dengan menstimulasi pertumbuhan dan diferensiasi dari sel B. Dalam

kultur yang diteliti, sel B diaktivasi oleh IL-10 dan kemudian berdiferensiasi

menjadi sel yang mensekresi antibodi dan berubah menjadi IgA, IgG1 dan IgE.

Interleukin-10 juga memperkuat produksi dari IgG4. Lama hidup dari sel B dapat

diperpanjang oleh IL-10 melalui induksi protein bcl (Clair, 1999).

Ada dua fungsi utama IL-10 adalah menghambat produksi beberapa jenis

sitokin (TNF, IL-1, chemokine dan IL-12) dan menghambat fungsi makrofag dan

sel dendritik dalam membantu aktivasi sel T, sehingga bersifat immunosupresi.

Hambatan fungsi makrofag terjadi karena IL -10 menekan ekspresi molekul MHC

kelas II pada makrofag, dan mengurangi ekspresi ko-stimulator (a.l. B7-1 dan B7-

2). Dampak akhir dari aktifitas IL-10 adalah hambatan reaksi inflamasi non

spesifik maupun spesifik yang diperantarai sel T, karena itu IL-10 juga disebut

cytokine synthesis inhibitory factor dan sitokin anti inflamasi (Kresno, 2001). Sel

nukleus pulposus yang diturunkan secara spontan memproduksi dan menghasilkan

IL-6 dan IL-10, tapi tidak pada TNF-α ke dalam media kultur. Stimulasi

lipopolisakarida pro inflamasi meningkatkan IL-6 75 kali lipat dan meningkatkan

IL-10 150 kali lipat, tapi tidak ada TNF-α terdeteksi setelah stimulasi, meskipun

beberapa sitokin lain (IL-1, GM CSF) diinduksi (Holm et al., 2012).

27 !

!!

Proses inflamasi yang terjadi pada osteoarthritis lumbal adalah proses

inflamasi kronik yang melibatkan peran sitokin, baik sitokin pro inflamasi seperti

TNF-α, dan IL-6, maupun sitokin anti inflamasi seperti IL-1ra atau IL-10. Dengan

demikian tampaknya sitokin bekerja dengan berinteraksi secara kompleks.

2.6 Inflamasi dan Respon Nyeri

Degenerasi tulang belakang pada daerah lumbal yang melibatkan three joint

complex, tidak terlepas kaitannya dengan biomekanik terutama dalam physiologic

load. Pada proses degenerasi diskus akan terjadi penurunan jumlah cairan pada

nukleus pulposus yang memicu terjadinya robekan pada annulus fibrosus.

Robekan pada annulus fibrosus memicu pertumbuhan pembuluh darah baru dan

nociceptor pada bagian luar dan dalam annulus. Stimulasi dari nociceptor dan

stimulasi sitokin inflamasi akan menyebabkan hiperalgesia yang sering terjadi

pada nyeri pinggang bawah.

Mediator inflamasi memicu adanya nyeri melalui jalur biokimia. Adapun

mediator yang terlibat antara lain IFN-γ, IL-1β, dan TNF-α. Produksi IL-6 juga

meningkat secara signifikan oleh stimulasi dengan TNF-α. Pada kartilago sendi

manusia, IL-6 menghambat sintesis proteoglikan, yang secara normal menjaga

hidrasi nukleus pulposus dan mencegah pertumbuhan dari pembuluh darah

(Dugan, 2013).

28 !

!!

Gambar 2.3 Peran Sitokin pada Respon Nyeri. Keratinosit dan fibroblast dalam kulit membuat, menyimpan dan melepaskan bentuk prekursor dari IL-1 (pro IL-1). Kerusakan kulit membuat sel mast yang berada dalam kulit akan bergabung dengan sel mast yang lainnya melakukan migrasi ke area trauma. Sel mast ini melepaskan TNF, IL-1, IL-6 dan chymase. Chymase berperan utk membelah dan mengaktifkan pro IL-1 menjadi aktif. IL-1 berikatan dengan saraf perifer terminal, menyebabkan aktivasi neural dan lepasnya Substance P. Aktivasi neural ini berikutnya akan menyebabkan aktivasi CNS, menyebabkan hiperalgesia dan respon nyeri lainnya. Substance P yang dilepaskan dari saraf terminal ke kulit akan menginisiasi positive feedback loop, dimana Substance P akan menstimulasi sel mast dan makrofag untuk melepaskan lebih banyak lagi IL-1, TNF, IL-6 dan chymase (Watkin, 1995).

Peran imunitas dalam osteoarthritis jauh lebih kompleks daripada hanya sel

mast. Substance P juga mempromosikan kemotaksis dari sel imun ke dalam sendi,

mengaktifkan neutrophil, sinoviosit dan makrofag, menstimulasi proliferasi

limfosit, menginduksi lepasnya sitokin proinflamasi dan menstimulasi fagositosis.

Sitokin TNF, IL-1 dan IL-6 diproduksi oleh makrofag, sinoviosit, sel mast,

endotel, fibroblast dan kondrosit dalam sendi. Sitokin pro inflamasi ini

menstimulasi kondrosit, osteoklas, osteoblast, fibroblast, dan sinoviosit. Hal ini

29 !

!!

yang menyebabkan pertumbuhan berlebihan dari sinovium dan proliferasi

fibroblast, produksi berlebihan dari enzim yang mendegradasi jaringan

penghubung yang berasal dari sinoviosit, fibroblast dan kondrosit, produksi

berlebihan dari prostaglandin oleh fibroblast dan resorbsi berlebihan dari kalsium

oleh sel tulang (Watkins, 1995).

Degenerasi diskus intervertebralis akan mengakibatkan perubahan yang

signifikan pada diskus dimana akan terjadi penurunan jumlah cairan pada nukleus

pulposus yang memicu terjadinya robekan pada annulus fibrosus. Robekan pada

annulus fibrosus memicu pertumbuhan pembuluh darah baru dan nociceptor pada

bagian luar dan dalam annulus. Stimulasi dari nociceptor dan stimulasi sitokin

inflamasi akan menyebabkan hiperalgesia yang sering terjadi pada nyeri pinggang

bawah (Nilesh B.P., 2010).

Sistem saraf untuk nosisepsi akan memberitahu otak terhadap rangsangan

sensorik yang berbahaya dan tidak berbahaya secara terpisah. Berdasarkan serabut

sarafnya, klasifikasi nociceptor ada 2 tipe yaitu serabut C (C fiber) dengan

diameter lebih kecil, yang merupakan saraf tanpa myelin yang menginduksikan

impuls saraf secara perlahan dan serabut Aδ (Aδ fiber) dengan diameter lebih

besar, bermyelin yang menghantarkan impuls saraf lebih cepat. Sensasi nyeri ada

2 kategori yaitu epritic (di awal cepat dan tajam), dan protopathic (lambat, tumpul

dan bertahan lama). Impuls cepat pada konduksi cepat dari serabut Aδ

menghasilkan sensasi nyeri tajam dan cepat, sedangkan nosiseptor serabut C yang

lambat menghasilkan sensasi nyeri yang tertunda dan tumpul. Aktivasi perifer dari

nociceptor (transduksi) dimodulasi oleh sejumlah zat kimia, yang dihasilkan atau

30 !

!!

dilepaskan ketika ada kerusakan sel (Tabel 2.1). Stimulasi yang berulang akan

menyebabkan sensitisasi dari serabut saraf perifer yang menyebabkan

menurunnya ambang batas rasa sakit dan nyeri spontan (Nilesh B.P., 2010).

Pelepasan substasi kimia secara lokal seperti substance–P menyebabkan

vasodilatasi dan edema serta melepaskan histamin dari sel mast, yang

menyebabkan meningkatnya vasodilatasi. Kompleks sinyal kimia ini melindungi

darah yang rusak dengan menghasilkan suatu keadaan yang membuat area

tersebut jauh dari stimulus mekanis atau lainnya.

Tabel 2.1 Substansi kimia yang dilepaskan pada stimulus kerusakan jaringan

Substansi Sumber Kalium Sel yang rusak Serotonin Trombosit Bradikinin Plasma Histamin Sel Mast Prostaglandin Sel yang rusak Leukotrin Sel yang rusak Substance- P Afferen primer saraf

Dorongan penyembuhan serta proteksi terhadap infeksi dibantu oleh peningkatan

aliran darah dan inflamasi yang merupakan fungsi protektif dari nyeri (Nilesh

B.P., 2010).

31 !

!!

Gambar 2.4. Beberapa substansi kimia yang dilepaskan pada kerusakan

jaringan yang menstimulasi nociceptor (Nilesh B.P., 2010).

Menurut Nilesh B.P. (2010), sensasi rasa nyeri dapat timbul karena adanya:

1)! Peradangan saraf, misalnya neuritis temporal.

2)! Cedera pada saraf dan ujung saraf dengan pembentukan bekas luka,

misalnya kerusakan bedah atau prolaps diskus.

3)! Invasi ke saraf oleh kanker, misalnya, plexopathy brakialis.

4)! Cidera pada struktur di sumsum tulang belakang, thalamus, atau daerah

kortikal yang memproses informasi nyeri, yang dapat menyebabkan rasa

sakit keras; deafferentation, misalnya, trauma tulang belakang.

5)! Aktivitas abnormal di sirkuit saraf yang dirasakan sebagai nyeri, misalnya,

nyeri phantom dengan reorganisasi kortikal.

32 !

!!

Gambar 2.5. Jalur nyeri dari perifer menuju ke otak

(Mello dan Dickenson, 2008).

Pada jalur nyeri perifer ke otak, serabut aferen primer (serabut Ab-, Ad-, dan

C-) mengirimkan impuls dari perifer, melalui dorsal root ganglion (DRG) dan ke

kornu dorsal sumsum tulang belakang. Nosiseptif Spesifik (NS) sel terutama

ditemukan di kornu dorsal superfisial (Lamina I-II), sedangkan yang kebanyakan

wide dynamic ranges (WDRs) terletak lebih dalam (lamina V). Proyeksi neuron

dari lamina I menginervasi daerah seperti daerah parabrachial (PB) dan

33 !

!!

periaqueductal gray matter (PAG) dan jalur tersebut dipengaruhi oleh daerah

limbik. Dari jalur sini turun (panah kuning) dari inti batang otak seperti medula

ventromedial rostral (RVM) diaktifkan dan memodulasi pengolahan pada tulang

belakang. Neuron lamina V terutama memproyeksi ke thalamus (traktus

spinotalamikus), dan dari sini berbagai daerah korteks yang membentuk matriks

nyeri (primer dan sekunder somatosensori, insular, anterior cingulate, dan korteks

prefrontal) diaktifkan (Mello dan Dickenson, 2008).

Setelah cedera saraf atau inflamasi kronis, sel imun (makrofag dan limfosit T)

migrasi dari pembuluh darah ke jaringan inflamasi dari proses ekstravasasi dan

kemotaksis yang dikontrol oleh kemokin (Gambar 2.6). Sel imun mengeluarkan

sitokin pro inflamasi (TNF-α), interleukin-1 (IL-1) dan interleukin-6 (IL-6) dan

kemokin yang menginisiasi dan menjaga pesan berbahaya (noxious). Selanjutnya,

peptide opioid (lingkaran hijau) yang dihasilkan dari sel imun yang teraktivasi

memberi efek antinosiseptif, melalui aktivasi dari reseptor peripheral, yang

disintesis (seperti reseptor kemokin) pada ganglion akar dorsal (Parsadaniantz et

al, 2015).

34 !

!!

Gambar 2.6. Potensi crosstalk antara reseptor kemokin dan reseptor opioid di jalur

nociceptive (Parsadaniantz et al, 2015)

Pada ganglion akar dorsal, reseptor kemokin dan reseptor opioid co-

expressed pada subpopulasi neuron sensori. Saat nyeri, kemokin disekresi oleh

terminal aferen utama, dan dalam aksi ini sebuah otokrin atau parakrin

menginduksi keluarnya calcitonin gene-related peptide (CGRP), Substance-P

(SP) dan glutamate (Glu). Kemokin yang dilepaskan juga berpartisipasi dalam

aktivasi neuran lini kedua pada medulla spinalis dorsal. Sebagai tambahan,

interneuron yang teraktivasi mengeluarkan opioid endogen, yang kemudian

memediasi analgesia dengan menghambat pelepasan SP, CGRP dan Glu dari

terminal aferen utama, dan dengan hiperpolarisasi (melalui efflux K+) dari neuron

lini kedua. Pesan berbahaya yang naik kemudian diintegrasi di daerah otak bagian

35 !

!!

atas (thalamus, korteks cingulate anterior, basal ganglia dan amygdale). Sebagai

gantinya, aktivitas yang terkoordinasi dari struktur sentral memodulasi sinyal

nociceptive pada neuron aferen primer lini kedua yang bersinapsis melalui

pelepasan opioid endogen dari proyeksi analgesik desenden dari periaqueductual

grey (PAG) dan rostral ventromedial medulla (RVM) menuju cornu dorsal

spinalis serta memodulasi transient receptor potential subfamily V member I

(TRPV) (Parsadaniantz et al, 2015).

Cedera pada diskus intervertebralis dapat menginduksi sel diskus

memproduksi mediator inflamasi: IL-1β, dan TNF-α. Interleukin-1β adalah

sitokin utama yang bertanggung jawab memperluas respon inflamasi dari diskus,

dan telah ditunjukkan bahwa peningkatan dari level IL-1β meningkat sesuai

dengan keparahan degenerasi diskus. Selain itu IL-1β juga menginduksi Nitrit

Oksida (NO), Interleukin-6 (IL-6) dan Prostaglandin E2 (PGF2) yang nantinya

akan mempercepat kaskade inflamasi (Gambar 2.3).

Gambar 2.7. Respon inflamasi terhadap degenerasi diskus (Dugan, 2013)

Cedera diskus ↗!IL/1β!

↗!IL-6

↗ MMP dan ADAMTs

↗!TNFα ! ↗!NGF ↗!BNP

Neuralisasi diskus

Proteoglikan

↗ Aktivasi makrofag

↗ VEGF ↗ BNP

!

Vaskularisasi diskus

36 !

!!

Penilaian terhadap nyeri dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai

instrumen. Secara tradisional, terdapat 3 metode yang digunakan dalam

pengukuran intensitas nyeri yaitu visual analogue scales (VASs), verbal rating

scales (VRSs) dan numerical rating scales (NRSs). Untuk mempermudah

penilaian dan mengevaluasi pengalaman nyeri secara individu, maka digunakan

VAS yang dimodifikasi dengan graphic rating scale sesuai dengan gambar 2.8

(Mannion et al, 2007; Frey-Law et al, 2013).

Menurut Bijur et al (2001), penggunaan VAS untuk menilai nyeri akut

memiliki reliabilitas dan validitas yang tinggi dengan skor interclass correlation

coefficients (ICCs) 0,97 (95% CI=0,96 – 0,98). Selain itu, Hawker et al (2011)

pada studinya tentang pengukuran nyeri menunjukkan reliabilitas test-retest yang

tinggi (r=0,94, p <0,001), validitas yang tinggi dengan korelasi 0,99. Di samping

itu, penggunaan VAS pada penyakit degenerasi sendi menunjukkan sensitivitas

terhadap perubahan nyeri (p= 0,001). Hal ini mengindikasikan penggunaan VAS

sebagai alat ukur nyeri akut yang cukup baik terutama pada nyeri degeneratif

sendi.

Skala penilaian nyeri yang berdasarkan keluhan pasien yang dikonversikan

ke dalam suatu garis ambang nyeri sepanjang 100 mm dengan rentang nilai 0 –

10. Skala analog visual (VAS) terdiri dari garis, sepanjang 100 mm, yang

ujungnya diberi label sebagai ekstrem (tidak ada rasa sakit dan sakit yang berat).

Pasien diminta untuk memberi tanda pada garis yang menunjukkan intensitas

nyeri mereka (pada saat ini, selama seminggu terakhir, atau lebih dari masa 2

minggu lalu, dll). Jarak antara yang ditandai dan asalnya diukur untuk

37 !

!!

memperoleh skor pasien. Kadang-kadang istilah deskriptif seperti ringan, sedang

dan berat, atau nomor juga disediakan sepanjang skala, seperti yang ditunjukkan

di bawah ini, dan skala tersebut kemudian disebut graphic rating scale (Mannion

et al, 2007; Hawker et al, 2011).

Penilaian nyeri menggunakan VAS dikerjakan oleh responden langsung.

Responden diperintahkan untuk meletakkan sebuah garis tegak lurus dengan garis

VAS pada titik intensitas nyeri yang mereka rasakan. Skor nyeri ditentukan

dengan pengukuran jarak (mm) pada garis sepanjang 10 cm antara titik tanpa

nyeri (no pain) ke titik intensitas nyeri yang responden rasakan. Skor kemudian

diinterpretasikan menjadi no pain (0-4 mm), mild pain (5-44 mm), moderate pain

(45-74 mm) dan severe pain (75-100 mm) (Hawker et al, 2011).

Menurut Boonstra et al (2014), nilai skor VAS dapat digambarkan pada

pasien dengan keluhan nyeri muskuloskeletal sebagai nyeri yang ringan (mild),

sedang (moderate) dan berat (severe). Studi tersebut menemukan beberapa cut-off

point skor VAS yang berkorespondensi dengan derajat nyeri dan dianalisis dengan

multivariate analysis of variance (MANOVA). Skor VAS < 3,4 berkorespondensi

dengan nyeri ringan (mild), skor VAS 3,5 – 6,4 berkorespondensi dengan nyeri

sedang (moderate) dan skor VAS > 6,5 berkorespondensi dengan nyeri berat

(severe).

Frey-Law et al (2013) melakukan studi tentang skema rating nyeri dengan

menilai VAS pada beberapa kategori severitas nyeri, dan kondisi nyerinya. Pada

studi kohort tersebut disebutkan bahwa nyeri ringan (mild) memiliki percentile

range 5th-95th sebesar 1,1 – 5,0 dan >5,0 untuk kategori sedang (moderate) dan

38 !

!!

berat (severe). Untuk kategori kondisi, nyeri otot memiliki rating nyeri ringan,

sedangkan nyeri pada persendian memiliki rating nyeri yang lebih tinggi mulai

dari sedang sampai berat. Hal ini menunjukkan bahwa nyeri pada sendi memiliki

kategori kondisi nyeri yang bervariasi dengan nilai VAS > 5,0.

Gambar 2.8 Visual Analogue Scale (Mannion et al, 2007)

2.7 Hubungan Inflamasi, Defisiensi Estrogen dengan OA Lumbal Simtomatik

Inflamasi kronik dapat bermula dari inflamasi akut bila agen perusak

menetap, tetapi yang lebih sering terjadi adalah bahwa respon inflamasi itu

merupakan respon inflamasi kronik sejak awal. Berbeda dengan perubahan atau

kerusakan vaskuler luas dan infiltrasi neutrofil yang tampak pada inflamasi akut,

inflamasi kronik menunjukkan ciri-ciri infiltrasi jaringan dengan sel-sel

monokuler seperti makrofag, limfosit dan sel plasma disertai dengan destruksi

jaringan. Makrofag merupakan pemain kunci dari respons inflamasi kronik. Hal

ini disebabkan oleh banyaknya produk bioaktif atau mediator yang dilepaskannya.

Mediator-mediator ini merupakan bagian dari sistem pertahanan tubuh yang

sangat kuat terhadap invasi benda asing dan kerusakan jaringan. Yang merugikan

39 !

!!

adalah bahwa aktivasi makrofag secara terus menerus dapat berakibat kerusakan

jaringan berkelanjutan (Kresno, 2001).

Mekanisme yang mengatur transisi rekrutmen neutrofil ke rekrutmen monosit

selama transformasi dari inflamasi akut ke inflamasi kronik belum diketahui. Ada

kemungkinan bahwa IL-6 dan reseptor IL-6 terlarut (sIL-6R) memegang peran

penting pada transisi ini (Gabay, 2006).

Osteoarthritis lumbal adalah terjadinya degenerasi tulang rawan yang

melibatkan three joint complex lumbal yang ditandai dengan penyempitan diskus

intervertebralis, terbentuknya vertebral osteofit dan terjadinya osteoarthritis pada

facet joint. Ketiga kondisi patologis ini dapat terjadi oleh karena beban stress

mekanik oleh karena peningkatan berat badan, bertambahnya usia yang akan

mengakibatkan makin tipisnya kartilago, maupun oleh karena terjadinya proses

inflamasi. Cedera pada diskus seperti robekan pada annulus fibrosus, mengubah

karakteristik histologis dari diskus. Studi histologis dari pasien dengan nyeri

diskogenik menunjukkan jaringan granulasi bervaskular di sepanjang robekan

annular. Jaringan bervaskular ini meluas dari bagian luar annulus, melalui bagian

dalam annulus sampai ke nukleus pulposus. Jaringan granulasi yang baru

mengandung peningkatan jumlah dari Vascular Endothelial Growth Factor

(VEGF), Fibroblast Growth Factor (FGF) dan Transforming Growth Factor 1β

(TGF-1β) jika dibandingkan dengan diskus yang tidak cidera. Vaskularisasi yang

baru dari diskus membiarkan penghantaran dari makrofag dan sel mast sebagai

sitokin inflamasi tambahan. Selain untuk aktifitas katabolik primer, makrofag juga

menginduksi peningkatan ekspresi dari sitokin inflamasi terutama IL-6 dan IL-8.

40 !

!!

Sebuah jalur yang rumit menghubungkan sitokin-sitokin ini mencapai puncak

progresi dari respon inflamasi dan katabolik di dalam diskus tersebut (Dugan,

2013).

Ada kesepakatan bahwa estrogen tidak dapat bekerja pada jaringan target

kecuali terikat pada protein spesifik, reseptor estrogen, yang sudah dikenal dalam

2 bentuk yang telah di-kloning, alpha (ERα) dan beta (ERβ). ER-α diisolasi pada

1986 dan ER-β 10 tahun kemudian pada prostat tikus. Identifikasi pada kedua

reseptor ini membuat perubahan radikal pada konsep mekanisme estrogen.

Reseptor estrogen merupakan protein nukleus yang termasuk dalam family

reseptor steroid. Setelah aktivasi ligand, mereka berperan sebagai faktor

transkripsi. Estradiol mengikat sitosol palindromic estrogen reseptor element

(ERE) yang tampak pada gen promotor target, dengan demikian terjadi aktivasi

atau inhibisi transaktivasi gen. Tempat ikatan lain yang telah diidentifikasi,

misalnya AP-1. Adanya variasi fungsional ERα dan ERβ membuat pembelahan

gen alternatif, melibatkan koaktivator transkripsi (CBP, SRC-1, dan SMRT) dan

kemampuan reseptor estrogen untuk membentuk heterodimer ERα dan ERβ

menambahkan regulasi lebih lanjut. Efek estrogen non nuklear meningkatkan

kompleksitas mekanisme kerjanya. Banyak ligand, termasuk estrogen fisiologis

(17-β estradiol) dan anti estrogen memiliki afinitas yang mirip dengan kedua

reseptor (Richette et al., 2003).

Identifikasi dua reseptor pada sendi dan cartilage growth plate pada berbagai

spesies termasuk manusia, memberikan bukti kuat bahwa kartilago bereaksi

terhadap estrogen. Beberapa studi menunjukkan bahwa ER-α diekspresikan pada

41 !

!!

sendi dan cartilage growth plate pada manusia dan spesies lain. Studi

immunohistokimia mendeteksi ER-β pada kondrosit growth plate yang hipertrofi

pada manusia. Estrogen bekerja melalui reseptor yang ditemukan pada kartilago,

tulang, jaringan sinovial dan ligamen yang semuanya berpengaruh pada

osteoarthritis. Beberapa studi melaporkan hubungan osteoarthritis dengan

polymorphism pada ER-α dan ER-β. Serum estradiol yang rendah terkait dengan

osteoarthritis. Apabila diambil secara bersamaan maka temuan ini menjelaskan

peran estrogen dengan osteoarthritis (Richette et al., 2003).

Mekanisme tepat menjelaskan bagaimana estrogen berefek dalam

osteoarthritis belum dapat diketahui. Di luar dari efek langsung estrogen pada

kartilago, sepertinya efek estrogen pada tulang juga terkait. Estrogen diketahui

berefek mengatur keseimbangan antara pembentukan tulang dan resorpsi.

Perubahan tulang subkondral telah dilaporkan pada pasien dengan osteoarthritis

dan model binatang dengan osteoarthritis. Telah banyak dibahas dalam studi

bahwa perubahan tulang subkondral adalah etiologi penting osteoarthritis.

Perubahan pada remodelling tulang subkondral dan struktur tulang sekitarnya

menyebabkan perubahan pada distribusi beban. Hal ini pada akhirnya

menyebabkan percepatan kerusakan kartilago. Sehingga dikatakan perubahan

pada struktur tulang yang terkait penurunan estrogen berperan dalam

perkembangan osteoarthritis (Sniekers et al., 2010).

Kerusakan tulang rawan menyebabkan mediator kimiawi memicu adanya

nyeri melalui jalur biokimia. Adapun mediator yang terlibat antara lain IFN-γ, IL-

1β dan TNF-α. Mediator tersebut ditemukan pada keluhan nyeri punggung bawah

42 !

!!

walaupun dalam pemeriksaan radiologi ditemukan sedikit kelainan.

Keseimbangan homeostatik terganggu secara signifikan oleh IL-1β sehingga jalur

inhibitor dari IL-1β diharapkan untuk menghasilkan penekanan pada proses

inflamasi (Dugan, 2013).

Inflamasi akan menyebabkan degradasi proteoglikan dan juga kandungan air

yang berkontribusi terhadap berkurangnya tinggi diskus dan kemampuan untuk

mengabsorpsi tekanan. Ketika diskus intervertebralis mengabsorpsi tekanan

kompresif, facet joint juga memiliki peranan penting untuk menahan beban.

Beban berlebih secara kronis pada sendi facet dapat menyebabkan osteoarthritis

dan osteofit dengan merusak kartilago sendi. Rangkaian ini menyebabkan

peningkatan tekanan pada sendi facet yang memiliki efek pada kaskade inflamasi

mengubah kartilago hyalin yang halus menjadi fibrocartilage. Fibrocartilage

yang dihasilkan tidak memiliki kapasitas mekanik yang sama dan lebih sering

mengalami degenerasi dengan tekanan (Dugan, 2013).

Sitokin pro inflamasi IL-6 meningkatkan pembentukan sel osteoklas,

terutama apabila kadar hormon estrogen menurun. Interleukin-6 menstimulasi

pembentukan prekursor osteoklas dari unit pembentuk koloni granulosit makrofag

dan meningkatkan jumlah osteoklas, yang menyebabkan peningkatan resorpsi

tulang, yang berkontribusi pada perubahan spondiloarthrosis dan degenerasi

diskus intervertebralis. Pada proses menua dan menopause ditemukan peningkatan

IL-6. Sehingga diduga bahwa IL-6 merupakan salah satu sitokin yang memegang

peranan penting dalam proses penyerapan tulang, melalui pengaruh aktivitas sel

osteoklas, termasuk pada tulang subkondral. Produksi IL-6 juga meningkat secara

43 !

!!

signifikan oleh stimulasi dengan TNF-α. Pada kartilago sendi manusia, IL-6

menghambat sintesis proteoglikan, yang secara normal menjaga hidrasi nukleus

pulposus dan mencegah pertumbuhan dari pembuluh darah. Dengan demikian

akan terjadi peningkatan TNF-α dan IL-6 pada osteoarthritis lumbal.

Peningkatan TNF-α dan IL-6 akan direspon oleh sitokin anti inflamasi.

Interleukin-10 sangat ampuh dalam menekan makrofag untuk melepaskan TNF-α.

Rendahnya IL-10 dapat sebagai indikator gagalnya IL-10 menekan produksi TNF-

α dan IL-6.

2.8 Hubungan COMP Serum dengan OA Lumbal Simtomatik

Osteoarthritis selalu ditandai dengan destruksi kartilago dan perubahan pada

tulang subkondral. Demikian pula halnya pada osteoarthritis lumbal yang

melibatkan three joint complex, dimana akan terjadi destruksi kartilago pada facet

joint dan tulang subkondral. Penentuan beratnya kerusakan sendi secara anatomi

sangat penting untuk menentukan pemilihan terapi, sehingga kemampuan

mengidentifkasi penderita dengan risiko tinggi terjadinya destruksi yang progresif

sangat dibutuhkan.

!!!!!!!!!Kerusakan tulang rawan dapat disebabkan oleh faktor mekanik dimana akan

terjadi pelepasan antigen oleh tulang rawan sendi. Keadaan ini akan menstimulasi

sistem imun, sehingga terjadi reaksi immunologis yang menyebabkan pelepasan

mediator inflamasi dan protease yang bersifat destruktif yang akan memperberat

kerusakan tulang rawan (Yuan et al, 2003). Kerusakan tulang rawan ini ditandai

dengan meningkatnya COMP. Sebagai indikator diagnosis, COMP berkorelasi

44 !

!!

dengan keparahan penyakit. Hal ini dibuktikan dengan terdeteksinya COMP 10

kali lebih tinggi dalam cairan sinovial penderita dengan osteoarthritis. Cartilage

Oligomeric Matrix Protein (COMP) meningkat secara signifikan ditemukan pada

kerusakan awal dari hip joint (Wolheim et al, 1977) dan pada OA knee (Clarck et

al, 1999). Demikian juga perubahan celah sendi lebih dari 3 tahun berkorelasi

positif dengan tingkat serum COMP pada awal (p < 0,01) serta di akhir penelitian

(p < 0,001) saat dijumlahkan untuk kedua lutut (Villim et al, 2001).

Di samping oleh karena faktor mekanik, bertambahnya usia akan

mengakibatkan makin tipisnya kartilago. Dilaporkan adanya korelasi tingkat

COMP dengan usia, synovitis dan interaksi dari synovitis dan keparahan

osteoarthritis (Villim et al, 2001). Hubungan antara COMP dan usia pasien

rheumatoid arthritis dinyatakan bermakna dengan p < 0,05. Sedangkan pada

pasien OA tidak ada korelasi yang ditemukan antara tingkat COMP dan lamanya

penyakit yang dideritanya (Wislowska and Jablonska, 2005).

Cartilage Oligomeric Matrix Protein (COMP) yang merupakan protein

noncollagen pertama kali diisolasi dari kartilago extracellular matrix dan

merupakan prognostic marker dari perjalanan osteoarthritis. Konsentrasi COMP

dapat memprediksi beratnya kerusakan pada sendi besar, di samping itu juga

dapat memprediksi menyempitnya celah sendi (Conrozier et al, 1998).

Degradasi kartilago mengakibatkan terjadinya peningkatan kadar COMP

dalam cairan sinovium dan dalam serum. Produksi degradasi kartilago ini akan

difagositosis oleh sinovium dan menstimulasi proses inflamasi. Sel – sel sinovium

45 !

!!

akan teraktivasi dan memproduksi berbagai mediator katabolik dan pro inflamasi

serta enzim proteolitik yang akan menyebabkan terjadinya kerusakan kartilago.

Goode AP et al pada riset terbarunya menemukan hasil yang menarik

mengenai hubungan menyempitnya diskus intervertebralis, cartilage oligomeric

matrix protein (COMP) dan nyeri pinggang bawah. Di antara penderita nyeri

pinggang bawah (n= 265) didapatkan hubungan positif kuat antara COMP dan

penyempitan diskus intervetebralis (OR =1.82; 95% CI 1.02.3.27) yang tidak

ditemukan pada pasien tanpa nyeri pinggang bawah (OR= 0.65; 95% CI 0.35-

1.20). Oleh karena itu sangat mungkin peningkatan kadar COMP mencerminkan

proses degenerasi diskus intervertebralis yang ditandai dengan penyempitan

diskus intervertebralis dan gejala – gejala yang berkaitan dengan proses

degenerasi ini (Goode et al., 2012)

!

!46

BAB III

KERANGKA BERPIKIR, KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS

3.1 Kerangka Berpikir

Menopause merupakan proses berhentinya menstruasi akibat berkurangnya

produksi hormon estrogen pada wanita, dan berlangsung secara alami. Proses

alami ini terjadi mengikuti proses penuaan. Sebagai akibatnya, kinerja organ

tubuh pun akan berubah. Salah satu aspek klinis yang sering dialami wanita pasca

menopause datang ke poliklinik orthopaedi adalah dengan keluhan nyeri pinggang

bawah.

Nyeri pinggang bawah pada wanita pasca menopause merupakan manifestasi

klinis dari adanya proses degenerasi pada tulang belakang, terutama di

daerah/segmen yang paling mobile yaitu segmen lumbal.

Osteoarthritis lumbal adalah terjadinya degenerasi tulang rawan yang

melibatkan three joint complex lumbal yang ditandai dengan penyempitan diskus

intervertebralis, terbentuknya vertebral osteofit dan terjadinya osteoarthritis pada

facet joint. Ketiga keadaan patologis ini dapat terjadi oleh karena beban stress

mekanik oleh karena peningkatan berat badan, bertambahnya usia yang akan

mengakibatkan penipisan kartilago, serta akibat terjadinya proses inflamasi.

Proses inflamasi yang terjadi pada osteoarthritis lumbal adalah proses

inflamasi kronik yang melibatkan peran sitokin, baik sitokin pro inflamasi seperti

IL-6 maupun sitokin anti inflamasi seperti IL-1ra atau IL-10. Interleukin-6 juga

berperan penting dalam metabolisme tulang melalui induksi osteoklastogenesis

47 !

!!

dan merangsang aktifitas osteoklas. Interleukin-6 meningkatkan pembentukan sel

osteoklas, terutama apabila kadar hormon estrogen menurun. Interleukin-6

menstimulasi pembentukan prekursor osteoklas dari unit pembentuk koloni

granulosit makrofag dan meningkatkan jumlah osteoklas in vivo, yang

menyebabkan peningkatan resorpsi tulang, yang berkontribusi terhadap perubahan

spondiloarthrosis dan degenerasi diskus intervertebralis. Dengan ditemukannya

peningkatan IL-6 pada penuaan dan penderita menopause, diduga bahwa IL-6

merupakan salah satu sitokin yang memegang peranan penting dalam proses

penyerapan tulang melalui pengaruh aktivitas sel osteoklas, termasuk pada tulang

subkondral yang kemudian diikuti dengan rusaknya kartilago.

Degradasi kartilago mengakibatkan terjadinya peningkatan kadar COMP

dalam cairan sinovium dan dalam serum. Produk degradasi kartilago ini akan

difagositosis oleh sinovium dan menstimulasi proses inflamasi. Sel–sel sinovium

akan teraktivasi dan memproduksi berbagai mediator katabolik dan pro inflamasi

serta enzim proteolitik yang akan menyebabkan terjadinya kerusakan kartilago.

Pada wanita pasca menopause defisiensi estrogen cenderung mengalami

kerusakan kartilago. Hal ini di dukung dengan adanya studi prevalensi

osteoarthritis pada wanita post menopause dengan dan tanpa hormone

replacement therapy (HRT) menunjukkan bukti yang kuat adanya manfaat

estrogen pada osteoarthritis. Identifikasi 2 reseptor estrogen ERα dan ERβ pada

kondrosit membuktikan bahwa kartilago sensitif terhadap estrogen. Beberapa

studi in vivo dan in vitro menunjukkan bahwa kondrosit merespon estrogen dan

adanya mekanisme bahwa estrogen mempengaruhi metabolisme kondrosit.

48 !

!!

Peningkatan COMP menandakan terjadinya peningkatan kerusakan kartilago,

demikian pula meningkatnya IL-6 meningkatkan jumlah osteoklas yang

menyebabkan peningkatan resorpsi tulang termasuk tulang subkondral. Defisiensi

estrogen akan mempengaruhi metabolisme kondrosit. Semua keadaan ini akan

mempermudah terjadinya osteoarthritis lumbal.

!

!

!

!

!

!

!

!

!

!

!

Gambar 3.1. Bagan Kerangka Pikir

KADAR ESTROGEN COMP

PRO INFLAMASI IL6

BALANCE/RATIO

(IL-6/IL-10)

ANTIINFLAMASI IL-10

OA LUMBAL

"! VERTEBRAL OSTEOPHYTE "! ↓ INTERVERTEBRAL

HEIGHT "! DESTRUKSI CARTILAGE

FACET JOINT

•! IMT •! UMUR •! LAMA

MENOPAUSE

OA LUMBAL SIMTOMATIK

OA LUMBAL ASIMTOMATIK

49 !

!!

3.2 Kerangka Konsep

Gambar 3.2 Bagan Kerangka Konsep Penelitian

Variabel Kendali

Variabel Bebas

Variabel Tergantung !

!

Variabel Tergantung

!Variabel Bebas COMP ↑, IL6 ↑, IL10↓

Rasio IL-6/IL-10 ↑ COMP ↓, IL6 ↓, IL10↑

Rasio IL-6/IL-10 ↓

DEGENERASI

OA Lumbal

Variabel Kendali: Umur Beban Mekanik (IMT)

OA Lumbal Simtomatik

OA Lumbal Asimtomatik

Wanita Pasca Menopause dengan Defisiensi Estrogen

50 !

!!

3.3 Hipotesis

1.! Wanita pasca menopause defisiensi estrogen dengan COMP serum yang

tinggi mempunyai risiko lebih tinggi untuk terjadinya osteoarthritis lumbal

simtomatik daripada wanita pasca menopause defisiensi estrogen dengan

COMP serum yang rendah.

2.! Wanita pasca menopause defisiensi estrogen dengan IL-6 plasma yang tinggi

mempunyai risiko lebih tinggi untuk terjadinya osteoarthritis lumbal

simtomatik daripada wanita pasca menopause defisiensi estrogen dengan IL-6

plasma yang rendah.

3.! Wanita pasca menopause defisiensi estrogen dengan IL-10 plasma yang

rendah mempunyai risiko lebih tinggi untuk terjadinya osteoarthritis lumbal

simtomatik daripada wanita pasca menopause defisiensi estrogen dengan IL-

10 plasma yang tinggi.

4.! Wanita pasca menopause defisiensi estrogen dengan rasio kadar IL-6/IL-10

plasma yang tinggi mempunyai risiko lebih tinggi untuk terjadinya

osteoarthritis lumbal simtomatik daripada wanita pasca menopause defisiensi

estrogen dengan rasio kadar IL-6/IL-10 plasma yang rendah.

!

51 !

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian ini dibagi dalam 2 fase yaitu fase 1 berupa studi cross

sectional yang bertujuan untuk mencari prevalensi osteoarthritis lumbal.

Sedangkan fase 2 dalam bentuk studi case control, pada fase ini dimulai dengan

mengidentifikasi kelompok kasus, yaitu wanita pasca menopause defisiensi

estrogen dengan OA lumbal simtomatik, kemudian dicari pasangannya dari

kelompok kontrol yaitu wanita pasca menopause defisiensi estrogen dengan OA

lumbal asimtomatik. Selanjutnya dilakukan pengukuran terhadap variabel bebas

secara retrospektif. Kemudian dilakukan analisis terhadap perbandingan

probabilitas paparan faktor risiko.

Pada kelompok kasus dibandingkan dengan kelompok kontrol (odd ratio),

yang menyatakan risiko terjadinya efek sebagai akibat dari paparan faktor risiko.

!

!

52

Gambaran rancangan penelitiannya seperti gambar di bawah ini:

Gambar 4.1 Bagan Rancangan Penelitian Fase I

WANITA PASCA MENOPAUSE DEFISIENSI ESTROGEN

OSTEOARTHRITIS LUMBAL

ANAMNESIS SIMTOMATIK

ASIMTOMATIK

TOOLS NYERI (VAS)

X-RAY LUMBOSACRAL AP/LAT/OBLIQUE !

!

!

53

Gambar 4.2 Bagan Rancangan Penelitian Fase II

Faktor risiko 1 COMP serum yang tinggi

Faktor risiko 2 Interleukin-6 plasma yang tinggi

Faktor risiko 3 Interleukin-10 plasma yang rendah

Faktor risiko 4 Rasio Interleukin-6/Interleukin-10 plasma yang tinggi

Faktor Risiko (+) COMP ↑ IL- 6 ↑ IL-10 ↓

Rasio IL-6/IL-10 ↑

Faktor Risiko (-) COMP↓ IL- 6 ↓ IL-10 ↑

Rasio IL-6/IL-10 ↓

Faktor Risiko (+)

COMP ↑ IL- 6 ↑ IL-10 ↓

Rasio IL-6/IL-10 ↑

Faktor Risiko (-) COMP↓ IL- 6 ↓ IL-10 ↑

Rasio IL-6/IL-10 ↓

Pasca menopause Defisiensi estrogen

Dengan OA lumbal simtomatik (KASUS)

Pasca menopause Defisiensi estrogen

Dengan OA lumbal asimtomatik (KONTROL)

Match Paired

!

!

54

Kelompok kasus adalah penderita wanita pasca menopause defisiensi

estrogen yang mengalami osteoarthritis lumbal simtomatik ditentukan dengan

klinis adanya nyeri pinggang dan pemeriksaan plain x- ray lumbosacral.

Sedangkan kelompok kontrol adalah wanita pasca menopause defisiensi

estrogen yang secara klinis tidak mengalami nyeri pinggang dan pada

pemeriksaan x-ray lumbosacral ditemukan tanda adanya OA lumbal.

4.2! Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian akan dilaksanakan di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar

dari bulan Oktober 2015 sampai dengan Maret 2016

4.3! Penentuan Sumber Data

4.3.1!Besar sampel

4.3.1.1!Besar sampel untuk studi Cross Sectional

Besar sampel ditentukan dengan rumus deskriptif kategorik

! = # ∝% &'(% !

! = 1,96'x)0,15)x)0,850,05' !

! = 0,48980,0025!!

! = 195,921! ! = 196!

Keterangan:

n = besar sampel

!

!

55

Zα = nilai Z untuk tingkat kesalahan tipe I (α) ditetapkan sebesar 5%

sehingga Zα= 1,96

P = Prevalensi OA lumbal dari penelitian sebelumnya = 40% ! 0,4

Q = 1 – P

Q =1 – 0,4 = 0,6

d = Precision (Kesalahan prediksi yang bisa diterima) = 5% ! 0,05

4.3.1.2.! Besar sampel untuk studi Case Control

Pada penelitian ini, menggunakan skala pengukuran kategorik berpasangan

sehingga besar sampel yang digunakan adalah:

!" = !$ =(& ∝ +&))$+(,"-,$)$

!

Kesalahan tipe I ditetapkan sebesar 5%, sehingga Zα = 1,96

Kesalahan tipe II ditetapkan sebesar 20%, sehingga Zβ = 0,84

P2 = Proporsi pajanan pada kelompok kontrol = 0,20

P1 – P2 = Perbedaan proporsi pajanan yang dianggap bermakna antara

kasus dan kontrol ditetapkan 0,30

P1 = Proporsi pajanan pada kelompok kasus = 0,20 + 0,30 = 0,50

Maka nilai diskordan adalah:

f = P1(1 – P2) + P2(1 – P1) = 0,50 (1 – 0,20) + 0,20 (1 – 0,50)

= 0,50 (0,80) + 0,20 (0,50)

= 0,40 + 0,10

= 0,50

!

!

56

Dengan memasukkan nilai di atas pada rumus, maka diperoleh hasil :

!" = !$ = %(1,96 + 0,84)$%x%0,50

(0,30)$ !

!" = !$ = %7,84%x%0,50

0,09 !

!" = !$ = %3,920,09 = 43,55!

Jadi besar sampel n1 = n2 = 43,55 = 44

4.3.2! Teknik pemilihan sampel

Sampel kasus dan kontrol akan dipilih dari pasien wanita pasca menopause

defisiensi estrogen yang mengeluh nyeri pinggang yang berkunjung ke poliklinik

Orthopaedi RSUP Sanglah Denpasar dari bulan Oktober 2015 sampai dengan

Maret 2016. Pemilihan kasus dan kontrol menggunakan teknik consecutive

sampling dimana setiap subyek yang datang ke poliklinik dan memenuhi kriteria

pemilihan dijadikan sampel sampai jumlah sampel terpenuhi. Sampel kontrol

dipilih dari subyek yang memenuhi kriteria sebagai kontrol, yang ditemukan pada

saat dan tempat yang sama dengan seorang kasus yang ditetapkan dan memiliki

umur dan beban mekanik (IMT) yang setara dengan kasus tersebut (match

paired).

Kelompok kasus adalah penderita wanita pasca menopause defisiensi

estrogen yang mengalami osteoarthritis lumbal ditentukan dengan adanya nyeri

pinggang (axial back pain) dan pemeriksaan plain x-ray lumbosacral.

!

!

57

Kelompok kontrol adalah wanita pasca menopause defisiensi estrogen yang

tidak mengalami nyeri pinggang dan pada pemeriksaan x-ray lumbosacral

ditemukan tanda adanya OA lumbal

4.3.3! Kriteria inklusi

1.! Wanita pasca menopause defisiensi estrogen dengan OA lumbal yang

ditegakkan dengan pemeriksaan plain x-ray lumbosacral AP/Lateral dan

Oblique.

2.! Wanita yang berumur antara menopause sampai dengan 10 tahun setelah

menopause

4.3.4! Kriteria eksklusi

Penderita dengan:

1.! Sedang mengalami infeksi akut atau kronis yang diketahui dengan

pemeriksaan fisik dan laboratorium.

2.! Mengalami operasi pengangkatan kedua ovarium (bilateral oovorectomy)

yang diketahui dengan wawancara.

3.! Mengkonsumsi obat-obatan hormonal atau terapi sulih hormon atau

sejenisnya yang diketahui dengan wawancara.

4.! Menggunakan obat-obatan kortikosteroid yang diketahui dengan

wawancara.

5.! Menderita penyakit malignancy atau keganasan.

6.! Pernah mengalami trauma tulang belakang pada daerah lumbosakral.

!

!

58

4.4! Variabel Penelitian

4.4.1! Variabel

Fase I

Populasi : Wanita pasca menopause

Variabel tergantung I : Defisiensi Estrogen

Variabel tergantung II : Nyeri Pinggang

Fase II

Variabel bebas (faktor risiko) : Kadar COMP dalam serum

: Kadar IL-6 dalam plasma

: Kadar IL-10 dalam plasma

: Rasio Kadar IL-6/IL-10 plasma

Variabel tergantung (efek) : OA lumbal simtomatik

Variabel kendali : Umur dan beban mekanik (IMT)

!

!

59

Gambar 4.3. Bagan Fase Penelitian

Analisis !

Konsekutif !

Anamnesis Pemeriksaan fisik

Laboratorium (COMP, IL-6, IL-10)!

Konsekutif !

Informed consent !Informed consent !

!!!!!!

Kontrol

Wanita pasca menopause defisiensi estrogen yang mengalami OA Lumbal tanpa nyeri yang signifikan

!!!!!!

Kasus

Wanita pasca menopause defisiensi estrogen yang mengalami OA Lumbal dengan nyeri

Eligible Case ! Eligible Case !

Defisiensi Estrogen (-)!Defisiensi Estrogen (+)!

Wanita pasca menopause !

Nyeri Pinggang (+)! Nyeri Pinggang (-)!

X-Ray Lumbosacral AP/Lateral/Oblique!

Osteoarthritis lumbal (+)! Osteoarthritis lumbal (-)!

Matched

Fase I

Fase II !

!

!

60

4.4.2! Definisi operasional variabel

a)! Menopause adalah berhentinya fungsi ovarium secara permanen yang

ditandai dengan berhentinya menstruasi normal selama ≥ 12 bulan

(wawancara).

b)! Lama menopause adalah rentang waktu dari menopause sampai

ditetapkan sebagai kasus atau kontrol (bulan).

c)! Wanita pasca menopause adalah wanita yang telah mengalami

menopause sampai dengan rentang 10 tahun setelah menopause.

d)! Umur adalah umur resmi yang diketahui dari tanggal kelahiran yang

didapat dari wawancara atau dari dokumen resmi seperti akte

kelahiran, kartu keluarga, KTP dan SIM.

e)! Defisiensi estrogen adalah apabila kadar hormon estradiol (E2) yang

diperiksa dengan metode enzyme linked flourescent assay (ELFA)

dengan menggunakan alat Vidas dan reagen estrogen dari

Biomeureaux, dengan cut off ≤ 40 pg/mL.

f)! Osteoarthritis lumbal adalah degenerasi pada tulang belakang yang

ditandai dengan adanya penyempitan ruang diskus intervertebralis,

adanya vertebral osteofit dan defek kartilago pada facet joint dan pada

pemeriksaan plain x-ray lumbosacral AP/lateral dan oblique yang

dibaca oleh dua orang radiolog.

g)! Osteoarthritis lumbal simtomatik adalah osteoarthritis lumbal dengan

nyeri pinggang bawah yang dinilai menggunakan nilai VAS yang

!

!

61

telah dimodifikasi dengan angka yang disebut graphic rating scale ≥ 6

yang dinilai oleh 2 orang pemeriksa (gambar 2.8).

h)! Osteoarthritis lumbal asimtomatik adalah degenerasi pada lumbal

yang ditandai dengan penyempitan ruang diskus intervertebralis,

adanya vertebral osteofit dan defek kartilago pada facet joint dan pada

pemeriksaan plain x-ray lumbosacral AP/lateral dan oblique dan tidak

disertai nyeri yang signifikan dengan VAS < 6 yang dinilai oleh 2

orang pemeriksa.

i)! Cartilage Oligomeric Matrix Protein adalah kadar COMP serum yang

diukur di Laboratorium Pathologi Klinik RSUP Sanglah Denpasar

dengan teknik ELISA, menggunakan human COMP kit dari

Quantikine, R&D System, Inc (Ameriksa Serikat) dengan nomor

katalog DCMP0. Satuan yang digunakan adalah ng/mL. Kadar COMP

serum yang tinggi adalah kadar COMP yang ≥ median kadar COMP

seluruh sampel.

j)! Interleukin-6 (IL-6) adalah kadar sitokin IL-6 plasma yang diperiksa

dengan metode enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) dengan

menggunakan alat ELISA manual dari Bioeureaux dan reagen IL-6

dari Quantikine dengan nomor katalog D6050, dinyatakan dengan

satuan pg/mL. Kadar IL-6 yang tinggi adalah kadar IL-6 yang ≥

median kadar IL-6 seluruh sampel.

k)! Interleukin-10 (IL-10) adalah kadar sitokin IL-10 plasma yang

diperiksa dengan metode enzyme linked immunosorbent assay

!

!

62

(ELISA) dengan menggunakan alat ELISA manual dari Biomeureaux

dan reagen IL-10 dari Quantikine dengan nomor katalog D1000B,

dinyatakan dengan satuan pg/mL. Kadar IL-10 yang rendah adalah

kadar IL-10 yang ≤ median kadar IL-10 seluruh sampel.

l)! Infeksi akut adalah adanya gejala dan tanda infeksi akut yang dapat

diketahui dari klinis dan pemeriksaan fisik, serta adanya sel darah

putih yang meningkat dari nilai normal.

m)! Infeksi kronis adalah adanya gejala dan tanda infeksi yang

berlangsung pelan dalam jangka waktu yang lama yang ditentukan

dari pemeriksaan fisik dan penunjang dan lainnya sesuai dengan organ

yang terinfeksi.

n)! Penderita malignancy: sedang menderita penyakit keganasan yang

dapat diketahui dengan anamnesis, pemeriksaan klinis dan

pemeriksaan penunjang patologi anatomi.

o)! Pernah mengalami operasi pengangkatan kedua ovarium: diketahui

dengan wawancara.

p)! Mengkonsumsi obat kortikosteroid: pernah atau sedang menggunakan

obat-obatan kortikosteroid selama 6 bulan, yang diketahui melalui

wawancara.

q)! Menggunakan terapi sulih hormon (obat hormonal) atau sejenisnya:

pernah atau sedang menggunakan obat-obatan hormonal, seperti terapi

sulih hormon, SERM, obat-obat KB hormonal.

!

!

63

r)! Tinggi badan: diukur dengan alat ukur tinggi badan dengan Merk

Health Scale dari seri ZT-120 dalam keadaan berdiri tegak, tanpa alas

kaki, dengan satuan centimeter (cm).

s)! Berat badan: diukur dengan alat timbangan dengan Merk Health Scale

dengan seri ZT-120, dalam keadaan busana seminimal mungkin

dengan satuan kilogram (kg).

t)! Indeks Massa Tubuh (IMT) diperoleh melalui perhitungan dengan

rumus:

IMT = BB(kg)/TB(m)2

Pengukuran berat badan dan tinggi badan dilakukan sesuai dengan

prosedur standar.

Berdasarkan WHO nilai IMT dikelompokkan menjadi underweight

bila IMT < 18,5 kg/m2, Normal bila IMT 18,5 - 24,9 kg/m2 dan

overweight bila ≥ 25 kg/m2

4.5 Alur Penelitian

4.5.1 Penapisan subyek

Pada fase I penelitian ini dilakukan penapisan subyek dimana setiap pasien

wanita pasca menopause diperiksa kadar estrogennya untuk mendapatkan wanita

pasca menopase defisiensi estrogen yang kemudian dilanjutkan dengan

pemeriksaan plain x-ray AP/Lateral/Oblique untuk mendapatkan wanita pasca

menopause dengan OA lumbal. Sehingga dapat ditentukan prevalensi OA lumbal

pada wanita pasca menopause defisiensi estrogen.

!

!

64

4.5.2 Pemilihan kasus dan kontrol

Populasi penelitian yang memenuhi sebagai subyek yang sebelumnya sudah

dilakukan pemeriksaan hormon Estradiol (E2) dan pemeriksaan plain x-ray

lumbosacral AP/lateral dan oblique. Bila secara klinis menderita nyeri pinggang

bawah dan kadar Estradiol ≤ 40 pg/ml serta pada pemeriksaan plain x-ray

lumbosacral AP/lateral dan oblique tampak penyempitan ruang diskus

intervertebralis, adanya vertebral osteofit dan defek pada kartilago facet joint,

maka mereka dinyatakan menderita osteoarthritis lumbal simtomatik dan menjadi

kasus. Sedangkan mereka yang kadar estradiolnya ≤ 40 pg/ml dan secara klinis

tidak ditemukan adanya nyeri pinggang dinyatakan osteoarthritis lumbal

asimtomatik sebagai kontrol. Setelah dilakukan matched paired antara kasus dan

kontrol yang memenuhi kriteria inklusi dilakukan pemeriksaan kadar COMP

serum, IL-6 dan IL-10 plasma.

4.5.3 Pemeriksaan sampel darah

Setelah kasus dan kontrol diidentifikasi dan ditetapkan, selanjutnya akan

dilakukan pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan kadar COMP serum dan

kadar sitokin plasma yang terdiri dari IL-6 dan IL-10 dengan menggunakan

ELISA.

!

!

65

Gambar 4.4 Bagan alur penelitian

POPULASI TARGET Wanita pasca menopause

KRITERIA INKLUSI 1.!Wanita pasca menopause defisiensi

estrogen dengan nyeri pinggang bawah 2.!Wanita yang berumur antara menopause

sampai dengan 10 tahun setelah menopause 3.!Menderita osteoarthritis lumbal, ditegakkan

dengan pemeriksaan plain x-ray lumbosacral.

KRITERIA EKSKLUSI

CONSECUTIVE SAMPLING

POPULASI TERJANGKAU

Wanita pasca menopause defisiensi estrogen

1.! Sedang mengalami infeksi akut atau kronis yang diketahui dengan pemeriksaan fisik dan laboratorium

2.! Mengalami operasi pengangkatan kedua ovarium (bilateral oovorectomy) yang diketahui dengan wawancara

3.! Mengkonsumsi obat-obatan hormonal atau terapi sulih hormon atau sejenisnya yang diketahui dengan wawancara

4.! Menggunakan obat-obatan kortikosteroid yang diketahui dengan wawancara

5.! Menderita penyakit malignancy atau keganasan

6.! Pernah mengalami trauma tulang belakang pada daerah lumbosakral

PEMERIKSAAN ESTROGEN

1.! INFORMED CONSENT 2.! ANAMNESIS 3.! PEMERIKSAAN FISIK

OA lumbal simtomatik 44 KASUS

OA lumbal asimtomatik 44 KONTROL

Match Paired: Umur dan IMT

COMP, IL-6, IL-10, Rasio IL-6/IL-10

DATA PENELITIAN

ANALISIS STATISTIK

SIMPULAN PENELITIAN

!

!

66

4.6 Analisis Statistik

Data yang terkumpul dianalisis dengan program statistik STATA/SE 12.1

dengan langkah-langkah analisis sebagai berikut.

4.6.1! Normalitas data

Data berskala pengukuran interval seperti COMP, IL-6, IL-10 dan rasio IL-

6/IL-10 dari kasus dan kontrol diuji normalitasnya dengan uji Kolmogorov

Smirnov dengan tingkat kemaknaan α = 0,05 dengan tabel analisis sebagai berikut.

4.6.2! Analisis karakteristik kasus dan kontrol

Karakteristik kasus dan kontrol yang dianggap dapat mempengaruhi

hubungan antara kadar COMP, IL-6, IL-10 dan rasio IL-6/IL-10 terhadap kejadian

osteoarthritis lumbal simtomatik pada wanita pasca menopause defisiensi estrogen

adalah lama menopause, umur, kadar estradiol dan IMT. Kesetaraan kasus dan

kontrol dianalisis dengan cara membandingkan rerata lama menopause, umur,

IMT dan kadar estrogen.

4.6.3! Analisis faktor risiko osteoarthritis

Dilakukan analisis bivariate (McNemar’s Chi Square) terhadap variabel bebas

COMP serum, IL-6 plasma, IL-10 plasma dan rasio IL-6/IL-10 plasma sebagai

faktor risiko terhadap kejadian osteoarthritis lumbal pada wanita pasca menopause

defisiensi estrogen yang dilakukan dengan menghitung Odd Ratio. Penghitungan

nilai Odd Ratio dilakukan dengan membuat tabulasi silang pasangan kasus dan

!

!

67

kontrol. Sedangkan tingkat signifikansi Odd Ratio diuji dengan McNemar’s Chi

Square dengan tingkat kemaknaan α = 0,05.

4.7 Waktu dan tempat penelitian.

1. Waktu penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2015 sampai dengan

bulan Maret 2016.

2. Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar

yang merupakan Rumah Sakit Rujukan Tipe A dan sekaligus Rumah Sakit

Pendidikan yang sudah terakreditasi JCI dan KARS.

3. Pemeriksaan bahan darah dilakukan di Laboratorium Pathologi Klinik

RSUP Sanglah Denpasar

4. Pemeriksaan radiologi dilakukan dengan menggunakan alat Ro TOSHIBA

ROANODE Tipe DR-1603/500 MA. Nomor seri 13191. FFD: 100 cm,

Alat processing film: FCR PRIMA Fuji Film, yang pembacaan hasil

expertise dibaca oleh 2 orang dokter Spesialis Radiologi.

!

68

BAB V

HASIL PENELITIAN

Penelitian dimulai pada bulan Oktober 2015 sampai dengan Maret 2016

setelah mendapatkan keterangan kelaikan etik (Ethical Clearance) dari Komisi

Etika Penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/Rumah Sakit Umum

Pusat Sanglah Denpasar melalui surat Nomor 1539/UN.14.2/Litbang/2015

tertanggal 26 Agustus 2015 dan Surat Ijin dari Direktur SDM dan Pendidikan

Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar,

Nomor:::LB.02.01/II.C5.D11/15513/2015 tertanggal 01 oktober 2015.

Penelitian dilakukan dalam 2 fase. Pada fase I dilakukan cross sectional study

dengan sampel sebanyak 196 sampel wanita pasca menopause, untuk

mendapatkan wanita pasca menopause defisiensi estrogen. Dari wanita pasca

menopause defisiensi estrogen ini kemudian didapatkan penderita osteoarthritis

lumbal yang disertai nyeri pinggang dan tanpa nyeri dengan menggunakan VAS

sebagai indikator nyeri. Pada fase I ini, dari 196 wanita pasca menopause

didapatkan 189 sampel (96,4 %) defisiensi estrogen (Tabel 5.1).

Tabel 5.1 Prevalensi wanita pasca menopause dengan defisiensi estrogen

Wanita Pasca Menopause

Kadar Estrogen Defisiensi Estrogen 189 (96,4 %)

Tanpa Defisiensi Estrogen 7 (3,6 %)

Total 196 (100,0 %)

!

!

69!

Wanita pasca menopause defisiensi estrogen tersebut kemudian dilakukan

pemeriksaan x-ray untuk mengetahui prevalensi OA lumbal. Didapatkan sebanyak

184 sampel (97,3 %) mengalami OA lumbal. Dari 184 sampel wanita pasca

menopause defisiensi estrogen dengan OA lumbal tersebut, sebanyak 98 sampel

(53,2 %) dengan nyeri pinggang (Tabel 5.2).

Tabel 5.2 Prevalensi wanita pasca menopause defisiensi estrogen dengan atau tanpa OA

lumbal dan keluhan nyeri pinggang

Nyeri Pinggang Tanpa Nyeri Pinggang Total

Wanita Pasca Menopause dengan defisiensi estrogen

OA Lumbal 98 (53,2 %) 86 (46,8 %) 184 (100,0 %)

Tanpa OA Lumbal 3 (60,0 %) 2 (40,0 %) 5 (100,0 %)

Total 101 (53,4 %) 88 (46,6 %) 189 (100,0 %)

Selanjutnya dilakukan match berdasarkan kelompok umur dan IMT untuk

mendapatkan sampel untuk penelitian fase 2. Subyek pada penelitian fase 2 ini

adalah wanita pasca menopause defisiensi estrogen dengan osteoarthritis lumbal

secara radiologis yang telah memenuhi kriteria inklusi sebanyak 44 pasang yaitu

44 orang wanita pasca menopause defisiensi estrogen yang mengalami

osteoarthritis lumbal dengan nyeri pinggang sebagai kasus yang dipasangkan

dengan 44 orang wanita pasca menopause defisiensi estrogen yang mengalami

osteoarthritis lumbal tanpa nyeri pinggang sebagai kontrol.

!

!

70!

5.1!Normalitas data

Data berskala pengukuran interval seperti COMP, IL-6, IL-10 dan Rasio IL-

6/IL-10 dari kasus dan kontrol diuji normalitasnya dengan uji Kolmogorov

Smirnov dengan tingkat kemaknaan α = 0,05. Dari hasil pengujian didapatkan

semua variabel berdistribusi tidak normal sesuai dengan tabel analisis sebagai

berikut.

Tabel 5.3

Normalitas data COMP, IL-6, IL-10 dan rasio IL-6/IL-10 dengan uji Kolmogorov Smirnov

5.2! Karakteristik OA Lumbal Simtomatik dan OA Lumbal Asimtomatik

Karakteristik kasus dan kontrol yang dianggap dapat mempengaruhi

hubungan antara kadar COMP, IL-6, IL-10 dan rasio IL-6/IL-10 terhadap kejadian

osteoarthritis lumbal simtomatik pada wanita pasca menopause defisiensi estrogen

adalah lama menopause, umur, kadar estradiol dan IMT.

Subyek pada penelitian ini memiliki karakteristik wanita berumur sekitar 58

tahun dengan IMT sekitar 25,9 kg/m2 dan lama menopause sekitar 7 tahun. Kadar

estrogen pada wanita pasca menopause ini adalah sekitar 12,7 pg/mL (Tabel 5.4).

Statistik Z Nilai p Rerata Simpang

Baku Persentil

25

Median (Inter

quartile)

Persentil 75

1 COMP (pg/mL)

7,372 0,000 1,215 0,818 0,803 0,946 1,055

2 IL-6 (pg/mL)

8,400 0,000 41,662 113,274 1,118 2,264 10,120

3 4

IL-10 (pg/mL) Rasio IL-6/IL-10

6,385 8,373

0,000 0,000

6,162 6,791

1,015 18,535

5,571 0,190

6,049 0,364

6,566 1,683

!

!

71!

Hal ini menunjukkan bahwa subyek penelitian ini adalah wanita post menopause

dengan defisiensi estrogen karena kadar estrogennya ≤ 40 pg/mL.

Tabel 5.4 Karakteristik OA lumbal simtomatik dan OA lumbal asimtomatik

Karakteristik

Kasus (n=44)

Median (Interquartile Range)

Kontrol (n=44)

Median (Interquartile Range)

1 Umur (tahun) 58 (54 – 61) 58 (53 – 60) 2 Lama menopause

(tahun) 7 (4 – 10) 8 (3 – 10)

3 Kadar estrogen darah (pg/mL) 12,7 (9,00 – 20,87) 14,16 (9,51 - 19,23)

4 IMT (kg/m2) 25,92 (23,27 – 28,06) 25,28 (22,86 – 27,37)

5.3!Faktor Risiko OA Lumbal Simtomatik

Dilakukan analisis bivariate (McNemar’s Chi Square) variable bebas COMP

serum, IL-6 plasma, IL-10 plasma dan rasio IL-6/IL-10 plasma sebagai faktor

risiko terhadap kejadian osteoarthritis lumbal simtomatik pada wanita pasca

menopause defisiensi estrogen yang akan dilakukan dengan menghitung Odd

Ratio. Penghitungan nilai Odd Ratio dilakukan dengan membuat tabulasi silang

pasangan kasus dan kontrol. Cut-off point untuk variabel COMP serum, IL-6

plasma, IL-10 plasma dan rasio IL-6/IL-10 plasma didapatkan dengan

menggunakan median dari seluruh sampel. Dari hasil analisis didapatkan cut-off

point COMP serum adalah 0,946, cut-off point IL-6 plasma adalah 2,264, cut-off

point IL-10 plasma adalah 6,049 dan cut-off point rasio IL-6/IL-10 plasma adalah

0,364.

!

!

72!

5.3.1! Kadar COMP serum dengan OA lumbal simtomatik

Tabel 5.5

Tabulasi silang antara variabel kadar COMP serum dengan variabel OA

lumbal simtomatik

OR = 0,7 (p = 0,393, CI 95%; 0,261 – 1,751)

Dengan menggunakan kadar COMP serum sebesar 0,946 sebagai cut-off

point didapatkan Odd Ratio (OR) antara OA lumbal simtomatik wanita pasca

menopause defisiensi estrogen dengan OA lumbal asimtomatik terhadap kadar

COMP serum adalah sebesar 0,7 (CI 95%: 0,261 – 1,751). Secara statistik OR

tersebut dinyatakan tidak bermakna karena dengan uji statistik McNemar’s Chi-

square didapatkan nilai p>0,05 (p=0,393) (Tabel 5.5). Ini berarti bahwa wanita

pasca menopause defisiensi estrogen dengan kadar COMP serum yang tinggi

bukan merupakan faktor risiko untuk mengalami OA lumbal simtomatik.

Kelompok Kontrol Total COMP↑ COMP ↓

Kasus COMP↑ 11 9 20 COMP ↓ 13 11 24

Total 24 20 44

!

!

73!

5.3.2. Kadar IL-6 plasma dengan OA lumbal simtomatik

Tabel 5.6

Tabulasi silang antara variabel kadar IL-6 Plasma dengan variabel OA

lumbal simtomatik

OR = 2,7 (p = 0,033, CI 95%; 0,991 – 8,320)

Hasil analisis kadar IL-6 plasma dengan kejadian OA lumbal simtomatik

pada wanita pasca menopause defisiensi estrogen didapatkan Odd Ratio (OR)

sebesar 2,7 (CI 95%:0,991 – 8,320) dengan nilai p<0,05 (p=0,033). Ini berarti

bahwa wanita pasca menopause defisiensi estrogen yang memiliki kadar IL-6

yang tinggi merupakan faktor risiko OA lumbal simtomatik dengan risiko sebesar

2,7 kali daripada yang memiliki kadar IL-6 rendah. Perbedaan risiko tersebut

secara statistik bermakna dengan nilai p < 0,05 (Tabel 5.6).

Kelompok Kontrol

Total IL-6 ↑ IL-6 ↓

Kasus IL-6 ↑ 11 16 27 IL-6 ↓ 6 11 17

Total 17 27 44

!

!

74!

5.3.3. Kadar IL-10 plasma dengan OA lumbal simtomatik

Tabel 5.7

Tabulasi silang antara variabel kadar IL-10 plasma dengan variabel OA

lumbal simtomatik

OR = 0,6 (p = 0,345, CI 95%; 0,209 – 1,798)

Hasil analisis kadar IL-10 plasma dengan kejadian OA lumbal simtomatik

pada wanita pasca menopause defisiensi estrogen didapatkan Odd Ratio (OR)

sebesar 0,6 (CI 95%:0,209 – 1,798) dengan nilai p> 0,05 (p=0,345). Ini berarti

bahwa wanita pasca menopause defisiensi estrogen yang memiliki kadar IL-10

rendah bukan merupakan risiko OA lumbal simtomatik (Tabel 5.7)

Kelompok Kontrol

Total IL-10 ↑ IL-10 ↓

Kasus IL-10 ↑ 16 7 23 IL-10 ↓ 11 10 21

Total 27 17 44

!

!

75!

5.3.4. Rasio Kadar IL-6/IL-10 dengan OA lumbal simtomatik

Tabel 5.8

Tabulasi silang antara variabel rasio kadar IL-6/IL-10 Plasma dengan

variabel OA lumbal simtomatik

OR = 3,4 (p = 0,011, CI 95%; 1,204 – 11,787)

Hasil analisis rasio kadar IL-6/IL-10 plasma dengan kejadian OA lumbal

simtomatik pada wanita pasca menopause defisiensi estrogen didapatkan Odd

Ratio (OR) sebesar 3,4 (CI 95%:1,204 – 11,787) dengan nilai p<0,05 (p=0,011).

Ini berarti bahwa wanita pasca menopause defisiensi estrogen yang memiliki rasio

kadar IL-6/IL-10 yang tinggi merupakan faktor risiko OA lumbal simtomatik

dengan risiko sebesar 3,4 kali daripada yang memiliki rasio kadar IL-6/IL-10

plasma rendah. Perbedaan risiko tersebut secara statistik bermakna dengan nilai p

< 0,05. (Tabel 5.8)

Kelompok Kontrol

Total (Rasio IL-6/IL-10) ↑

(Rasio IL-6/IL-10) ↓

Kasus

(Rasio IL-6/IL-10) ↑

11 17 28

(Rasio IL-6/IL-10) ↓

5 11 16

Total 16 28 44

!

76

BAB VI

PEMBAHASAN

6.1! Karakteristik Umur, IMT, Lama Menopause dan Kadar Estrogen pada

OA Lumbal Simtomatik

Pada fase I penelitian ini didapatkan bahwa sebagian besar wanita pasca

menopause yang menjadi subyek dalam penelitian ini mengalami defisiensi

estrogen dan sebagian besar dari subyek mengalami OA lumbal simtomatik,

berumur sekitar 58 tahun dengan IMT kategori overweight dan lama menopause

sekitar 7 tahun.

Menurut Richette et al. (2003) terdapat hubungan penurunan estrogen dan

perkembangan osteoarthritis dengan usia yang prevalensinya meningkat pada usia

di atas 50 tahun. Penelitian yang dilakukan oleh Suyasa IK and Setiawan IGNY

(2016) juga mengemukakan adanya hubungan antara umur, beban mekanik (IMT)

dan defisiensi estrogen dengan OA lumbal simtomatik. Osteoarthritis lumbal

merupakan degenerasi tulang rawan yang melibatkan three joint complex yang

ditandai dengan penyempitan diskus intervertebralis lumbal, pembentukan osteofit

vertebral dan terjadinya osteoarthritis pada sendi facet. Keadaan patologis ini

dapat diakibatkan oleh beban stres mekanik, akibat penuaan, peningkatan berat

badan dan perubahan hormonal sehingga terjadi proses penipisan tulang rawan

sendi (Sniekers et al, 2010).

Dua reseptor estrogen ERα dan ERβ teridentifikasi pada kondrosit dan

membuktikan bahwa kartilago sensitif terhadap estrogen. Pada studi in vivo

!

!

77!

binatang, injeksi estrogen intraartikular memiliki dosis dependen; dosis

suprafisiologis 17β estradiol menginduksi osteoarthritis secara histologis, dimana

jika menggunakan dosis rendah tidak berefek. Pada wanita post menopause,

estrogen dapat menurunkan kecepatan remodelling tulang subkondral yang

merupakan faktor kunci patofisiologi osteoarthritis. Selanjutnya ekspresi reseptor

estrogen ditunjukkan pada sinoviosit, yang merupakan target efek bagi estrogen

pada sendi.

6.2! Peran Kadar COMP Serum pada OA Lumbal Simtomatik

Pada penelitian ini didapatkan kadar COMP serum pada wanita pasca

menopause defisiensi estrogen dengan OA lumbal simtomatik dan OA lumbal

asimtomatik tidak berbeda. Hasil ini menunjukkan bahwa COMP serum tidak

terbukti secara signifikan berperan sebagai faktor risiko untuk mengalami OA

lumbal simtomatik dengan OR sebesar 0,7 (CI 95%: 0,261 – 1,751; p=0,393).

Hasil ini berbeda dengan riset terbaru oleh Goode AP et al (2012) yang

menemukan hasil mengenai hubungan antara penyempitan diskus intervertebralis,

cartilage oligomeric matrix protein (COMP) dan nyeri pinggang bawah. Di antara

penderita nyeri pinggang bawah didapatkan hubungan positif kuat antara COMP

dan penyempitan diskus intervertebralis dengan OR sebesar 1,82 (CI 95%; 1.02 -

3.27). Menurut Goode AP et al (2012), peningkatan kadar COMP tersebut

mencerminkan proses degenerasi diskus intervertebralis yang ditandai dengan

penyempitan diskus intervertebralis dan gejala-gejala lain yang berkaitan dengan

proses degenerasi.

!

!

78!

Cartilage Oligomeric Matrix Protein (COMP) yang merupakan protein non

kolagen yang pertama kali diisolasi dari kartilago extracellular matriks dan

merupakan prognostic marker dari perjalanan osteoarthritis. Konsentrasi COMP

dapat memprediksi beratnya kerusakan pada sendi besar, di samping itu juga

dapat memprediksi menyempitnya celah sendi (Conrozier et al, 1998).

Sebagai biomarker, konsentrasi COMP pada cairan sinovial ataupun dalam

serum dapat digunakan sebagai indikator awal adanya kelainan pada pemeriksaan

radiologis (Dragomir et al, 2002; Sharif et al, 2004), sehingga COMP sangat

sensitif untuk mendeteksi dini terjadinya prematur OA pada penderita yang secara

genetik menderita OA (Bleasel et al, 1999; William et al, 2006).

Osteoarthritis selalu ditandai dengan destruksi kartilago dan perubahan pada

tulang subkondral. Demikian pula halnya pada osteoarthritis lumbal yang

melibatkan three joint complex, akan terjadi destruksi kartilago pada facet joint

dan tulang subkondral.

Kerusakan tulang rawan dapat disebabkan oleh faktor mekanik, di mana akan

terjadi pelepasan antigen oleh tulang rawan sendi. Keadaan ini akan menstimulasi

sistem imun sehingga terjadi reaksi imunologis berupa pelepasan mediator

inflamasi dan protease yang bersifat destruktif dan dapat memperberat kerusakan

tulang rawan (Yuan et al, 2003). Kerusakan tulang rawan ini ditandai dengan

meningkatnya COMP. Sebagai indikator diagnosis, COMP berkorelasi dengan

keparahan penyakit. Hal ini dibuktikan dengan terdeteksinya COMP 10 kali lebih

tinggi dalam cairan sinovial penderita dengan osteoarthritis.

!

!

79!

Degradasi kartilago mengakibatkan terjadinya peningkatan kadar COMP

dalam cairan sinovium dan dalam serum. Produk degradasi kartilago ini akan

difagositosis oleh sinovium dan menstimulasi proses inflamasi. Sel-sel sinovium

akan teraktivasi dan memproduksi berbagai mediator katabolik dan proinflamasi

serta enzim proteolitik yang akan menyebabkan terjadinya kerusakan kartilago.

Namun COMP serum tidak dapat dinyatakan sebagai indikator spesifik yang

mencerminkan kerusakan kartilago pada facet joint karena kadar COMP serum

secara umum meningkat akibat kerusakan pada kartilago di berbagai sendi tubuh.

Hal ini sejalan dengan penelitian Soderlin et al (2004), yang menyatakan bahwa

peningkatan COMP serum sangat umum terjadi pada osteoarthritis yang

mengindikasikan keterlibatan kartilago. Hal ini disebabkan oleh karena luas

permukaan kartilago facet yang tidak begitu luas, serta pengambilan sampel dari

darah tidak sepenuhnya bisa menggambarkan luasnya kerusakan kartilago.

Menurut Neidhart et al (1997), kadar COMP serum secara konstan lebih

rendah dibandingkan dengan di cairan sinovial ataupun matrix kartilago sehingga

alternatif pengambilan bahan sampel dari matrix kartilago mungkin akan

memberikan hasil yang lebih akurat. Di samping itu, konsep three joint complex

pada OA lumbal hanya sebagian kecil melibatkan kartilago pada sendi facet,

karena 2/3 beban pergerakan pada satu satuan fungsional unit berada di anterior.

Kadar COMP pada penelitian ini terjadi akibat perbedaan stadium OA pada

subyek serta perbedaan afinitas atau spesifisitas dari antibodi primer yang

digunakan dalam deteksi COMP. Analisis western blot dengan mAbs 12C4

menunjukkan afinitas lebih tinggi terhadap fragment COMP yang memiliki berat

!

!

80!

molekul rendah dibandingkan dengan mAbs 14G4 (Arai et al, 2005). Menurut

Tseng et al (2009), spesifisitas COMP terhadap kartilago dan reagen spesifik

untuk degradasi COMP masih kurang sehingga memiliki kegunaan yang terbatas

dalam menentukan adanya osteoarthritis serta untuk pemeriksaan terhadap

outcome dikotom dalam populasi (normal vs abnormal). Penelitian lain oleh

Lohmander et al (1994) juga menyatakan bahwa konsentrasi COMP ini tinggi

hanya pada stadium awal perkembangan OA dan tidak pada stadium lanjut.

Menurut Mobasheri dan Henrotin (2011), COMP juga dapat memediasi

interaksi antara kondrosit dan kartilago matriks ekstraseluler. Cartilage

oligomeric matrix protein ini dapat menekan apoptosis pada kondrosit primer

melalui aktivasi caspase-3 dan induksi keluarga inhibitor apoptosis protein (IAP)

pada survival protein seperti Baculoviral IAP Repeat Containing 3 dan 5, X-linked

IAP (BIRC3, BIRC5, XIAP). Hal ini tentunya sejalan dengan penelitian ini di

mana COMP dapat menjadi faktor protektif terhadap OA lumbal simtomatik

meskipun tidak terbukti signifikan secara statistik.

6.3! Peran Kadar IL-6 Plasma pada OA Lumbal Simtomatik

Pada penelitian ini didapatkan kadar IL-6 plasma yang tinggi pada wanita

pasca menopause defisiensi estrogen terbukti secara signifikan berperan sebagai

faktor risiko untuk mengalami OA lumbal simtomatik dengan dengan OR sebesar

2,7 (CI 95%: 0,991 – 8,320; p=0,033). Hal ini sejalan dengan penelitian oleh

Valdes A.M. (2010) dan Weber et al (2016), dimana dilaporkan bahwa IL-6

secara signifikan lebih tinggi pada penderita low back pain (LBP) dan terdapat

!

!

81!

korelasi positif antara level IL-6, IMT, lamanya gejala dan usia pada penderita

LBP. Interleukin-1, IL-6 dan IL-10 yang terlibat pada proses inflamasi juga

dilaporkan memiliki hubungan dengan risiko terjadinya osteoarthritis.

Interleukin – 6 merupakan sitokin yang berfungsi sebagai imunitas bawaan

maupun didapat, dibentuk oleh banyak sel dan mempengaruhi banyak sasaran.

Sumber utama IL-6 adalah makrofag dan limfosit didaerah inflamasi. Selain

berperan dalam proses imunologi dan inflamasi, IL – 6 juga berperan penting

dalam meningkatkan pembentukan sel osteoklas, terutama apabila kadar hormon

estrogen menurun (Roitt et al, 1998). Interleukin-6 menstimulasi pembentukan

prekursor osteoklas dari unit pembentuk koloni granulosit makrofag dan

meningkatkan jumlah osteoklas in vivo, yang menyebabkan peningkatan resorpsi

tulang, yang berkontribusi pada perubahan spondiloarthrosis dan degenerasi

diskus intervertebralis (Holm et al, 2012). Sedangkan Ershler, Harman dan Keller

(2002) menemukan peningkatan IL-6 pada penuaan dan menopause. Pada usia tua

terjadi peningkatan kadar IL-6 (Maggio et al, 2006) demikian pula kadar IL-6

meningkat secara signifikan pada usia 70 tahun atau lebih (Giuliani et al, 2001).

Pada OA, produksi IL-6 terutama distimulasi oleh peningkatan sitokin

katabolik yaitu IL-1 dan TNF-α. Interleukin-6 kemudian akan mempotensiasi efek

dari IL-1. Dalam patogenesis osteoarthritis, IL- 6 memiliki fungsi ganda yaitu

sebagai pemicu proses inflamasi dan memiliki kemampuan down regulation

terhadap faktor-faktor katabolik yang terlibat dalan degenerasi tulang rawan (Lotz

et al, 1991). Selain itu, IL-6 juga merupakan salah satu sitokin yang memegang

!

!

82!

peranan penting dalam proses penyerapan tulang termasuk pada tulang subkondral

melalui pengaruh aktivitas sel osteoklas.

Peran IL-6 plasma terhadap OA lumbal simtomatik adalah melalui aktivasi

transducer glycoprotein 130 (gp130) pada neuron akibat terbentuknya kompleks

IL-6/soluble IL-6R. Transducer glycoprotein 130 (gp130) ini berhubungan

dengan sensitisasi saraf perasa nyeri melalui aktivasi phosphoinositide 3-kinase,

protein kinase C-delta dan Janus kinase serta regulasi saluran ion pada transient

receptor potential cation channels vanilloid 1 (TRPV1) (Svensson C.I., 2010).

Interleukin- 6 dianggap sebagai sitokin kunci, yang menyebabkan perubahan

pada lapisan tulang subkondral. Efeknya sebagian besar didasarkan pada

pembentukan osteoklas sehingga terjadi resorpsi tulang dan juga menunjukkan

sinergisme dengan IL-1β dan TNF (Wojdasiewicz P. et al, 2014).

6.4! Peran Kadar IL-10 Plasma pada OA Lumbal Simtomatik

Pada penelitian ini didapatkan kadar IL-10 plasma pada wanita pasca

menopause defisiensi estrogen dengan OA lumbal simtomatik dan OA lumbal

asimtomatik tidak berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa kadar IL-10 plasma tidak

terbukti secara signifikan berperan sebagai faktor risiko untuk mengalami OA

lumbal simtomatik dengan OR sebesar 0,6 (CI 95%: 0,209 – 1,798; p=0,345). Hal

ini berbeda dengan penelitian oleh John et al (2007) dan Wang (2001) yang

menyatakan bahwa IL-10 tidak hanya menghambat sintesis dari sitokin inflamasi,

tetapi juga melindungi kondrosit secara langsung dengan mengantagonis peranan

!

!

83!

IL-1. Sitokin imunoregulator IL-10 memodulasi serangkaian proses apoptosis

pada TNF-α seperti aktifitas caspase pada kondrosit artikular manusia.

Interleukin–10 yang dikenal dengan cytokine synthesis inhibitory factor

dikenal sebagai anti inflamasi dan sitokin immunosupresif. Sitokin ini dapat

diproduksi oleh sel selain sel T-regulator termasuk makrofag. Interleukin-10

merupakan sitokin yang sangat ampuh dalam menekan pelepasan TNF-α oleh

makrofag. Ada dua fungsi utama IL-10 yaitu menghambat produksi beberapa jenis

sitokin (TNF, IL-1, chemokine dan IL-12) dan menghambat fungsi makrofag dan

sel dendritik dalam aktivasi sel T, sehingga efeknya bersifat immunosupresi.

Hambatan fungsi makrofag terjadi karena IL-10 menekan ekspresi molekul MHC

kelas II pada makrofag, dan mengurangi ekspresi ko-stimulator (a.l. B7-1 dan B7-

2). Dampak akhir dari aktifitas IL-10 adalah hambatan reaksi inflamasi spesifik

maupun non spesifik yang diperantarai oleh sel T. Hal tersebut menyebabkan IL-

10 disebut juga dengan cytokine synthesis inhibitory factor dan sitokin anti

inflamasi (Kresno, 2001).

Interleukin-10 merupakan sitokin yang menunjukkan efek kondroprotektif

dalam perjalanan OA. Kondrosit mengekspresikan sitokin IL-10 dan reseptor IL-

10R. Telah terbukti bahwa IL-10 yang terlibat dalam merangsang sintesis kolagen

tipe II dan aggrecan. Setelah pemberian IL-10 in vitro, tulang rawan artikular

sehat dan yang dalam perjalanan OA menunjukkan peningkatan sintesis

proteoglikan dalam matriks ekstraselular. Interleukin-10 menghambat apoptosis

kondrosit, stimulasi IL-1β antagonis, yang merupakan IL-1Ra dan inhibitor

jaringan metalloproteinase-1 (TIMP-1), serta faktor pertumbuhan. Interleukin-10

!

!

84!

mengurangi efek TNF- α pada fibroblas sinovial sampel dari pasien dengan OA

(Wojdasiewicz P. et al., 2014).

Pada osteoarthritis lumbal, IL-10 sendiri tidak dapat digunakan sebagai faktor

risiko karena proses inflamasi yang terjadi adalah proses inflamasi kronik yang

melibatkan peran berbagai sitokin, baik sitokin pro inflamasi seperti TNF-α dan

IL-6, maupun sitokin anti inflamasi seperti IL-1ra atau IL-10. Dengan demikian,

sitokin dianggap bekerja dengan berinteraksi secara kompleks. Peningkatan TNF-

α dan IL-6 akan direspon oleh sitokin anti inflamasi. Interleukin-10 sangat ampuh

menekan pelepasan TNF-α oleh makrofag. Rendahnya kadar IL-10 dapat

digunakan sebagai indikator kegagalan dalam proses penekanan terhadap produksi

TNF-α dan IL-6.

Peran IL-10 plasma pada OA lumbal simtomatik adalah sebagai faktor

protektif meskipun tidak terbukti signifikan. Sehingga untuk mengetahui peran

kadar IL-10 sebagai faktor risiko maka dapat dilakukan evaluasi terhadap ekspresi

rasio IL-10 terhadap sitokin potensial lainnya seperti rasio IL-6/IL-10 (Kaneda et

al, 2006).

6.5! Rasio kadar IL-6/IL-10 Plasma pada OA Lumbal Simtomatik

Pada penelitian ini didapatkan rasio kadar IL-6/IL-10 plasma yang tinggi (di

atas nilai median) pada wanita pasca menopause defisiensi estrogen terbukti

secara signifikan berperan sebagai faktor risiko untuk mengalami OA lumbal

simtomatik dengan dengan OR sebesar 3,4 (CI 95%: 1,204 – 11,787; p=0,011).

Hasil penelitian ini menunjukkan konsep keseimbangan antara sitokin pro

!

!

85!

inflamasi dengan sitokin anti inflamasi. Sampai saat ini data dan penelitian

mengenai rasio IL-6/IL-10 pada osteoarthritis lumbal simtomatik pada wanita

pasca menopause dengan defisiensi estrogen belum ada. Dan peran sitokin

inflamasi dan sitokin anti inflamasi pada patogenesis osteoarthritis terhadap jalur

pensinyalan inter dan intraselular masih dalam penelitian (Wojdasiewicz et al,

2014).

Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, maka kadar IL-6 atau IL-10 saja,

tidak mencerminkan adanya OA lumbal simtomatik pada wanita pasca menopause

defisiensi estrogen, sehingga diperlukan pengukuran rasio kedua sitokin ini (rasio

IL-6/IL-10) untuk memperoleh hasil yang lebih akurat dan mencerminkan adanya

OA lumbal simtomatik pada wanita pasca menopause dengan defisiensi estrogen.

Peran rasio IL-6/IL-10 plasma terhadap OA lumbal simtomatik adalah

melalui interaksi sitokin proinflamasi dengan sitokin anti inflamasi. Kedua sitokin

ini secara potensial memberikan informasi yang akurat terhadap risiko terjadinya

OA lumbal simtomatik. Interleukin - 6 plasma memiliki fungsi sebagai pemicu

proses inflamasi dan memiliki kemampuan down regulation terhadap faktor-

faktor katabolik yang terlibat dalam degenerasi tulang rawan sedangkan IL-10

menghambat reaksi inflamasi non spesifik maupun spesifik sebagai respon

terhadap peningkatan sitokin TNF-α dan IL-6.

6.6! Kelemahan Penelitian

Penelitian ini memakai kadar COMP serum sebagai indikator kerusakan

kartilago facet joint. Perlu dipertimbangkan pengambilan bahan pemeriksaan

!

!

86!

kerusakan kartilago dengan mengisolasi secara langsung matrix kartilago untuk

mengetahui peran COMP secara lebih akurat.

6.7! Novelty

Penelitian ini menunjukkan peranan rasio kadar IL-6/IL-10 plasma yang

tinggi sebagai faktor risiko yang paling kuat terjadinya osteoarthritis lumbal

simtomatik pada wanita pasca menopause defisiensi estrogen. Hal ini memperkuat

teori inflamasi pada osteoarthritis lumbal simtomatik.

!

87

BAB VII

SIMPULAN DAN SARAN

7.1. SIMPULAN PENELITIAN

1.! Wanita pasca menopause defisiensi estrogen dengan COMP serum yang

tinggi tidak memiliki risiko terhadap terjadinya osteoarthritis lumbal

simtomatik daripada wanita pasca menopause defisiensi estrogen dengan

COMP serum yang rendah.

2.! Wanita pasca menopause defisiensi estrogen dengan IL-6 plasma yang

tinggi memiliki risiko lebih tinggi untuk terjadinya osteoarthritis lumbal

simtomatik daripada wanita pasca menopause defisiensi estrogen dengan

IL-6 plasma yang rendah.

3.! Wanita pasca menopause defisiensi estrogen dengan IL-10 plasma yang

rendah tidak memiliki risiko terhadap terjadinya osteoarthritis lumbal

simtomatik daripada wanita pasca menopause defisiensi estrogen dengan

IL-10 plasma yang tinggi.

4.! Wanita pasca menopause defisiensi estrogen dengan rasio kadar IL-6/IL-

10 plasma yang tinggi memiliki risiko lebih tinggi untuk terjadinya

osteoarthritis lumbal simtomatik daripada wanita pasca menopause

defisiensi estrogen dengan rasio kadar IL-6/IL-10 plasma yang rendah.

Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa rasio kadar IL-6/IL-10 plasma

yang tinggi merupakan faktor risiko yang paling kuat terjadinya osteoarthritis

lumbal simtomatik pada wanita pasca menopause defisiensi estrogen

88 !

!

7.2 SARAN

1.!Untuk mengetahui faktor risiko terjadinya inflamasi pada OA lumbal

simtomatik pada wanita pasca menopause dengan defisiensi estrogen,

dapat dilakukan pemeriksaan rasio IL-6/IL-10 plasma untuk mendapatkan

hasil yang akurat.

2.!Dari penelitian ini, pengaruh biomarker COMP yang diambil dari darah

tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kejadian osteoarthritis lumbal

simtomatik wanita pasca menopause defisiensi estrogen. Oleh karena itu

perlu dicarikan biomarker lainnya.

!

!

89!

DAFTAR PUSTAKA

Abbas A.K., Lichtman A.H., Pillai S. 2007. Cytokines. In Cellular and Molecular

immunology 6th edition. Philadelphia, WB Saunders C, p 267 – 301 Abbas A.K., Lichtman A.H., Pillai S. 2007. Effector mechanisms of cell-mediated

immunity. In Cellular and Molecular immunology 6th edition. Philadelphia, WB Saunders C, p 303 – 320

Abramson S.B., Attur M. 2009. Developments in the Sciencetific Understanding of Osteoarthritis. Arthritis Research & Therapy 11 (227). Available from: http://arthritis-research.com/content/11/3/227

Arai K., Misumi K., Carter D., Shinbara S., Fujiki M., Sakamoto H., 2005. Analysis of Cartilage Ologomeric Matrix Protein (COMP) Degradation and Synthesis in Equine Joint Disease. Equine Veterinary Journal, Equine vet.J. 37(1) 31-36.

Bastard J., Jardel C., Delattre J., Hainque B. et al. 1999. Evidence for a Link between Adipose Tissue Interleukin 6 content and serum C - reactive protein Concentrations in Obese Subjects. Circulation 99 (16): 2219-22

Bijur PE., Silver W., Gallagher EJ., 2001. Reliability of the visual analogue scale for measurement of acute pain. Acad Emerg Med, Dec;8(12):1153-7

Bleasel JF, Poole AR, Heinegard D, et al. 1999. Changes in serum cartilage marker levels indicate altered cartilage metabolism in families with the osteoarthritis-related type II collagen gene COL2A1 mutation. Arthritis Rheum. 42:39-45

Bohinski R., Ryan B. 2013. Preparing for lumbal spinal fusion. Mayfield Clinic / University of Cincinnati Department of Neurosurgery, Cincinnati, Ohio. Available from: http://www.mayfieldclinic.com/PE-FusionPreparing.htm

Boonstra AM., Schiphorst HR., Balk GA., Stewart RE. 2014. Cut-off ponts for mild, moderate, and severe pain on the visual analogue scale for pain in patients with musculoskeletal pain. JPain Dec; 155(12):2545-50.

Bullough P. 2004. Spinal arthritis and degenerative disc disease in Orthopaedic Pathology. 4th ed. Mosby. 311-315.

Chandler C.L., Desa, FM. 1991. The effects of estrogens on cartilage degradation using in vivo and in vitro models. Agents Actions, 34(1/2): 282-286

Chen FH, Herndon MF, Patel N, Hecht JT, Tuan RS, LawlerJ. 2007. Interaction Cartilage Oligomeric Protein/thrombospondin 5 with Aggrecan. J Biol Chem. 282: 24591-8

Clair St E.W., 1999. Interleukin 10 treatment for rheumatoid arthritis. Ann Rheum Dis. 58:I99-I102

Clark AG, Jordan JM, Vilim V, Renner JB, Dragomir AD, Luta J, Kraus VB. 1999. Serum Cartilage Oligomeric Matrix ProteinReflect Osteoarthritis Presence and Severity: The Johnston County Osteoarthritis Project. Arthritis Rheum 42:2356-64

!

!

90!

Conrozier T., Saxne T., Shan Sei Fan C., et al. 1998. Serum concentration of cartilage oligomeric matrix protein and bone sialoprotein in hip osteoarthritis: A one-year prospective study. Ann Rheum Dis 57:527-532.

Dragomir A.D., Kraus V.B., Renner J.B., et al. 2002. Serum cartilage oligomeric matrix protein and clinical signs and symptoms of potential pre-radiographic hip and knee pathology. Osteoarthritis and Cartilage 10: 687-691

Dugan T.R., Kang J.D. 2013. The role of inflammation in disc degeneration. In: Sharan A.D., Tang S.Y., Vaccaro A.R., editors. Basic Science of Spinal Diseases. 1st ed. India: Jaypee Brothers Medical Publisher. p. 85-94.

Febbraio M.A., Keogh C.V., Guirao X., Buuman W.A., Kopf M., Lowry S.F. 1997. Interleukin 6 gene deficient mice show impaired defense against pneumococcal pneumonia. J Infect Dis 176 (2): 439-444.

Felson D.T., Zhang Y. 1998. An update on the epidemiology of knee and hip osteoarthritis with a view to prevention. Arthritis Rheum; 41: 1343-55.

Ferguson-Smith A.C., Chen Y.F., Newman M.S., May L.T., Sehgal P.B., Ruddle FH. 1998. Regional localization of the interferon-beta 2/B-cell stimulatory factor 2/hepatocyte stimulating factor gene to human chromosome 7p15-p21.Genomics 2(3): 203-208. 144 (2) : 499-505

Frey-Law L.A., Lee J.E., Wittry A.M., Melyon M., 2013. Pain rating schema: three distinct subgroups of individuals emerge when rating mild, moderate, and severe. Journal of Pain Research: 7;13-23

Fujiwara A. et al. 2000. The Effect of Disc Degeneration and Facet Joint Osteoarthritis on the Segmental Flexibility of the Lumbar Spine. Spine, 25: 3036-3044

Gabay C. 2006. Interleukin-6 and chronic inflammation. Arthritis Res Ther. Available from: URL: http://arthritis-research.com/content/8/S2/S3

Giuliani N, Sansoni P, Girasole G, Vescovini R, Passeri G, Passeri M, Pedrazzaoni M. 2001. Serum Interleukin-6, Soluble Interleukin-6 Receptor and Soluble gp130 Exhibit Different Patterns of Age and Menopause-related Changes. Exp Gerontol 36:547-57.

Goode A.P., Carey T.S., Jordan J.M. 2013. Low back pain and lumbar spine osteoarthritis: how are they related? Curr Rheumatol Rep 15:305.

Goode A.P., Marshall S.W., Kraus V.B., et al. 2012. Association between serum and urine biomarkers and lumbar spine individual radiographic features: the Johnston County Osteoarthritis Project. Osteoarthritis and Cartilage 20: 1286-1293.

Grunhagen T., Wilde G., Soukane D.M., Shirazi-Adi S.A., Urban JPG. 2006. Nutrient supply and intervertebral disc metabolism. JBJS.ORG 88A. Supplement 2:30-35.

Guerne P.A., Carson D., Lotz M. 1990.IL 6 production by human artiular chondrocytes. Modulation of its synthesis by cytokines, growth factors, and hormone in vitro. J Immunol

Halasz K, Kassner A, Morgelin M, Heinegard. 2007. COMP acts as a Catalyst in Collagen Fibrillogenesis. J Biol Chem. 282: 31188-73.

!

!

91!

Hawker AG. Mian S., Kendzerska T., French M., 2011. Measures of Adult Pain. Arthritis Care and Research: American Collage of Rhematology, 63(S11); ppS240-S252

Hess R.A., Bunick D., Lee K.H., Bahr J., Taylor J.A., Korach K.S., Lubahn D.B. 1997. A Role for estrogens in the male reproductive system. Nature 390 (6659): 447-8

Holm S., Mackiewicz, Holm A.K. et al.2009. Pro-inflammatory, Peliotropic, and Anti-inflammatory TNF-α, IL-6, and IL-10 in Experimental Porcine Intervertebral Disk Degeneration. Veterinary Pathology; 46(6)1292-1300

John T et al. 2007. Interleukin-10 modulates pro-apoptotic effects of TNF in human articular chondrocytes in vitro. Cytokine. 40(3): 226-234

Johnson W.E.B., Simon S., Sally R. 2008. The influence of serum, glucose and oxygen on intervertebral disc cell growth in vitro: implications for degenerative disc disease. Arthritis Reseach and Therapy 10:R46.

Jordan JM. 2004. Cartilage Oligomeric Matrix Protein as a Marker of Osteoarthritis. JRheumatol Suppl 70: 45 – 49

Junger S., Ritter B., Lezuo P., Alini M., Ferguson S.J., Ito K. 2009. Effect of limited nutrition on in situ intervertebral disc cells nder simulated-physiological loading. Spine 34(12):1264-1271

Kalichman L., Hunter, D.J. 2007. Lumbar Facet Joint Osteoarthritis: A Review. Semin Arthritis Rheumatology, 37:69-80

Kaneda H., Waddell T.K., Bai X., Gutierrez C., Arenovich T., Chaparro C., Liu M., Keshavjee S., 2006. Pre-Implantation Multiple Cytokine mRNA Expression Analysis of Donor Lung Grafts Predicts Survival after Lung Transplantation in Humans. American Journal of Transplantation, 6: 544-551.

Karnen Gana Barata Widjaja. 2000. Imunologi Dasar. Edisi ke 4. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. P: 93-104.

Keller E.T., Wanagat J., Ershler W.B. 1996. Molecular and cellular biology of Interleukin-6 and its receptor. Frontiers in Bioscience 1, d340-357, December 1, 1996. Is available from: http://www.bioscience.org/1996/v1/d/keller2/htmls/340-357.htm

Kresno S.B., 2001. Imunologi: Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Edisi ke 4. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, p: 63-68

Lohmander L.S., Saxne T., Heinegard D.K., 1994. Release of Cartilage Oligomeric Matrix Protein (COMP) into Joint Fluid after Knee Injury and in Osteoarthritis. Annals of the Rheumatic Disease; 53:8-13.

Loksley R.M., Killeen N., Leonardo M.J. 2001. The TNF and TNF receptor superfamilies: integrating mammalian biology. Cell 104 (4):487-501

Lotz M, Guerne PA. 1991. Interleukin-6 Induces the Synthesis of Tissue Inhibitor of Metalloproteinases-1/Erythroid Potentiating Activity (TIMP-1/EPA). J Biol Chem 266: 2017-20.

Maggio M, Guralnik JM, Longo DL, Ferrucci L. 2006. Interleukin-6 in Aging and Chronic Disease: A Magnificent Pathway. J Gerontol A Biol Sci Med Sci 61(6): 575-584.

!

!

92!

Mannion F.A., Balague F., Pellise F., Cedraschi C. 2007. Pain Measurement in Patients with Low Back Pain. Rheumatology. 3(11):610-618.

Martin M., Boxell C., Malone D. 2002. Pathophysiology of lumbar disc degeneration: a review of the literature. Neurosurg Focus 13(2):1-6.

Mello R.D., Dickenson A.H., 2008. Spinal Cord Mechanisms of Pain. British Journal of Anesthesia, 101 (1): 8-16

Melrose J., Smith S.M., Little C.B., Moore R.J., Vernon-Robert B., Fraser R.D. 2008. Recent advamces in annular pathobiology provide insights into rim-lesion mediated intervertebral disc degeneration and potential new approaches to annular repair strategies. Eur Spine J 17:1131-1148

Mobasheri A, Henrotin Y. 2011. Biomarkers of Osteoarthritis: A Review of recent Research Progresson Soluble Biochemical Markers, Published Patents and Areas for Future Development. Recent Patents on Biomarkers (1): 25-43

Mundy G.R. 1995. Bone remodeling and its disorders. Martin Dunitz Ltd. P: 172-207

Neidhart M., Hauser N., Paulsson M., Dicesare P.E., Michel B.A., Hauselmann H.J., 1997. Small Fragments of Cartilage Oligomeric Matrix Protein in Synovial Fluid and Serum as Markers for Cartilage Degradation. British Journal of Rheumatology, Switzerland, 36:1151-1160

Nelson L.R., Bulun S.E. 2001. Estrogen production and action. J Am Acad Dermatol 445 (3 Suppl): S116-24

Nilesh B.P., 2010. Physiology of Pain. Guide to Pain Management in Low-Resource Settings.International Association for the Study of Pain,(3);13-17

Oppenheim JJ, Ruscetti FW, Flatynek CR. Cytokines in tites DP, Terr AI (Eds). Basic and clinical immunology 7th ed. Norwalk Connecticut, Appleton & Lange, 1991; 78-100

Parsadaniantz S.M., Rivat C., Goazigo A.R., 2015. Potensial sites of Crosstalk between Chemokine and Opioid Receptors in Nociceptive Pathways: a Promising Target for Pain Therapy. Nature Reviews Neuroscience. 16, 69-78.

Punzi L., Oliviero F., Ramonda R. 2010. New horizons in osteoarthritis. Swiss Med Wkly 140: w13098.

Richette P., Corvol M., BardinT. 2003. Estrogen, cartilage, and osteoarthritis. Joint Bone spine; 70; 257-262

Roitt I., Brostoff J., Male D. 1998. Cell-Mediated Immune Reactions. In: Immunology, 5th. Ed. Mosby, London, p: 121-123.

Rosner I.A., GoldbergV.M. Getzy L., Moskowitz R.W. 1979. Effects of estrogen on cartilage and experimentally induced osteoarthritis. Arthritis Rheum, 22(1):52-60

Ryan K.J. 1982. Biochemistry of aromatase: significance to female reproductive physiology. Cancer Res 42 (8 Suppl): 3342s-3344s

Samanta A., Jones A., Regan M., Wilson S., Doherty M. 1993. Is Osteoarthritis in women affected by hormonal changes or smoking? Br J Rheumatol; 32 (5):366-70

!

!

93!

Sharif M, Kirwan JR, Elson CJ, Granell R, Clarke S. 2004. Suggestion of nonlinear or phasic progression of knee osteoarthritis based on measurements of serum cartilage oligomeric matrix protein levels over five years. Arthritis Rheum. 50:2479-88.

Slikker III W. Howard S. An. 2013. Pathophysiology of Disc Degeneration. In: Sharan A.D., Tang S.Y., Vaccaro A.R., editors. Basic Science of Spinal Diseases. 1st ed. India: Jaypee Brothers Medical Publisher. p. 73-79.

Sniekers Y.H., Weinans H., van Osch G. JVM. Van Leeuwen J. PTM. 2010. Oestrogen is important for maintenance of cartilage and subchondral bone in a murine model of knee osteoarthritis. Arthritis Research & Therapy. [Cited 2010 January 19]. Available from: URL: http://arthritis-research.com/content/12/5/R182

Soderlin M.K., Kastbom A., Kautlainen H., Repo M.L., Stranberg, Skogh T., 2004. Antibodies against Cyclic Citrullinated Peptide (CCP) and Levels of Cartilage Oligomeric Matrix Protein (COMP) in Very Early Arthritis: Relation to Diagnosis and Disease Activity. Scandinavian Journal of Rheumatology, (33):3; pp 185-188.

Solomon L., Warwick D., Nayagam S. 2010. Appley’s System of Orthopaedics and Fractures 9 edition

Suyasa IK., Setiawan IGNY., 2016. The role of aging, body mass index and estrogen on symptomatic lumbar osteoarthritis in post-menopausal women. International Journal of Research in Medical Sciences. Int J Res Med Sci: 4(5):1-4

Svensson C.I., 2010. Interleukin-6: a Local Pain Trigger? Arthritis Research & Therapy, Biomed Central Ltd, Sweden; 12:145.

Tsai C.L., Liu T.K. 1992. Osteoarthritis in women: its relationship to estrogen and current trends. Life Sci; 50: 1737-44

Tseng S., Hari Reddi H., Di Cesare PE. 2009. Cartilage Oligomeric Matrix Protein (COMP): A Biomarker of Arthritis. Biomarker Insights 4: 33-34.

Urban J. and Roberts S. 2003. Review: Degeneration of the intervertebral disc. Arthritis Research & Therapy 5(3); 120-130.

Urban J., Roberts S., Ralphs J. 2000. The nucleus of intervertebral disc from development to degeneration. American Zoology J 40:53-61.

Ushiyama T., Ueyama H., Inoue K., Ohkubo J., Hukuda S. 1999. Expression of genes for estrogen receptors α and β in human articular chondrocytes. Osteoarthritis cartilage; 7:560-566.

Valdes A. M. 2010. Molecular pathogenesis and genetics of osteoarthritis: implications for personalized medicine. Personalized Medicine. 7: 49-63.

Vilim V, Vytasek R Olejarova M, Machacek S, Gatterova J, Prochazka B, Kraus VB, Pavelka K. 2001. Serum cartilage oligomeric matrix protein reflect the presence of clinically diagnosed synovitis in patients with knee osteoarthritis. Osteoarthritis Cartilage. 9:612-8.

Wang Y., Lou S. 2001. Direct protective effect of interleukin-10 on articular chondrocytes in vitro. Chinese Medical Journal. 114(7) : 723-725.

!

!

94!

Watkins L.R., Maier S.F., Goehler L.E., 1995. Immune Activation: The Role of Pro-Inflammatory Cytokines in Inflammation, Illness Reponses and Pathological Pain States. Pain:Elsevier Science, 63:289-302.

Weber K. T., Alipui D. O., et al. 2016. Serum levels of the proinflammatory cytokine interleukin-6 vary based on diagnoses in individuals with lumbar intervertebral disc diseases. Arthritis Research & Therapy. 18(1), 3. Available from: URL: http://doi.org/10/1186/s13075-015-0887-8

Wluka A.E., Cicuttini F.M., Spector T.D. 2000. Menopause, oestrogen and arthritis. Maturitas, 30:183-199.

Wojdasiewicz P., Poniatowski L.A., Szukiewicz D., 2014. The Role of Inflammatory and Anti-Inflammatory Cytokines in the Pathogenesis of Osteoarthritis: Review Article. Hindawi Publishing Corporation Mediators of Inflammation, pp 1-20.

Wollheim FA, Eberhardt KB, Johnson U, Saxne T. 1997. HLA DRB1* typing and cartilage oligomeric matrix protein (COMP) as predictors of joint destruction in recent-onset rheumatoid arthritis. Br J Rheumatol. 36:847-9.

Wong D.A., Transfeldt E. 2007. Macnab’s Backache. Fourth Edition. Philadelphia: Lippincot Williams & Wilkins. p. 166-224.

Yuan G, Masuko – Hongo K, Kato T, Nishioka. 2003. Immunologic intervention in the pathogenesis of osteoarthritis. Arthritis & Rheumatism 48 (3): 602-611

!

!

95!

LAMPIRAN 1

PENJELASAN PERSETUJUAN PENELITIAN

Judul: KADAR CARTILAGE OLIGOMERIC MATRIX PROTEIN SERUM, INTERLEUKIN - 6 PLASMA YANG TINGGI DAN INTERLEUKIN - 10

PLASMA YANG RENDAH MERUPAKAN FAKTOR RISIKO TERJADINYA OSTEOARTHRITIS LUMBAL SIMTOMATIK PADA PENDERITA WANITA

PASCA MENOPAUSE DEFISIENSI ESTROGEN

Peneliti utama: dr. I Ketut Suyasa, Sp B., Sp OT (K) Spine

Latar belakang penelitian:

Nyeri pinggang bawah merupakan keluhan yang sering ditemukan pada

usia tua karena proses degenerasi. Proses degenerasi pada tulang belakang

terutama didaerah lumbal disebut osteoarthritis (OA) lumbal. Berbagai faktor

diduga menjadi penyebab terjadinya nyeri pinggang bawah, di antaranya adalah

perubahan hormonal yang sering terjadi pada wanita tua, termasuk perubahan

hormon estrogen.

Menurunnya kadar estrogen terdapat pada wanita menopause. Menopause

adalah proses berhentinya menstruasi akibat berkurangnya produksi hormon

estrogen pada wanita. Proses dan kerja organ tubuh akan mengalami perubahan

seiring dengan bertambahnya usia. Sendi menjadi kaku dan menimbulkan rasa

nyeri.

96 !

!

Regio lumbal adalah bagian bawah dari susunan tulang belakang. Oleh karena

posisinya paling banyak menahan beban mekanik, regio ini paling mudah dan

cepat mengalami degenerasi. Degenerasi pada facet joint akan dapat

menyebabkan peningkatan kadar COMP dalam cairan sendi maupun dalam serum

darah.

Perubahan degenerasi seperti tersebut di atas, juga dapat disebabkan oleh

karena defisiensi estrogen. Ada beberapa studi melaporkan adanya pengaruh

hormon terhadap terjadinya osteoarthritis. Perubahan hormonal yang terjadi

selama menopause akan mempengaruhi terjadinya osteoarthritis.

Peningkatan IL-6 juga akan memfasilitasi proses degenerasi dan

menstimulasi pembentukan prekursor osteoklas menyebabkan peningkatan

resorpsi tulang.

Interleukin-10 yang sebelumnya dikenal sebagai cytokine synthesis inhibitory

factor dikenal juga sebagai anti inflamasi dan sitokin imunosupresif.

Osteoarthritis lumbal secara radiologis ditandai dengan penyempitan

diskus intervertebralis, terbentuknya osteofit dan degenerasi pada facet joint tidak

semuanya menimbulkan nyeri pinggang. Osteoarthritis lumbal yang disertai nyeri

pinggang disebut Simtomatik osteoarthritis lumbal.

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memperkaya pengetahuan tentang

peran COMP, IL-6 dan IL-10 yang berisiko terhadap terjadinya Osteoarthritis

Lumbal Simtomatik pada wanita pasca menopause defisiensi estrogen, dan

diharapkan secara dini prediksi, pencegahan dan penatalaksanaannya dapat

diketahui.

97 !

!

Pada penelitian ini dibagi dalam 2 fase, pada fase 1 dibutuhkan 196 sampel

untuk diperiksa kadar estradiolnya untuk mendapatkan wanita pasca menopause

defisiensi estrogen (≤ 40pg/ml) dengan cara melakukan pengambilan serum darah

sebanyak 3 cc dan dimasukkan ke dalam tabung tanpa antikoagulan. Setelah

mendapatkan sampel wanita pasca menopause defisiensi estrogen, dilakukan

pemeriksaan x-ray lumbosacral 3 posisi (AP/Lateral dan Oblique). Dari hasil

pemeriksaan x-ray lumbosacral yang terdiagnosis OA lumbal, diambil 88 sampel

dan dibagi dalam 2 kelompok yang masing-masing terdiri dari 44 orang.

Kelompok kasus merupakan wanita pasca menopause defisiensi estrogen dengan

OA lumbal dengan nyeri pinggang dan kelompok kontrol merupakan wanita pasca

menopause defisiensi estrogen dengan OA lumbal tanpa nyeri pinggang. Pada

kelompok kasus dan kelompok kontrol dilakukan pemeriksaan laboratorium,

diambil sampel darahnya sebanyak 10 cc yang akan dibagi kedalam 3 tabung,

tabung I mengandung EDTA sebanyak 3 cc serum darah, tabung II mengandung

heparin sebanyak 4 cc serum darah dan tabung III tanpa antikoagulan sebanyak 3

cc serum darah. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan darah lengkap, laju endap

darah, C-reactive protein, interleukin-6, interleukin-10 dan COMP.

Pengambilan dilakukan di rumah sakit pada saat Ibu diperiksa oleh dokter

yang merawat. Risiko yang mungkin terjadi selama pengambilan darah adalah

nyeri ringan, perdarahan di bawah kulit atau tidak sadar karena faktor psikologis.

Penanganan untuk kemungkinan risiko yang terjadi selama pengambilan darah

telah disiapkan oleh dokter dan paramedis. Peserta penelitian tidak dibebani biaya

untuk proses x-ray lumbosacral dan pengambilan serta pemeriksaan darah ini.

98 !

!

Kami sangat berterima kasih apabila ibu berkenan berpartisipasi dalam

penelitian ini serta dapat berpartisipasi dalam penelitian ini. Ibu tidak dipaksa

untuk ikut berpartisipasi dalam penelitian ini serta dapat mengundurkan diri dari

penelitian ini kapan saja tanpa syarat atau sanksi apapun. Kami menjamin bahwa

bahan dan data yang kami peroleh tidak akan digunakan untuk kepentingan lain

dan terjaga kerahasiaannya. Data ini mungkin dipublikasikan tanpa

mencantumkan identitas Ibu.

Bila masih ada hal-hal lain yang perlu ditanyakan, Ibu dapat menghubungi

dokter I Ketut Suyasa, di Sub bagian Orthopaedi & Traumatologi RSUP Sanglah,

Jalan Pulau Bali, Denpasar. Nomor telepon yang dapat dihubungi adalah

081558724088. Bersamaan ini kami sertakan formulir persetujuan untuk

mengikuti penelitian

99 !

!

LAMPIRAN 2

SURAT PERSETUJUAN PESERTA DALAM PENELITIAN

Yang Bertanda tangan di bawah ini:

Nama : ……………………………………………………………………

Umur : ……………………………………………………………………

Jenis kelamin : ………………………………………………………………

Pekerjaan : ……………………………………………………………………

Alamat : ……………………………………………………………………

No. KTP : ……………………………………………………………………

Tlp/Hp no : ……………………………………………………………………

Setelah mendapat penjelasan yang cukup serta memahami dan menyadari manfaat dan risiko penelitian yang berjudul:

KADAR COMP, IL-6 YANG TINGGI DAN IL- 10 YANG RENDAH MERUPAKAN FAKTOR RISIKO TERJADINYA SIMTOMATIK

OSTEOARTHRITIS LUMBAL PADA PENDERITA WANITA PASCA MENOPAUSE DEFISIENSI ESTROGEN

Dengan sukarela menyetujui diikutsertakan dalam penelitian di atas dan mengikuti berbagai prosedur pemeriksaan seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. Saya tidak keberatan bila kemudian bahan-bahan tersebut beserta hasilnya menjadi bagian dari Laboratorium/SMF Orthopaedi dan Traumatologi RSUP Sanglah Denpasar, guna kepentingan ilmu pengetahuan. Saya juga mematuhi segala ketentuan – ketentuan penelitian yang sudah saya pahami, dengan catatan apabila suatu waktu merasa dirugikan dalam bentuk apapun, berhak membatalkan persetujuan ini. Denpasar, 2015 Mengetahui: Yang menyetujui, Penanggug jawab penelitian Peserta penelitian, (dr. I Ketut Suyasa,SpB.,SpOT(K)) (…………………………….) Saksi pihak peneliti Saksi pihak peserta penelitian (…………………………) (……………………………)

100 !

!

LAMPIRAN 3

KUESIONER PENELITIAN

KADAR COMP, IL-6 YANG TINGGI DAN IL-10 YANG RENDAH

MERUPAKAN FAKTOR RISIKO TERJADINYA OSTEOARTHRITIS LUMBAL SIMTOMATIKIS PADA

PENDERITA WANITA PASCA MENOPAUSE

IDENTITAS

1.! NAMA LENGKAP :

2.! TEMPAT/TGL LAHIR :

3.! NO. CM :

4.! NO TELP/ HP :

5.! ALAMAT :

RIWAYAT PENYAKIT

1. ANAMNESIS

A. NYERI PINGGANG BAWAH

a. YA 1. Sejak : < 6 bulan

Sejak : > 6 bulan

2. MECHANICAL PAIN : + / -

3. NON-MECHANICAL PAIN : + / -

b. TIDAK

B. NYERI RADIKULER

a. YA 1. SISI KANAN + / -

2. SISI KIRI + / -

3. BILATERAL + / -

101 !

!

b. TIDAK

C. SKALA NYERI

VAS

D. LAMA MENOPAUSE : tahun

2. RIWAYAT PENYAKIT DAN PENGOBATAN SEBELUMNYA

1.!Menderita infeksi (akut atau kronis)

a. Ya , sejak

b. Tidak

2.!Operasi pengangkatan indung telur / Rahim /

a. Ya , kapan?

b. Tidak

3. Mengkonsumsi obat-obatan hormonal / terapi sulih hormone /

pemakaian pil KB / suntik

a. Ya , nama obat

b. Tidak

4. Mengkonsumsi obat-obat kortikosteroid ± 6 bulan

a. Ya , sejak nama obat

b. Tidak

5. Menderita penyakit malignancy / keganasan

a. Ya, sebutkan

b. Tidak

6. Mengalami trauma tulang belakang

a. Ya, sebutkan

b. Tidak

102 !

!

STATUS FISIK DAN DATA ANTROPOMETRI

1.! Tinggi Badan : cm

2.! Berat Badan : kg

3.! BMI / IMT :

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

A.! Kadar estrogen / estradiol pg/mL

B.! LED

a.!LED I mm

b.!LED II mm

C.! CRP

D.! Pemeriksaan darah rutin

1.! WBC 103/µL

2.! Haemoglobin g/dl

3.! Diff Count

a.!Neutrofil 103/µL

b.!Basofil 103/µL

c.!Eosinofil 103/µL

d.!Monosit 103/µL

e.!Lymphosit 103/µL

E.! Pemeriksaan sitokin

a.! IL-6 :

b.! Il-10 :

c.! COMP :

PEMERIKSAAN RADIOLOGI

I. X-RAY LUMBAL

A. OA LUMBAL (+)

a. Berkurangnya disc space + / -

b. Vertebral Osteophyte + / -

c. Cartilage defect + / -

103 !

!

LAMPIRAN 4 : PROTOKOL PENELITIAN

1.! Pada penderita pasca menopause dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik

dan pemeriksaan kadar estrogen, untuk menentukan lamanya menopause

dan menentukan apakah yang bersangkutan mengalami defisiensi estrogen

atau tidak.

2.! Pada penderita pasca menopause defisiensi estrogen dilakukan

pemeriksaan X- Ray lumbosacral AP/Lateral/Oblique untuk menentukan

adanya OA lumbal yang ditandai dengan vertebral osteofit, penyempitan

diskus interverbralis dan adanya destruksi pada facet joint.

3.! Jika memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi

dilanjutkan dengan pengukuran index massa tubuh selanjutnya dilanjutkan

ke no. 4.

4.! Dilakukan pemeriksaan darah berupa darah lengkap untuk mengetahui

adanya leukositosis, laju endap darah dan C-reactive protein untuk

mengetahui adanya tanda infeksi kronis. Jika ada tanda – tanda infeksi

kronis pemeriksaan tidak dilanjutkan lagi.

5.! Jika pada pemeriksaan darah lengkap, tidak dijumpai adanya leukositosis

dan tidak ada peningkatan laju endap darah sebagai petanda infeksi,

lanjutkan ke no 6.

6.! Apabila diperoleh satu kasus dicarikan pasangannya sesuai jumlah sampel

yang ditentukan, kemudian baru dilakukan pemeriksaan kadar COMP, IL-

6 dan IL-10.

104 !

!

LAMPIRAN 5: PEMERIKSAAN INTERLEUKIN – 6

REAGEN

1.!IL-6 microplate (Item A): 96 wells (12 strips x 8 wells) dilapisi dengan

anti-human IL-6

2.!Wash Buffer Concentrate (20x) (Item B): 25 ml untuk 20x concentrated

solution

3.!Standar (Item C): 2 vial, recombinant human IL-6

4.!Assay Diluent A (Item D): 30 ml, 0,09% sodium azide sebagai pengawet.

Untuk pengencer standar/sampel (serum/plasma).

5.!Assay Diluent B (Item E): 15 ml untuk 5x concentrated buffer. Untuk

pengencer standar/sampel (supernatan dari kultur sel).

6.!Deteksi Antibodi IL-6 (Item F): 2 vial biotinylated anti-human IL-6

(masing-masing vial cukup untuk analisa setengah microplate).

7.!Konsentrat HRP - Streptavidin (Item G): 200 µl 600x HRP-conjugated

streptavidin pekat.

8.!Reagen TMB One-Step Substrate (Item H): 12 ml untuk 3,3’,5,5’-

tetramethylbenzidine (TMB) dalam larutan buffer.

9.!Stop Solution (Item I): 8 ml untuk 0.2 M asam sulfat.

PENYIMPANAN

Bisa disimpan sampai dengan 6 bulan pada suhu 2°C sampai 8°C dari tanggal

pengiriman. Standar (protein rekombinan) sebaiknya disimpan pada suhu -20°C

atau -80°C (direkomendasikan pada suhu -80°C) setelah reconstitution.

Microplate Wells atau reagen yang sudah dibuka bisa disimpan sampai dengan 1

105 !

!

bulan pada suhu 2°C sampai 8°C. Wells yang sudah tidak dipakai dikembalikan ke

dalam wadahnya yang mengandung dessicant pack, dan ditutup dengan rapat.

Catatan: Kit ini bisa digunakan dalam durasi waktu satu tahun jika seluruh kit

disimpan dalam suhu -20°C. Hindari siklus beku-cair yang berulang.

MATERI TAMBAHAN

1.! Pembaca microplate yang mampu mengukur absorbance pada 450 nm.

2.! Pipet yang presisi untuk membawa 2 µl dalam volume 1 ml.

3.! Pipet 1-25 ml yang dapat diatur untuk persiapan reagen

4.! Silinder yang terbagi-bagi dalam 100 ml dan 1liter

5.! Kertas absorben

6.! Air distilasi atau deionized

7.! Kertas log grafik atau komputer dan program untuk menganalisa data

ELISA

8.! Tube untuk persiapan pengenceran standar atau sampel

PERSIAPAN REAGEN

1.!Tempatkan semua reagen dan sampel pada suhu ruangan (18°C - 25°C)

sebelum digunakan.

2.!Pengenceran sampel: jika sampel perlu diencerkan, Assay Diluent A (Item

D) sebaiknya digunakan untuk pengenceran dari sampel serum/plasma. 1x

Assay Diluent B (Item E), sebaiknya digunakan untuk pengenceran dari

kultur supernatan. Disarankan pengenceran untuk serum/plasma normal: 2

106 !

!

kali. Harap dicatat bahwa level dari target protein bisa jadi berbeda di

antara beberapa spesimen yang berbeda. Faktor pengenceran yang optimal

untuk masing-masing sampel seharusnya ditentukan oleh peneliti.

3.!Assay Diluent B sebaiknya diencerkan 5 kali dengan air deionized atau

distilasi.

4.!Putar secara perlahan vial dari Item C dan tambahkan 500 µl Assay

Diluent A (untuk sampel serum/plasma) atau 1x Assay Diluent B (untuk

medium kultur sel dan urin) ke dalam vial Item C untuk mempersiapkan

12,000 pg/ml standar. Larutkan serbuk secara merata dengan mengaduk

secara perlahan. Tambahkan 40 µl IL-6 standar dari vial Item C, ke dalam

tabung dengan 440 µl Assay Diluent A atau 1x Assay Diluent B untuk

mempersiapkan stok solusi standar 150 pg/ml. Pipet 300 mikroliter Assay

Diluent A atau 1x Assay Diluent B ke dalam masing-masing tabung.

Gunakan solusi standar 1000 pg/mluntuk menghasilkan sebuah dilution

series (seperti terlihat di bawah). Campur masing-masing tabung secara

merata sebelum selanjutnya dipindahkan. Assay Diluent A atau 1x Assay

Diluent B digunakan sebagai standar nol (0 pg/ml).

107 !

!

Gambar 1. Dilution Series pada Persiapan Reagen IL-6

5.!Jika wash concentrate (20x) (Item B) tampak mengandung kristal,

hangatkan dalam temperatur ruangan dan campur secara perlahan hingga

tercampur rata. Encerkan 20 ml Wash Buffer Concentrate ke dalam air

deionized atau distilled untuk menghasilkan 400 ml dari 1x Wash Buffer.

6.!Putar secara perlahan vial Detection Antibody (Item F) sebelum

digunakan. Tambahkan 100 µl dari 1x Assay Diluent B ke dalam vial

untuk mempersiapkan konsentrat antibody detection. Pipet ke atas dan

bawah untuk mencampur secara perlahan (konsentrat bisa disimpan pada

suhu 4°C selama 5 hari). Konsentrat Detection Antibody sebaiknya

diencerkan 80 kali dengan 1x Assay Diluent B dan digunakan pada tahap 4

dari bagian VI Assay Procedure.

7.! Putar secara perlahan vial konsentrat HRP-Streptavidin (Item G) dan pipet

keatas dan bawah untuk mencampur secara perlahan sebelum digunakan.

Konsentrat HRP-Streptavidin sebaiknya diencerkan 600 kali dengan 1x

Assay Diluent B.

1000 333.3 111.1 37.04 12.35 4.12 1.37 0 pg/ml pg/ml pg/ml pg/ml pg/ml pg/ml pg/ml pg/ml

!!!!!!!!40 µlstandard +440µl200µl200µl 200µl200µl200µl200µl

108 !

!

PROSEDUR ASSAY:

1.!Simpan semua reagen dan sampel pada suhu kamar (18°C - 25°C) sebelum

digunakan. Disarankan agar semua standar dan sampel dikerjakan

setidaknya dalam rangkap dua.

2.!Tambahkan 100 µl dari masing-masing standar (lihat langkah – langkah

persiapan reagen) dan sampel ke dalam wells yang sesuai. Tutup wells

dengan baik dan inkubasi selama 2,5 jam pada suhu kamar atau 4°C

selama semalaman dengan digoyang perlahan.

3.!Buang solusi dan cuci 4 kali dengan menggunakan 1x Wash Solution. Cuci

dengan mengisi masing-masing Well dengan wash buffer (300 µl) dengan

menggunakan pipet multi channel atau pencuci otomatis. Pembersihan

cairan yang menyeluruh pada setiap tahapannya sangat penting untuk

mencapai hasil yang maksimal. Setelah pencucian berakhir bersihkan wash

bufffer yang tertinggal dengan cara di aspirasi atau dibilas. Bersihkan

lempengan dengan kertas tissue yang bersih.

4.!Tambahkan 100 µl dari 1x prepared biotinylated antibody (persiapan

reagen seperti pada langkah 6) untuk masing-masing Well. Inkubasi

selama 1 jam pada suhu kamar dengan digoyang perlahan.

5.!Buang solusinya. Ulangi mencuci seperti pada langkah 3.

6.!Tambahkan 100 µl larutan Streptavidin (lihat Reagent Persiapan langkah

7) ke masing-masing Well. Inkubasi selama 45 menit pada suhu kamar

dengan digoyang perlahan.

7.!Buang solusinya. Ulangi mencuci seperti pada langkah 3.

109 !

!

8.!Tambahkan 100 µl dari TMB One-Step Substrat Reagen (Item H) ke

masing-masing. Inkubasi selama 30 menit pada suhu kamar yang gelap

dengan digoyang perlahan.

9.!Tambah 50 µl Stop Solution (Item I) untuk masing-masing Well. Segera

dibaca pada 450nm.

RINGKASAN PROSEDUR ASSAY

1. Siapkan semua reagen, sampel dan standar seperti yang diinstruksikan.

2. Tambahkan standar 100 µl atau sampel untuk masing-masing Well.

Inkubasi 2,5 jam pada suhu kamar atau semalaman dengan 4oC.

3. Tambahkan 100 µl biotin antibody yang sudah disiapkan untuk masing-

masing Well. Inkubasi 1 jam pada suhu kamar.

4. Tambahkan 100 µl solusi Streptavidin yang sudah disiapkan. Inkubasi 45

menit pada suhu kamar.

5. Tambahkan 100 µl TMB One-Step Substrat Reagen untuk masing-masing

Well.Inkubasi 30 menit pada suhu kamar.

6. Tambahkan 5 µl Stop Solution dengan baik pada masing-masing Well.

Segera baca di 450 nm.

110 !

!

LAMPIRAN 6: PEMERIKSAAN INTERLEUKIN – 10

REAGEN

1.! IL-10 microplate (Item A): 96 wells (12 strips x 8 well) dilapisi dengan

anti-human IL-10

2.! Wash Buffer Concentrate (20x) (Item B): 25 ml untuk 20x concentrated

solution

3.! Standar (Item C): 2 vial, recombinant human IL-10

4.! Assay Diluent A (Item D): 30 ml, 0,09% sodium azide sebagai pengawet.

Untuk pengencer standar/sampel (serum/plasma).

5.! Assay Diluent B (Item E): 15 ml untuk 5x concentrated buffer. Untuk

pengencer standar/sampel (supernatan dari kultur sel).

6.! Deteksi Antibody IL-10 (Item F): 2 vial biotinylated anti-human IL-10

(masing-masing vial cukup untuk analisas setengah microplate).

7.! Konsentrat HRP - Streptavidin (Item G): 200 microliter 200x HRP-

conjugated streptavidin pekat.

8.! Reagen TMB One-Step Substrate (Item H): 12 ml untuk 3,3’,5,5’-

tetramethyl benzidine (TMB) dalam larutan buffer.

9.! Stop Solution (Item I): 8 ml untuk 0.2 M asam sulfat.

PENYIMPANAN

Bisa disimpan sampai dengan 6 bulan pada suhu 2°C sampai 8°C dari tanggal

pengiriman. Standard (protein rekombinan) sebaiknya disimpan pada suhu -20°C

atau -80°C (direkomendasikan pada suhu -80°C) setelah reconstitution.

Microplate Wells atau reagen yang sudah dibuka bisa disimpan sampai dengan 1

111 !

!

bulan pada suhu 2°C sampai 8°C. Wells yang sudah tidak dipakai dikembalikan ke

dalam wadahnya yang mengandung dessicant pack, dan ditutup dengan rapat.

Catatan: Kit ini bisa digunakan dalam durasi waktu satu tahun jika seluruh kit

disimpan dalam suhu -20°C. Hindari siklus beku-cair yang berulang.

MATERI TAMBAHAN

1.! Pembaca microplate yang mampu mengukur absorbance pada 450 nm.

2.! Pipet yang presisi untuk membawa 2 µl dalam volume 1 ml.

3.! Pipet 1-25 ml yang dapat diatur untuk persiapan reagen

4.! Silinder yang terbagi-bagi dalam 100 ml dan 1liter

5.! Kertas absorben

6.! Air distilasi atau deionized

7.! Kertas log grafik atau komputer dan program untuk menganalisa data

ELISA

8.! Tube untuk persiapan pengenceran standar atau sampel

PERSIAPAN REAGEN

1.!Tempatkan semua reagen dan sampel pada suhu ruangan (18°C - 25°C)

sebelum digunakan

2.!Pengenceran sampel: jika sampel perlu diencerkan, Assay Diluent A (Item

D) sebaiknya digunakan untuk pengenceran dari sampel serum/plasma. 1x

Assay Diluent B (Item E), sebaiknya digunakan untuk pengenceran dari

kultur supernatan. Disarankan pengenceran untuk serum/plasma normal: 2

112 !

!

kali. Harap dicatat bahwa level dari target protein bisa jadi berbeda di

antara beberapa spesimen yang berbeda. Faktor pengenceran yang optimal

untuk masing-masing sampel seharusnya ditentukan oleh peneliti.

3.!Assay Diluent B sebaiknya diencerkan 5 kali dengan air deionized atau

distilasi.

4.!Persiapan dari Standard: Putar secara perlahan vial dari Item C dan

tambahkan 400 mikroliter Assay Diluent A (untuk sampel serum/plasma)

atau 1x Assay Diluent B (untuk medium kultur sel dan urin) ke dalam vial

Item C untuk mempersiapkan 22 ng/ml Standard. Larutkan serbuk secara

merata dengan mengaduk secara perlahan. Tambahkan 5 mikroliter IL-10

Standard dari vial Item C, ke dalam tabung dengan 728.3 mikroliter Assay

Diluent A atau 1x Assay Diluent B untuk mempersiapkan stok solusi

standard 150 pg/ml. Pipet 300 mikroliter Assay Diluent A atau1x Assay

Diluent B ke dalam masing-masing tabung. Gunakan stok solusi standar

untuk menghasilkan sebuah dilution series (seperti terlihat di bawah).

Campur masing-masing tabung secara merata sebelum selanjutnya

dipindahkan. Assay Diluent A atau 1x Assay Diluent B digunakan sebagai

standar nol (0 pg/ml).

113 !

!

Gambar 2. Dilution Series pada Persiapan Reagen IL-10

5.!Jika wash concentrate (20x) (Item B) tampak mengandung kristal,

hangatkan dalamtemperatur ruangan dan campur secara perlahan hingga

tercampur rata. Encerkan 20 ml Wash Buffer Concentrate ke dalam air

deionized atau distilled untuk menghasilkan 400 ml dari 1x Wash Buffer.

6.!Putar secara perlahan vial Detection Antibody (Item F) sebelum

digunakan. Tambahkan 100 mikroliter dari 1x Assay Diluent B ke dalam

vial untuk mempersiapkan konsentrat antibody detection. Pipet keatas dan

bawah untuk mencampur secara perlahan (konsentrat bisa disimpan pada

suhu 4 ˚C selama 5 hari). Konsentrat Detection Antibody sebaiknya

diencerkan 80 kali dengan 1x Assay Diluent B dan digunakan pada tahap 4

dari bagian VI Assay Procedure.

7.!Putar secara perlahan vial konsentrat HRP-Streptavidin (Item G) dan pipet

keatas dan bawah untuk mencampur secara perlahan sebelum digunakan.

150 75 37.5 18.75 9.38 4.69 2.34 0 pg/ml pg/ml pg/ml pg/ml pg/ml pg/ml pg/ml pg/ml

5µlstandard+ 728.3µl 300µl 300µl 300µl 300µl 300µl 300µl

114 !

!

Konsentrat HRP-Streptavidin sebaiknya diencerkan 200 kali dengan 1x

Assay Diluent B

PROSEDUR ASSAY:

1.!Simpan semua reagen dan sampel pada suhu kamar (18°C - 25°C) sebelum

digunakan. Disarankan agar semua standar dan sampel dikerjakan

setidaknya dalam rangkap dua.

2.!Tambahkan 100 µl dari masing-masing standar (lihat langkah – langkah

persiapan reagen) dan sampel ke dalam wells yang sesuai. Tutup well

dengan baik dan inkubasi selama 2,5 jam pada suhu kamar atau 4°C

selama semalaman dengan digoyang perlahan.

3.!Buang solusi dan cuci 4 kali dengan menggunakan 1x Wash Solution. Cuci

dengan mengisi masing-masing Well dengan wash buffer (300 µl) dengan

menggunakan pipet multi channel atau pencuci otomatis. Pembersihan

cairan yang menyeluruh pada setiap tahapannya sangat penting untuk

mencapai hasil yang maksimal. Setelah pencucian berakhir bersihkan wash

bufffer yang tertinggal dengan cara di aspirasi atau dibilas. Bersihkan

lempengan dengan kertas tissue yang bersih.

4.!Tambahkan 100 µl dari 1x prepared biotinylated antibody (persiapan

reagen seperti pada langkah 6) untuk masing-masing Well. Inkubasi

selama 1 jam pada suhu kamar dengan digoyang perlahan.

5.!Buang solution-nya. Ulangi mencuci seperti pada langkah 3.

115 !

!

6.!Tambahkan 100 µl larutan Streptavidin (lihat Reagent Persiapan langkah

7) ke masing-masing Well. Inkubasi selama 45 menit pada suhu kamar

dengan digoyang perlahan.

7.!Buang solusinya. Ulangi mencuci seperti pada langkah 3.

8.!Tambahkan 100 µl dari TMB One-Step Substrat Reagen (Item H) ke

masing-masing. Inkubasi selama 30 menit pada suhu kamar yang gelap

dengan digoyang perlahan.

9.!Tambah 50 µl Stop Solution (Item I) untuk masing-masing Well. Segera

dibaca pada 450 nm.

!

116 !

!

LAMPIRAN 7: PEMERIKSAAN COMP SERUM

PERSIAPAN SAMPEL

Serum dan plasma sampel memerlukan pengenceran 100 kali lipat. Saran

pengenceran 100 kali lipat adalah 10 uL sampel + 990 uL kalibrator pengencer

RD5P (diencerkan 1: 5).

PERSIAPAN REAGEN

Bawa semua reagen ke dalam suhu kamar sebelum digunakan.

WashBuffer: Jika kristal terbentuk dalam konsentrat, hangatkan pada suhu kamar

dan campur dengan lembut sampai kristal telah benar-benar halus. Tambahkan 20

mL konsentrasi Wash Buffer untuk di ionisasi atau air suling untuk

mempersiapkan 500 mL substrat Wash Buffer (R & D system, 2014).

Solusi substrat: Reagen Warna A dan B harus dicampur dalam volume yang sama

dalam waktu 15 menit. Lindungi dari cahaya. 200 uL menghasilkan campuran

yang baik.

Kalibrator Pengencer RD5P (diencerkan 1: 5).

Tambahkan 20 mL Kalibrator Pengencer RD5P Berkonsentrasi dan 80 mL

ionisasi atau air suling untuk menyiapkan 100 mL Kalibrator Pengencer RD5P

(diencerkan 1: 5).

Standar human COMP: menyusun kembali standar human COMP dengan

1,0 mL deionisasi atau air suling. Penyusunan ini menghasilkan stok larutan

sebanyak 100 ng/mL. Campuran standar ini untuk memastikan penyusunan

lengkap dan memungkinkan standar untuk didiamkan selama minimal 15 menit

117 !

!

scara perlahan sebelum melakukan pengenceran. Masukkan 900 uL Kalibrator

Pengencer RD5P (diencerkan 1: 5) ke dalam tabung sebanyak 10 ng/mL.

Masukan 500 uL Kalibrator Pengencer RD5P (diencerkan 1: 5) ke dalam tabung

yang tersisa. Gunakan larutan stok untuk menghasilkan serangkaian pengenceran

(bawah). Campur setiap tabung secara menyeluruh sebelum berikutnya

dipindahkan. 10 ng/mL standar berfungsi sebagai standar yang tinggi. Kalibrator

Pengencer RD5P (diencerkan 1:5) berfungsi sebagai standar nol (0 ng/mL).

Gambar 3. Persiapan Reagen

PROSEDUR ASSAY

Bawalah semua reagen dan sampel ke dalam suhu kamar sebelum digunakan.

Disarankan untuk semua sampel, kontrol, dan standar akan diuji dalam rangkap

dua: (R & D system, 2014)

1.! Siapkan semua reagen, standar kerja, dan sampel sesuai petunjuk dalam

bagian sebelumnya.

2.! Keluarkan sisa strip lempeng dari frame plate, kembalikan ke kantong foil

yang mengandung paket pengering, dan bungkus ulang.

118 !

!

3.! Tambahkan 100uL Assay Pengencer RD1-73 pada masing-masing dengan

baik.

4.! Tambahkan 50uL standar, kontrol, atau sampel. Tutup dengan strip

perekat yang disediakan. Inkubasi selama 2 jam pada suhu kamar pada

lempeng pengaduk orbital horisontal (0.12" orbit) yang diatur sebesar

500±50rpm.

5.! Aspirasi masing-masing dengan baik dan cuci, ulangi proses sebanyak tiga

kali dengan total empat kali mencuci. Cuci dengan mengisi masing-masing

dengan Wash Buffer (400 uL) menggunakan botol semprot, manifold

dispenser, atau autowasher. Penghapusan semua cairan pada setiap

langkah sangat penting untuk kinerja yang baik. Setelah mencuci terakhir,

hilangkan sisa Wash Buffer dengan aspirasi atau decanting. Masukkan

piring dan hapus dengan handuk kertas yang bersih.

6.! Tambahkan 200uL COMP conjugate manusia pada masing-masing

dengan baik. Tutup dengan strip perekat baru. Inkubasi selama 2 jam pada

suhu kamar dalam alat mengaduk.

7.! Ulangi aspirasi/cuci seperti pada langkah 5.

8.! Tambah 200 uL Substrat Solusi pada masing-masing dengan baik.

Inkubasi selama 30 menit di kamar suhu di benchtop. Lindungi dari

cahaya.

9.! Tambah 50 uL Stop Solution pada masing-masing dengan baik. Warna

harus berubah dari biru ke kuning. Jika warna berwarna hijau atau

119 !

!

perubahan warna tidak muncul seragam, tekan dengan lembut lempengan

untuk memastikan pencampuran menyeluruh.

Tentukan kerapatan optik masing-masing dengan baik dalam waktu 30 menit,

gunakan pembaca lempeng mikro yangdi set ke 450 nm. Jika terdapat koreksi

panjang gelombang, set ke 540 nm atau 570 nm. Jika panjang gelombang koreksi

tidak tersedia, kurangi pembacaan pada 540 nm atau 570 nm dari pembacaan di

450 nm. Pengurangan ini akan mengoreksi ketidaksempurnaan optik pada

lempengan. Bacaan yang dibuat langsung di 450 nm tanpa koreksi mungkin lebih

tinggi dan kurang akurat.

120 !

!

Lampiran 8 Surat Keterangan Kelaikan Etik (Ethical Clearance)

!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

121 !

!

Lampiran 9 Surat Ijin Penelitian !!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! !!!

!

!

122!

Lampiran 10 Data Dasar Penelitian !

MATCH No sample

Umur (Tahun)

IMT (kg/m2)

Lama

Mens (Tahun)

Estrogen (pg/mL)

IL-6 (pg/mL)

IL-10 (pg/mL)

COMP (pg/mL)

Rasio IL6/IL10

Kasus 158 50 26.84 4 17.52 8.097 5.89 0.914 1.375 Kontrol 342 50 27.78 1 14.92 0.503 5.333 0.898 0.094 Kasus 5 52 27.34 3 10.34 19.483 6.765 0.968 2.880

Kontrol 3 52 26.78 5 9.00 16.899 6.049 0.883 2.794 Kasus 48 51 18.97 3 9.00 1.006 8.667 1.113 0.116

Kontrol 8 52 19.53 3 9.00 2.236 6.208 0.888 0.360 Kasus 85 51 26.67 10 9.00 1.677 11.267 0.797 0.149

Kontrol 67 50 27.56 10 19.70 1.453 5.412 3.645 0.268 Kasus 316 50 23.34 1 20.3 453.556 6.208 0.783 73.060

Kontrol 88 51 24.03 3 9.00 1.9 6.686 0.982 0.284 Kasus 186 51 28.15 1 22.34 0.615 5.571 0.793 0.110

Kontrol 132 51 28.62 3 10.58 3.212 6.049 0.945 0.531 Kasus 314 51 26.49 1 13.33 432.497 5.173 0.858 83.607

Kontrol 152 52 25.54 2 9.00 5.265 6.447 1.002 0.817 Kasus 6 51 26.67 1 23.47 2.851 6.606 1.015 0.432

Kontrol 323 52 26.04 3 28.61 1.118 5.492 0.967 0.204 Kasus 21 52 24.14 2 9.00 0.95 6.686 0.539 0.142

!

!

123!

Kontrol 324 53 25.97 2 22.66 0.335 6.447 0.909 0.052 Kasus 49 54 28.57 3 9.00 1.006 6.447 0.939 0.156

Kontrol 69 55 26.64 3 9.00 1.118 5.81 2.27 0.192 Kasus 234 54 23.15 4 27.38 1.509 5.969 0.823 0.253

Kontrol 28 53 21.08 1 9.00 1.062 5.651 0.94 0.188 Kasus 319 54 26.49 5 14.47 422.734 5.412 0.775 78.110

Kontrol 343 53 25.34 1 28.44 1.118 5.731 0.877 0.195 Kasus 34 54 29.48 5 22.02 2.012 10.833 1.016 0.186

Kontrol 145 55 29.43 3 26.36 41.877 5.969 2.673 7.016 Kasus 37 54 20.66 6 9.00 7.813 5.969 4.488 1.309

Kontrol 224 55 22.97 10 15.26 1.062 5.253 0.973 0.202 Kasus 239 55 30.10 10 18.36 1.118 5.571 0.671 0.201

Kontrol 333 53 32.46 6 12.07 1.789 5.253 0.74 0.341 Kasus 26 56 23.12 4 9.00 10.014 6.447 1.043 1.553

Kontrol 341 54 22.51 6 13.4 0.168 6.129 0.977 0.027 Kasus 309 56 28.04 10 11.84 18.436 5.173 0.631 3.564

Kontrol 331 56 30.47 6 19.44 3.294 5.094 0.64 0.647 Kasus 98 55 23.05 5 9.00 0.559 5.571 1.149 0.100

Kontrol 40 57 22.77 10 17.77 1.9 6.049 1.066 0.314 Kasus 137 57 25.63 10 24.72 438.215 7.72 0.746 56.764

Kontrol 10 57 25.22 10 10.02 1.453 6.686 1.187 0.217 Kasus 30 58 28.76 6 16.64 2.403 6.527 1.174 0.368

Kontrol 327 56 26.29 9 19.48 0.615 6.845 0.963 0.090 Kasus 315 57 25.44 5 21.44 373.222 6.049 0.925 61.700

!

!

124!

Kontrol 90 58 24.97 3 10.54 1.118 6.049 0.947 0.185 Kasus 109 58 21.94 10 9.00 44.401 6.367 1.044 6.974

Kontrol 332 56 21.48 9 9 0.056 5.333 0.916 0.011 Kasus 169 58 28.58 2 22.58 2.236 6.049 1.02 0.370

Kontrol 141 58 26.84 2 19.40 49.606 8.233 3.274 6.025 Kasus 104 59 23.23 7 10.70 25.868 6.686 0.775 3.869

Kontrol 325 58 21.08 5 10.61 1.565 5.651 0.695 0.277 Kasus 139 59 26.49 9 19.36 4.608 5.492 3.216 0.839

Kontrol 197 60 27.18 10 19.03 6.392 5.173 0.81 1.236 Kasus 187 59 22.38 3 20.26 10.227 6.686 0.539 1.530

Kontrol 217 59 22.94 10 19.05 1.174 5.253 1.079 0.223 Kasus 31 60 24.14 6 11.19 1.956 6.527 0.639 0.300

Kontrol 335 59 22.64 3 15.57 0.112 4.935 0.821 0.023 Kasus 83 60 23.31 8 9.00 0.838 5.651 0.985 0.148

Kontrol 101 58 22.04 10 9.00 16.62 5.651 0.678 2.941 Kasus 136 60 24.03 10 12.90 427.615 6.845 3.581 62.471

Kontrol 175 60 24.24 10 15.54 1.9 6.208 0.921 0.306 Kasus 313 60 25.88 5 12.5 376.29 6.686 0.649 56.280

Kontrol 326 58 24.34 8 12.53 10.014 6.049 0.769 1.655 Kasus 1 61 21.37 9 12.41 1.453 4.776 2.336 0.304

Kontrol 329 59 21.88 5 11.36 0.224 5.81 0.818 0.039 Kasus 54 61 23.47 10 12.13 2.515 5.412 0.748 0.465

Kontrol 92 59 23.37 8 15.31 2.292 6.686 0.959 0.343 Kasus 220 61 23.44 10 28.03 1.006 4.935 0.733 0.204

!

!

125!

Kontrol 115 59 24.44 10 9.00 9.943 5.81 0.987 1.711 Kasus 320 59 25.96 10 17.54 163.459 5.094 2.641 32.089

Kontrol 35 61 25.20 10 10.31 1.118 6.208 0.904 0.180 Kasus 131 63 27.99 8 22.26 2.627 6.129 1.142 0.429

Kontrol 228 62 26.48 10 21.79 0.783 6.447 0.727 0.121 Kasus 4 63 29.14 10 10.28 6.463 5.492 3.376 1.177

Kontrol 199 62 28.57 10 11.52 3.541 6.765 0.996 0.523 Kasus 24 63 22.10 10 9.00 5.018 7.084 0.908 0.708

Kontrol 122 65 21.78 10 9.00 24.721 6.686 0.74 3.697 Kasus 51 63 30.10 10 9.10 1.23 5.969 0.897 0.206

Kontrol 118 65 34.13 10 16.84 16.69 6.049 3.031 2.759 Kasus 133 63 37.76 10 24.93 6.25 6.924 0.873 0.903

Kontrol 81 62 37.97 10 22.37 1.956 6.129 1.002 0.319 Kasus 39 64 36.72 10 11.09 2.962 5.571 0.893 0.532

Kontrol 170 64 36.73 10 28.45 49.132 5.571 0.97 8.819 Kasus 62 64 24.22 10 9.00 1.062 6.129 1.12 0.173

Kontrol 334 60 23.73 9 17.39 0.335 5.333 1.019 0.063 Kasus 108 64 28.07 7 12.97 27.918 5.571 1.043 5.011

Kontrol 14 60 31.96 8 15.02 7.741 6.686 1.18 1.158 Kasus 251 64 26.49 10 24.3 1.006 5.81 0.755 0.173

Kontrol 76 61 25.74 10 9.00 1.509 5.81 2.27 0.260 Kasus 107 75 19.77 7 9.00 42.981 5.969 1.022 7.201

Kontrol 16 74 22.48 10 13.28 9.588 6.765 2.916 1.417

126 !

!

Lampiran 11 Hasil Analisis Data (STATA/SE 12.1) ____ ____ ____ ____ (R) /__ / ____/ / ____/ ___/ / /___/ / /___/ 12.0 Copyright 1985-2011 StataCorp LP Statistics/Data Analysis StataCorp 4905 Lakeway Drive Special Edition College Station, Texas 77845 USA

800-STATA-PC http://di samping.stata.com 979-696-4600 [email protected] 979-696-4601 (fax)

. tabstat Umur IMT LamaMens Estrogen IL6 IL10 COMP Rasio, statistics( mean sd min min p25 p50 p75 iqr ) colu > mns(variables) stats | Umur IMT LamaMens Estrogen IL6 IL10 COMP Rasio ---------+-------------------------------------------------------------------------------- mean | 57.59091 25.87409 6.670455 15.11727 41.66215 6.162023 1.21533 6.79108 sd | 4.968027 3.889919 3.313926 6.01223 113.2749 1.015689 .8184266 18.53517 min | 50 18.97 1 9 .056 4.776 .539 .011 min | 50 18.97 1 9 .056 4.776 .539 .011 p25 | 54 23.135 3 9 1.118 5.571 .8035 .19 p50 | 58 25.585 7.5 13.125 2.264 6.049 .946 .364 p75 | 60.5 27.885 10 19.46 10.1205 6.5665 1.055 1.683 iqr | 6.5 4.75 7 10.46 9.0025 .9955 .2515 1.493 ------------------------------------------------------------------------------------------ . tabstat Umur IMT LamaMens Estrogen IL6 IL10 COMP Rasio, statistics( mean sd min min p25 p50 p75 iqr ) by(K > LP) columns(variables) Summary statistics: mean, sd, min, min, p25, p50, p75, iqr by categories of: KLP KLP | Umur IMT LamaMens Estrogen IL6 IL10 COMP Rasio --------+--------------------------------------------------------------------------------

127 !

!

Kontrol | 57.36364 25.89182 6.75 15.08227 6.966068 5.997341 1.223955 1.116455 | 4.788994 4.059919 3.410824 5.932003 12.24414 .6291189 .7571181 1.927325 | 50 19.53 1 9 .056 4.935 .64 .011 | 50 19.53 1 9 .056 4.935 .64 .011 | 53 22.855 3 9.51 1.09 5.5315 .88 .1865 | 58 25.28 8 14.16 1.8445 6.049 .961 .295 | 60 27.37 10 19.225 7.0665 6.447 1.0425 1.197 | 7 4.515 7 9.715 5.9765 .9155 .1625 1.0105 --------+-------------------------------------------------------------------------------- Kasus | 57.81818 25.85636 6.590909 15.15227 76.35823 6.326705 1.206705 12.4657 | 5.186174 3.759154 3.251606 6.159811 152.7981 1.279041 .8842179 25.00958 | 50 18.97 1 9 .559 4.776 .539 .1 | 50 18.97 1 9 .559 4.776 .539 .1 | 54 23.27 4 9 1.3415 5.571 .775 .2025 | 58 25.92 7 12.7 3.785 6.049 .9195 .62 | 61 28.055 10 20.87 26.893 6.686 1.0785 4.44 | 7 4.785 6 11.87 25.5515 1.115 .3035 4.2375 --------+-------------------------------------------------------------------------------- Total | 57.59091 25.87409 6.670455 15.11727 41.66215 6.162023 1.21533 6.79108 | 4.968027 3.889919 3.313926 6.01223 113.2749 1.015689 .8184266 18.53517 | 50 18.97 1 9 .056 4.776 .539 .011 | 50 18.97 1 9 .056 4.776 .539 .011 | 54 23.135 3 9 1.118 5.571 .8035 .19 | 58 25.585 7.5 13.125 2.264 6.049 .946 .364 | 60.5 27.885 10 19.46 10.1205 6.5665 1.055 1.683 | 6.5 4.75 7 10.46 9.0025 .9955 .2515 1.493 -----------------------------------------------------------------------------------------

128 !

!

. Umur IMT LamaMens Estrogen IL6 IL10 COMP Rasio Test for normal data Variable | Obs DI SAMPING V z Prob>z -------------+-------------------------------------------------- Umur | 88 0.94479 4.099 3.107 0.00094 IMT | 88 0.92519 5.554 3.777 0.00008 LamaMens | 88 0.96289 2.755 2.232 0.01280 Estrogen | 88 0.90562 7.007 4.289 0.00001 IL6 | 88 0.38991 45.297 8.400 0.00000 IL10 | 88 0.75561 18.145 6.385 0.00000 COMP | 88 0.61737 28.409 7.372 0.00000 Rasio | 88 0.39715 44.759 8.373 0.00000 . ranksum Umur, by(KLP) Two-sample Wilcoxon rank-sum (Mann-Whitney) test KLP | obs rank sum expected -------------+--------------------------------- Kontrol | 44 1900 1958 Kasus | 44 2016 1958 -------------+--------------------------------- combined | 88 3916 3916 unadjusted variance 14358.67 adjustment for ties -69.41 ---------- adjusted variance 14289.25 Ho: Umur(KLP==Kontrol) = Umur(KLP==Kasus) z = -0.485 Prob > |z| = 0.6275 . ranksum IMT, by(KLP) Two-sample Wilcoxon rank-sum (Mann-Whitney) test KLP | obs rank sum expected -------------+--------------------------------- Kontrol | 44 1909.5 1958

129 !

!

Kasus | 44 2006.5 1958 -------------+--------------------------------- combined | 88 3916 3916 unadjusted variance 14358.67 adjustment for ties -2.15 ---------- adjusted variance 14356.52 Ho: IMT(KLP==Kontrol) = IMT(KLP==Kasus) z = -0.405 Prob > |z| = 0.6856 . ranksum LamaMens, by(KLP) Two-sample Wilcoxon rank-sum (Mann-Whitney) test KLP | obs rank sum expected -------------+--------------------------------- Kontrol | 44 1984 1958 Kasus | 44 1932 1958 -------------+--------------------------------- combined | 88 3916 3916 unadjusted variance 14358.67 adjustment for ties -894.41 ---------- adjusted variance 13464.25 Ho: LamaMens(KLP==Kontrol) = LamaMens(KLP==Kasus) z = 0.224 Prob > |z| = 0.8227 . ranksum Estrogen, by(KLP) Two-sample Wilcoxon rank-sum (Mann-Whitney) test KLP | obs rank sum expected -------------+--------------------------------- Kontrol | 44 1960 1958 Kasus | 44 1956 1958 -------------+--------------------------------- combined | 88 3916 3916 unadjusted variance 14358.67 adjustment for ties -255.91 ---------- adjusted variance 14102.76 Ho: Estrogen(KLP==Kontrol) = Estrogen(KLP==Kasus) z = 0.017 Prob > |z| = 0.9866

130 !

!

. Umur Umur0 IMT IMT0 LamaMens LamaMens0 Estrogen Estrogen0 IL6 IL60 IL10 IL100 COMP COMP0 Rasio Rasio > 0 Test for normal data Variable | Obs DI SAMPING V z Prob>z -------------+-------------------------------------------------- Umur | 44 0.94881 2.178 1.648 0.04969 Umur0 | 44 0.94650 2.277 1.741 0.04082 IMT | 44 0.92827 3.052 2.362 0.00909 IMT0 | 44 0.90967 3.844 2.850 0.00219 LamaMens | 44 0.96957 1.295 0.547 0.29224 LamaMens0 | 44 0.93853 2.616 2.035 0.02092 Estrogen | 44 0.87810 5.187 3.484 0.00025 Estrogen0 | 44 0.89369 4.524 3.195 0.00070 IL6 | 44 0.52598 20.171 6.359 0.00000 IL60 | 44 0.57603 18.041 6.122 0.00000 IL10 | 44 0.74815 10.717 5.020 0.00000 IL100 | 44 0.93969 2.566 1.995 0.02304 COMP | 44 0.60622 16.756 5.966 0.00000 COMP0 | 44 0.61717 16.291 5.906 0.00000 Rasio | 44 0.54214 19.483 6.285 0.00000 Rasio0 | 44 0.59071 17.416 6.048 0.00000

131 !

!

. mcc IL6Cat IL60Cat | Controls | Cases | Exposed Unexposed | Total -----------------+------------------------+------------ Exposed | 11 16 | 27 Unexposed | 6 11 | 17 -----------------+------------------------+------------ Total | 17 27 | 44 McNemar's chi2(1) = 4.55 Prob > chi2 = 0.0330 Exact McNemar significance probability = 0.0525 Proportion with factor Cases .6136364 Controls .3863636 [95% Conf. Interval] --------- -------------------- difference .2272727 .0066987 .4478468 ratio 1.588235 1.034097 2.439317 rel. diff. .3703704 .1001997 .6405411 odds ratio 2.666667 .9911545 8.320598 (exact) . mcc IL10Cat IL100Cat | Controls | Cases | Exposed Unexposed | Total -----------------+------------------------+------------ Exposed | 16 7 | 23 Unexposed | 11 10 | 21 -----------------+------------------------+------------ Total | 27 17 | 44 McNemar's chi2(1) = 0.89 Prob > chi2 = 0.3458 Exact McNemar significance probability = 0.4807 Proportion with factor Cases .5227273 Controls .6136364 [95% Conf. Interval] --------- -------------------- difference -.0909091 -.3007046 .1188864 ratio .8518519 .610163 1.189275 rel. diff. -.2352941 -.7789456 .3083574 odds ratio .6363636 .2091692 1.797585 (exact)

132 !

!

. mcc COMPCat1 COMP0Cat | Controls | Cases | Exposed Unexposed | Total -----------------+------------------------+------------ Exposed | 11 9 | 20 Unexposed | 13 11 | 24 -----------------+------------------------+------------ Total | 24 20 | 44 McNemar's chi2(1) = 0.73 Prob > chi2 = 0.3938 Exact McNemar significance probability = 0.5235 Proportion with factor Cases .4545455 Controls .5454545 [95% Conf. Interval] --------- -------------------- difference -.0909091 -.3208353 .1390171 ratio .8333333 .5477563 1.267798 rel. diff. -.2 -.7035239 .3035239 odds ratio .6923077 .2611822 1.750676 (exact) . mcc RasioCat Rasio0Cat | Controls | Cases | Exposed Unexposed | Total -----------------+------------------------+------------ Exposed | 11 17 | 28 Unexposed | 5 11 | 16 -----------------+------------------------+------------ Total | 16 28 | 44 McNemar's chi2(1) = 6.55 Prob > chi2 = 0.0105 Exact McNemar significance probability = 0.0169 Proportion with factor Cases .6363636\ Controls .3636364 [95% Conf. Interval] --------- -------------------- difference .2727273 .057233 .4882215 ratio 1.75 1.133472 2.701876 rel. diff. .4285714 .1803825 .6767603 odds ratio 3.4 1.204082 11.7867 (exact)