12
Prosiding Seminar Nasional Pakar ke 3 Tahun 2020 ISSN (P) : 2615 - 2584 Buku 2: Sosial dan Humaniora ISSN (E) : 2615 - 3343 2.63.1 PENGARUH ETHICAL ENVIRONMENT DAN ETHICAL JUDGMENT TERHADAP INTENSI MELAKUKAN WHISTLEBLOWING Andri Taripudin 1) , Haryono Umar 2) 1) Magister Akuntansi Universitas Trisakti, Jakarta 2) Perbanas Institute, Jakarta [email protected] ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk menguji secara empiris pengaruh ethical environment dan ethical judgment terhadap intensi melakukan whistleblowing. Kami berpendapat bahwa intensi melakukan whistleblowing baik melalui pihak internal maupun eksternal dipengaruhi oleh ethical environment dari organisasi dan juga ethical judgment dari auditor. Data penelitian ini dikumpulkan dengan menyebarkan kuesioner melalui media online kepada 49 pemeriksa di Badan Pemeriksa Keuangan. Hasil pengujian dengan menggunakan SmartPLS menunjukan bahwa ethical environment berpengaruh positif terhadap Internal whistleblowing dan formal whistleblowing. Kami juga menemukan bahwa ethical judgment berpengaruh positif terhadap eksternal whistleblowing dan formal whistleblowing. Keywords: Ethics; Ethical Judgment; Ethical Environment; Intention Whisteblowing; Public Sector; Badan Pemeriksa Keuangan I. PENDAHULUAN Korupsi menjadi masalah yang serius di dalam sebuah negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Jumlah kasus korupsi yang terjadi beberapa tahun terakhir, baik yang terjadi di perusahaan maupun organisasi sektor publik semakin meningkat. Korupsi sudah merusak hampir di semua sektor kehidupan masyarakat mulai dari ekonomi, sosial, budaya, sampai-sampai membahayakan keberlangsungan (sustainable development) suatu negara (Umar, 2016). Beberapa penelitian menyebutkan bahwa korupsi mengakibatkan melambatnya pertumbuhan ekonomi suatu negara (Mo, 2001; Mauro, 1995, 1998; Meon dan Sekkat, 2005), menurunnya investasi (Mauro, 1995, 1998; Cuervo-Cazurra, 2006), meningkatnya kemiskinan (Gupta dan Alonso-Terme, 2002; Deaton dan Dreze, 2002) serta meningkatnya ketimpangan pendapatan (Gyimah-Brempong, 2002; Gupta dan Alonso-Terme, 2002; Batabyal dan Chowdhury, 2015; Iskandar, 2018). Bahkan, Arvin dan Lew (2014) menyatakan bahwa korupsi dapat menurunkan tangka kebahagiaan masyarakat di suatu negara. Kasus korupsi di Indonesia yang menyita perhatian masyarakat yaitu kasus korupsi Bupati Kotawaringin Timur, KTP Elektronik, BLBI, dan proyek hambalang. Umar (2016) menyatakan bahwa faktor utama perilaku korupsi di Indonesia karena hancurnya integritas (lack of integrity). Berdasarkan laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) pada tahun 2018 sebanyak 454 kasus korupsi ditangani oleh penegak hukum. Dari 454 kasus tersebut jumlah kerugian negara sebesar Rp5,6 triliun, jumlah nilai suap sebesar Rp134,7 miliar, jumlah pungutan liar sebesar Rp6,7 miliar, dan jumlah pencucian uang sebesar Rp91 miliar. Gambar 1. Score CPI Sumber: www.transparency.org, diolah

PENGARUH ETHICAL ENVIRONMENT DAN ETHICAL JUDGMENT …

  • Upload
    others

  • View
    6

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PENGARUH ETHICAL ENVIRONMENT DAN ETHICAL JUDGMENT …

Prosiding Seminar Nasional Pakar ke 3 Tahun 2020 ISSN (P) : 2615 - 2584 Buku 2: Sosial dan Humaniora ISSN (E) : 2615 - 3343

2.63.1

PENGARUH ETHICAL ENVIRONMENT DAN ETHICAL JUDGMENT TERHADAP INTENSI MELAKUKAN WHISTLEBLOWING

Andri Taripudin1), Haryono Umar2)

1)Magister Akuntansi Universitas Trisakti, Jakarta 2)Perbanas Institute, Jakarta [email protected]

ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk menguji secara empiris pengaruh ethical environment dan ethical judgment terhadap intensi melakukan whistleblowing. Kami berpendapat bahwa intensi melakukan whistleblowing baik melalui pihak internal maupun eksternal dipengaruhi oleh ethical environment dari organisasi dan juga ethical judgment dari auditor. Data penelitian ini dikumpulkan dengan menyebarkan kuesioner melalui media online kepada 49 pemeriksa di Badan Pemeriksa Keuangan. Hasil pengujian dengan menggunakan SmartPLS menunjukan bahwa ethical environment berpengaruh positif terhadap Internal whistleblowing dan formal whistleblowing. Kami juga menemukan bahwa ethical judgment berpengaruh positif terhadap eksternal whistleblowing dan formal whistleblowing.

Keywords: Ethics; Ethical Judgment; Ethical Environment; Intention Whisteblowing; Public Sector; Badan Pemeriksa Keuangan

I. PENDAHULUAN

Korupsi menjadi masalah yang serius di dalam sebuah negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Jumlah kasus korupsi yang terjadi beberapa tahun terakhir, baik yang terjadi di perusahaan maupun organisasi sektor publik semakin meningkat. Korupsi sudah merusak hampir di semua sektor kehidupan masyarakat mulai dari ekonomi, sosial, budaya, sampai-sampai membahayakan keberlangsungan (sustainable development) suatu negara (Umar, 2016). Beberapa penelitian menyebutkan bahwa korupsi mengakibatkan melambatnya pertumbuhan ekonomi suatu negara (Mo, 2001; Mauro, 1995, 1998; Meon dan Sekkat, 2005), menurunnya investasi (Mauro, 1995, 1998; Cuervo-Cazurra, 2006), meningkatnya kemiskinan (Gupta dan Alonso-Terme, 2002; Deaton dan Dreze, 2002) serta meningkatnya ketimpangan pendapatan (Gyimah-Brempong, 2002; Gupta dan Alonso-Terme, 2002; Batabyal dan Chowdhury, 2015; Iskandar, 2018). Bahkan, Arvin dan Lew (2014) menyatakan bahwa korupsi dapat menurunkan tangka kebahagiaan masyarakat di suatu negara.

Kasus korupsi di Indonesia yang menyita perhatian masyarakat yaitu kasus korupsi Bupati Kotawaringin Timur, KTP Elektronik, BLBI, dan proyek hambalang. Umar (2016) menyatakan bahwa faktor utama perilaku korupsi di Indonesia karena hancurnya integritas (lack of integrity). Berdasarkan laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) pada tahun 2018 sebanyak 454 kasus korupsi ditangani oleh penegak hukum. Dari 454 kasus tersebut jumlah kerugian negara sebesar Rp5,6 triliun, jumlah nilai suap sebesar Rp134,7 miliar, jumlah pungutan liar sebesar Rp6,7 miliar, dan jumlah pencucian uang sebesar Rp91 miliar.

Gambar 1. Score CPI Sumber: www.transparency.org, diolah

Page 2: PENGARUH ETHICAL ENVIRONMENT DAN ETHICAL JUDGMENT …

Prosiding Seminar Nasional Pakar ke 3 Tahun 2020 ISSN (P) : 2615 - 2584 Buku 2: Sosial dan Humaniora ISSN (E) : 2615 - 3343

2.63.2

Peringkat Corruption Perception Index (CPI) Indonesia berdasarkan Transparency International (2018) yaitu 89 (nilai CPI 38) sedikit meningkat dari tahun sebelumnya yaitu 96 (nilai CPI 37). CPI merupakan tingkat persepsi korupsi sektor publik di 180 negara. Perkembangan nilai CPI indonesia dari tahun 2012 s.d 2018 disajikan dalam gambar 1.

Menghadapi permasalahan korupsi di Indonesia, pemerintah mulai menginisiasi program reformasi birokrasi. Program tersebut masuk kedalam rencana pembangunan jangka panjang nasional tahun 2005 – 2025 dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007. Reformasi birokrasi bertujuan untuk menciptakan birokrasi pemerintah yang profesional dengan karakteristik adaptif, berintegritas, berkinerja tinggi, bersih dan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme, mampu melayani publik, netral, sejahtera, berdedikasi, dan memegang teguh nilai-nilai dasar dan kode etik aparatur negara. Sebagai implementasi dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007, pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025.

Untuk mengevaluasi pelaksanaan reformasi birokrasi Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPANRB) menerbitkan peraturan Nomor 14 tahun 2014 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Nomor 30 Tahun 2018 tentang Pedoman Evaluasi Reformasi Birokrasi Instansi Pemerintah. Dalam peraturan tersebut, dijelaskan bahwa program penguatan pengawasan bertujuan untuk meningkatkan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN pada masing-masing instansi pemerintah. Untuk mengukur pencapaian program tersebut, digunakan indikator-indikator seperti gratifikasi, penerapan SPIP, pembangunan zona integritas, pengaduan masyarakat, penanganan benturan kepentingan, dan Whistleblowing System.

Salah satu instansi yang diberikan mandat untuk mengimplementasikan WBS adalah Badan Pemeriksa Keuangan. BPK mulai mengimplementasikan WBS sejak tahun 2011 sesuai dengan Surat Keputusan Sekjen BPK RI Nomor 507/K/X-XIII.2/12/2011 tentang Penanganan Pelaporan Pelanggaran (Whistleblowing) di Lingkungan BPK. Peraturan

tersebut menyatakan bahwa setiap pegawai BPK yang melihat atau mengetahui adanya pelanggaran kode etik BPK dan/atau disiplin pegawai wajib menyampaikan pengaduan kepada Satuan Tugas Kepatuhan Internal yang terdiri dari Unsur Inspektorat Utama, Biro SDM dan Direktorat Utama Pembinaan dan Pengembangan Hukum Pemeriksaan Keuangan Negara.

BPK menyediakan berbagai sarana pengaduan yang dapat digunakan oleh pelapor (whistleblower) untuk menyampaikan informasi dan memastikan perlindungan bagi whistleblower. Dalam hal pengaduan yang disampaikan terbukti benar maka whistleblower

diberikan penghargaan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Whistleblowing merupakan sebuah proses kompleks yang melibatkan berbagai faktor.

Penelitian tentang whistleblowing sebagian besar berfokus pada tiga faktor umum: a. faktor organisasi, seperti iklim etika organisasi (Rothwell & Baldwin, 2006, 2007), ukuran

organisasi (Miceli & Near, 1988; Miceli, Near, & Schwenk, 1991 ), dan tingkatan pekerjaan (Keenan, 2002; Keenan & Krueger, 1992);

b. faktor individu, seperti, penilaian etis (Ayers & Kaplan, 2005), locus of control (Chiu, 2003), Emosi (Lehnert et al. 2015; Henik 2008; Schwartz 2016) dan komitmen organisasi (Somers & Casal, 1994); dan

c. faktor situasional, seperti keseriusan pelanggaran (Kaplan & Schultz, 2007; Near & Miceli, 1990), dan status pelaku pelanggaran (Miethe, 1999; Near & Miceli, 1990).

Miceli et al. (2008) dalam tinjauan literatur whistleblowing secara komprehensif telah

menyarankan bahwa ketiganya merupakan faktor umum yang mempengaruhi perilaku pelaporan pelanggaran perusahaan oleh karyawan dalam organisasi. Selain itu, faktor-faktor demografis individu seperti jenis kelamin responden (Miceli & Near, 1988; Sims & Keenan, 1998), usia (Brennan & Kelly, 2007; Keenan, 2000) dan masa kerja mereka di organisasi (Dworkin & Baucus, 1998; Near & Miceli, 1995) juga telah diteliti.

Sejak tahun 1986 banyak penelitian akademik terkait dengan topik whistleblowing. Penelitian-penelitian tersebut dilakukan oleh berbagai bidang disiplin ilmu seperti psikologi (Near & Miceli, 1986; Zhang, Chiu, & Wei, 2009), Perilaku organisasi (Kaplan & Schultz,

Page 3: PENGARUH ETHICAL ENVIRONMENT DAN ETHICAL JUDGMENT …

Prosiding Seminar Nasional Pakar ke 3 Tahun 2020 ISSN (P) : 2615 - 2584 Buku 2: Sosial dan Humaniora ISSN (E) : 2615 - 3343

2.63.3

2007; Seifert, Sweeney, Joireman, & Thornton, 2010), kebudayaan (Hwang, Staley, Chen, & Lan, 2008; Patel, 2003), etika bisnis (Greenberger, Miceli, & Cohen, 1987; Kaptein, 2011), teori organisasi (Miceli & Near, 1984) serta akuntansi dan audit (Brennan & Kelly, 2007; Miceli, Near, & Schwenk, 1991).

Meskipun berbagai studi empiris telah dilakukan, masih sedikit penelitian yang dilakukan untuk mengetahui hubungan antara faktor organisasi dan Individu dalam sektor publik di Indonesia khususnya pada Badan Pemeriksa Keuangan. Berdasarkan uraian permasalahan tersebut yang berkaitan dengan tindakan whistleblowing, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan mengambil judul “Pengaruh Ethical Environment dan Ethical Judgment Terhadap Intensi Melakukan Whistleblowing”.

II. STUDI PUSTAKA 2.1 Ethical Decision Making

Rest (1979; 1986) mengajukan empat tahapan sekuensial dari proses pengambilan keputusan etis untuk mendeskripsikan kognitif individual ketika mereka dihadapi oleh dilema etika. Keempat tahapan tersebut yang pertama adalah ethical recognition. Tahapan ini berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk menginterpretasi-kan situasi tertentu adalah etis atau tidak etis. Tahapan kedua adalah ethical judgment, dimana pada tahapan ini

individu menentukan tindakan seperti apakah yang secara moral adalah benar. Selanjutnya tahapan ketiga adalah ethical intention. Pada tahapan tersebut individu mulai memprioritaskan suatu alternatif etis tertentu dibandingkan alternatif lainnya. Terakhir adalah ethical behavior, yakni individu benar-benar melakukan tindakan yang etis.

2.2 Pro social organizational behavior theory

Brief dan Motowidlo (1986) mendefinisikan prosocial organizational behavior sebagai perilaku atau tindakan yang dilakukan oleh anggota sebuah organisasi terhadap individu, kelompok, atau organisasi yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan individu, kelompok, atau organisasi tersebut. Perilaku prososial (prosocial behavior) juga diartikan sebagai setiap perilaku sosial positif yang bertujuan untuk menguntungkan atau memberikan manfaat pada orang lain (Penner et al., 2005).

Prosocial behavior menjadi teori yang mendukung intensi whistleblowing. Prosocial behavior dapat digunakan untuk menjelaskan keputusan etis yang dilakukan oleh seseorang untuk melakukan tindakan whistleblowing. Near dan Miceli (1988) mengemukakan bahwa whistleblower melakukan pelaporan dugaan pelanggaran dalam upaya membantu korban

dan memberikan manfaat bagi organisasi karena mereka yakin bahwa perbuatan pelanggaran tersebut tidak sesuai dengan nilai-nilai yang dianut oleh organisasi.

2.3 Whistleblowing

Whistleblowing merupakan pengungkapan oleh anggota organisasi (baik mantan atau karyawan aktif) atas praktek-praktek ilegal, tidak bermoral, atau tidak sah yang tidak diketahui oleh pimpinan organisasi, kepada pihak berwenang (Near dan Miceli, 1985). Sedangkan di Indonesia, pemerintah telah mendefinisikan whistleblowing sebagai

mekanisme penyampaian pengaduan dugaan tindak pidana korupsi yang telah terjadi atau akan terjadi yang melibatkan pegawai dan orang lain yang berkaitan dengan dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan di dalam organisasi tempatnya bekerja.

Dalam konteks whistleblowing, sesuai penjelasan Teori Reasoned Action (Fishbein

dan Ajzen 1975; Fishbein dan Ajzen 1981) dan pandangan Vallerand et al. (1992), bahwa tindakan whistleblowing disebabkan adanya niatan atau intensi yang dirasakan dalam dirinya, yang disebut intensi whistleblowing. Berbagai cara dilakukan untuk melakukan tindakan whistleblowing. Penelitian whistleblowing sebelumnya telah membedakan internal whistleblowing, eksternal whistleblowing, anonim dan non-anonim (mis., Dworkin dan Baucus 1998; Kaptein 2011; MacNab dan Worthley 2008; Miceli et al. 2008; Zhang et al. 2009; Grant, 2002; Park et al., 2005). Park et al. (2008) mengembangkan penelitian yang

Page 4: PENGARUH ETHICAL ENVIRONMENT DAN ETHICAL JUDGMENT …

Prosiding Seminar Nasional Pakar ke 3 Tahun 2020 ISSN (P) : 2615 - 2584 Buku 2: Sosial dan Humaniora ISSN (E) : 2615 - 3343

2.63.4

membagi 3 dimensi saluran yang digunakan dalam melakukan whistleblowing yaitu formal

versus informal, anonim versus non-anonim, dan internal versus eksternal.

2.4 Kerangka Konseptual Whistleblowing merupakan suatu peristiwa yang diharapkan terjadi ketika terdapat

kecurangan, kesalahan maupun pelanggaran yang dilakukan individu maupun sekelompok orang yang bekerja pada suatu organisasi. Dengan adanya peristiwa whistleblowing dapat membantu upaya pemerintah dalam hal menciptakan tata kelola perusahaan yang baik atau biasa disebut good governance. Dalam penelitian ini, peneliti bermaksud untuk melakukan analisis mengenai pengaruh dari ethical environment dan ethical judgment terhadap intensi whistleblowing. Whistleblowing dinilai penting sebagai salah satu solusi untuk meminimalisir pelanggaran yang terjadi di kalangan instansi pemerintah. Apabila di instansi pemerintah mekanisme pelaporan/whistleblowing sudah berjalan dengan baik maka akan

mempermudah terciptanya tata kelola pemerintahan yang baik.

Gambar 2. Kerangka Konseptual

2.5 Pengembangan Hipotesis 2.5.1 Pengaruh Ethical Environment terhadap intensi melakukan whistleblowing

Beberapa penelitian mengatakan bahwa kecenderungan orang untuk melakukan whistleblowing dapat dipengaruhi oleh lingkungan etis organisasi (organizations’ ethical environment). Dalton & Radtke (2013) dalam penelitiannya menemukan hasil bahwa lingkungan etis yang kuat dapat meningkatkan niat untuk melakukan whistleblowing dibandingkan dengan lingkungan etis yang lemah. Organisasi yang memiliki ethical environment yang kuat dapat mendorong pengungkapan tindakan kecurangan yang terjadi di organisasi tersebut. Secara khusus, suatu organisasi bisa berperan aktif dalam membantu memfasilitasi pengungkapan kecurangan perusahaan melalui pembinaan lingkungan dengan cara menyelaraskan norma-norma organisasi, praktik dan sistem penghargaan (rewards) dengan perilaku etis.

Arnold et al (1999), mengembangkan sebuah kerangka (framework) yang mengatakan bahwa organisasi bisa membina ethical environment yang pada akhirnya dapat

mengarahkan pada perilaku anggota organisasi yang lebih etis. Beberapa komponen yang terkait dengan ethical environment organisasi adalah misi dan nilai-nilai (mission and values), kepemimpinan dan pengaruh manajemen (leadership and management influence), pengaruh rekan kelompok (peer group influence), prosedur, aturan-aturan dan kode etik (procedures, rules and codes of ethics), pelatihan etika (ethic training), serta penghargaan dan sanksi (rewards and sanctions) (Booth & Schulz, 2004).

Ethical environment memiliki keterkaitan dengan niat melakukan whistleblowing. Lingkungan etika yang sudah menerapkan dengan baik kode etik dalam suatu instansi tentunya akan mencerminkan lingkungan etika yang kuat, dimana jika dihadapkan pada suatu permasalahan akan ditanggap dengan cepat sesuai aturan yang ada (Dalton & Radtke, 2013).

Ethical Environment

Internal Whistleblowin

g

Ethical Judgment

Eksternal Whistleblowing

Formal

Whistleblowing

H1a (+)

H1b (-)

H1c (+)

H2a (+)

H2b (+)

H2c (+)

Page 5: PENGARUH ETHICAL ENVIRONMENT DAN ETHICAL JUDGMENT …

Prosiding Seminar Nasional Pakar ke 3 Tahun 2020 ISSN (P) : 2615 - 2584 Buku 2: Sosial dan Humaniora ISSN (E) : 2615 - 3343

2.63.5

Lingkungan etika yang kuat, maka niat seseorang untuk melakukan whistleblowing

juga meningkat karena lingkungan etika yang baik dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kebijakan perusahaan, kode etik sebagai kontrol, sistem evaluasi kinerja, pelatihan etis dan penghargaan terhadap perilaku etis (Dalton & Radtke, 2013). Indikator-indikator tersebut dapat menciptakan lingkungan etika yang baik. Lingkungan etika yang baik dapat mendukung perilaku anggota/pegawai agar mematuhi atau mentaati nilai-nilai etis organisasi/instansi, sehingga akan mempengaruhi kualitas pegawai dalam bekerja. Salah satunya apabila seseorang pegawai mengetahui adanya kecurangan, maka pegawai yang mengetahui kecurangan yang dilakukan pegawai lain akan terdorong untuk melakukan pelaporan/ pengungkapan atas kecurangan tersebut (Dalton dan Radtke, 2013).

Beberapa penelitian telah dilakukan untuk menguji secara empiris hubungan antara Penelitian terhadap saluran yang digunakan dalam melakukan tindakan whistleblowing. Organisasi-organisasi yang telah memiliki kebijakan formal terkait dengan whistleblowing,

terbukti lebih memilih internal whistleblowing (Barnett et al., 1993; Kaplan et al., 2009). Namun sebaliknya, apabila pegawai merasa bahwa organisasi belum memiliki kebijakan formal, tidak ada jaminan keamanan bagi pelapor maka lebih memilik eksternal whistleblowing. Lingkungan etis juga berkaitan dengan jalur komunikasi yang dipilih formal maupun informal. Pegawai akan merasa aman dan memilih jalur komunikasi formal apabila lingkungan etis dalam organisasi tersebut kuat. Dari diskusi tersebut, hipotesis berikut dapat diturunkan: H1a : Ethical Environment berpengaruh positif terhadap Internal Whistleblowing H1b : Ethical Environment berpengaruh negatif terhadap Eksternal Whistleblowing H1c : Ethical Environment berpengaruh positif terhadap Formal Whistleblowing 2.5.2 Pengaruh Ethical Judgment terhadap intensi melakukan whistleblowing

Menurut Chiu (2002) ethical judgment adalah suatu pemikiran dari pribadi seseorang

secara utuh yaitu tentang suatu permasalahan yang sulit. Keputusan etis dari seseorang dapat muncul dan mengarah pada suatu tindakan evaluasi subjektif dari individu secara etis sehingga melakukan pengungkapan whistleblowing. Sedangkan menurut Barnett et al. (1998) seseorang yang menganggap whistleblowing merupakan tindakan etis akan lebih memungkinkan untuk melaporkan kesalahan yang dilakukan rekan kerja atau atasan. Ethical judgment mengarah kepada pertimbangan tindakan secara etis apa yang harus dilakukan individu untuk membuat keputusan yang tepat.

Individu yang memiliki ethical judgment yang tinggi akan mempertimbangkan hal

yang menurutnya etis atau tidak dalam setiap tindakannya. Apabila dia meliat adanya pelanggaran dilingkungan kerjanya dia akan melakukan tindakan whistleblowing melalui saluran apapun yang ada. Sehingga hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: H2a : Ethical Judgment berpengaruh positif terhadap Internal Whistleblowing H2b : Ethical Judgment berpengaruh negatif terhadap Eksternal Whistleblowing H2b : Ethical Judgment berpengaruh positif terhadap Formal Whistleblowing III. METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian kausalitas yang bertujuan untuk menganalisis hubungan atau pengaruh (sebab akibat) dari dua atau lebih fenomena melalui pengujian hipotesis (Sekaran, 2006). Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari data primer. Data primer penelitian diperoleh langsung dari responden melalui metode pengumpulan data berupa kuesioner. Pembagian kuesioner penelitian dilakukan secara online dengan perangkat google forms. Kuesioner dikirim secara online kepada seluruh responden melalui media Whatsapp maupun email.

Populasi dalam penelitian ini adalah pemeriksa pada Badan Pemeriksa Keuangan dengan peran pemeriksa pertama, pemeriksa muda, pemeriksa madya dan pemeriksa utama. Sedangkan Kriteria yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pemeriksa yang memiliki peran ketua tim dan anggota tim dalam tim pemeriksaan.

Page 6: PENGARUH ETHICAL ENVIRONMENT DAN ETHICAL JUDGMENT …

Prosiding Seminar Nasional Pakar ke 3 Tahun 2020 ISSN (P) : 2615 - 2584 Buku 2: Sosial dan Humaniora ISSN (E) : 2615 - 3343

2.63.6

3.1 Variabel dan Indikator Penelitian

Penelitian ini menggunakan lima variabel sebagaimana digambarkan dalam gambar dibawah ini. Variabel tersebut terdiri dari variabel eksogen dan variabel endogen. Varibel eksogen adalah variabel independen (bebas) yang memengaruhi variabel dependen (terikat) yang ditunjukkan dengan adanya anak panah yang berasal dari variabel tersebut menuju variabel endogen dalam model. Sedangkan variabel endogen adalah variabel dependen (terikat) yang dipengaruhi oleh variabel independen (bebas) yang ditunjukkan dengan adanya anak panah yang menuju variabel tersebut dalam model. Variabel eksogen penelitian ini terdiri atas variabel ethical environment (X1) dan ethical judgment (X2). Sedangkan variabel endogen penelitian ini terdiri atas variabel internal whistleblowing (Y1), eksternal whistleblowing (Y2) dan formal whistleblowing (Y3). 3.2 Teknik Analisis Data

Teknik analisis data dilakukan menggunakan Pemodelan persamaan struktural (Structural equation Modelling atau SEM) berbasis komponen atau varian (component based) yang populer dengan Partial Least Square (PLS) dengan bantuan program SmartPLS (Ghozali, 2008). SEM berbasis varians digunakan untuk mengembangkan teori pada riset yang bersifat eksploratori. Fokus dari riset eksploratori adalah menjelaskan varians dari peubah tak bebas dengan dataset yang ada. Teknik ini dipilih karena PLS menekankan pada prediksi berakurasi tinggi, tidak mengharuskan data mempunyai distribusi yang sama serta dapat menangani ukuran sampel yang kecil dengan model sebab-akibat atau model kausalitas (causal model) yang kompleks yang berfokus untuk memaksimalkan

explained variance dari konstruk-konstruk yang diamati dan bukan pada model fit. (Santoso, 2018). Teknik PLS penelitian menerapkan dua macam komponen pada model kausal yaitu: model pengukuran (measurement model) dan model struktural (structural model). IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Jumlah responden yang mejadi sampel penelitian yaitu 49 orang. Kuisoner penelitian telah dikirim secara online melalui media google forms. Responden penelitian terdiri para pemeriksa di BPK dengan peran pemeriksa pertama dan pemeriksa muda. Berdasarkan jenis kelamin, jumlah responden dalam penelitian ini didominasi oleh laki-laki sebanyak 39 orang (79,59%), sedangkan perempuan sebanyak 10 orang (20,41%). Berdasarkan tingkat pendidikan, responden dalam penelitian ini didominasi oleh pemeriksa dengan latar pendidikan terakhir pada jenjang Sarjana (S1) yaitu sebanyak 39 orang (79,59%). Sedangkan responden dengan tingkat pendidikan Pascasarjana (S2) berjumlah 10 orang (20,41%). Berdasarkan peran pemeriksa, responden dengan peran pemeriksa pertama berjumlah 32 orang (65,31%) sedangkan pemeriksa muda berjumlah 17 orang (34,69%). Adapun untuk peran dalam penugasan didominasi oleh anggota tim dengan jumlah responden 40 orang (81,63%).

4.1 Hasil Analisis Data 4.1.1 Evaluasi Model Pengukuran

Analisis data penelitian dimulai dengan evaluasi model pengukuran yang bertujuan untuk menguji validitas dan reliabilitas dari indikator-indikator yang digunakan. Berdasarkan tabel 3, diketahui bahwa nilai cronbach’s alpha dan composite reliability untuk seluruh konstruk lebih dari 0,6 sehingga dapat dinyatakan bahwa semua konstruk memiliki tingkat reliabilitas yang baik dan memenuhi syarat.

Tabel 2. Nilai AVE, Reliability dan Cronbach Alpha Konstruk Variabel (Konstruk) Cronbach’s

Alpha Composite Reliability

Nilai AVE

Ethical environment 0,873 0,902 0,610

Ethical Judgment 0,853 0,898 0,689

Internal Whistleblowing 0,735 0,848 0,663

Eksternal Whistleblowing 0,919 0,949 0,861

Formal Whistleblowing 0,735 0,869 0,771

Page 7: PENGARUH ETHICAL ENVIRONMENT DAN ETHICAL JUDGMENT …

Prosiding Seminar Nasional Pakar ke 3 Tahun 2020 ISSN (P) : 2615 - 2584 Buku 2: Sosial dan Humaniora ISSN (E) : 2615 - 3343

2.63.7

Selanjutnya hasil olah data untuk menguji validitas konvergen dan validitas diskriminan. Hasil pengujian menunjukan bahwa seluruh konstruk memiliki nilai AVE lebih besar dari 0,5 (table 3) dan nilai outer loading untuk masing-masing indikator penelitian telah memiliki nilai muatan (loading) lebih dari 0,50 yang menandakan bahwa semua indikator telah memenuhi syarat validitas konvergen. 4.1.2 Evaluasi Model Struktural

Setelah penilaian model pengukuran (measurement model) dilakukan dan seluruh konstruk penelitian adalah valid dan reliabel, maka terhadap analisis data dilakukan pengujian tahap berikutnya dalam evaluasi model struktural. Dengan menggunakan metode Bootstrapping pada SmartPLS 3, diperoleh nilai koefisien jalur (path coefficient), nilai t statistik dan p-values sebagaimana ditunjukkan pada tabel 3.

Tabel 3. Koefisien Jalur dan t-Statistik

Jalur Hubungan Coefficient (Original

sample) t-stat P-Value

Ethical Environment -> IWB 0.500 3.522 0.000

Ethical Environment -> EWB -0.123 0.676 0.250

Ethical Environment -> FORMAL 0.584 5.603 0.000

Ethical Judgment -> IWB 0.133 0.923 0.178

Ethical Judgment -> EWB 0.350 2.407 0.008

Ethical Judgment -> FORMAL 0.199 1.764 0.039

Nilai t-tabel dihitung terlebih dahulu dengan ketentuan nilai alpha (α) sebesar 0,05 dan degree of freedom (DF) sebesar n-1. Jumlah data yang digunakan dalam penelitian ini adalah 49, sehingga nilai DF adalah 48. Nilai t-tabel untuk DF 48 dan (α) 0,05 adalah 1,990. Berdasarkan tabel 3, terlihat bahwa tidak semua nilai t-statistik pada tabel di atas lebih besar dari nilai t-tabel 1,990. Dengan demikian, tidak semua variabel independen memiliki pengaruh yang signifikan terhadap variabel dependen pada jalur-jalur hubungan variabel pada model. Ethical Environment memiliki pengaruh yang signifikan terhadap Internal Whistleblowing dan Formal Whistleblowing, sedangkan Ehtical Judgment memiliki pengaruh yang signifikan terhadap Eksternal Whistleblowing dan Formal Whistleblowing. Sementara Ehtical Environment tidak berpengaruh signifikan terhadap Eksternal whistleblowing dan Ethical Judgment tidak berpengaruh secara signifikan terhadap Internal Whistleblowing.

Selain itu, untuk melihat kekuatan untuk menjelaskan atau explanatory power yang dimiliki model dapat dinilai dengan melihat nilai R-Square dari konstruk-konstruk atau variabel dependen. Hasil olah data melalui Bootstrapping disajikan pada tabel 4.

Tabel 4. R-Square (R2) Variabel R Square R Square Ajdusted

Internal Whistleblowing 0.311 0.281

Eksternal Whistleblowing 0.109 0.071

Formal Whistleblowing 0.456 0.432

Tabel 4 menunjukkan bahwa pada model, sebesar 28,1% dari variabilitas (keragaman) total variable (konstruk) Internal Whistleblowing dapat dijelaskan oleh variable-variabel eksogennya yang terdiri dari Ethical Environment (X1) dan Ethical Judgment (X2). Artinya, masih terdapat 71,9% dari keragaman variable IWB yang dapat dijelaskan dari factor-faktor lain sebagaimana telah dijelaskan dalam pendahuluan, seperti factor individual, factor organisasi, dan factor situasional lainnya. Sementara itu, variabilitas (keragaman) total variable eksternal whistleblowing dan formal whistleblowing masing-masing sebesar 7,1% dan 43,2%.

4.2 Pengujian Hipotesis dan Pembahasan Hasil olah data menggunakan SmartPLS diperoleh nilai koefisien jalur (path coefficient) dan nilai t-statistik serta p-values disajikan pada tabel 4 atau model estimasi PLS disajikan pada gambar 3. Pengujian hipotesis penelitian sebagai berikut.

Page 8: PENGARUH ETHICAL ENVIRONMENT DAN ETHICAL JUDGMENT …

Prosiding Seminar Nasional Pakar ke 3 Tahun 2020 ISSN (P) : 2615 - 2584 Buku 2: Sosial dan Humaniora ISSN (E) : 2615 - 3343

2.63.8

Gambar 3. Hasil Pengujian Model Struktural

Sumber: Data Primer, Diolah

4.2.1 Ethical Environment berpengaruh positif terhadap Internal Whistleblowing Pengaruh ethical environment (X1) terhadap Internal Whistleblowing (Y1) memiliki

nilai koefisien jalur 0,500 (nilai p-values = 0,000). Hubungan pada jalur ini terbukti signifikan dengan nilai t-statistik (3,522) > t-table (1,990) dan p-values < 0,05. Secara empiris H1a terbukti dan dinyatakan diterima. Koefisien jalur yang bertanda positif menunjukan bahwa semakin baik ethical environment (lingkungan etis) organisasi yang diperoleh dari adanya misi dan nilai-nilai dalam organisasi, kepemimpinan dan pengaruh management yang baik yang mendukung tindakan whistleblowing, pengaruh rekan kerja yang jujur dan tidak melanggar etik, adanya aturan-aturan dan kode etik yang jelas, seringnya dilaksanakan pelatihan etika serta adanya penghargaan dan sanksi maka secara umum semakin tinggi pula niat mereka untuk melakukan tindakan whistleblowing.

4.2.2 Ethical Environment berpengaruh negatif terhadap Eksternal Whistleblowing

Pengaruh ethical environment (X1) terhadap eksternal whistleblowing (Y2) memiliki nilai koefisien jalur -0,123 (nilai p-values = 0,250). Hubungan pada jalur ini tidak terbukti signifikan dengan nilai t-statistik (0,676) < t-table (1,990) dan p-values > 0,05. Secara empiris H1b tidak terbukti dan dinyatakan ditolak. Koefisien jalur yang benilai negatif sebenarnya menunjukan adanya pengaruh negatif. Ethical environment yang lemah berpengaruh terhadap intensi untuk melakukan whistleblowing kepada pihak diluar organisasi (Eksternal Whistleblowing). Dalam organisasi yang memiliki ethical environment yang lemah, whistleblower merasa lebih aman untuk melaporkan kepada pihak diluar organisasi. Namun demikian, tidak adanya pengaruh antara ethical environment dan eksternal whistleblowing bisa saja terjadi karena ada faktor lain yang tidak diuji dalam penelitian ini misalnya faktor keamanan whistleblower dan pertimbangan reputasi dari organisasi (menjaga reputasi organisasi).

4.2.3 Ethical Environment berpengaruh positif terhadap Formal Whistleblowing

Pengaruh ethical environment (X1) terhadap formal whistleblowing (Y3) memiliki nilai koefisien jalur 0,584 (nilai p-values = 0,000). Hubungan pada jalur ini terbukti signifikan dengan nilai t-statistik (5,603) > t-table (1,990) dan p-values < 0,05. Secara empiris H1c terbukti dan dinyatakan Diterima.

Ethical environment yang kuat menimbulkan kepercayaan diri bagi pelapor untuk mengungkapkan identitasnya melalui jalur formal. Hal ini berkaitan dengan adanya rasa aman dan adanya dukungan dari organisasinya. Selain itu pengaruh rekan kerja yang berperilaku etis juga mempengaruhi pelapor untuk mengungkap tindakan kecurangan melalui saluran resmi.

4.2.4 Ethical Judgment berpengaruh positif terhadap Internal Whistleblowing

Page 9: PENGARUH ETHICAL ENVIRONMENT DAN ETHICAL JUDGMENT …

Prosiding Seminar Nasional Pakar ke 3 Tahun 2020 ISSN (P) : 2615 - 2584 Buku 2: Sosial dan Humaniora ISSN (E) : 2615 - 3343

2.63.9

Pengaruh ethical judgment (X2) terhadap Internal Whistleblowing (Y1) memiliki nilai koefisien jalur 0,133 (nilai p-value = 0,178). Hubungan pada jalur ini tidak terbukti signifikan dengan nilai t-statistik (0,923) < t-table (1,990) dan p-values > 0,05. Secara empiris H2a tidak terbukti dan dinyatakan ditolak. Koefisien jalur yang benilai positif sebenarnya menunjukan adanya pengaruh positif. Ethical judgment merupakan suatu pemikiran atas suatu permasalahan yang sulit. Individu yang menganggap whistleblowing merupakan sutau tindakan etis akan lebih mungkin untuk melaporkan kesalahan yang dilakukan oleh rekan kerja atau atasannya, dibandingkan dengan individu yang menganggap whistleblowing sebagai tindakan yang tidak etis. Namun demikian, dasar pemikiran menyatakan bahwa ethical judgment tidak berpengaruh terhadap internal whistleblowing karena adanya kemungkinan seseorang enggan untuk mengungkapkan tindakan tidak etis di lingkungan organisasinya karena factor personal cost yang tidak diteliti dalam penelitian ini.

4.2.5 Etical Judgment berpengaruh positif terhadap Eksternal Whistleblowing

Pengaruh ethical judgment (X2) terhadap eksternal whistleblowing (Y2) memiliki nilai koefisien jalur 0,350 (nilai p-values = 0,008). Hubungan pada jalur ini terbukti signifikan dengan nilai t-statistik (2,407) > t-table (1,990) dan p-values < 0,05. Secara empiris H2b terbukti dan dinyatakan Diterima.

4.2.6 Ethical Judgment berpengaruh positif terhadap Formal Whistleblowing

Pengaruh ethical judgment (X2) terhadap formal whistleblowing (Y3) memiliki nilai koefisien jalur 0,199 (nilai p-values = 0,039). Hubungan pada jalur ini terbukti signifikan dengan nilai t-statistik (1,764) > t-table (1,990) dan p-values < 0,05. Secara empiris H2c terbukti dan dinyatakan Diterima.

Berdasarkan hipotesis H2b dan H2c, Individu lebih cenderung merasa aman ketika individu tersebut melaporkan tindakan kecurangan yang terjadi di organisasinya kepada pihak luar di luar organisasi dengan melalui jalur formal (mengungkapkan informasi pribadi). Pihak diluar organisasi dianggap lebih transparan dan tidak memiliki conflict of interest. Selain itu kepastian hukum dapat diperoleh dari pihak diluar organisasi. Namun demikian, dalam penelitian ini tidak diuji faktor apa yang mempengaruhi auditor bersedia untuk mengungkapkan tindakan kecurangan kepada pihak diluar organisasi. V. KESIMPULAN

Penelitian ini menguji secara empiris pengaruh ethical environment dan ethical judgment terhadap intensi melakukan whistleblowing. Intensi melakukan whistleblowing dari jalur mana yang dipilih oleh auditor dalam melaporkan tindakan kecurangan. Berdasarkan hasil pengujian, dari enam hipotesis yang diajukan, terdapat dua hipotesis yang ditolak sedangkan empat hipotesis diterima. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa: a. Ethical environment berpengaruh positif terhadap internal dan formal whistleblowing.

Semakin kuat ethical environment maka semakin tinggi pula niat melakukan whistleblowing melalui jalur formal dengan mengungkapkan informasi pribadi kepada pihak internal organisasi misalnya atasan langsung.

b. Ethical judgment berpengaruh positif terhadap formal dan eksternal whistleblowing. Semakin tinggi ethical judgment auditor maka semakin tinggi pula intensi melakukan whistleblowing secara formal kepada pihak diluar organisasi.

DAFTAR PUSTAKA Arnold, V., Lampe, J. C., & Sutton, S. G. (1999). Understanding The Factors Underlying

Ethical Organizations: Enabling Continuous Ethical Improvement. Journal of Applied Business Research (JABR), 15(3), 1.

Arvin, M. & B. Lew. (2014). Does Income Matter in the Happiness-Corruption Relationship?. Journal of Economic Studies 41(3): 469-490.

Ayers, S., & Kaplan, S. E. (2005). Wrongdoing by consultants: An examination of employees' reporting intentions. Journal of Business Ethics, 57(2), 121-137.

Page 10: PENGARUH ETHICAL ENVIRONMENT DAN ETHICAL JUDGMENT …

Prosiding Seminar Nasional Pakar ke 3 Tahun 2020 ISSN (P) : 2615 - 2584 Buku 2: Sosial dan Humaniora ISSN (E) : 2615 - 3343

2.63.10

Batabyal, S. &Chowdhury, A.(2015). Curbing Corruption, Financial Development and Income Inequalityy. Progress in Development Studies 15(1): 49-72.

Barnett, T., Cochran, D. S., & Taylor, G. S. (1993). The internal disclosure policies of private-sector employers: An initial look at their relationship to employee whistleblowing. Journal of Business Ethics, 12(2), 127-136.

Booth, P., & Schulz, A. K.-D. (2004). The impact of an ethical environment on managers’ project evaluation judgments under agency problem conditions. Accounting, Organizations and Society, 29(5-6), 473–488.

Brennan, N., & Kelly, J. (2007). A study of whistleblowing among trainee auditors. The British Accounting Review, 39(1), 61-87.

Brief, A. P., & Motowidlo, S. J. (1986). Prosocial organizational behaviors. The Academy of Management Review, 11(4), 710-725.

Chiu, R. K. (2002). Ethical judgement, locus of control, and whistleblowing intention: A case study of mainland Chinese MBA students. Managerial Auditing Journal, 17(9), 581–587.

Chiu, R. K. (2003). Ethical judgment and whistleblowing intention: Examining the moderating role of locus of control. Journal of Business Ethics, 43, 65–74.

Cuervo-Cazurra, Alvaro.(2006). Who Cares about Corruption?. Journal of International Business Studies 37(6): 807-822.

Dalton, D., & Radtke, R. R. (2013). The joint effects of machiavellianism and ethical environment on whistle-blowing. Journal of Business Ethics, 117(1), 153–172.

Deaton, A &Dreze, J. (2002). Poverty and Inequality in India: A Reexamination. Working

Paper 107, Princeton University. Dworkin, T. M., & Baucus, M. S. (1998). Internal vs. external whistleblowers: A comparison of

whistleblowing processes. Journal of Business Ethics, 17(12), 1281-1298. Dworkin, T. M., & Baucus, M. S. (1998). Internal vs. external whistleblowers: A comparison of

whistleblowing processes. Journal of Business Ethics, 17(12), 1281-1298. Fishbein, M., & Ajzen, I. (1975). Belief, Attitude, Intention, and Behavior: An Introduction to

Theory and Research, Reading, MA: Addison-Wesley. Ghozali, Imam. (2008). Structural Equation Modelling, Edisi II, Universitas Diponegoro,

Semarang. Grant, R. (2002) Contemporary Strategy Analysis. Blackwell Publishing, Malden. Greenberger, D. B., Miceli, M. P., & Cohen, D. J. (1987). Oppositionists and group norms:

The reciprocal influence of whistle-blowers and co-workers. Journal of Business Ethics 6(7), 527-542.

Gupta, S., H. Davoodi, &Alonso-Terme, R. (2002). Does Corruption Affect Inequality and Poverty?. Economics of Governance 2002(3): 23-45.

Gyimah-Brempong, K. (2002). Corruption, Economic Growth, and Income Inequality in Africa. Economics of Governance 2002(3): 183-209.

Henik, E. (2008). Mad as hell or scared stiff? The effects of value conflict and emotions on potential whistle-blowers. Journal of Business Ethics, 80(1), 111–119.

Hwang, D., Staley, B., Chen, Y. T., & Lan, J.-S. (2008). Confucian culture and whistleblowing by professional accountants: An exploratory study. Managerial Auditing Journal, 23(5), 504-526.

Iskandar, A. (2018). Does less corruption reduced income inequality in Indonesia?. Jurnal Tata Kelola dan Akuntabilitas Keuangan Negara 4(2): 165-184.

Kaplan, S. E., Pany, K., Samuels, J. A., & Zhang, J. (2009). An examination of the effects of procedural safeguards on intentions to anonymously report fraud. Auditing: A Journal of Practice and Theory, 28(2), 273–288.

Kaplan, S. E., & Schultz, J. J. (2007). Intentions to report questionable acts: An examination of the influence of anonymous reporting channel, internal audit quality, and setting. Journal of Business Ethics, 71(2), 109-124.

Page 11: PENGARUH ETHICAL ENVIRONMENT DAN ETHICAL JUDGMENT …

Prosiding Seminar Nasional Pakar ke 3 Tahun 2020 ISSN (P) : 2615 - 2584 Buku 2: Sosial dan Humaniora ISSN (E) : 2615 - 3343

2.63.11

Kaptein, M. (2011). From inaction to external whistleblowing: The influence of the ethical culture of organizations on employee responses to observed wrongdoing. Journal of Business Ethics, 98(3), 513-530.

Keenan, J. P. (2000). Blowing the whistle on less serious forms of fraud: A study of executives and managers. Employee Responsibilities and Rights Journal, 12(4), 85-

94. Keenan, J. P. (2002). Whistleblowing: A study of managerial differences. Employee

Responsibilities and Rights Journal, 14(1), 17-32. Keenan, J. P., & Krueger, C. A. (1992). Whistleblowing and the professional. Management

Accounting, 74(2), 21-24. Lehnert, K., Park, Y.-H., & Singh, N. (2015). Research note and review of the empirical

ethical decision-making literature: Boundary conditions and extensions. Journal of Business Ethics, 129, 195–219.

MacNab, B. R., & Worthley, R. (2008). Self-efficacy as an intrapersonal predictor for internal whistleblowing: A US and Canada examination. Journal of Business Ethics, 79(4), 407-421.

Mauro, P. (1995). Corruption and Growth. The Quarterly Journal of Economics 110(3): 681-712.

Mauro, P. (1998). Corruption and the Composistion of Government Expenditure. Journal of Public Economics 69: 263-279.

Meon, P-G. & Sekkat, K.(2005). Does Corruption Grease or Sandthe Wheels of Growth?. Public Choice 122 (1/2): 69-97.

Miceli, M. P., Dreyfus, S., & Near, J. P. (2014). Outsider whistleblowers: Conceptualizing and distinguishing ‘‘bell-ringing’’ behavior. In A. J. Brown, D. Lewis, R. Moberly, & W. Vandekerckhove (Eds.), International handbook on whistleblowing research (pp. 71–94). Cheltenham: Edward Elgar.

Miceli, M. P., Near, J. P., & Dworkin, T. M. (2008). Whistle-blowing in organizations. New York: Routledge: Lawrence Erlbaum Associates.

Miceli, M. P., & Near, J. P. (1988). Individual and situational correlates of whistleblowing. Personnel Psychology, 41(2), 267-281.

Miceli, M. P., & Near, J. P. (1984). The relationships among beliefs, organizational position, and whistle-blowing status: A discriminant analysis. Academy of Management Journal, 27(4), 687-705.

Miceli, M. P., Near, J. P., & Schwenk, C. R. (1991). Who blows the whistle and why?. Industrial & Labor Relations Review, 45(1), 113-130.

Miethe, T. D. (1999). Whistleblowing at work: Tough choices in exposing fraud, waste, and abuse on the job. Boulder, CO: Westview Press.

Mo, P.H. (2001). Corruption and Economic Growth. Journal of Comparative Economics 29:

66-79. Moch.Nazir. (2003), Metode Penelitian, Salemba Empat, Jakarta,63. Near, J. P., & Miceli, M. P. (1985). Organizational dissidence: The case of whistleblowing.

Journal of Business Ethics 4(1), 1-16.

Near, J. P., & Miceli, M. P. (1986). Retaliation against whistle blowers: Predictors and effects. Journal of Applied Psychology, 71(1), 137-145.

Near, J. P., & Miceli, M. P. (1995). Effective whistle-blowing. Academy of Management. The Academy of Management Review, 20(3), 679-708.

Near, J. P., & Miceli, M. P. (1990). When whistleblowing succeeds: Predictors of effective whistle-blowing. Paper presented at the Annual Meeting of the Academy of Management, San Francisco.

Park, H., Rehg, M. T., & Lee, D. (2005). The influence of Confucian ethics and collectivism on whistleblowing intentions: A study of South Korean public employees. Journal of Business Ethics, 58(4), 387–403.

Page 12: PENGARUH ETHICAL ENVIRONMENT DAN ETHICAL JUDGMENT …

Prosiding Seminar Nasional Pakar ke 3 Tahun 2020 ISSN (P) : 2615 - 2584 Buku 2: Sosial dan Humaniora ISSN (E) : 2615 - 3343

2.63.12

Park, H., Blenkinsopp, J., Oktem, M. K., & Omurgonulsen, U. (2008). Cultural orientation and attitudes toward different forms of whistleblowing: A comparison of South Korea, Turkey, and the UK. Journal of Business Ethics, 82(4), 929–939.

Patel, C. (2003). Some cross-cultural evidence on whistle-blowing as an internal control mechanism. Journal of International Accounting Research, 2, 69-96.

Pemerintah Indonesia. 2007. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2007 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 - 2025. Lembaran RI Tahun 2007 No. 17. Sekretariat Negara. Jakarta.

Penner, L. A., Fritzsche, B. A., Craiger, J. P., & Freifeld, T. S. (1995). Measuring The Prosocial Personality. In J. N. Butcher, & C. D. Spielberger (Eds.) Advances in personality assessment, (Vol. 12). Hillsdale, NJ: Erlbaum.

Rest, J. R. (1986). Moral development: Advances in research and theory. New York: Praeger.

Rothwell, G. R., & Baldwin, J. N. (2006). Ethical climates and contextual predictors of whistle-blowing. Review of Public Personnel Administration, 26(3), 216-244.

Rothwell, G. R., & Baldwin, J. N. (2007). Ethical climate theory, whistle-blowing, and the code of silence in police agencies in the State of Georgia. Journal of Business Ethics, 70(4), 341-361.

Santoso, P. I. 2018. Metode Penelitian Kuantitatif Pengembangan Hipotesis dan Pengujiannya Menggunakan SmartPLS, Edisi I. Yogyakarta: Andi.

Schwartz, M. S. (2016). Ethical decision-making theory: An integrated approach. Journal of Business Ethics, 139(4), 755–776.

Seifert, D. L., Sweeney, J. T., Joireman, J., & Thornton, J. M. (2010). The influence of organizational justice on accountant whistleblowing. Accounting, Organizations and Society, 35(7), 707-717.

Sekaran, Uma. 2006. Metode Penelitiaan Bisnis. Jakarta: Salemba Empat.

Sims, R. L., & Keenan, J. P. (1998). Predictors of external whistleblowing: Organizational and intrapersonal variables. Journal of Business Ethics, 17(4), 411-421.

Somers, M. J., & Casal, J. C. (1994). Organizational commitment and whistle-blowing. Group & Organization Management, 19(3), 270–284.

Sweeney, P . 2008. Hotlines Helpful for Blowing The Whistle. Financial Executive. Vol. 24 (4); 28-31.

Umar, Haryono, 2016. Corruption The Devil. Penerbit: Universitas Trisakti, Jakarta. Vallerand, R. J., Pelletier, L. G., Blais, M. R., Briere, N. M., Senecal, C., & Vallieres, E. F.

(1992). The Academic Motivation Scale: A Measure of Intrinsic, Extrinsic, and Amotivation in Education. Educational and Psychological Measurement, 52, 1003-1017.

Zhang, J., Chiu, R. K., & Wei, L.-Q. (2009). On whistleblowing judgment and intention: The roles of positive mood and organizational ethical culture. Journal of Managerial Psychology, 24(7), 627-649.