Upload
others
View
3
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
RJKM
Research Journal of KSI Mist, Vol.1, No.1, Desember 2019
Dewan Redaksi
Pelindung : Prof. Dr. Ariswan, M.Si.
Penasihat : Ir. Suhandoyo, M.S.
Pembina : Dr. Antuni Wiyarsih, M.Pd.
Penanggungjawab : Zulkaisi Dwi Pangarso
Ketua Riset : Hafiizhoh Hanafia
Redaktur : RISET KSI Mist
Sekretaris : Yustia Pramesti
Layout : Abdul Rosyid H.
Anggota Redaksi : Muhammad Faqihul Imam
Hafiizhoh Hanafia
Anissa Fitria
Heni Febriani
Jamaluddin Siregar
Desy Putri Sari
Raihan Rifka P.
Nusyrotus S.
Agus Luqman C. S.
Abdul Rosyid H.
Annisa Huljanah
Penyunting Ahli : Dr. Pujianto
Diterbitkan oleh KSI Mist Alamat Redaksi: Gelanggang Ormawa FMIPA UNY, Jl. Colombo No.1 Kampus
Karangmalang, Sleman, Yogyakarta 55281.
E-mail : [email protected]
Diterbitkan satu kali dalam setahun pada Bulan Desember. Naskah untuk dapat
dimuat harus diketik sesuai dengan petunjuk penulisan dan kriteria yang
tercantum pada halaman belakang dan dikirim ke email:
[email protected] dalam bentuk doc.
Selamat Berkarya!
ISSN 2746-6442
iii
PENGANTAR REDAKSI
Assalamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh
Salam hangat kepada para pembaca RJKM (Research Journal of KSI
Mist). Puji syukur senantiasa kami haturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas
berkat karunia-Nya KSI Mist FMIPA UNY dapat menerbitkan RJKM edisi
pertama pada tahun 2019.
RJKM merupakan jurnal ilmiah yang berisi kumpulan artikel ilmiah dalam
bidang sains hasil penelitian para anggota KSI Mist FMIPA UNY. Jurnal ini terbit
sebanyak satu kali dalam setahun tepatnya pada bulan Desember. Pada edisi kali
ini, pembaca akan memperoleh informasi mengenai berbagai topik penelitian
sains seperti dalam bidang kimia, biologi, fisika, atau pun bidang sains yang
lainnya.
Para pembaca yang budiman, kami selaku penyusun jurnal ilmiah ini,
mengucapkan terimakasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam
pelaksanaan penerbitan jurnal sehingga proses penyusunan dan penerbitan dapat
berjalan dengan lancer. Ucapan terimakasih tersebut kami sampaikan kepada:
1. Prof. Dr. Ariswan, M.Si. selaku Pelindung.
2. Ir. Suhandoyo, M.S. selaku Penasihat.
3. Dr. Antuni Wiyarsih, M.Pd. selaku Pembina.
4. Dr. Pujianto selaku Penyunting Ahli.
5. Zulkaisi Dwi Pangarso selaku Ketua KSI Mist FMIPA UNY.
6. Astuti Naviah Apriliani selaku Kepala Departemen Hubungan dan
Infromasi KSI Mist.
7. Teman-teman anggota KSI Mist yang telah berkontribusi yang tidak
bisa kami sebutkan satu per satu.
Terimakasih telah membaca jurnal ilmiah ini semoga dapat menjadi sumber
wawasan dan meningkatkan jiwa meneliti di kalangan generasi muda.
Wassalamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh.
Salam Redaksi
ISSN 2746-6442
iv
DAFTAR ISI
Cover……………………………………………………………………………...i
Dewan Redaksi…………………………………………………………………...ii
Pengantar Redaksi……………………………………………………………….iii
Daftar Isi…………………………………………………………………………iv
Daftar Karya……………………………………………………………………...v
ISSN 2746-6442
v
RJKM Research Journal of KSI Mist
Uji Kualitas Fisik dan Sediaan Salep Getah Pepaya (Carica papaya
L) sebagai Obat Mata Ikan Menggunakan Basis Hidrokarbon
Afifah Sari Nurseha, dkk.
1-7
CALESO Face and Body (Cassava Leaf Soap) Sabun Herbal Ekstrak
Daun Singkong Solusi Masalah Kulit
Ananda Aprilia, dkk.
8-17
Pengaruh Penggunaan Ekstrak Sansevieria trifasciata terhadap
Reduksi Radiasi Elektromagnetik pada Handphone
Astuti Naviah Apriliani, dkk.
18-25
Optimasi Ekstrak Daun Sungkai untuk Meningkatkan pH Larutan
Fellary Pangesti, dkk.
26-31
Pemanfaatan Biji Semangka (Citrullus lanatus) sebagai Antipiretik
pada Mencit (Mus musculus) yang Diinduksi Ragi Roti
Talcha Ainun Rima Nurfajri, dkk.
32-41
Pengaruh Pemberian Pakan Fermentasi Limbah Ampas Bir terhadap
Peningkatan Pertumbuhan Ayam Pedaging
Yustia Pramesti, dkk.
42-46
Pelatihan Poni Batho sebagai Solusi Produksi Sayur Mandiri di
Permukiman Padat Penduduk
Septiah Winda Ningrum, dkk.
47-55
Uji Efektivitas Pemberian Pakan Tutuyam (Tutut Tulang Ayam)
terhadap Produktivitas Ikan Lele (Clarias Sp.)
Fitriyani Astuti, dkk.
56-63
Sintesis dan Karakterisasi Nanopartikel CDOT Limbah Kubis
(Brassica Oleracea) dengan Metode Pirolisis Microwave Katalis
Zeolit
Silfani, dkk.
64-70
Blue Len (Bromelia For Source Electrical Energy) Based Plant
Microbial Fuel Cell sebagai Alternatif Sumber Energi Listrik yang
Terjangkau
Zulkaisi Dwi Pangarso, dkk.
71-75
Pemanfaatan Limbah Onggok dan Ampas Tahu sebagai Pakan Kaya
Nutrisi untuk Mempercepat Pertumbuhan Cacing ANC
Bella Sinta Hikmasari, dkk.
76-80
Sintesis dan Karakteristik Gugus Fungsi Bioplastik Berbahan Dasar
Selulosa Rumput Gajah (Pennisetum purpureum) dengan
Penambahan Kitosan dan Minyak Biji Jarak
Hestiana, dkk.
81-87
ISSN 2746-6442
vi
Media Peningkatan Efisiensi Pertumbuhan dan Reproduksi Cacing
Tanah (Lumbricus Rubellus) Dengan Campuran Azolla Pinata
Kahfi Imam Faqih Kurnia, dkk.
88-96
Volume 1 Nomor 1 Desember 2019 Hal: 1-96
RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442
Vol.1, No.1, Desember 2019:1-7
RJKM, Research Journal of KSI Mist| 1
UJI KUALITAS FISIK DAN SEDIAAN SALEP GETAH PEPAYA (Carica
papaya L) SEBAGAI OBAT MATA IKAN MENGGUNAKAN BASIS
HIDROKARBON
Afifah Sari Nurseha1), Shilvi Woro Satiti2), Alsa Rizki Safitri3)
1Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Yogyakarta
email: [email protected]
2Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Yogyakarta
email: [email protected]
3Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Yogyakarta
email: [email protected]
Abstrak
Mata ikan disebabkan oleh virus human papilomavirus (HPV) yang menyerang kulit
terutama bagian kaki dan tangan. Penyebab lain penyakit ini adalah akibat tekanan dan
gesekan yang terjadi berulang kali. Telah dilakukan penelitian tentang pembuatan salep
getah pepaya untuk mengatasi penyakit mata ikan dengan memanfaatkan enzim papain
yang terkandung pada getah pepaya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji
sediaan fisik salep getah pepaya dengan basis hidrokarbon yang meliputi uji
organoleptis, uji daya sebar, uji proteksi, dan uji pH. Sediaan salep getah pepaya dibuat
dengan mencampurkan getah pepaya dengan vaselin album sebagai basis hidrokarbon,
gliserin dan alkohol dengan formulasi yang telah ditentukan. Pengujian sifat fisik salep
getah pepaya dengan basis hidrokarbon teridiri atas uji organoleptis yang menghasilkan
getah pepaya dengan massa lunak, berwarna putih bening dengan bau khas getah
pepaya. Uji daya sebar menunjukkan hasil untuk formulasi I sebesar (55,425 ± 7,515
mm) dan formulasi II sebesar (52,39 ± 6,639 mm). Hasil uji daya proteksi menunjukkan
hasil negatif terhadap KOH 0,1 N yang menunjukkan salep dapat memproteksi gangguan
dari luar. Hasil uji pH selama 3 hari menunjukkan pH sebesar 6 untuk kedua formulasi
salep.
Keywords: Getah pepaya, Hidrokarbon, Mata ikan, Salep.
RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442
Vol.1, No.1, Desember 2019:1-7
RJKM, Research Journal of KSI Mist| 2
1. PENDAHULUAN
Mata ikan atau dalam istilah medis
disebut dengan clavus disebabkan oleh
virus Human Papillomavirus (HPV).
Penyakit mata ikan ini pada umumnya
tumbuh pada kulit permukaan kaki,
tumit, jari-jari kaki, telapak dan jari-
jari tangan. Gejala-gejala yang
ditimbulkan yaitu ditandai dengan
penebalan dan pengerasan kulit.
Penyebab lain dari mata ikan adalah
adanya tekanan atau gesekan yang
terus menerus pada daerah tertentu
pada kulit. Penyakit ini harus cepat
diobati karena jika mengalami borok
akan terjadi infeksi. Penyakit mata
ikan bisa juga timbul pada penderita
diabetes yang disebabkan kelainan
saraf pembuluh darah. Pada penderita
diabetes, resiko terkena komplikasi
akibat penyakit mata ikan lebih tinggi
dibandingkan dengan yang tidak
mengidap diabetes.
Umumnya, mata ikan tumbuh di
bagian kaki. Namun, tidak menutup
kemungkinan, mata ikan tumbuh di
bagian tubuh lain seperti di telapak
tangan. Seseorang dapat terinfeksi
virus ini melalui luka kecil atau
goresan pada kulit. Bisa juga melalui
gesekan atau kontak langsung dengan
penderita sebelumnya. Biasanya mata
ikan atau kutil tidak langsung tumbuh
atau terlihat, tapi memerlukan waktu
beberapa minggu atau bahkan bulan
baru kemudian muncul (Edwin, 2015).
Pengobatan penyakit mata ikan ini
biasanya dengan cara memberi muatan
listrik tegangan rendah untuk
membakar pertumbuhan mata ikan
dengan menggunakan alat
elektrokauter. Muatan listrik akan
bergerak melalui ujung jarum untuk
pertumbuhan mata ikan. Selain itu
biasanya akan dilakukan operasi
ringan untuk pengangkatan mata ikan.
Operasi ini dilakukan oleh dokter
spesialis kulit dan biasanya
membutuhkan biaya sekitar
Rp.200.000- 500.000. Pasca operasi
biasanya penderita masih akan
mengalami kesakitan beberapa hari
pada bekas mata ikan yang telah
diangkat.
Pengobatan penyakit mata ikan
secara tradisional masih jarang dikenal
oleh masyarakat, padahal alam telah
menyediakan berbagai obat untuk
penyakit mata ikan ini. Getah pepaya
(Carica papaya L) mengandung
senyawa karpain, alkaloid bercincin
laktonat dengan 7 kelompok rantai
metilen. Dengan konfigurasi itu, tak
hanya tumor dan penyakit kulit yang
disembuhkannya. Karpain juga ampuh
menghambat kinerja beberapa
mikroorganisme. Karpain mencerna
protein mikroorganisme dan
mengubahnya menjadi senyawa
turunan bernama pepton (Bambang,
2015).
Salep merupakan salah satu bentuk
obat luar yang sangat akrab dengan
masyarakat Indonesia. Menurut
Farmakope Indonesia Edisi III:
adalah sediaan setengah padat berupa
massa lunak yang mudah dioleskan
dan digunaka untuk pemakaian luar.
Fungsi utama adalah sebagai bahan
pembawa substansi obat untuk
pengobatan kulit (Anief, 2005)
Pembuatan inovasi obat penyakit
mata ikan dengan memanfaatkan
ekstrak getah pepaya sebagai untuk
mengoptimalkan peranan getah
pepaya sebagai obat tradisional
RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442
Vol.1, No.1, Desember 2019:1-7
RJKM, Research Journal of KSI Mist| 3
merupakan salah astu solusi praktis
dari pengobatan mata ikan. Pembuatan
obat dilakukan dalam bentuk salep
basis hidrokarbon. Salep yang telah
dibuat kemudian dilakukan uji kualitas
fisik berupa uji organoleptik, daya
sebar, proteksi dan pH.
Adanya penelitian ini diharapkan
mampu memberikan informasi
menegenai kualitas fisik dan sediaan
salep getah papaya (Carica papaya L.)
sebagai obat mata ikan menggunakan
basis hidrokarbon. Selain itu dapat
memberikan sumber acuan baru bagi
masyarakat dala optimalisasi getah
pepaya agar dapat dikelola kembali
menjadi produk yang bernilai
ekonomis.
2. METODE
Metode penelitian yang diguakan
adalah metode eksperimen yang
dilakukan di Laboratorium Penelitian
Kimia FMIPA UNY selama 3 bulan.
Subjek dalam penelitian ini adalah
salep dari getah pepaya. Sedangkan
objek penelitian ini adalah uji fisik
sediaan salep getah pepaya (Carica
papaya L.) mengunakan basis
hidrokarbon. Variabel yang digunakan
pada penelitian ini adalah variable
tunggal yaitu kualitas salep getah
papaya yang dilanjutkan dengan uji
kontrol kualitas salep diantaranya, uji
organoleptis, uji daya sebar, uji daya
proteksi, uji iritasi dan pH.
Alat yang digunakan dalam
penelitian ini yaitu mortar, alu, pipet
tetes, pipet volume, spatula, gelas
ukur, timbangan analitik, gelas beker,
water bath, stopwatch, object glass,
cawan petri,indikator universal dan
baskom. Sedangkan bahan yang
dibtuhkan adalah getah pepaya,
vaselin album, gliserin, nipagin,
propilenglikol 10%, alkohol, oleum
rosae, KOH 0,1 M, indicator PP,
kertas saring, aluminium foil dan
aquades.
Penelitian ini terdiri dari 3 tahap
yaitu tahap persiapan, tahap
pembuatan salep dan tahap pengujian
kualitas fisik salep. Tahap persiapan
dilakukan dengan mempersiapkan alat
dan bahan yang dibutuhkan dalam
pembuatan salep getah pepaya. Dalam
tahap pembuatan salep dilakukan
penimbangan bahan sesuai yang
dibutuhkan. Kemudian vaselin album
dilelehkan di atas waterbath. Setelah
itu getah pepaya digerus
menggunakan mortar dan ditetesi
dengan alkohol kemudian diaduk
hingga homogen. Gliserin kemudian
ditambahkan pada campuran getah
pepaya dan alkohol. Kedalam
campuran tersebut ditambahkan
vaselin dan dan bahan campuran,
kemudian diaduk hingga homogen dan
diperoleh sediaan salep.
Tahap yang terakhir yaitu tahap
pengujian salep yang dilakukan
meliputi uji organoleptis, uji daya
sebar, uji daya lekat, uji proteksi dan
uji pH. Uji organoleptis dilakukan
untuk menegetahui kondisi fisik
sediaan salep berdasarkan
penginderaan manusia meliputi bau,
warna, bentuk dan tekstur sediaan
salep. Uji Daya Sebar dilakukan
dengan meletakkan 0,5 gram sediaan
salep ditengan cawan petri. Kemudian
sediaan salep ditutup dengan kaca
yang telah ditimbang, didiamkan
selama 1 menit kemudian diukur
diameter sebarnya. Percobaan
RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442
Vol.1, No.1, Desember 2019:1-7
RJKM, Research Journal of KSI Mist| 4
dilakukan sebanyak 3 kali dengan
penambahan beban seberat 50 gram
tiap percobaan. Data yang diperoleh
kemudian disalurkan ke dalam grafik
hubungan antar beban dan diameter
sebar. Uji yang ketiga yaitu uji
kemampuan proteksi yang dilakukan
dengan mengoleskan salep pada kertas
saring kering (10 cm x 10 cm) yang
telah dibasahi dengan indikator PP.
Setelah itu disiapkan kertas saring (2,5
x 2,5 cm) dengan pembatas paraffin
padat yang telah di lelehkan.
Tempelkan kertas saring yang lebih
kecil diatas kertas saring yang lebih
besar. Kemudian area tersebut ditetesi
dengan KOH 0,1 N. Uji yang terakhir
yaitu uji pH yang dilakukan dengan
mengencerkan 0,5 gram salpe
menggunakan akuades kemudian
diukur pH nya menggunakan kertas
indikator universal.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui kontrol kualitas fisik
sediaan salep getah pepaya dengan
basis hidrokarbon diantaranya uji
organoleptis, uji daya sebar, uji
proteksi dan pH. Getah pepaya yang
digunakan didapatkan dari hasil
penyadapan buah pepaya sebanyak 1
kg yang berasal dari Boyolali. Dalam
pembuatan salep getah pepaya
digunakan dua formulasi yaitu
formula I megandung getah pepaya
sebanyak 2% dan formula II
mengandung getah pepaya sebanyak
3%. Formulasi dasar salep dapat
dilihat dalam tabel 1 berikut ini.
Tabel 1. Formulasi Dasar Salep
Formulasi
Formula I Formula II
% Massa
(g)
% Massa
(g)
Vaselin
Album
90% 9 90% 9
Getah
pepaya
2% 0,2 3% 0,3
Gliserin 4,5% 0,45 3,5% 0,35
Alkohol 3,5% 0,35 3,5% 0,35
Bahan-bahan yang digunakan
ditimbang sesuai formulasi yang telah
ditentukan. Setelah penimbangan,
vaselin album sebagai basis
hidrokarbon dilelehkan dalam
waterbath. Getah pepaya dilarutkan
dalam alkohol lalu tambahkan gliserin
diaduk dalam mortar hingga homogen.
Setelah campuran homogen, campuran
ditambahkan kedalam vaselin album
yang telah meleleh dan diaduk diatas
hotplate agar memudahkan semua
bahan tercampur homogen.
Penambahan alkohol berfungsi
sebagai pelarut karena vaselin album
bersifat tidak larut dalam air.
Penambahan gliserin berfungsi
sebagai penjaga kelembaban kulit dan
menjaga kadar air pada kulit.
Uji kontrol kualitas fisik sediaan
salep getah pepaya yang dilakukan
diantaranya yaitu uji organolepis, uji
daya sebar, uji proteksi dan uji pH.
Pengujian organoleptis bertujuan
untuk mengetahui pemerian salep
yang dihasilkan berupa bentuk, warna
dan bau. Diperoleh hasil uji
organoleptis salep getah pepaya
seperti pada tabel 4.1 dimana hasil
yang ditunjukkan oleh kedua
formulasi yaitu dihasilkan salep getah
pepaya yang berbentuk lunak,
RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442
Vol.1, No.1, Desember 2019:1-7
RJKM, Research Journal of KSI Mist| 5
berwarna putih bening dan berbau
khas getah pepaya. Hasil pengujian
organoleptis salep getah pepaya dapat
dilihat pada tabel 2 dibawah ini :
Tabel 2. Hasil Uji Organoleptis
Formula Pemerian
Bentuk Warna Bau
I Lunak Putih,
bening
Bau khas
getah
pepaya
II Lunak Putih,
bening
Bau khas
getah
pepaya
Hasil pengujian daya sebar salep getah
pepaya dapat dilihat pada tabel 3
dibawah ini:
Tabel 3. Hasil Uji Daya Sebar
Massa
beban
Formula I
(mm)
Formula II
(mm)
d
rerata
(mm)
Luas
(mm2)
d
rerata
(mm)
Luas
(mm2)
0 30 47,10 29 45,53
50 33 51,81 31 48,67
100 37 58,09 35 54,95
150 41 64,37 38,5 60,44
X 35,23 55,425 33,375 52,39
SD 7,515 6,639
Uji daya sebar salep dilakukan
dengan menggunakan cawan petri
yang diberi beban secara bertahap dari
0, 50, 100 dan 150 gram. Hasil
pengujian seperti pada tabel 4.2
diperoleh rata-rata dan standar deviasi
daya sebar dari salep getah pepaya
formulasi I sebesar (55,425 ± 7,515
mm) dan formulasi II sebesar (52,39 ±
6,639 mm). Menurut Garg (2009),
daya sebar yang baik adalah 50-70
mm yang menunjukkan konsisensi
semifluid yang sangat nyaman dalam
penggunaan. Salep getah pepaya ini
menggunakan basis hidrokarbon
berupa vaselin album yang memiliki
sifat minyak dominan sehingga hanya
menyerap sediki air. Hasil pengujian
menunjukkan bahwa sediaan salep
yang dihasilkan memiliki daya sebar
yang cukup baik. Pengujian daya
sebar salep ini bertujuan untuk
mengetahui seberapa besar
kemudahan penyebaran salep. Salep
harus mampu menyebar dengan
mudah tanpa tekanan yang berarti
sehingga mudah dioleskan dan tidak
menimbulkan rasa sakit saat dioleskan
sehingga dapat meningkatkan
kenyamanan penggunaan.
Pengujian daya proteksi salep getah
pepaya dilakukan dengan tujuan untuk
mengetahui kemampuan salep untuk
melindungi kulit dari pengaruh luar
seperti asam, basa, debu, polusi dan
sinar matahari. Hasil pengujian
proteksi getah pepaya dapat dilihat
pada tabel 4 dibawah ini :
Tabel 4. Hasil Uji Proteksi
Form
ula
Waktu
15
det
ik
30
det
ik
45
det
ik
60
det
ik
3
me
nit
5
me
nit
I - - - - - -
II - - - - - -
Keterangan :
+ = muncul noda merah
- = tidak muncul noda merah
Hasil pengujian untuk kedua
formulasi salep tidak menunjukkan
adanya perubahan warna menjadi
merah muda ketika ditetesi KOH 0,1
N mulai dari 15 detik pertama hingga
5 menit selanjutnya. Salep getah
pepaya yang dihasilkan baik dan
memenuhi standar kualitas daya
RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442
Vol.1, No.1, Desember 2019:1-7
RJKM, Research Journal of KSI Mist| 6
proteksi sediaan karena mampu
memberikan proteksi terhadap
pengaruh luar, yang ditandai dengan
tidak munculnya noda merah pada
kertas saring ketika di tetesi dengan
KOH 0,1 N. Ketika KOH 0,1 N
direaksikan dengan indikator
phenoftalein akan memberikan noda
merah muda pada kertas saring,
apabila hal tersebut terjadi artinya
salep kurang baik karena tidak dapat
memberikan proteksi dari pengaruh
luar dan dapat mempengaruhi
efektivitas salep terhadap kulit.
Pengujian pH salep getah pepaya
dilakukan untuk mengetahui tingkat
keasaman dan kebasaan salep terhadap
kulit. Derajat keasaman salep harus
diperhatikan karena penggunaan salep
sebagai obat luar akan kontak
langsung dengan kulit sehingga dapat
mempengaruhi kondisi kulit.
Pengujian pH salep dilakukan dengan
kertas indikator universal yang
dicelupkan pada salep getah pepaya
yang telah diencerkan. Menurut
Yosipovitch (2003) sediaan salep
harus memiliki pH yang sesuai dengan
pH kulit yaitu sekitar 4-6,5. Semakin
kecil pH salep yang berarti semakin
asam maka semakin mudah
mengiritasi kulit, sedangakan semakin
tinggi pH salep maka dapat membuat
kulit menjadi kering. Hasil pengujian
pH salep dapat dilihat dalam tabel 5
dibawah ini :
Tabel 5. Hasil Derajat Keasaman (pH)
Formula Derajat Keasaman (pH)
Hari 1 Hari 2 Hari 3
Formula I 6 6 6
Formula II 6 6 6
Hasil uji pH salep getah pepaya
yang dihasilkan memperlihatkan
bahwa kedua formulasi memberikan
pH yang sama yaitu sebesar 6 selama
3 hari, pH 6 yang dihasilkan termasuk
dalam range pH normal untuk kulit
dimana pada pH tersebut salep yang
dihasilkan tidak terlalu asam dan tidak
terlalu basa.
4. KESIMPULAN
Pembutan salep getah pepaya
(Carica papaya L) menggunakan
vaselin album sebagai basis
hidrokarbon dan pencampuran dengan
getah pepaya dan bahan lainnya yang
dicampur hingga homogen. Hasil Uji
organoleptik menunjukkan hasil kedua
sediaan salep berbentuk massa lunak,
berwarna putih bening dan berbau
khas getah pepaya. Uji daya sebar
menunjukkan hasil formulasi I
(55,425 ± 7,515 mm) dan formulasi II
(52,39 ± 6,639 mm). Uji proteksi
menunjukkan hasil negatif terhadap
KOH yang menunjukkan salep dapat
memproteksi dari ganguan luar. Uji
keasaman (pH) menunjukkan hasil pH
sebesar 6 untuk kedua sediaan salep.
5. REFERENSI
Allen, L.V., 1998.The Art and
Technologi of Pharmaceutical
Compounding. American
Pharmaceutical
Association,Whashington DC.
Anief, Moh. 2002. Ilmu Meracik
Obat. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Ansel, H. C., 1989.Pengantar Bentuk
Sediaan Farmasi. Jakarta:
UniversitasIndonesia Press.
RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442
Vol.1, No.1, Desember 2019:1-7
RJKM, Research Journal of KSI Mist| 7
Depkes RI., 2000.Parameter Standar
Umum Ekstrak Tumbuhan
Obat. Jakarta: Departemen
KesehatanIndonesia.
Rahmawati, F.,Yetti. Uji Kontrol
Kualitas Sediaan Salep Getah
Pepaya.STIKES
Muhammadiyah Klaten.
Suroso, A,Y.1992. Mengerti
Morfologi Tumbuhan. Taristo:
Bandung.
RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442
Vol.1, No.1, Desember 2019:8-17
RJKM, Research Journal of KSI Mist| 8
CALESO FACE AND BODY (CASSAVA LEAF SOAP) SABUN HERBAL
EKSTRAK DAUN SINGKONG SOLUSI MASALAH KULIT
Ananda Aprilia1), Annisa’ Nurrohmah2)
1Pendidikan Fisika, FMIPA, Universitas Negeri Yogyakarta
2Pendidikan Fisika, FMIPA, Universitas Negeri Yogyakarta
Abstrak
Kesehatan kulit menjadi hal yang penting untuk selalu diperhatikan. Kurangnya
seseorang dalam menjaga kesehatan kulit dapat mengakibatkan munculnya permasalan
kulit seperti luka dan jerawat. Luka dan jerawat pada kulit dapat disebabkan karena
aktivitas bakteri Staphylococcus aureus. Salah satu cara efektif untuk menangani jerawat
dan luka adalah menggunakan sabun. Peneliti memiliki gagasan untuk membuat sabun
herbal dari ekstrak daun singkong (Manihot esculenta). Selama ini daun singkong belum
dimanfaatkan secara optimal. Padahal, berdasarkan penelitian daun singkong memiliki
kandungan vitamin c, flavonoid, saponin dan triterpenoid yang dipercaya memiliki
aktivitas antibakteri dan mempercepat proses penyembuhan luka. Tujuan dari penelitian
ini adalah untuk mengetahui pengaruh sabun herbal antiseptik ekstrak daun singkong
(Manihot esculenta) terhadap jerawat dan luka pada kulit akibat bakteri Staphylococcus
aureus. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian eksperimen. Penelitian
dilakukan dengan melakukan beberapa uji yaitu uji organoleptik, uji homogenitas, uji
tinggi busa, uji pH, dan uji iritasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa daun singkong
dapat dimanfaatkan menjadi sabun yang dapat menangani permasalahan kulit seperti
luka dan jerawat. Sabun herbal ekstrak daun singkong aman digunakan bagi masyarakat
Indonesia yang memiliki masalah kulit seperti jerawat dan luka karena mengandung
bahan alami yang cocok digunakan pada semua jenis kulit.
Kata kunci: Jerawat dan luka pada kulit, Manihot esculenta , Sabun.
RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442
Vol.1, No.1, Desember 2019:8-17
RJKM, Research Journal of KSI Mist| 9
1. PENDAHULUAN
Kesehatan kulit merupakan salah
satu faktor penting yang harus
diperhatikan. Beberapa masalah pada
kulit seperti jerawat, panu, kudis,
kurap dapat terjadi karena kurangnya
seseorang dalam menjaga kesehatan
kulit. Masalah pada kulit dapat terjadi
karena adanya infeksi bakteri yang
dapat menimbulkan penyakit dengan
tanda-tanda yang khas, yaitu
peradangan, nekrosis, infeksi folikel
rambut dan pembentukan abses
diantara organ yang sering diserang
oleh bakteri Staphylococcus aureus
adalah kulit yang mengalami luka dan
dapat menyebar ke orang lain yang
juga mengalami luka (Razak, 2013).
Salah satu tumbuhan yang
dipercaya dapat menangani masalah
kulit adalah daun singkong (Manihot
esculenta). Tumbuhan singkong
banyak tumbuh di wilayah Indonesia
khususnya di Yogyakarta. Namun
pemanfaatan singkong di Yogyakarta
kurang optimal, sebatas buahnya
untuk dikonsumsi, daunya sebagai
sayur dan lalapan, dan batangnya
digunakan sebagai kayu bakar manfaat
lebih dari sekedar untuk dikonsumsi
tetapi juga dapat dimanfaatkan dalam
kesehatan kulit termasuk bagian
daunnya. Daun Singkong mengandung
banyak protein, beberapa mineral,
vitamin B1, vitamin B2, vitamin C
dan karoten. Pada penelitian yang
pernah dilakukan, vitamin C dapat
mempercepat proses penyembuhan
luka. Daun Singkong juga
mengandung banyak karbohidrat,
lemak, zat besi, fosfor, kalsium dan
air, flavonoid, saponin dan
triterpenoid. Flavonoid dan saponin
diketahui memiliki aktivitas
antimikroba dan antivirus. Demikian
juga triterpenoid yang diketahui
memiliki aktivitas antivirus dan
antibakteri, serta dapat mengobati
kerusakan pada kulit. Flavonoid
memiliki aktivitas antibakteri dengan
cara mengikat asam amino nukleofilik
pada protein dan inaktivasi enzim.
Senyawa saponin menyebabkan
penurunan tegangan permukaan sel
dan menyebabkan sel lisis. Senyawa
tanin bekerja dengan cara mengikat
dinding protein sehingga
pembentukan dinding sel bakteri
terhambat (Saraswati, 2015).
Salah satu menjaga kesehatan kulit
adalah dengan membersihkan kulit
secara rutin menggunakan sabun.
Daun singkong memiliki kandungan
saponin dan vitamin c sehingga
memiliki potensi sebagai sabun herbal
antiseptik untuk mengobati kerusakan
jaringan kulit seperti timbulnya
jerawat dan luka pada kulit akibat
bakteri Staphylococcus aureus. Setiap
orang memiliki sensitivitas kulit yang
berbeda-beda. Sabun yang
mengandung bahan kimia terlalu
banyak akan menimbulkan kerusakan
kulit seperti kulit kering, timbul
kemerah-merahan dan rasa perih.
Sabun herbal daun singkong dianggap
lebih aman bagi kesehatan kulit.
Berdasarkan uraian di atas peneliti
berinisiatif untuk membuktikan bahwa
daun singkong dapat dijadikan sebagai
sabun herbal untuk menangani
masalah kulit seperti jerawat yang
tidak hanya di bagian wajah tetapi
juga untuk seluruh tubuh.
RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442
Vol.1, No.1, Desember 2019:8-17
RJKM, Research Journal of KSI Mist| 10
Gambar 1. Daun Singkong
Berdasarkan latar belakang
tersebut, maka dapat dirumuskan (a)
Bagaimana kandungan ekstrak daun
singkong (Manihot esculenta) sebagai
sabun herbal antiseptik?. (b)
Bagaimana pengaruh sabun herbal
antiseptik ekstrak daun singkong
(Manihot esculenta) terhadap kulit?
Adapun tujuan yang akan dicapai pada
penelitian ini yaitu (a) Mengetahui
kandungan ekstrak daun singkong
(Manihot esculenta) sebagai sabun
herbal antiseptik. (b) Mengetahui
pengaruh sabun herbal antiseptik
ekstrak daun singkong (Manihot
esculenta) terhadap kulit. Luaran yang
diharapkan dari penelitian ini adalah
sabun herbal antiseptik ekstrak daun
singkong (Manihot esculenta) yang
dapat menangani jerawat dan luka
pada kulit akibat bakteri
Staphylococcus epidermis sehingga
menghasilkan artikel ilmiah mengenai
sabun herbal antiseptik ekstrak daun
singkong (Manihot esculenta) sebagai
solusi alami penanganan jerawat dan
luka. Hasil penelitian ini akan
dipublikasikan dalam seminar dan
jurnal ilmiah yang nantinya akan
bermanfaat bagi pembaca dan
masyarakat umum.
Daun singkong mengandung
flavonoid rutin, saponin, tannin,
vitamin C, vitamin A, vitamin B1, zat
besi, hidrat arang, klasium, fosfor,
lemak dan mengandung protein yaitu
asam amino metionin (Agoes, 2010).
Flavonoid, saponin dan tannin dalam
tanaman daun singkong mempunyai
potensi dalam aktivitas antibakteri.
Saponin juga diketahui dapat bekerja
sebagai antimikroba, senyawa ini
mampu menghambat dehidrogenase
jalur prostaglandin (Robinson, 1995).
Jerawat adalah kondisi abnormal
kulit akibat terjadi gangguan
berlebihan produksi kelenjar minyak
(Sebaceous gland) yang menyebabkan
penyumbatan saluran folikel rambut
dan pori-pori kulit. Jerawat dapat
timbul di permukaan kulit muka,
bagian dada dan atas lengan
(Saraswati, 2015). Bakteri penyebab
jerawat dan luka pada kulit
diantaranya bakteri Staphylococcus
epidermidis dan Staphylococcus
aureus. Sedangkan luka adalah
keadaan dimana kontinuitas jaringan
rusak oleh karena trauma dari benda
tajam atau tumpul, perubahan suhu,
kimiawi, listrik, radiasi, atau gigitan
hewan. Sebagai respon dari kerusakan
jaringan tersebut, maka tubuh akan
berusaha untuk memperbaiki jaringan
yang rusak melalui mekanisme
penyembuhan luka (Ariani, 2014).
Sabun adalah garam alkali
karboksilat (RCOONa). Gugus R
bersifat hidrofobik karena bersifat
nonpolar dan COONa bersifat
hidrofilik (polar). Proses yang terjadi
dalam pembuatan sabun disebut
sebagai saponifikasi (Girgis, 2003).
Alkali yang digunakan yaitu NaOH,
bahan lain yang digunakan pada
pembuatan sabun mandi yaitu
tigliserida berupa minyak atau lemak,
misalnya digunakan minyak kelapa
sawit, minyak biji katun dan minyak
RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442
Vol.1, No.1, Desember 2019:8-17
RJKM, Research Journal of KSI Mist| 11
kacang (Oluwatoyin, 2011). Ada 2
jenis sabun yang dikenal, yaitu sabun
padat (batangan) dan sabun cair
(Hambali, 2005).
2. METODE
Jenis penelitian yang digunakan
adalah penelitian eksperimen yang
bertujuan untuk mengetahui pengaruh
sabun herbal antiseptik ekstrak daun
singkong (Manihot esculenta)
terhadap jerawat dan luka pada kulit
akibat bakteri Staphylococcus
epidermis. Tempat penelitian akan
dilaksanakan di Laboratorium
Penelitian Kimia FMIPA UNY,
sedangkan waktu untuk penelitian ini
dilaksanakan selama 2 bulan. Subjek
pada penellitian ini adalah daun
singkong (Manihot esculenta). Daun
singkong yang akan digunakan dalam
penelitian ini adalah daun singkong
yang sudah tua karena daun singkong
yang sudah tua lebih banyak
mengandung klorofil, saponin,
vitamin c, flavonoid dan kandungan
kimia lainnya. Objek pada penelitian
ini formulasi kandungan daun
singkong dan aktivasi anti bakteri
Staphylococcus epidermis dalam
penanganan jerawat dan luka pada
kulit. Alat yang dikunakan dalam
penelitian ini meliputi batang
pengaduk penumbuk, kain bersih,
sarung tangan, Waskom, gelas ukur,
gelas bekker, pipet tetes, timbangan
analitik, dan cetakan. Bahan yang
digunakan dalam penelitian ini
meliputi daun singkong, aquades,
minyak zaitun, minyak kelapa sawit,
minyak goreng, dan NaOH.
Proses pembuatan sabun herbal
ekstrak daun singkong yaitu diawali
dengan menimbang daun singkong
yang telah kering sebanyak 15 gram
menggunakan timbangan analitik.
Daun singkong dipilih yang baik
kualitasnya, kemudian dicuci
menggunakan air bersih. Daun
singkong yang telah disiapkan
ditumbuk hingga halus setelah itu
disaring menggunakan kain tipis
hingga diperoleh ekstrak daun
singkong. Untuk mendapatkan hasil
ekstrak yang lebih optimal, air perasan
kembali disaring menggunakan kertas
saring. Proses pembuatan ekstrak daun
singkong dapat digambarkan melalui
diagram alir sebagai berikut,
Gambar 2. Alur Proses Pembuatan
Ekstrak Daun Singkong
Pembuatan sabun padat diawali
dengan menyiapkan alat dan bahan
yang dibutuhkan, selanjutnya adalah
pembuatan basis sabun, yaitu diawali
dengan menuangkan zaitun sebanyak
75 ml, minyak kelapa sawit sebanyak
50 ml, dan minyak goreng sebanyak
50 ml ke dalam waskom. Melarutkan
12,5 gram NaOH ke dalam 35 ml
aquades, diaduk hingga larut dan
mencapai suhu ±40°C. Kemudian
menuangkan larutan NaOH ke dalam
minyak zaitun sedikit demi sedikit dan
diaduk hingga homogen dan
mengental. Bahan yang dimasukkan
RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442
Vol.1, No.1, Desember 2019:8-17
RJKM, Research Journal of KSI Mist| 12
terakhir adalah ekstrak daun singkong.
Setelah penambahan ekstrak tersebut,
campuran kembali diaduk hingga
homogen. Setelah semuanya
tercampur masukkan ke dalam
cetakan. Kemudian sabun didiamkan
pada tempat tertutup dengan suhu
kamar untuk memasuki masa curing
dan proses saponifikasi. Proses
pembuatan sabun herbal ekstrak daun
singkong dapat digambarkan melalui
diagram alir sebagai berikut,
Gambar 3. Alur Proses Pembuatan
Sabun Herbal Ekstrak Daun Singkong
Uji yang dilakukan untuk menguji
kelayakan sabun herbal ekstrak daun
singkong meliputi :
1. Uji Organoleptik
Pada sediaan yang telah
diformulasikan dilakukan
pengamatan pengamatan sediaan
meliputi aroma, warna dan bentuk
sediaan. Pengujian dilakukan
selama 28 hari dan diamati setiap 7
hari.
2. Uji Homogenitas
Uji homogenitas dilakukan
dengan cara setiap sediaan sabun
yang belum memadat diambil
sedikit dari sediaan dan digoreskan
pada sekeping kaca atau bahan
transparan lainnya. Sabun yang
homogen tidak terdapat gumpalan
maupun butiran kasar.
3. Uji Tinggi Busa
Uji tinggi busa dilakukan
dengan cara diambil sampel
sebanyak 1 mL, dimasukkan ke
dalam tabung reaksi, kemudian
ditambahkan akuades sampai 10
ml, dikocok dengan membolak-
balikkan tabung reaksi selama 20
detik, lalu segera diukur tinggi busa
yang dihasilkan. Lalu, tabung
didiamkan selama 5 menit,
kemudian diukur lagi tinggi busa
yang dihasilkan setelah 5 menit
(Sari & Ferdinan, 2017).
4. Uji pH
Uji pH sabun padat dilakukan
dengan pH meter. Rentang standar
pH sabun padat adalah 9. Pengujian
dilakukan selama 28 hari dan
diamati setiap 7 hari.
5. Uji Iritasi
Uji iritasi dilakukan dengan cara
mencoba sabun padat pada telapak
tangan dan didiamkan serta diamati
selama 5 menit. Pemeriksaan ini
dilakukan terhadap peneliti untuk
masing-masing formula selama tiga
hari berturut-turut.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pengujian organoleptik
ekstrak tersebut memiliki bau khas
aromatik, bentuk konsistensi sedikit
kental, warna hijau pekat, dan rasa
pahit agak kelat. Daun singkong
mengandung flavonoid rutin, saponin,
tannin, vitamin C, vitamin A, vitamin
B1, zat besi, hidrat arang, klasium,
fosfor, lemak dan mengandung protein
RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442
Vol.1, No.1, Desember 2019:8-17
RJKM, Research Journal of KSI Mist| 13
yaitu asam amino metionin (Agoes,
2010). Flavonoid, saponin dan tannin
dalam tanaman daun singkong
mempunyai potensi dalam aktivitas
antibakteri. Kandungan flavonoid,
saponin dan tanin dalam daun
singkong diketahui, senyawa-senyawa
tersebut mempunyai aktivitas sebagai
antibiotik yang membunuh bakteri.
Daun singkong memiliki Flavonoiod
yang diperkirakan memiliki efek anti
inflamasi dan analgesik (Sukrasno,
2009). Flavonoid berfungsi sebagai
anti radang dengan cara menghambat
enzim siklooksigenase dan
lipoksigenase dapat memberi harapan
untuk pengobatan gejala peradangan
dan alergi. Mekanisme flavonoid
dalam menghambat terjadinya radang
melalui dua cara, yaitu menghambat
metabolisme arakhidonat melalui jalur
lipoksigenase, dan sekresi enzim
lisosom dari sel endothelial sehingga
menghambat fase proliferasi dan fase
eksudasi dari proses radang. Saponin
mempunyai kemampuan sebagai
pembersih dan antiseptik yang
berfungsi membunuh atau mencegah
pertumbuhan dari mikroorganisme
yang tibul pada luka sehingga luka
tidak mengalami infeksi yang berat
(Robinson, 1995).
Tabel 1. Formula Sabun Padat Herbal Ekstrak
Daun Singkong
For
mul
a
Ma
ssa
Na
O
H
Konse
ntrasi
Miny
ak
Zaitu
n
Konse
ntrasi
Miny
ak
Kelap
a
Sawit
Konse
ntrasi
Miny
ak
Goren
g
For
mul
a 1
17,
5
gra
m
27,6
%
20,7
%
20,7
%
For
mul
a 2
12,
5
gra
m
34,1
%
22,7
%
22,7
%
Pada tes organoleptik sediaan
sabun herbal ekstrak daun singkong
dan dasar sabunnya menunjukan
sediaan padat yang merupakan bentuk
dari sabun. Sabun herbal ekstrak daun
singkong memberikan bau yang khas
dari daun singkong, tetapi pada
penelitian ini aroma daun singkong
tertutup oleh aroma minyak zaitun,
dan warna sabun ini cokelat yang
merupakan campuran dari warna daun
singkong dan minyak. Sediaan sabun
herbal dinyatakan homogen jika dasar
sabun, bahan aktif dan bahan
tambahan lain tercampur merata.
Dilihat berdasarkan tidak adanya
gumpalan maupun butiran kasar pada
sediaan sabun herbal ektrak daun
singkong. Sediaan sabun yang
homogen mengindikasikan bahwa
ketercampuran dari bahan-bahan
sabun serta ekstrak daun singkong
yang digunakan baik sehingga tidak
didapati gumpalan ataupun butiran
kasar pada sediaan. Suatu sediaan
RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442
Vol.1, No.1, Desember 2019:8-17
RJKM, Research Journal of KSI Mist| 14
sabun harus homogen dan rata agar
tidak menimbulkan iritasi dan
terdistribusi merata ketika digunakan.
Untuk dapat mengetahui sediaan
sabun homogen atau tidak, dapat
diketahui dengan mengambil sedikit
dari sediaan dan digoreskan pada
sekeping kaca atau bahan transparan
lainnya.
Tabel 2. Hasil Uji pH
Formula pH
Formula 1 13
Formula 2 9,5
pH sediaan sabun harus
disesuaikan dengan pH kulit manusia
yaitu 9 sehingga aman untuk
digunakan, karena pH yang terlalu
asam dapat mengiritasi kulit
sedangkan pH yang terlalu basa dapat
membuat kulit bersisik. Pengukuran
pH dilakukan dengan menggunakan
pH meter. Pemeriksaan uji iritasi kulit
sediaan sabun dilakukan dengan sabun
herbal daun singkong digunakan
langsung pada tangan manusia bagian
telapak tangan dalam selama 5 menit.
Jika hasil pemeriksaan menunjukan
tidak adanya timbul kemerahan dan
gatal-gatal berarti tidak terjadi reaksi
iritasi. Hasil uji menunjukkan sabun
herbal dengan formula 1 yang
memiliki pH 13, mengakibatkan kulit
pemakai menjadi bersisik karena
sabun terlalu basa. Sabun herbal
dengan formula 2 yang memiliki pH
9,5 dan pada kulit tidak menimbulkan
iritasi.
Tabel 3. Hasil Uji Tinggi Busa
Formula Tinggi busa
sebelum 5
menit
Tinggi Busa
setelah 5
menit
Formula 1 2,4 cm 0,9 cm
Formula 2 3,8 cm 2,1 cm
Pengujian tinggi busa dilakukan
dengan melarutkan sabun pada
aquades, dikocok hingga keluar busa,
kemudian diukur tinggi busa. Setelah
melakukan pengukuran larutan
didiamkan selama 5 menit untuk
kemudian diukur tingginya kembali.
Setelah dilakukan pengujian, sabun
dengan formula 1 memiliki tinggi
busa mula-mula setinggi 2,4 cm, dan
setelah didiamkan selama 5 menit
tinggi busa menjadi 0,9 cm. Pada
formula 2 memiliki tinggi busa mula-
mula setinggi 3,8 cm, dan setelah
didiamkan selama 5 menit tinggi busa
menjadi 1,2 cm.
Luka adalah hilang atau rusaknya
sebagian jaringan tubuh. Keadaan ini
dapat disebabkan oleh trauma benda
tajam atau tumpul, perubahan suhu,
zat kimia, sengatan listrik, atau gigitan
hewan (Sjamsuhidajat & Jong, 2003).
Proses penyembuhan luka dapat
didefinisikan sebagai perbaikan dari
diskontinuitas jaringan setelah
mengalami trauma (Perkasa, 2009).
Penyembuhan luka merupakan suatu
proses karakterisasi yang kompleks
melalui homeostasis, repitelisasi,
pembentukan jaringan dan
memperbaiki bentuk matriks
extraseluler (Pirbalouti, 2010).
Penyembuhan luka dapat terganggu
oleh penyebab dari dalam tubuh
sendiri (endogen) atau oleh penyebab
dari luar tubuh (eksogen). Dalam
proses penyembuhan luka terdapat 4
RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442
Vol.1, No.1, Desember 2019:8-17
RJKM, Research Journal of KSI Mist| 15
fase. Pertama fase koagulasi dimana
pada fase ini terjadi pembekuan darah.
Fase yang kedua yaitu fase inflamasi
dimana pada fase ini mempunyai
prioritas fungsional yaitu
menggalakkan hemostasis,
menyingkirkan jaringan mati, dan
mencegah infeksi oleh bakteri patogen
terutama bakteria. Fase ke tiga yaitu
fase proliperatif dimana fase ini terjadi
pada hari ke 4-21 setelah trauma,
keratinosit disekitar luka mengalami
perubahan fenotif. Fase yang keempat
fase remodeling dimana fase ini
adalah fase paling lama yaitu fase
penyembuhan (Sjamsuhidat & Jong, et
al., 2003).
Percobaaan ini menghasilkan dua
formula sabun, dengan setiap formula
memiliki perbedan masa NaOH dan
konsentrasi minyak zaitun, konsentrasi
minyak kelapa sawit, dan konsentrasi
minyak goring. Formula pertama
menggunakan massa NaOH sebesar
17,5 gram dengan konsentrasi minyak
zaitun sebanyak 27,6 %, konsentrasi
minyak kelapa sawit sebanyak 20,7 %,
dan konsentrasi minyak goring
sebanyak 20,7 %. Formula kedua
menggunakan massa NaOH sebesar
12,5 gram dengan konsentrasi minyak
zaitun sebanyak 34,1 %, konsentrasi
minyak kelapa sawit sebanyak 22,7 %,
dan konsentrasi minyak goring
sebanyak 22,7 %. Sabun dengan
formula 1 memiliki pH yang terlalu
tinggi sehingga ketika digunakan pada
kulit, kulit menjadi bersisik. Sabun
dengan formula 2 memiliki pH yang
cukup aman bagi kulit manusia. Sabun
dengan formula 2 ketika digunakan
tidak menunjukkan efek iritasi.
4. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang
telah dilakukan dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1. Daun singkong (Manihot
esculenta) memiliki kandungan
seperti flavonoid rutin, saponin,
tannin, vitamin C, vitamin A,
vitamin B1, zat besi, hidrat arang,
klasium, fosfor, lemak dan
mengandung protein yaitu asam
amino metionin. Kandungan
flavonoid, saponin dan tanin dalam
daun singkong diketahui, senyawa-
senyawa tersebut mempunyai
aktivitas sebagai antibiotik yang
membunuh bakteri sehingga
memiliki potensi sebagai bahan
baku pembuatan salep herbal
antiseptic.
2. Memperoleh 2 formula sabun,
sabun pertama ketika digunakan
mengakibatkan kulit bersisik
karena pH yang terlalu basa,
sedangkan pada sabun dengan
formula 2 ketika digunakan tidak
menunjukkan efek iritasi.
Berdasarkan hasil penelitian
tersebut sabun 2 lebih aman untuk
digunakan.
5. REFERENSI
Agoes, H. A. Tanaman Obat
Indonesia. Buku 1. Jakarta:
Penerbit Selemba Medika;
Hal. 81; 2010.
Ariani, S. (2014). Khasiat Daun
Binahong (Anredera
cordifolia (Ten.) Steenis)
terhadap Pembentukan
Jaringan Granulasi dan
Reepitelisasi Penyembuhan
RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442
Vol.1, No.1, Desember 2019:8-17
RJKM, Research Journal of KSI Mist| 16
Luka Terbuka Kulit
Kelinci. Jurnal e-
Biomedik, 1(2). Vol 1, No 2
Girgis, A.Y. 2003. Production of High
Quality Castile Soap from
High Rancid Olive Oil.
Gracasy Aceites . 54(3):226-
233.
Hambali, E., A. Suryani, dan M. Rifai.
2005. Membuat Sabun
Tranparan untuk Gift dan
Kecantikan. Penebar
Swadaya, Jakarta : 1923.
Oluwatoyin SM., (2011), Quality
Soaps Using Different Oil
Blends, Journal of
Miicrobiology and
Biotechnology Research, 1
(1) 29-34.
Perkasa, M. F. (2009). Bleeding in
surgery. The Indonesian
Journal of Medical Science,
2, (2): 96-101.
Pirbalouti, A. G., Koohpayeh, A., &
Karimi, I. (2010). The wound
healing activity of flower
extracts of Punica granatum
and Achillea kellalensis in
wistar rats. Journal of Acta
Poloniae Pharmaceutica, 67,
(1): 107-110.
Razak, Abdul., Aziz Djamal., Gusti
Revilla. Uji Daya Hambat
Air Perasan Buah Jeruk Nipis
(Citrus aurantifolia) Terhadap
Pertumbuhan Bakteri
Staphylococcus aureus
Secara In Vitro. Jurnal
Kesehatan Andalas. 2013. 2
(1). 05-08.
Robinson, T.1995.Kandungan
Organik Tumbuhan
Tinggi.Bandung:ITB.Saising,
J.; Hiranrat, A.;
Mahabusarakan, W.;
Ongsakul, M. &
Voravuthikunchai, S.P. 208.
Rhodomyrthone from
Rhodomyrtus tomentosa
(Aiton) Hassk. As a Natural
Antibiotic for Staphylococcus
Cutaneous Infection. Journal
of Health Science, 54(5) 589-
595.
Saraswati, F. N. (2015). Uji aktivitas
Antibakteri Ekstrak etanol
96% Limbah Kulit Pisang
Kepok Kuning (Musa
balbisiana) terhadap Bakteri
Penyebab Jerawat
(Staphylococcus epidermidis,
Staphylococcus aureus,
Propionibacterium
acne). Skripsi. Jakarta. UIN
Syarif Hidayatullah.
Sari, R., & Ferdinan, A. (2017).
Pengujian Aktivitas
Antibakteri Sabun Cair dari
Ekstrak Kulit Daun Lidah
Buaya Antibacterial Activity
Assay of the Liquid Soap
from the Extract of Aloe vera
Leaf Peel Abstrak.
Pharmaceutical and Science
Research, 4(3), 111–120.
Sjamsuhidajat, R. & Wim de jong.
(2003). Ilmu Bedah. (Edisi
2). Buku Kedokteran.
Jakarta: EGC.
Sukrasno, 2009, “ Efek
Imunomodulator ekstrak air
RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442
Vol.1, No.1, Desember 2019:8-17
RJKM, Research Journal of KSI Mist| 17
temulawak (Curcuma
xanthorrhiza Roxb)”.Forum
Obat Herbal indonesia, 2006.
RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442
Vol.1, No.1, Desember 2019:18-25
RJKM, Research Journal of KSI Mist| 18
PENGARUH PENGGUNAAN EKSTRAK SANSEVIERIA TRIFASCIATA
TERHADAP REDUKSI RADIASI ELEKTROMAGNETIK PADA
HANDPHONE
Astuti Naviah Apriliani1), Risma Nor Fadilla2), dan Ulfi Rohmawati3)
1Pendidikan Kimia, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta
Email : [email protected]
2Pendidikan Matematika, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta
Email : [email protected]
3Fisika, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta
Email : [email protected]
ABSTRAK
Proses industri 4.0 mendorong Indonesia untuk berperan aktif dalam berbagai
sektor, seperti sektor teknologi. Hal ini dibuktikan oleh Lembaga Riset Digital
Marketing Emarketer memperkirakan pada 2019 jumlah pengguna aktif handphone
di Indonesia akan meningkat 66% dari tahun 2015. Dampak negatif radiasi
handphone sangat berbahaya bagi manusia jika dibiarkan dalam jangka waktu yang
lama. Salah satu cara untuk mereduksi radiasi handphone dari gelombang
elektromagnetik yaitu dengan metode adsorpsi. Metode adsorpsi merupakan
metode penyerapan menggunakan adsorben. Adsorben yang dapat digunakan
adalah lidah mertua (Sansevieria trifasciata). Lidah mertua mengandung
pregnane glikosid yang mampu menyerap 107 unsur yang terkandung dalam
polusi udara termasuk sebagai penangkal radiasi. Pemanfaatan Sansevieria sebagai
terobosan baru dalam dunia industri handphone, yaitu case anti radiasi. Penurunan
gelombang radiasi handphone dapat dilihat dari aplikasi android Radiation Meter pada
handphone yang dipasang case Sansevieria. Hasil dari penelitian menunjukkan
terjadinya penurunan gelombang radiasi sebesar 5-10% pada pemakaian 35 menit
online dengan handphone terpasang case Sansevieria. Oleh karena itu, penggunaan
case ini efektif untuk dijadikan pereduksi gelombang radiasi elektromagnetik pada
handphone.
Kata kunci : handphone, radiasi, Sansevieria
RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442
Vol.1, No.1, Desember 2019:18-25
RJKM, Research Journal of KSI Mist| 19
1. PENDAHULUAN
Handphone merupakan alat
komunikasi dua arah dengan
menggunakan gelombang radio yang
juga dikenal dengan radio frequency
(RF). Gelombang radio inilah yang
menimbulkan radiasi dan banyak
kontroversi dari berbagai kalangan
tentang keamanan penggunaan
handphone. Dampak yang
ditimbulkan dari radiasi handphone
menurut sebuah laporan hasil
penelitian dari Swedia (European
Journal of Cancer Prevention, 2002)
menyebutkan bahwa pengguna
handphone lebih rentan terkena
kanker otak bila dibandingkan dengan
yang tidak pernah menggunakan sama
sekali (Enny, 2016). Pengukuran
kadar radiasi sebuah handphone
umumnya disebut dengan Specific
Absorption Rate (SAR). Pengukur
energi radio frekuensi atau RF yang
diserap oleh jaringan tubuh pengguna
handphone bisa dinyatakan sebagai
units of watts perkilogram (W/kg).
Batas SAR yang ditetapkan oleh
ICNIRP adalah 2.0 W/kg. Sementara
The Institute of Electrical and
Electronics Engineers (IEEE) juga
telah menetapkan sebuah standar baru
yang digunakan oleh negara Amerika
dan negara lain termasuk Indonesia
adalah dengan menggunakan batas
1.6W/kg. Penelitian mengenai
pengaruh gelombang mikro terhadap
tubuh manusia menyatakan bahwa
rata-rata telah mencapai 10 Wm/cm2
(Alit Swamardika, 2009). Oleh karena
pengurangan gelombang radio
tersebut sebelum sampai pada tubuh
manusia.
Salah satu cara untuk mereduksi
radiasi handphone yaitu dengan
metode adsorpsi. Metode adsorpsi
merupakan metode penyerapan
menggunakan adsorben. Adsorben
yang banyak digunakan adalah lidah
mertua. Tanaman lidah mertua dapat
ditemukan pada daerah dataran rendah
dan beriklim tropis, khususnya di
wilayah Kabupaten Bantul.
Pemanfaatan lidah mertua oleh
masyarakat masih jarang dilakukan,
umumnya hanya digunakan sebagai
tanaman hias. Berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Purwanto pada
tahun 2006 lidah mertua mengandung
pregnane glikosid yang mampu
menyerap 107 unsur yang terkandung
dalam polusi udara, termasuk sebagai
penangkal radiasi. Lidah mertua
diketahui dapat menyerap paparan
radiasi berdasarkan penelitian yang
dilakukan (Retno, 2016) didapatkan
hasil bahwa Sansevieria trifastiaca
laurentii efektif mampu menurunkan
radiasi dari jarak 3 cm sebesar
13,74%.
Berdasarkan permasalahan
tersebut, perlu dilakukan suatu
penelitian untuk menurunkan jumlah
radiasi sebelum gelombang radio
tersebut masuk ke dalam tubuh
manusia. Penelitian ini mencoba
menerapkan metode adsorbsi untuk
mengetahui pengaruh penggunaan
lidah mertua sebagai adsorben untuk
mengurangi kadar radiasi dalam
gelombang radio handphone.
2. METODE PENELITIAN
Penelitian case Sansevieria
dilakukan di Laboraturium Penelitian
Fisika dan Kimia Fakultas MIPA
RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442
Vol.1, No.1, Desember 2019:18-25
RJKM, Research Journal of KSI Mist| 20
UNY serta pengambilan lidah mertua
di Yogyakarta dan Bantul. Waktu
yang diperlukan dalam penelitian ini
yakni selama 4 bulan. Proses
penelitian dilakukan dalam tiga tahap
yaitu pembuatan ekstrak, pembuatan
case dan pengujian case.
Subjek dan Objek Penelitian :
1. Subjek Penelitian, adalah
ekstrak pregnane glikosid pada
lidah mertua (Sansevieria).
2. Objek Penelitian, adalah
radiasi pada handphone.
Variabel Penelitian :
1. Variabel Bebas, penelitian
adalah variasi lama waktu
pemaparan ekstrak pregnane
glikosid dan penggunaan data
seluler dengan penggunaan
wifi.
2. Variabel Terikat. penelitian
adalah kadar radiasi pada
gelombang radio handphone.
3. Variabel Kontrol, penelitian
adalah penggunaan data seluler
dan penggunaan wifi.
Proses penelitian membutuhkan
beberapa peralatan seperti handphone
dengan aplikasi Radiation Meter
ukuran 5,6 x 2,8 x 0,3 inchi, rolling
pin, oven, neraca analitik, rotary
evaporator, erlenmeyer, gelas beker,
pengaduk, termometer, pisau,
saringan, baskom, termometer,
blender, corong buchner, labu
evaporator, evaporator dan pompa
vakum. Sedangkan bahan yang
digunakan yaitu tanaman lidah
mertua, etanol 96%, akuades, kertas
saring, sarung tangan masker,
alumunium foil, tepung maizena, lem
kayu, parfum dan plastik penutup.
Tahap-tahap yang dilakukan adalah
sebagai berikut:
1. Pembuatan Ekstrak Pregnane
Glikosid Pada Lidah Mertua
1) Tanaman lidah mertua segar
dicuci, dipotong, dan
dikeringkan pada suhu 60° C
selama 2 jam yang kemudian
diblender.
2) Serbuk lidah mertua direndam
dengan etanol 96% selama
3×24 jam yang menghasilkan
larutan ekstrak tanaman lidah
mertua.
3) Larutan yang dihasilkan
disaring dengan corong
buchner, sehingga
menghasilkan filtrat dan
ampas.
4) Filtrat tanaman lidah mertua
dipekatkan dengan rotary
evaporator pada suhu 78°C
selama 1 jam sehingga
menghasilkan ekstrak kasar
tanaman lidah mertua.
2. Pembuatan Case Handphone
dengan Ekstrak Pregnane Glikosid
1) Ekstrak kasar lidah mertua
dibuat dengan menghaluskan
lidah mertua kering
menggunakan blender
kemudian disaring agar
diperoleh ukuran lidah mertua
yang kecil
2) Ekstrak kasar lidah mertua dan
tepung maizena dicampur
dengan perbandingan
30%:70%, kemudian
ditambahkan ekstrak kental
lidah mertua sebanyak 5 mL,
lem kayu dan parfum
secukupnya, semua bahan
dicampur hingga kalis.
RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442
Vol.1, No.1, Desember 2019:18-25
RJKM, Research Journal of KSI Mist| 21
3) Adonan tersebut dipipihkan.
4) Adonan dicetak sesuai bentuk
yang diinginkan kemudian
dikeringkan.
3. Pengujian Ekstrak Pregnane
Glikosid Terhadap Radiasi
Handphone
1) Uji Radiasi
Uji radiasi dengan cara
memasangkan case ekstrak
sansevieria tifasciata pada
handphone yang sudah
dilengkapi dengan aplikasi
android Radiation Meter, pada
aplikasi ini akan didapatkan
besar paparan radiasi
handphone atau jumlah radiasi
yaitu Spesific Adsorpsion Rate
(SAR) dengan mengukur
densitas daya dan emisi
frekuensi radio dari ponsel
pada satuan W/kg. Batas aman
paparan dari SAR adalah 1,6
W/kg. Tingkat error pada
pembacaan aplikasi ini kurang
dari 1,0 SAR untuk 95%
handphone yang telah beredar
di pasaran.
2) Uji Pengaruh
Subjek diukur besarnya
radiasi sebelum dan sesudah
diberikan paparan ekstrak lidah
mertua melalui case
handphone. Waktu pengukuran
yang digunakan sesudah
diberikan paparan ekstrak lidah
mertua setiap 5 menit selama
35 menit.
Setelah case Sansevieria jadi,
dilakukan analisis parameter. Analisis
data penelitian menggunakan aplikasi
pengolah data SPSS Statistics Data
Editor analisis Anakova dengan
penyususan data, editing, coding,
saving dan tarbulating. Data sekunder
yang digunakan data yang keluar dari
alat. Data primer berasal dari
pengukuran radiasi elektromagnetik
pada waktu setiap 5 menit selama 35
menit.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
a. Hasil Penelitian
Produk yang dihasilkan berupa
case anti radiasi dengan berbahan
dasar ekstrak sansevieria yang
mengandung pregnane glikosid
sehingga mampu menyerap lebih
dari 107 unsur polutan yang
berbahaya bagi lingkungan, salah
satunya adalah radiasi yang
dipancarkan oleh handphone. Case
ini di desain unik dengan cover
motif batik modern yang
memudahkan konsumen
memberikan perlindungan bagi
handphone. Ditinjau dari segi
kemanfaatannya sendiri selain tidak
berbahaya bagi tubuh juga
memiliki nilai estetika yang
mengangkat kearifan budaya lokal.
Berdasarkan uji radiasi dengan
handphone yang sebelum
dilengkapi dengan Case
Sansevieria setiap 5 menit
pemakaian online wifi selama 35
menit :
Tabel 1. Hasil Sebelum Memakai Case
No. Waktu
(menit)
Radiasi
(W/kg)
1. 5 0,316
2. 10 0,398
3. 15 0,361
4. 20 0,251
5. 25 0,501
RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442
Vol.1, No.1, Desember 2019:18-25
RJKM, Research Journal of KSI Mist| 22
6. 30 0,200
7. 35 0,501
Berdasarkan uji radiasi dengan
handphone yang setelah dilengkapi
dengan Case Sansevieria setiap 5
menit pemakaian online wifi
selama 35 menit :
Tabel 2. Hasil Setelah Memakai Case
No. Waktu (menit) Radiasi (W/kg)
1. 5 0,010
2. 10 0,013
3. 15 0,025
4. 20 0,040
5. 25 0,035
6. 30 0,008
7. 35 0,008
Berdasarkan uji radiasi dengan
handphone yang sebelum
dilengkapi dengan Case
Sansevieria setiap 5 menit
pemakaian online data seluler
selama 35 menit :
Tabel 3. Hasil Sebelum Memakai Case
No. Waktu (menit) Radiasi (W/kg)
1. 5 0,158
2. 10 0,158
3. 15 0,200
4. 20 0,200
5. 25 0,251
6. 30 0,398
7. 35 0,251
Berdasarkan uji radiasi dengan
handphone yang setelah dilengkapi
dengan Case Sansevieria setiap 5
menit pemakaian online data
seluler selama 35 menit :
Tabel 4. Hasil Setelah Memakai Case
No. Waktu
(menit)
Radiasi
(W/kg)
1. 5 0,016
2. 10 0,020
3. 15 0,025
4. 20 0,020
5. 25 0,020
6. 30 0,020
7. 35 0,025
Setelah diperoleh data diatas,
kemudian dilakukan uji parametrik
menggunakan aplikasi pengolah
data SPSS Statistics Data Editor
analisis Anakova dengan
penyususan data, editing, coding,
saving dan tarbulating. Uji
Anakova dipilih karena Anakova
dapat melihat perbedaan hasil
radiasi menggunakan metode
memakai Case Sansevieria dan
tidak memakai Case Sansevieria
jika waktu pemakaian online
dikendalikan. Sebelum dilakukan
uji Anakova, perlu dilakukan uji
normalitas dan homogenitas agar
dapat melihat bahwa data yang
diperoleh berasal dari sampel yang
normal dan homogen sehingga
dapat dilakukan uji parametrik
Anakova.
Diketahui:
H0 : Case Sansevieria tidak efektif
dalam menurunkan tingkat radiasi
pada handphone
H1 : Case Sansevieria efektif
dalam menurunkan tingkat radiasi
pada handphone
Dapat diperoleh hasil analisis
Anakova pada penggunaan online
wifi adalah sebagai berikut :
Tabel 5. Hasil Uji Anakova Wifi
RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442
Vol.1, No.1, Desember 2019:18-25
RJKM, Research Journal of KSI Mist| 23
Dapat diperoleh hasil analisis
Anakova pada penggunaan online
data seluler adalah sebagai berikut :
Tabel 6. Hasil Uji Anakova Data Seluler
b. Pembahasan
Case Sansevieria merupakan
produk berupa case handphone
yang menggunakan serat dan
ekstrak daun lidah mertua dalam
proses pembuatannya. Case ini
mampu mereduksi gelombang
elektromagnetik termasuk radiasi
yang di timbulkan handphone.
Case ini memudahkan konsumen
dalam melindungi handphone.
Setelah Case Sansevieria siap
digunakan, maka langkah
selanjutnya adalah melakukan
pengujian case, uji yang dilakukan
merupakan uji pengaruh radiasi
dengan cara memasangkan case
ekstrak sansevieria tifasciata pada
handphone yang sudah dilengkapi
dengan aplikasi android Radiation
Meter, pada aplikasi ini akan
didapatkan besar paparan radiasi
handphone atau jumlah radiasi
yaitu Spesific Adsorpsion Rate
(SAR) dengan mengukur densitas
daya dan emisi frekuensi radio dari
ponsel pada satuan W/kg. Batas
aman papara dari SAR adalah 1,6
W/kg. Tingkat error pada
pembacaan aplikasi ini kurang dari
1,0 SAR untuk 95% handphone
yang telah beredar di pasaran.
Pengujian dilakukan dengan
variabel kontrol yaitu pada
pemakaian wifi dan data seluler.
Berdasarkan pengujian
didapatkan grafik hasil sebelum
dan setelah pemakaian dengan wifi
yaitu sebagai berikut :
Gambar 1. Grafik Setelah Dan
Sebelum
Berdasarkan grafik diatas
diketahui bahwa terdapat pengaruh
handphone yang memakai Case
Sansevieria, terjadi penurunan
kadar radiasi. Pada saat waktu 5
menit pertama pemakaian Case
Sansevieria terjadi penurunan
sebesar 3,16%, pada 10 menit
terjadi penurunan 3,27%, pada 15
menit terjadi penurunan 7,9%, pada
20 menit terjadi penurunan
15,94%, pada 25 menit terjadi
penurunan 6.39%, pada 30 menit
terjadi penurunan 4%, dan pada 35
menit terjadi penurunan 1,6%.
Berdasarkan pengujian
didapatkan grafik hasil sebelum
dan setelah pemakaian dengan data
seluler yaitu sebagai berikut :
RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442
Vol.1, No.1, Desember 2019:18-25
RJKM, Research Journal of KSI Mist| 24
Gambar 2. Grafik Setelah Dan Sebelum
Berdasarkan grafik diatas
diketahui bahwa terdapat pengaruh
handphone yang memakai Case
Sansevieria, terjadi penurunan
kadar radiasi. Pada saat waktu 5
menit pertama pemakaian Case
Sansevieria terjadi penurunan
sebesar 10,13%, pada 10 menit
terjadi penurunan 12,66%, pada 15
menit terjadi penurunan 12,5%,
pada 20 menit terjadi penurunan
10%, pada 25 menit terjadi
penurunan 7,97%, pada 30 menit
terjadi penurunan 5,03%, dan pada
35 menit terjadi penurunan 9,96%.
Uji parametrik yang dilakukan
menggunakan interval kepercayaan
sebesar 95% sehingga nilai α
sebesar 0,05. Dari data Tabel 5.
diperoleh nilai signifikasi sebesar
0,000 menunjukkan signifikasi < α
yang berarti bahwa H0 ditolak dan
H1 diterima, sehingga hasil statistik
bermakna bahwa terdapat
perbedaan antara metode yang
memakai Case Sansevieria dengan
metode yang tidak memakai Case
Sansevieria dan terdapat hubungan
antara wktu pemakaian dengan
hasil radiasi yaitu sebesar 0,798
dilihat dari R squared. Dari data
Tabel 6. diperoleh nilai signifikasi
sebesar 0,000 menunjukkan
signifikasi < α yang berarti bahwa
H0 ditolak dan H1 diterima,
sehingga hasil statistik bermakna
bahwa terdapat perbedaan antara
metode yang memakai Case
Sansevieria dengan metode yang
tidak memakai Case Sansevieria
dan terdapat hubungan antara wktu
pemakaian dengan hasil radiasi
yaitu sebesar 0,825 dilihat dari R
squared. Dari hasil tersebut dapat
ditarik kesimpulan bahwa Case
Sansevieria efektif dalam
menurunkan tingkat radiasi pada
handphone.
4. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang
telah dilakukan, maka dapat di
simpulkan bahwa penggunaan lidah
mertua sebagai adsorben berpengaruh
untuk mengurangi kadar radiasi dalam
gelombang radio pada handphone.
Kadar radiasi dalam gelombang radio
handphone sebelum berkisar 0,355
W/Kg dan setelah dilakukan adsorbsi
menggunakan lidah mertua turun
berkisar 0,019, dengan penurunan
sebesar 5,35%. Cara pembuatan case
handphone dengan menggunakan
ekstrak Sansevieria yaitu dengan
pembuatan ekstrak Sansevieria,
pembuatan case dan pengujian dengan
aplikasi Radiation Meter.
5. REFERENSI
Adawiyah, Ayun Robi’atul. 2013.
Universitas Diponegoro :
Jurnal Ilmiah Mahasiswa
vol.3.
Enny. 2014. Efek Samping
Penggunaan Ponsel.
Universitas Diponegoro :
RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442
Vol.1, No.1, Desember 2019:18-25
RJKM, Research Journal of KSI Mist| 25
Jurnal Ilmiah Mahasiswa.
Vol 11.
Ganes D. P. 2010. Pengaruh
Pemberian Ekstrak Kulit
Buah Delima Merah (Punica
granatum L.) Terhadap
Jumlah Sel Spermatid dan
Diameter Tubulus
Seminiferus Tikus Putih
(Rattus norvegicus) yang
Dipapar Gelombang
Elektromagnetik Ponsel.
Skripsi S1 Fakutas
Kedokteran Universitas
Sebelas Maret 2010:52.
Mustaka, Zulfitriany D., dan Alim D.
Abdullahi. 2012.
Optimalisasi Peran
Sansiviera masonia congo
Sebagai Penekan Sick
Building Syndrome Melalui
Cacah Rimpang. Bali :
Universitas Mahasaraswati
Retno, Printis. 2016.
Pengaruh Sansevieria
terhadap Penurunan Radiasi
Elektromagnetik di Jurusan
Kesehatan Lingkungan.
Sunardi, Kartika Sari. 2014. Pengaruh
Konsentrasi Larutan Ekstrak
daun Lidah Mertua terhadap
Absorbansi dan Transmitansi
pada Lapisan Tipis. Jakarta:
Seminar Nasional Fisika.
Triharyanto dan Sutrisno. 2007.
Sanseviera. Kultur Jaringan
untuk Jenis Langka, 67 Jenis
Sanseviera, Step by Step
Hidroponik, Kiat dan peluang
Usaha. Cet. I. PT. Jakarta :
Gramedia.
RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442
Vol.1, No.1, Desember 2019:26-31
RJKM, Research Journal of KSI Mist| 26
OPTIMASI EKSTRAK DAUN SUNGKAI UNTUK MENINGKATKAN PH
LARUTAN
Fellary Pangesti1) Merisa Rahma Mawaddah2)
1Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, UNY
email: [email protected]
2 Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, UNY
email: [email protected]
Abstrak
Seiring perkembangan ilmu dan informasi kandungan daun sungkai juga semakin
berkembang, seperti ditemukannya beberapa senyawa aktif yang dapat meredakan maag,
yaitu senyawa fenolik, tanin, flavonoid, alkaloid, steroid, dan saponin (R. Hemi Kusriani
dkk., 2017). Dengan kandungan sungkai yang sangat beragam dan tentu saja
bermanfaat, penulis ingin melakukan optimasi ekstrak daun sungkai untuk meningkatkan
pH larutan. Diharapkan pada penelitian ini akan dihasilkan sebuah artikel ilmiah/jurnal
yang memuat informasi kemampuan daun sungkai dalam meningkatkan pH larutan,
sehingga dikemudian hari dapat dijadikan referensi dalam penelitian-penelitian
selanjutnya. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam UNY dengan cara mengekstrak daun sungkai dengan aquadest steril
dengan metode infundasi sehingga didapatkan ekstrak daun sungkai dengan konsentrasi
10%, 20%, dan 30%. Pengujian ekstrak akan diaplikasikan pada larutan asam pada pH
0, 0,1, dan 0,4. . Hasil dari pengujian akan dianalisis menggunakan uji statistika SPSS
dengan menggunakan uji nonparametrik. Harapan dari penelitian ini adalah mengetahui
pengaruh dan kemampuan ekstraksi daun sungkai untuk meningkatkan pH.
Keywords : flavonoid, pH larutan, infundasi, ekstrak daun sungkai
RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442
Vol.1, No.1, Desember 2019:26-31
RJKM, Research Journal of KSI Mist| 27
1. PENDAHULUAN
a. Latar Belakang
Sumber daya alam yang belum
dimanfaatkan secara maksimal
contohnya, yaitu daun sungkai
(Peronema canescans) yang
termasuk dalam famili
Verbenaceae. Tumbuhan ini
merupakan tumbuhan khas
Indonesia yang dapat ditemukan di
Jawa, Sumatera, Kepulauan Riau,
dan Kalimantan (de Graaf dkk.,
1994). Sungkai merupakan
tanaman yang mudah dibudidaya,
yaitu secara vegetatif dengan stek
batang/cabang dengan tingkat
keberhasilan yang tinggi (Kartiko
dan Danu, 2002). Sebelumnya daun
sungkai hanya dimanfaatkan oleh
masyarakat lokal sebagai obat
penurun panas, obat pilek, obat
cacingan, dijadikan campuran air
mandi wanita setelah bersalin, obat
kumur, dan obat malaria (Wiart,
2006). Menurut Ningsih dkk.
(2013), hasil isolasi n-Heksan daun
P. canescens diperoleh satu
senyawa, yaitu isolat B1,
berdasarkan data pereaksi kimia
isolat B1 positif golongan senyawa
terpenoid memiliki aktifitas anti
bakteri. Daun muda sungkai juga
mengandung zat Flavonoid, yang
berperan besar sebagai pigmen
merah, biru dan ungu yang terdapat
pada sebagian besar tumbuhan
tingkat tinggi (Winkel-Shirley,
2001). Flavonoid memiliki efek
antipiretik, sebagaimana hasil
penelitian dari Owoyele (2008)
yang menyatakan bahwa bahan
aktif dari ekstrak Chromolaena
odorata yang memiliki aktivitas
analgesik, anti-inflamasi, dan
antipiretik adalah Flavonoid.
Pemanfaatan yang berbasis
kedaerahan dan hanya didasari oleh
keilmuan lokal membuat penulis
ingin mengetahui pengaruh
kandungan ekstrak daun sungkai
seperti yang sudah ditemukan
sebelumnya dengan
mengaplikasikannya pada laturan
asam pada pH tertentu dan
menemukan pengaruh dan
kemampuan ekstrak daun sungkai
dalam meningkatkan pH larutan.
b. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah di
atas, dapat ditarik tujuan berupa:
1. Untuk mengetahui pengaruh
dan kemampuan ekstraksi daun
sungkai dalam meningkatkan
pH larutan.
2. Untuk mengetahui konsentrasi
terbaik ekstraksi daun sungkai
yang mampu meningkatkan pH
larutan
c. Rumusan Masalah
Berdasarkan perumusan masalah di
atas, dapat ditarik rumusan masalah
berupa:
1. Mengetahui pengaruh dan
kemampuan ekstraksi daun
sungkai dalam meningkatkan
pH larutan.
2. Mengetahui konsentrasi
terbaik ekstraksi daun sungkai
yang mampu meningktkan pH
larutan.
2. METODE
Penelitian ini dilaksanakan di
Laboratorium FMIPA Universitas
Negeri Yogyakarta pada bulan Juli
hingga September 2019. Alat yang
RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442
Vol.1, No.1, Desember 2019:26-31
RJKM, Research Journal of KSI Mist| 28
digunakan yaitu pH stik, pH meter,
lateks, masker, labu ukur, tabung
reaksi dan rak, pipet tetes, gelas
beaker, spatula, panci, saringan,
kompor gas, timbangan analitik, dan
buret. Sedangkan bahan yang
digunakan diantaranya adalah daun
sungkai, Larutan HCL dengan pH 1,2
dan 3, aquadest, spons penutup.
Tahap pelaksanaan penelitian ini
dimulai dengan melakukan pemilihan
daun yang akan dikeringkan untuk
dijadikan sebagai larutan stok dari
daun sungkai. Setelah itu melakukab
ekstraksi daun sungkai dengan metode
infundasi. Setelah semuanya selesai
lalu dilanjutkan dengan melakukan
perlakuan terhadap 5 ml HCl oleh
ekstrak daun sungkai dari berbagai
konsentrasi. Tiap –tiap percobaan
diulang hingga lima pengulangan.
Setelah itu melakukan tabulasi data
untuk kemudian melakukan uji
normalitas, dikarenakan data yang
tersebar tidak normal maka
dilanjutkan dengan uji nonparametrik.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Berikut adalah hasil dari test
normalitas
1. Test of normaly pH A
2. Test of normaly pH B
3. Test of normaly pH C
Pada uji normalitas data pada tiga
perlakuan berbeda pH pengujian
dengan empat pengulangan
didapatkan hasil bahwa keempat
pengulangan tersebut tidak tersebar
secara normal oleh karena itu
dilakukan uji nonparametrik. Berikut
adalah hasil uji nonparametric dengan
Chi Square
3.1 Pengujian pada pH a (pH 0,4)
Gambar 3.1 Uji Chi Square pada pH 0,4
3.2 Pengujian pada pH b (pH 0,1)
Gambar 3.2 Uji Chi Square pada pH 0,1
RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442
Vol.1, No.1, Desember 2019:26-31
RJKM, Research Journal of KSI Mist| 29
3.3 Pengujian pada pH c (pH 1)
Gambar 3.3 Uji Chi Square pada pH 0
Pada ketiga uji diatas didapatkan
hasil berupa nilai Pearson Chi-Square
masing-masing adalah 0,532; 0,837;
1,000 > 0,05 sehingga tidak ada
hubungan antara variable A dan
variable B. Oleh karena itu, hasil ini
dapat disebutkan bahwa tidak ada
hubungan pengaruh antara konsentrasi
sungkai dan kenaikan pH larutan HCl.
Antioksidan merupakan senyawa
yang dapat menginaktifkan radikal
bebas yang dihasilkan oleh berbagai
proses normal tubuh (Osawa et al.,
1992). Berdasarkan mekanisme
kerjanya antioksidan terbagi atas tiga
bagian yaitu antioksidan primer,
sekunder dan tersier. Flavonoid
merupakan salah satu jenis
antioksidan sekunder yang bekerja
dengan cara mendonorkan proton
hidrogen dari gugus hidroksil
flavonoid (Amic, et al.2003).
Flavonoid berlaku sebagai antioksidan
karena sifatnya sebagai akseptor yang
baik terhadap radikal bebas. Proses
metabolisme dalam tubuh
memproduksi radikal bebas, atom atau
molekul elektron bebas ini dapat
digunakan untuk menghasilkan tenaga
dan beberapa fungsi fisiologis
diantaranya kemampuan membunuh
virus dan bakteri serta mengatur torus
otot polos pada organ tubuh dan
pembuluh darah. Namun karena
mempunyai tenaga yang sangat tinggi
dan kecenderungan untuk berikatan
dengan electron substrat lain, radikal
bebas ini akan merusak jaringan
normal terutama jika jumlahnya
banyak. Dengan demikian senyawa
flavonoid yang berlaku sebagai
antioksidan akan bekerja melalui
donor proton hydrogen pada radikal
bebas sehingga terbentuk senyawa
yang bersifat netral dan kemudian
memperbaiki kerusakan yang
ditimbulkan oleh radikal bebas.
Terpenoid merupakan komponen-
komponen tumbuhan yang
mempunyai bau dan dapat diisolasi
dari minyak atsiri. Minyak atsiri yang
berasal dari bunga pada awalnya
dikenal dari penentuan struktur secara
sederhana, yaitu dengan perbandingan
atom hidrogen dan atom karbon dari
suatu senyawa terpenoid yaitu 8:5 dan
dengan perbandingan tersebut dapat
dikatakan bahwa senyawa tersebut
adalah golongan terpenoid (Lenny,
2006). Senyawa ini merupakan
senyawa yang belum aktif dan
senyawa ini merupakan hormone yang
ada di dalam tumbuhan tidak
berpengaruh terhadap metabolisme
yang terjadi di dalam tubuh.
4. KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan, dapat disimpulkan bahwa
tidak ada hubungan pengaruh antara
konsentrasi sungkai dan kenaikan pH
larutan HCl dikarenakan pada uji
nonparametrik yang telah dilakukan
diperoleh hasil berupa nilai Pearson
Chi-Square masing-masing adalah
0,532; 0,837; 1,000 > 0,05 sehingga
RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442
Vol.1, No.1, Desember 2019:26-31
RJKM, Research Journal of KSI Mist| 30
tidak ada hubungan antara variable A
dan variable B. Hasil yang didapat
tidak sesuai dengan hipotesis peneliti
yang memerkirakan bahwa pemberian
ekstrak sungkai pada konsentrasi
tertentu dan volume tertentu dapat
mengubah nilai pH HCl.
5. REFERENSI
Amic,D.2003. Structure-Radical
Scavenging Activity Relationship of
Flavonoids, Croatia Chemica Acta,
76(1).55-61.
Dinas Kehutanan Provinsi Lampung.
2006. Master Plan Taman Hutan
Raya Wan Abdul Rachman. Jakarta:
PT Laras Sembada.
Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna
Indonesia. Terjemahan: Badan
Litbang Kehutanan Jakarta. Jilid II
dan III. Cetakan kesatu. Jakarta:
Yayasan Sarana Wana Jaya.
Khopkar, S. M.1990.Konsep Dasar Kimia
Analik. Jakarta. UI-PRESS.
Kitagawa, I., N.I. Baek, K. Ohashi, M.
Sakagami, M. Yoshikawa, H.
Shibuya. 1996a. Chemical Structures
of Five New Resin-Glycosides,
Merremosides a, b, c, d, and e, from
the Tuber of Merremia mammosa
(Convolvulaceae). Chem: Pharm
Bull.
Kusriani, R Herni., As’ari Nawawi.,
Taufiq Turahman. 2017. Uji
Aktivitas Antibakteri Ekstrak dan
Fraksi Kulit Batang dan Daun
Sungkai (Peronema cenescans Jack)
Terhadap Staphylococcus Aureus
Atcc 25923 dan Escherichia Coli
ATCC 25922. Jurnal Farmasi
Galenika,2(1): 8-14.
Ningsih, A., Subehan, dan M. Natsir D.
2013. Potensi Antimikroba dan
Analisis
Spektroskopi Isolat Aktif Ekstrak
nHeksan Daun Sungkai (Peronema
Canescens) Terhadap Beberapa
Mikroba Uji.Fakultas Farmasi,
Universitas Hasanuddin, dalam
http://pasca.unhas.ac.id/jurnal/files/7
525bb97eeeac033efca9bf37ac523ba.
pdf Diakses tanggal 26 februari
2019.
Owoyele BV, Olubori M. Adebukola,
Adeoye A. Funmilayo and Ayodele
O. 2008. Anti-inflammatory
activities of ethanolic extract of
Carica papaya leaves.
Inflammopharmacology Journal, 16:
168–173.
Osawa,T., dan Namiki, M., 1981. A Novel
Type of Antioxidant Isolated from
Leaf Wax of Eucalypus Leaf, Agric,
Biol.Chem., 45(3), 735-739.
Plantamor. 2012. Informasi Spesies
sungkai, dalam
http://www.plantamor.com diakses
26 februari 2019.
Setyowati, Murti. 2010. Etnofarmakologi
dan pemakaian tanaman obat suku
dayak tunjung di Kalimantan Timur.
Jakarta: Puslit. Biologi – LIPI.NCIS
Wiart, Christophe. 2006. Medicinal Plants
of Asia and Pasific. Boca Raton:
CRC Press Taylor & Francis Group.
RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442
Vol.1, No.1, Desember 2019:26-31
RJKM, Research Journal of KSI Mist| 31
Winkel, Shirley B. 2002. Biosynthesis of
flavonoids and effect of stress, Curr
Opin Plant Biol. 5: 218-23.
Wirakartakusumah, Aman. 1992.
Peralatan dan Unit Proses Industri
Pangan. Bogor: Institut Pertanian
Bogor.
RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442
Vol.1, No.1, Desember 2019:32-41
RJKM, Research Journal of KSI Mist| 32
PEMANFAATAN BIJI SEMANGKA (Citrullus lanatus) SEBAGAI
ANTIPIRETIK PADA MENCIT (Mus musculus) YANG DIINDUKSI RAGI
ROTI
Talcha Ainun Rima Nurfajri1), Dwi Listiyani2), Mia Luvita Sari3)
Pendidikan IPA,Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, UNY
Email: [email protected]
Pendidikan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, UNY
Email : [email protected]
Pendidikan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan alam, UNY
Email : [email protected]
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh variasi kadar ekstrak biji semangka
sebagai antipiretik pada mencit yang diberi ragi roti. Demam merupakan penyakit yang
sering dialami oleh masyarakat. Pada umumnya masyarakat mengkonsumsi parasetamol
untuk menurunkan panas. Disisi lain parasetamol memiliki efek samping yang berbahaya
bagi kesehatan. Salah satu solusi yang dapat digunakan adalah penggunaan biji
semangka sebagai antipireptik dengan biaya lebih murah dan tidak menimbulkan efek
samping. Pada biji semangka memiliki kandungan mengandung karbohidrat, fenol
flavonoid, protein, serat, fosfor, dan zat besi. Biji semangka ini dapat digunakan sebagai
antipiretik (penurun panas). Metode penelitian ini dilakukan dengan cara penelitian
eksperimen pada mencit yang diberi ragi roti. Hewan uji yang digunakan adalah mencit
sebanyak 15 ekor dengan bulan dan berat badan kurang lebih 100g. Hewan uji dibagi
menjadi 5 kelompok, yaitu kelompok kontrol negatif (aquadest 2 ml), kelompok kontrol
positif (parasetamol 12,6 mg/100gBB), ekstrak biji semangka 0,5 ml/100g/BB mencit,
ekstrak biji semangka 1 ml/100g/BB mencit, ekstrak biji semangka 2 ml/100g/BB mencit.
Pengukuran suhu dilakukan sebelum pemberian ragi roti, 6 jam setelah pemberian ragi
roti, dan sampai 12 jam setelah perlakuan. Data penurunan suhu dianalisis dengan
menggunakan perbandingan rata-rata tiap perlakuan. Hasil penelitian yang telah
dilakukan maka didapatkan bahwa ekstrak biji semangka memiliki efek antipiretik terbaik
pada dosis 2 ml/100gBB mencit terhadap mencit yang diinduksi ragi roti.
Kata kunci : Biji Semangka, Antipiretik, Ragi Roti
RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442
Vol.1, No.1, Desember 2019:32-41
RJKM, Research Journal of KSI Mist| 33
1. PENDAHULUAN
Demam merupakan suatu
keadaan suhu tubuh diatas
normal sebagai akibat
peningkatan pusat pengatur suhu
di hipotalamus (Sodikin, 2012).
Penyakit-penyakit yang ditandai
dengan adanya demam dapat
menyerang sistem tubuh. Selain
itu demam mungkin berperan
dalam meningkatkan
perkembangan imunitas spesifik
dan nonspesifik dalam
membantu pemulihan atau
pertahanan terhadap infeksi
(Sodikin, 2012).
Badan Kesehatan Dunia
(WHO) memperkirakan jumlah
kasus demam di seluruh Dunia
mencapai 16 – 33 juta dengan
500 – 600 ribu kematian tiap
tahunnya (Setyowati, 2013). Di
Indonesia, penderita demam
sebanyak 465 (91.0%) dari 511
ibu yang memakai perabaan
untuk menilai demam pada anak
mereka sedangkan sisanya 23,1
saja menggunakan termometer
(Setyowati, 2013).
Penanganan terhadap demam
dapat dilakukan dengan tindakan
farmakologis, tindakan non
farmakologis maupun kombinasi
keduanya. Tindakan
farmakologis yaitu memberikan
obat antipiretik. Sedangkan
tindakan non farmakologis yaitu
tindakan tambahan dalam
menurunkan panas setelah
pemberian obat antipiretik.
Tindakan non farmakologis
terhadap penurunan panas
seperti memberikan minuman
yang banyak, ditempatkan dalam
ruangan bersuhu normal,
menggunakan pakaian yang
tidak tebal, dan memberikan
kompres.
Obat yang biasa digunakan
untuk menurunkan demam
adalah parasetamol dan asetosal.
Sekitar 175 juta tablet
parasetamol dikonsumsi oleh
masyarakat Indonesia setiap
tahunnya ketika gejala demam
muncul, karena cukup aman,
mudah didapat, dan harganya
terjangkau. Beberapa hasil
penelitian tentang parasetamol
akhir-akhir ini menemukan
bahwa meskipun cukup aman,
parasetamol memiliki banyak
efek samping. Selain itu, ada
kemungkinan kemiripan struktur
parasetamol dengan flavonoid
(Robinson 1991).
Biji buah semangka
mengandung karbohidrat, fenol
flavonoid, protein, serat, fosfor,
dan zat besi (Varghese et al.,
2013). Kandungan biji semangka
yang memiliki efek antipiretik
adalah flavonoid. Didapatkan
kandungan flavonoid dalam
mg/100g, pada biji semangka
sebanyak 40.16 ± 0.01; kulit
semangka sebanyak 8.71 ± 0.01;
dan dalam buahnya sebanyak
58.10 ± 0.33 (Johnson et al,
RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442
Vol.1, No.1, Desember 2019:32-41
RJKM, Research Journal of KSI Mist| 34
2012). Hasil uji secara in vitro
dari flavonoid golongan flavon
dan flavonol telah menunjukkan
adanya respon imun (Hollman et
al., 1996). Selain itu, buah
semangka banyak dikonsumsi
masyarakat di Indonesia.
Dengan jumlah produksi 30
ton/ha/tahun, maka bisa
diperkirakan limbah biji
semangka banyak terbuang
percuma (Erin, 2012). Para
petani dalam setiap
memproduksi biji semangka
kering dapat mencapai kwintalan
per harinya, pada saat musim
pasca panen datang. Saat ini, biji
semangka hanya dimanfaatkan
sebagai kwaci yang merupakan
makanan cemilan yang sudah
banyak dikenal masyarakat. Biji
semangka memiliki kandungan
yang bermanfaat bagi kesehatan,
namun pemanfaatannya masih
kurang bervariatif. Dengan
demikian, perlu dilakukan
diversifikasi pengolahan biji
semangka.
Penelitian ini menggunakan
mencit yang telah diberi ragi
roti. Mencit (Mus musculus)
adalah salah satu hewan yang
sering dijadikan sebagai hewan
percobaan. Pemilihan ragi roti
sebagai penginduksi demam
karena memiliki onset cepat
degan menimbulkan efek
demam 3-4 jam setelah
pemberian, selain itu sedian ragi
roti mudah terjangkau. Ragi
(Saccharomyces cereviceae)
sebagai agen penginduksi
memiliki molekul yang besar.
Saat diinjeksikan secara
subkutan pada tikus, molekul
ragi yang besar ini dapat
memicu proses pertahanan tubuh
terhadap molekul asing. Sistem
imun merespon ragi sebagai
pirogen eksogen yang kemudian
memicu demam (Maulidina
dkk., 2016).
Penggunaan parasetamol
pada pengobatan demam dapat
memberikan efek samping,
diantaranya dapat menurunkan
fungsi paru-paru, merusak
ginjal, dan dapat mengakibatkan
asma serta bronkitis.
Parasetamol juga bersifat toksik
di hati jika digunakan dalam
dosiss besar. Berbeda dengan
parasetamol, pemanfaatan biji
semangka sebagai obat
antipiretik tidak menimbulkan
efek samping, karena
menggunakan bahan alami tanpa
campuran bahan-bahan sintesis.
Berdasarkan latar belakang
diatas, diperlukan penelitian
tentang pemanfaatan biji
semangka sebagai antipiretik
pada mencit yang diberi ragi
roti. Penelitian ini menggunakan
biji semangka karena bahan
tersebut belum banyak
dimanfaatkan dan hanya menjadi
limbah di lingkungan.
2. METODE PENELITIAN
a. Desain Penelitian
RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442
Vol.1, No.1, Desember 2019:32-41
RJKM, Research Journal of KSI Mist| 35
Jenis penelitian yang
digunakan adalah penelitian
eksperimen yaitu memberi
perlakuan terhadap sampel
dan melakukan pengamatan
dampak perlakuan terhadap
sampel.
b. Waktu dan tempat
penelitian
Penelitian ini dilakukan
di peternakan sapi di
Laboratorium Kimia dan
Laboratorium Biologi
FMIPA UNY, waktu
penelitian ini dilakukan dari
bulan Maret sampai Jui
2019.
c. Subjek dan Objek Penelitian
Subjek dalam penelitian
ini adalah ekstrak biji
semangka. Sedangkan objek
dalam penelitian ini adalah
penurunan suhu tubuh
mencit.
d. Alat
Alat yang digunakan
yaitu gelas beker, gelas
ukur, timbangan analitk,
spuit, stopwatch, bejana
maserasi, cawan porselin,
termometer, mortar, batang
pengaduk, pipet tetes dan
penangas.
e. Bahan
Dalam penelitian ini,
bahan yang digunakan
adalah semangka, etanol
70%, mencit (Mus
musculus), makanan hewan
uji (pelet), aquadest, tablet
paracetamol, ragi roti.
f. Persiapan Biji Semangka
Biji semangka yang telah
dikumpulkan, dicuci hingga
bersih dengan air mengalir,
dikeringkan tanpa terkena
sinar matahari langsung,
kemudian di serbukkan.
g. Ekstrasi Sampel
Simplisia biji semangka
disediakan sebanyak 50 g
lalu dimasukkan ke dalam
wadah maserasi, direndam
dengan etanol 70% hingga
seluruh simplisia terbasahi
dan ditambahkan kembali
etanol 70% hingga batas
pelarut 2 cm di atas
simplisia. Wadah maserasi
ditutup dan disimpan selama
24 jam di tempat terlindung
dari sinar matahari sambil
diaduk sekali-kali.
Selanjutnya disaring,
dipisahkan antara ampas
dan filtratnya. Ampas
diekstraksi kembali dengan
etanol 70% dengan jumlah
yang sama. Hal ini terus
dilakukan hingga cairan
penyari tampak bening
h. Uji Aktivitas Antipiretik
Hewan uji yang
digunakan yaitu mencit
(Mus musculus) jantan yang
sehat sebanyak 15 ekor
dengan bobot badan 100
gram dan berumur sekitar 3-
4 bulan. Semua hewan uji
dilakukan pengukuran suhu
rektal awal sebelum
RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442
Vol.1, No.1, Desember 2019:32-41
RJKM, Research Journal of KSI Mist| 36
penyuntik ragi roti. Hewan
uji disuntik ragi roti 0.5 ml
secara intramuskular pada
bagian paha untuk
menginduksi terjadinya
demam. Suhu demam
(≥1°C) pada keseluruhan
hewan uji didapatkan 5 jam
setelah induksi. Setelah
didapatkan suhu demam,
seluruh hewan uji diberikan
bahan uji sesuai dengan
kelompok. Mencit dibagi ke
dalam 5 kelompok
perlakuan, tiap kelompok
terdiri dari 3 ekor mencit
jantan yang ditentukan
secara acak. Kelompok 1
dan 2 sebagai kontrol
sedangkan kelompok 3–5
sebagai kelompok
perlakuan.
i. Perlakuan Hewan Coba
Hewan dalam 1
kelompok ditempatkan
bersama dalam 1 kandang.
Pada kelompok 1 sebagai
kontrol negatif dan
kelompok 2 sebagai kontrol
positif sedangkan kelompok
3 sampai 5 diberi ekstrak
etanol biji semangka secara
oral sesuai dengan tingkatan
dosis.
• Kelompok 1 : diberi
aquadest 1ml
• Kelompok 2 : diberi
parasetamol 12,6 mg/
200 grBB tikus
• Kelompok 3 :
diberikan 0,5 ml/100
gr BB mencit ekstrak
etanol biji semangka
• Kelompok 4 :
diberikan 1 ml/100 gr
BB mencit ekstrak
etanol biji semangka
• Kelompok 5 :
diberikan 2 ml/ 100 gr
BB mencit ekstrak
etanol biji semangka
j. Teknik Analisis Data
Analisa data pada
penelitian ini dilakukan
menggunakan SPSS.
Langkah pertama adalah
menghitung rata-rata data
tiap perlakuan. Kemudian
dilanjutkan membuat grafik
dari keseluruhan data untuk
dibandingkan dengan
variabel kontrol. Hasil dari
perbandingan data tersebut
akan didapatkan suatu
kesimpulan.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini dilakukan untuk
mengetahui pengaruh pemberian
ekstrak biji semangka terhadap
penurunan suhu tubuh mencit.
Penelitian ini menggunakan
mencit sebagai hewan
percobaan, yang dibagi menjadi
lima kelompok yaitu kelompok
kontrol positif dan kelas kontrol
negatif. Berikut adalah hasil
pengukuran rata-rata suhu tubuh
mencit.
RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442
Vol.1, No.1, Desember 2019:32-41
RJKM, Research Journal of KSI Mist| 37
Tabel 1. Rata-Rata Suhu Tubuh Mencit
A
(Dosis 1)
B
(Kontrol
Positif)
C
(Kontrol
Negatif)
D
(Dosis 2)
E
(Dosis 3)
Suhu Awal 36,6 36 36,67 36,23 36,43
Suhu Suntik 37,97 37,87 38,3 37,4 38
6 Jam 36,53 37,5 37,63 36,1 36,17
12 Jam 35,03 35,1 37,13 34,47 36,03
Pada penelitian ini hasil
pengukuran suhu tubuh mencit
pada kondisi awal (T1)
menunjukan suhu rata-rata
kelompok perlakuan dosis 1 36,6 oC, kelompok dosis 2 36,2 oC,
kelompok dosis 3 36,4 oC,
kelompok kontrol positif 36 oC
dan kelompok kontrol negatif
36,67 oC. Untuk mengetahui
pengaruh antipiretik ekstrak biji
semangka (Citrullus lanatus)
terhadap penurunan suhu tubuh
mencit harus dilakukan pada
tikus yang kondisinya dalam
keadaan demam. Oleh karena itu
diperlukan demam buatan untuk
mendemamkan tikus yaitu
dengan metode pemberian ragi
roti. Pengujian antipiretik
dilakukan dengan menginduksi
suspensi ragi 20% secara
subkutan. Setelah 16 jam suhu
tubuh tikus mengalami kenaikan
akibat dari induksi. Ragi
(Saccharomyces cereviceae)
sebagai agen penginduksi
memiliki molekul yang besar.
Saat diinjeksikan secara
subkutan pada tikus, molekul
ragi yang besar ini dapat
memicu proses pertahanan tubuh
terhadap molekul asing. Sistem
imun merespon ragi sebagai
pirogen eksogen yang kemudian
memicu demam (Maulidina
dkk., 2016). Setelah pemberian
ragi diperoleh rata-rata suhu
pada masing-masing kelompok
perlakuan dosis I, dosis II, dosis
III, kelompok kontrol positif dan
kelompok kontrol negatif secara
berturut-turut 37,9 oC; 37,4 oC;
38 oC; 37,8 oC; dan 38,3 oC.
Data tersebut menunjukan
terjadinya kenaikan suhu tubuh
mencit akibat diinduksi ragi roti.
RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442
Vol.1, No.1, Desember 2019:32-41
RJKM, Research Journal of KSI Mist| 38
Grafik 1. Rata-Rata Suhu Tubuh Mencit
Berdasarkan data yang
diperoleh, dosis ekstrak biji
semangka sebesar 0,5 ml/100
gBB, 1 ml/100 gBB dan 2
ml/100 gBB mampu
menghasilkan efek penurunan
suhu tubuh tikus. Pada dosis 0,5
dan 1 mL/100 gBB suhu tubuh
mengalami penurunan di 6 jam
pertama setelah perlakuan.
Penurunan suhu tubuh tikus
terus terjadi hingga 12 jam
setelah perlakuan. Pada dosis 2
ml/100 gBB suhu tubuh tikus
mengalami penurunan pada 6
jam setelah perlakuan dan
mengalami penurunan yang
tidak begitu signifikan hingga 12
jam setelah perlakuan. Dosis
ekstrak 0,5 dan 1 mL/100 gBB
bekerja efektif memberikan
aktivitas antipiretik pada 6 jam
pertama dan kemampuan
mengembalikan suhu tubuh tikus
menjadi normal (suhu tubuh
tikus sebelum induksi)
sedangkan dosis 2 ml/ 100 g
bekerja lebih cepat dengan
menurunkan suhu tubuh tikus di
6 jam setelah perlakuan dan
penurunan suhu tubuh berjalan
lebih lambat hingga 12 jam
setelah perlakuan. Sehingga
dapat dikatakan ekstrak biji
semangka memiliki aktivitas
antipiretik. Hal ini didasarkan
atas perbandingan suhu tubuh
tikus kontrol negatif dengan uji.
Pada tikus kontrol negatif, suhu
tubuh tikus setelah induksi tidak
mengalami penurunan yang
signifikan hingga 12 jam setelah
perlakuan. Berdasarkan literatur,
kondisi pireksia yang
diakibatkan oleh induksi ragi
dapat bertahan hingga 6 jam.
Akan tetapi ekstrak biji
semangka mempengaruhi
kondisi pireksia dengan
menurunkan suhu tubuh tikus.
Penurunan suhu rektal pada
pemberian parasetamol lebih
signifikan dibandingkan dengan
kelompok yang diberi dosis
ekstrak biji semangka 0,5, 1 dan
2 ml/100 gBB. Berdasarkan
hasil penelitian yang didapat,
efek antipiretik dari ekstrak biji
32
33
34
35
36
37
38
39
Suhu Awal SuhuDemam
6 Jam 12 Jam
A
B
C
D
E
RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442
Vol.1, No.1, Desember 2019:32-41
RJKM, Research Journal of KSI Mist| 39
semangka ini diduga karena
adanya senyawa flavonoid yang
terkandung dalam bij semangka.
Hasil penelitian Adesokan tahun
2008 membuktikan bahwa
flavonoid dapat bersifat
antipiretik. Selain flavonoid,
efek antipiretik dari biji
semangka juga mungkin
disebabkan oleh kandungan
kimia lainnya. Oleh karena itu,
perlu dilakukan penelitian lebih
lanjut mengenai kandungan
kimia lain yang berperan sebagai
antipiretik beserta mekanisme
kerjanya.
4. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian
yang telah dilakukan maka dapat
disimpulkan bahwa ekstrak biji
semangka (Citrullus lanatus)
memiliki efek antipiretik terbaik
pada dosis 2 ml/100 g BB mencit
terhadap mencit yang diinduksi
ragi roti.
5. REFERENSI
Artés F, Pedro A, Robles PA,
Alejandro G, Callejasa T. Low
UV-C illumination for keeping
overall quality of fresh-cut
watermelon. Postharvest Biol
Technol. 2010;55:114–20.
Carbonetti & Nicholas H. 2010.
Pertussis toxin and adenylate
cyclase toxin : key virulence
factor of Bordatella pertussis
and cell biology tool.
NationalInstitutes of Health,
vol. 5, pp. 455-469.
Dawud, F., Bodhi, W., Lolo, W.A.
(2014). Uji Efek Antiinflamasi
Ekstrak Etanol Kulit Buah
Mahkota Dewa terhadap
Edema Kaki Tikus Putih
Jantan. Program Studi Farmasi
FMIPA Unsrat Manado.
Deshmukh, 2015. Translation of
Basic and Clinical
Pharmacology Eight Edition
Alih bahasa oleh Bagian
Farmakologi Fakultas
kedokteran Universitas
Airlangga. Jakarta: Salemba
Medika.
Dinarello, C.A., Gelfand, J.A., 2011,
Fever and Hyperthermia.
Dalam: Kasper DL, Fauci AS,
Longo DL, Braunwald
E,Hauser SL, Jameson JL,
editor. Harrison’s Principles of
Internal Medicine. Ed.18.
USA: McGraw-Hill
Companies: 143- 147.
FAO,Legumes in Human Nutrition:
Food and Agricultural
Organization Report of the
United Nations, 1994
Freddy IW. 2007. Analgesik,
antipiretik, antiinflamasi
nonsteroid dan obat pirai.
Farmakologi dan Terapi, Edisi
ke-5. Jakarta : Bagian
Farmakologi, Fakultas
RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442
Vol.1, No.1, Desember 2019:32-41
RJKM, Research Journal of KSI Mist| 40
Kedokteran, Universitas
Indonesia
Gunawan, S.G., Setiabudy, R.,
Nafrialdi, dan Elysabeth. 2007.
Farmakologi dan Terapi, 5 th
ed. Jakarta : Departemen
Farmakologi dan Terapeutik
Fakultas Kedokteran,
Universitas Indonesia.
Hay, W. W., Levin, M. J.,
Sondheimer, J. M., Deterding,
R. R., 2007. Lange : Current
Diagnosis and Treatment in
Pediatrics. 18th edition. Mac
Graw Hills.
Hollman, P.C.H, M.G.L. Hertog and
M.B. Katan, 1996. Analysis
and Health Effects of
Flavonoids. Food Chemistry,
57 (1) : 43-46.
James dkk. 2008. Prinsip-prinsip
Sains untuk Keperawatan. Alih
Bahasa Wardhani. Jakarta :
Penerbit Erlangga.
Johnson J. T., Iwang E. U., Hemen J.
T., Odey M. O., Efiong E. E.
and Eteng, O. E. Evaluation of
anti-nutrient contents of
watermelon Citullus lanatus.
Annals of Biological Research,
2012, 3 (11):5145- 5150
Katzung, B. G., 2004. Farmakologi
Dasar dan Klinik Edisi XIII.
Malole, M.B.M., Pramono C.S.U.,
1989. Penggunaan Hewan-
hewan Percobaan di
Laboratorium. Bogor : PAU
Pangan dan Gizi, IPB.
Mradu, G., Dalia, B., Arup, M. 2013.
Studies of Anti-Inflammatory,
Antipyretic and Analgesic
Effect of Aqueous Extract of
Traditional Herbal Drug on
Rodents, JInt Res Pharm;
4(3):113-120.
Priambodo, Swastiko. 1995.
Pengendalian Hama Tikus
Terpadu. Jakarta: Penebar
Swadaya .
Robinson T. 1991. Kandungan
organik tumbuhan tinggi. Edisi
ke-6. Penerbit ITB Press,
Bandung.
Sodikin.2012.Prinsip Perawatan
Demam Pada
Anak.Yogyakarta:Pustaka
Pelajar
Setyowati, Lina. 2013. Hubungan
Tingkat Pengetahuan Orang
Tua Dengan Penanganan
Demam Pada Anak Balita Di
Kampung Bakalan Kadipiro
Banjarsari Surakarta.Skripsi.
Surakarta : STIKES PKU
Muhamadiah Surakarta
Varghese S, Narmadha R, Gomathi
D, Kalaiselvi M, Devaki K
(2013). Phytochemical
screening and HPTLC finger
RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442
Vol.1, No.1, Desember 2019:32-41
RJKM, Research Journal of KSI Mist| 41
printing analysis of Citullus
lanatus (Thunb.) seed. J. Acute
Dis. 2(2)122-126.
RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442
Vol.1, No.1, Desember 2019:42-46
RJKM, Research Journal of KSI Mist| 42
PENGARUH PEMBERIAN PAKAN FERMENTASI LIMBAH AMPAS
BIR TERHADAP PENINGKATAN PERTUMBUHAN AYAM PEDAGING
Yustia Pramesti1), Melati Arifina Alanis2), Ferawati Tri Ningsih3)
1Pendidikan IPA, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta
email: [email protected]
2Pendidikan IPAFakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta
email: [email protected]
3Pendidikan Kimia, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta
email: [email protected]
Abstrak
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki jumlah penduduk terbesar ketiga
di dunia. Persaingan di era gloabalisasi yang semakin meningkat menyebabkan
perlunya peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM). Peningkatan kualitas
sumber daya manusia perlu dilakukan terutama dalam gizi makanan yaitu protein
hewani. Permintaan akan konsumsi daging ayam setiap harinya semakin meningkat.
Akan tetapi, hal tersebut tidak diimbangi dengan pengiriman daging yang stabil setiap
hari dari rumah potong hewan dikarenakan mahalnya harga pakan dan lamanya proses
penggemukan. Banyak limbah agroindustri yang masih mengandung banyak nutrisi yang
kurang dimanfaatkan oleh peternak salah satunya yaitu limbah ampas bir. Tujuan
penelitian ini yaitu untuk mengetahui pengaruh pemberian pakan yang berasal dari
limbah ampas bir yang difermentasi dengan menggunakan molase terhadap peningkaan
pertumbuhan ayam pedaging. Limbah ampas bir mampu meningkatkan pertumbuhan
berat ayam potong antara 1,3-1,8 ons perminggun. Limbah ampas bir memiliki
kandungan yang dibutuhkan oleh ayam. Pakan limbah ini sesuai untuk meningkatakn
pertumbuhan berat badan ayam potong.
Kata Kunci: Pakan, Ayam Pedaging, Ampas Bir
RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442
Vol.1, No.1, Desember 2019:42-46
RJKM, Research Journal of KSI Mist| 43
1. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan salah satu
negara yang memiliki jumlah
penduduk terbesar ketiga di dunia.
Jumlah penduduk Indonesia yang
besar ini membuat persaingan di era
globalisasi semakin meningkat.
Persaingan di era gloabalisasi yang
semakin meningkat menyebabkan
perlunya peningkatan kualitas Sumber
Daya Manusia (SDM). Peningkatan
kualitas sumber daya manusia mulai
dilakukan oleh pemerintah Indonesia
melalui beberapa bidang yaitu
pendidikan, kesehatan dan juga
perbaikan gizi. Perbaikan gizi
dilakukan dengan meningkatkan
sumber gizi yang ada saat ini. Salah
satu sumber gizi yang masih perlu
diperbaiki yaitu protein hewani.
Protein hewani ini salah satunya yaitu
yang berasal dari daging ayam.
Menurut Badan Pusat Statistika, rata-
rata konsumsi per kapita seminggu
daging ayam selalu meningkat pada
tahun 2013 (0,078 kg), 2014 (0,086
kg), 2015 (0,103 kg), 2016 (0,111 kg),
dan 2017 (0,124 kg).
Jumlah peternakan di Indonesia
setiap tahunnya mengalami
peningkatan. Akan tetapi, yang
menjadi problematika umum bagi
usaha peternakan ayam di Indonesia
dewasa ini yaitu harga pakan yang
semakin tinggi, ketersediaan bahan
pakan ternak yang terbatas dan juga
sistem-sistem pemeliharaan yang
masih tradisional. Padahal jumlah
permintaan akan konsumsi daging
ayam setiap harinya semakin
meningkat.
Pakan merupakan hal utama dalam
tata laksana pemeliharaan, apabila
kebutuhan pakan tidak terpenuhi maka
akan berdampak pada status gizi
ternak. Status gizi ternak merupakan
ukuran keberhasilan dalam
pemenuhan nutrisi untuk ternak yang
diindikasikan oleh bobot tubuh dan
tinggi badan ternak. Status gizi juga
didefinisikan sebagai status kesehatan
yang dihasilkan oleh keseimbangan
antara kebutuhan dan masukan
nutrien. Pakan yang baik adalah pakan
yang kandungan gizinya dapat diserap
tubuh dan mencukupi kebutuhan
ternak sesuai status fisiologisnya.
Nilai gizi bahan pakan bervariasi,
maka penyusunan bahan pakan yang
baik adalah ketepatan memasangkan
satu jenis bahan pakan dengan bahan
pakan lain untuk memenuhi kebutuhan
nutrisinya.
Limbah ampas bir merupakan
limbah agroindustri. Limbah ampas
bir ini memiliki kandungan gizi yang
dapat dimaksimalkan dengan proses
fermentasi menggunakan limbah dari
agroindustri yaitu molase. Fermentasi
limbah ampas bir ini nantinya akan
meningkatkan kandungan dari gizi
pakan tersebut. Menurut Juwono
(2007) ampas bir merupakan salah
satu limbah industri pengolahan hasil
pertanian yakni pembuatan bir dengan
bahan baku 17 barley, beras dan
jagung. Menurut Lubis (1992)
kandungan ampas bir antara lain
berupa protein 25,9%, serat kasar
15 %. lemak 6,50 % dan abu 3,40 %.
Limbah ampas bir memiliki potensi
yang cukup besar sebagai sumber
pakan. Limbah ampas bir ini dapat
dimanfatkan, untuk meningkatkan
kebutuhan protein hewani menuju
Indonesia Emas 2045 melalui
RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442
Vol.1, No.1, Desember 2019:42-46
RJKM, Research Journal of KSI Mist| 44
peningkatan kualitas SDM yang
dimiliki bangsa ini. Berdasarkan
permasalahan di atas, maka penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui
“Pengaruh Pemberian Pakan Dari
Limbah Ampas Bir Terhadap
Pertumbuhan Ayam Pedaging”.
Dengan mengetahui pengaruh
pemberian pakan fermentasi limbah
ampas bir ini nantinya apakah
berpengaruh terhadap pertumbuhan
berat badan ayam atau tidak. Proses
pembuatan pakan dilakukan dengan
cara fermentasi yang bertujuan pakan
dapat disimpan dalam jangka waktu
yang lama. Pakan ini nantinya kan
memenuhi kebutuhan potein hewani
melalui daging ayam untuk
meningkatkan kualitas SDM menuju
Indonesia emas 2045 dan
meningkatkan daya saing bangsa
Indonesia dengan bangsa lain didunia.
2. METODE
Jenis penelitian yang digunakan
adalah penelitian eksperimen. Subjek
dalam penelitian ini adalah fermentasi
limbah ampas bir dan objek dalam
penelitian ini adalah pertumbuhan
berat badan ayam pedaging. Variabel
bebas penelitian yang digunakan
adalah pemberian pakan fermentasi
dengan pemberian pakan konstrat dan
bekatul dengan variabel terikat yaitu
peningkatan pertumbuhan ayam
pedaging yang diberikan pakan
fermentasi dari limbah ampas bir
dengan pakan konsentrat dan bekatul.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan
Mei sampai Juni di Pongangan,
Wates, Magelang Utara, Kota
Magelang.
Alat yang digunakan adalah
penggiling pakan, mesin pemotong,
karung, pengaduk dari plastik, mesin
penyaring/ayakan, mesin pengering
(oven), ember, nampan. Sedangkan
bahan yang dibutuhkan adalah premik,
dedak halus, ampas bir.
Pada pembuatan pakan dengan
bahan baku limbah ampas bir terdapat
enam tahap. Tahap pertama yaitu
menimbang semua bahan. Selanjutnya
memasukkan bahan dedak halus dan
ampas bir dalam mesin penggiling.
Lalu bahan tersebut ditambahkan
dengan sedikit air dan premik,
kemudian menunggu hasil
penggilingan sampai halus. Tahap
selanjutnya memasukkan hasil
penggilingan ke dalam karung dan
menutup rapat selama 7 hari.
Selanjutnya menggeringkan bahan
yang telah difermentasi menggunakan
mesin oven. Lalu memasukkan pakan
fermentasi yang telah kering ke dalam
karung atau wadah plastik yang
bertujuan untuk menyimpan pakan
agar tahan lama. Pakan fermentasi
siap untuk dijadikan pakan ayam.
Takaran pakan fermentasi
diberikan sesuai dengan berat badan
ternak ayam yaitu 2% dari berat badan
ayam setiap harinya. Sebagai contoh,
untuk ayam dengan berat badan 4 kg
akan diberikan pakan fermentasi 2%
dari 4 kg yaitu 80 gram. Pakan
fermentasi diberikan tidak sekali
makan, tetapi dengan aturan pagi dan
sore hari, dengan perbandingan pagi
hari dan sore hari 25%:75%. Contoh,
pakan fermentasi gram/hari maka
dibagi menjadi 20 gram pada pagi hari
dan 60 gram pada sore hari.
Sedangkan untuk air minum dibuat
RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442
Vol.1, No.1, Desember 2019:42-46
RJKM, Research Journal of KSI Mist| 45
nonstop 24 jam dengan memanfaatkan
hukum archimedes pada bak
penampungan air.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Dalam penelitian yang sudah
dilakukan, dicapai hasil sebagai
berikut:
Tabel 1. Pertambahan Berat Ayam yang
Diberikan Kosentrat dan Bekatul
Minggu
ke-
Jumlah ayam setiap
minggu (Kg)
A B C
Mula-
mula
0,5 0,53 0,51
1 0,62 0,64 0,64
2 0,76 0,79 0,75
3 0,88 0,89 0,87
4 0,98 1 1
Tabel 2. Pertambahan Berat Ayam yang
Diberikan Pakan Limbah Ampas Bir
Minggu
ke-
Jumlah berat Ayam
setiap minggu (Kg)
A B C
Mula-
mula
0,52 0,53 0,51
1 0,70 0,69 0,69
2 0,85 0,83 0,81
3 1,08 0,99 0,95
4 1,22 1,20 1,10
Dari data yang didapatkan terlihat
jelas perbedaan pertambahan bobot
ayam yang diberi pakan biasa
(kosentrat dan bekatul) dan ayam yang
diberi pakan limbah ampas bir. Ayam
yang diberi pakan kosentrat dan
bekatul mengalami kenaikan berat
badan rata-rata sebesar 1 -1,4
ons/minggu, sedangkan ayam yang
diberi pakan limbah ampas bir
mengalami kenaikan rata-rata setiap
Ayam Pedaging sebesar 1,3-1,8
ons/minggu. Ini sama artinya bahwa
pertumbuhan ayam setelah pemberian
pakan biasa memberikan kenaikan
rata-rata 1,3 ons setiap harinya,
sedangkan pertumbuhan Ayam
Pedaging yang diberi pakan limbah
ampas bir mampu menghasilkan
peningkatan rata-rata 1,7 ons setiap
harinya. Dari hasil yang didapatkan
terlihat bahwa pakan yang diberikan
ini sesuai dengan target yang
diinginkan dan mampu mempercepat
proses pertumbuhan ayam. Hasil yang
diperoleh menunjukkan bahwa pakan
ayam dari limbah ampas bir mampu
meningkatkan pertumbuhan ayam
potong dibandingkan pakan biasa.
Jadi pakan ini sesuai dan cocok untuk
membantu para peternak ayam dalam
mempercepat proses pertumbuhan
daging ayam potong. Dilihat dari hasil
yang didapat ini menunjukkan bahwa
pakan ini memberikan hasil yang
signifikan untuk pertumbuhan daging
ayam.
4. KESIMPULAN
Limbah ampas bir mampu
meningkatkan pertumbuhan berat
ayam potong antara 1,3-1,8 ons
perminggun. Limbah ampas bir
memiliki kandungan yang dibutuhkan
oleh ayam. Pakan limbah ini sesuai
untuk meningkatakn pertumbuhan
berat badan ayam potong.
5. REFERENSI
Badan Pusat Statistika. 2018. Diakses
melalui
https://www.bps.go.id pada
tanggal 7 Maret 2019 pukul
10.03 WIB.
RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442
Vol.1, No.1, Desember 2019:42-46
RJKM, Research Journal of KSI Mist| 46
Juwono. 2007. Pengaruh Penggunaan
Ampas Bir dalam Ransum
Terhadap Kecernaan Bahan
Kering dan Bahan Organik
Kelinci New Zealand White
Jantan. Skripsi. Surakarta:
Fakultas Pertanian
Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
Lubis, D. A., 1992. Ilmu Makanan
Ternak. Jakarta: PT
Pembangunan.
RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442
Vol.1, No.1, Desember 2019:47-55
RJKM, Research Journal of KSI Mist| 47
PELATIHAN PONI BATHO SEBAGAI SOLUSI PRODUKSI SAYUR
MANDIRI DI PERMUKIMAN PADAT PENDUDUK
Septiah Winda Ningrum1), Fidyanti Retno Palupi2), Zulfa Mahendra3), Rahmanisa Laila
Fitri4), Muhamad Arif Nur Rokhman5)
1Pendidikan Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri
Yogyakarta
email: [email protected]
2Pendidikan Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri
Yogyakarta
email: [email protected]
3Pendidikan Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri
Yogyakarta
email: [email protected]
4Pendidikan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri
Yogyakarta
email: [email protected]
5Pendidikan IPA, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri
Yogyakarta
email: [email protected]
ABSTRAK
Kuningan merupakan salah satu padukuhan yang terletak di Desa Caturtungal,
Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Kondisi
permukiman di pedukuhan ini warga sangat padat. Banyak didirikan perumahan, hotel,
dan kost yang mayoritas dikelola oleh ibu-ibu ibu rumah tangga. Selain itu, pedukuhan
ini berada di lingkungan perguruan tinggi, sehingga banyak mahasiswa yang tinggal di
sana. Hal ini memberikan dampak terhadap masyarakat terkait dengan keterbatasan
lahan. Padahal, sejalan dengan hal tersebut, fakta di lapangan menyatakan bahwa
konsumsi sayuran masyarakat Kuningan cukup tinggi. Untuk mengatasi permasalahan
tersebut, salah satu cara yang dapat digunakan adalah dengan bercocok tanam sayuran
secara hidroponik. Hidroponik adalah sistem menanam dengan media air. Sistem
hidroponik sederhana yang ditawarkan adalah dengan menggunakan baskom sebagai
tempat air dan tanaman yang dibudidaya. Program penanaman dengan hidroponik
baskom ini dinamakan Poni Batho (Hydroponic Basin Method). Poni Batho merupakan
salah satu program untuk ibu rumah tangga yang bertujuan dapat memproduksi sayur
secara mandiri sehingga dapat memenuhi tingkat konsumsi sayur di daerah permukiman
padat penduduk yang tinggi tersebut, agar tidak selalu membeli. Program Poni Batho
terdiri dari beberapa kegiatan yaitu sosialisasi program, pelatihan pembibitan,
pendampingan pemindahan bibit siap tanam, pendampingan perawatan tanaman, dan
evaluasi dan keberlanjutan program. Hasil program ini ibu-ibu dapat memproduksi
sayur mandiri di lahan terbatas, menghemat pengeluaran, dan menambah pemasukan
dengan penjualan sayur yang berlebih.
Kata kunci: Hidroponik, baskom, lahan sempit, Poni Batho.
RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442
Vol.1, No.1, Desember 2019:47-55
RJKM, Research Journal of KSI Mist| 48
1. PENDAHULUAN
Pangan merupakan kebutuhan
dasar manusia yang harus dipenuhi.
Pemenuhan kebutuhan pangan
tersebut menjadi hak asasi setiap
rakyat Indonesia dalam mewujudkan
sumber daya manusia yang
berkualitas. Sayuran merupakan
kebutuhan vital bagi kehidupan
manusia. Sayuran memiliki
kandungan mikro dan makro nutrien
yang memegang peran penting dalam
metabolisme manusia. Sayuran
mengandung tinggi vitamin, rendah
lemak dan antioksidan.
Masalah pemenuhan kebutuhan
pangan, khususnya sayuran, saat ini
dialami oleh masyarakat Kuningan,
Caturtunggal, Depok, Sleman.
Berdasarkan hasil survey tim PKM
Poni Batho yang menyatakan bahwa
ibu-ibu masyarakat tersebut
mengonsumsi sayuran setiap hari,
dengan total pengeluaran harian untuk
membeli sayuran adalah berkisar
antara Rp. 10.000,- hingga Rp.
15.000,-. Hal tersebut
mengindikasikan bahwa tingkat
konsumsi sayuran masyarakat
Kuningan tinggi.
Kuningan merupakan salah satu
padukuhan yang terletak di Desa
Caturtunggal, Depok, Sleman. Daerah
ini merupakan kawasan padat
penduduk yang senantiasa mengalami
perkembangan dan perubahan yang
dinamis, baik dari aspek
pemerintahan, perekonomian,
kependudukan maupun sosial
kemasyarakatan. Daerah ini
merupakan adalah kawasan trans-
sosial antara wilayah perkotaan
dengan pedesaan, perkembangan
komunitas pendatang, pedagang,
pengusaha, serta mahasiswa dari
berbagai daerah yang beragam,
maupun pencari kerja yang akseleratif
menjadikan peningkatan kebutuhan
hidup.
Di samping itu, permasalahan yang
sering dihadapi oleh masyarakat
perkotaan adalah keterbatasan lahan.
Permasalahan tersebut juga dialami
oleh masyarakat di kawasan penduduk
Kuningan. Hal ini merupakan salah
satu faktor masyarakat tidak
melakukan aktivitas berkebun yang
lahannya sudah padat dengan
permukiman penduduk. Masyarakat
Dusun Kuningan, khususnya ibu-ibu
merasa tidak memiliki tempat untuk
bertanam, sehingga untuk memenuhi
kebutuhan sayur sehari-hari harus
membeli sayuran di pasar,
minimarket, maupun supermarket.
Oleh sebab itu, pengeluaran bulanan
mereka pun termasuk tinggi akibat
pembelian bahan makanan yang terus
menerus.
Berdasarkan permasalahan yang
dialami oleh ibu-ibu Kuningan, terkait
dengan kebutuhan sayur tinggi,
keterbatasan lahan, dan belum
dimilikinya keterampilan menanam
sayur, solusi untuk mengatasinya yaitu
dengan melakukan usaha produksi
sayur mandiri yang dapat diawali dari
lingkup keluarga. Poni Batho:
Hydroponic Basin Method merupakan
salah satu program untuk ibu rumah
tangga yang tujuannya diharapkan
dapat memproduksi sayur secara
mandiri, sehingga dapat mengatasi
masalah pemenuhan konsumsi sayur
RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442
Vol.1, No.1, Desember 2019:47-55
RJKM, Research Journal of KSI Mist| 49
yang tinggi di daerah padat penduduk
Kuningan, serta dapat melakukan
penghematan pengeluaran pembelian
sayuran.
Program budidaya sayur sederhana
secara hidroponik ini tidak
membutuhkan lahan yang luas dan
tidak menghabiskan banyak waktu
dalam proses perawatannya (Tallei,
2018). Selain itu, penggunaaan
baskom untuk belajar bagi pemula
pembiayaannya relatif murah bila
dibandingkan dengan metode
hidroponik lainnya. Dengan demikian,
hasil dari program ini yaitu kebutuhan
sayur masyarakat Kuningan akan
tercukupi oleh masyarakat tersebut
secara mandiri.
Hidroponik adalah sistem
menanam dengan media air, berbeda
dengan sistem biasa yaitu dengan
media tanah. Hidroponik memiliki
banyak keuntungan sebagaimana
dikutip dari Tallei, dkk. (2018) bahwa
cara bercocok tanam dengan cara
hidroponik dapat menghindarkan
tanaman dari hama-hama yang
biasanya menyerang tanaman yang
ditanam di tanah. Selain itu, tanaman
yang ditanam dengan cara hidroponik
kebanyakan lebih segar dibandingkan
dengan tanaman yang ditanam di
tanah. Keuntungan lain antara lain
dapat menghemat tempat dan menjaga
kebersihan tempat tanam.
Air yang digunakan untuk
menanam dengan cara hidroponik
bukan air biasa melainkan air yang
mengandung larutan-larutan nutrisi.
Tallei, dkk. (2018) menyatakan bahwa
nutrisi yang dibutuhkan tanaman agar
dapat tumbuh di media air dibagi
menjadi unsur mikro dan unsur makro.
Unsur mikro antara lain B, Cl, Cu, Fe,
Mn, Mo, dan Z. Unsur makro antara
lain , P, S, K, Ca, dan Mg. Selain itu
menurut Adams, dkk. dalam Tallei,
dkk. (2018) untuk menunjang
keberhasilan penanaman dengan
hidroponik tidak hanya mengandalkan
nutrisi, tetapi juga pH larutan yaitu
berada di kisaran pH 5,5-6,5.
Wahome, dkk. dalam Tallei, dkk.
(2018) menyatakan bahwa tanaman
yang dibudidaya dengan sistem
hidroponik tumbuh dua kali lebih
cepat dibandingkan dengan sistem
konvensional karena ada kontak
langsung antara akar dengan oksigen,
tingkat keasaman yang optimum, serta
adanya peningkatan penyerapan
nutrien dan nutrisi yang seimbang.
Berkaitan dengan hal tersebut,
penanaman dengan hidroponik dapat
membuat ibu-ibu di Kuningan dapat
memenuhi kebutuhan sayur secara
optimal. Keuntungan yaitu
pertumbuhan tanaman dua kali lebih
cepat dipadukan dengan penanaman
secara berkelanjutan dapat
mengurangi intensitas ibu membeli
sayur di pasar karena panen dapat
dilakukan secara berkali-kali dalam
waktu yang berdekatan.
2. METODE
Poni Batho dilaksanakan di
Kuningan, Caturtunggal, Depok,
Sleman. Teknik pemilihan peserta
pelatihan Poni Batho yaitu
berkoordinasi dengan kepala dukuh
untuk menentukan warga yang dapat
mengikuti pelatihan tersebut. Sasaran
dari program ini adalah ibu rumah
RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442
Vol.1, No.1, Desember 2019:47-55
RJKM, Research Journal of KSI Mist| 50
tangga yang belum memiliki
keterampilan menanam dengan teknik
hidroponik. Program ini dilaksanakan
dengan membagi peserta menjadi 2
kelompok berdasarkan jarak tempat
tinggal masing-masing anggota
kelompok. Untuk mecapai tujuan
program, maka metode yang
dilakukan adalah pelatihan dan
pendampingan. Adapun tahapan yang
dilaksanakan adalah sebagai berikut:
a. Persiapan
1) Diskusi bersama mitra
Persiapan perencanaan
pelaksanaan program yaitu
dengan melakukan diskusi
bersama kepala dukuh untuk
memperoleh informasi terkait
dengan kondisi masyarakat
setempat.
2) Persiapan Sumber Daya
Manusia
Aspek sumber daya manusia
atau petugas pelaksanaan
program ini yaitu tim PKM
Poni Batho sendiri. Untuk
meningkatkan kompetensi tim
PKM Poni Batho agar dapat
melakukan pelatihan dan
pendampingan, tahap persiapan
yang dilakukan berupa:
a) Mengikuti pelatihan
bertanam hidroponik untuk
meningkatkan pengetahuan
tim PKM terkait dengan
hidroponik,
b) Melakukan penanaman
hidroponik untuk
menerapkan pengetahuan
dan menambah
keterampilan dalam
menanam hidroponik
c) Menambah pengetahuan
dan informasi mengenai
hidroponik melalui buku,
artikel, dan video petani
hidroponik dari internet.
Persiapan tersebut dilakukan
untuk menambah keilmuan dan
keterampilan tim PKM Poni
Batho yang akan diterapkan
pada masyarakat mitra melalui
PKM pengabdian kepada
masyarakat.
3) Menjalin Kemitraan
Menjalin kemitraan dilakukan
melalui pihak perangkat desa
setempat agar program yang
akan dilakukan mendapat
dukungan dari perangkat desa
dan khususnya masyarakat
setempat selaku sasaran
program. Selain itu juga
bertujuan untuk melakukan
pendekatan terhadap
masyarakat mitra.
b. Pelaksanaan Program
1) Teknik Penyuluhan Program
Teknik penyuluhan program
PKM Poni Batho adalah
sosialisasi dan diskusi.
Sosialisasi dan diskusi terlebih
dahulu dilakukan oleh tim Poni
Batho kepada ketua dukuh
yang kemudian kepada ibu-ibu
sebagai mitra pelatihan
hidroponik Poni Batho.
Sosialisasi dilakukan untuk
mengenalkan tentang
hidroponik secara umum, yaitu
berkaitan dengan materi
RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442
Vol.1, No.1, Desember 2019:47-55
RJKM, Research Journal of KSI Mist| 51
sosialisasi yang sudah
dipersiapkan. Tim PKM
menyampaikan informasi
mengenai hidroponik secara
umum, kemudian
menyampaikan informasi
mengenai program Poni Batho
secara lebih khusus, yaitu
penanaman tanaman hidroponik
menggunakan metode dengan
media tanam baskom,
sedangkan diskusi dilakukan
untuk menentukan tempat yang
sesuai untuk melakukan
praktek pelatihan menanam
tanaman hidroponik di agenda
praktek selanjutnya.
Selain itu, juga dilakukan
penyebaran angket untuk
mengetahui konsumsi sayur
peserta program pelatihan Poni
Batho. Hasil dari angket
tersebut digunakan sebagai data
untuk mengetahui
perbandingan sebelum dan
sesudah masyarakat melakukan
pelatihan Poni Batho.
2) Teknik Pelatihan Program
Pelatihan penanaman
tanaman hidroponik
dilaksanakan dengan teknik
demonstrasi secara langsung
oleh tim PKM Poni Batho yang
kemudaian dipraktekkan
langsung oleh peserta pelatihan
dan didampingi oleh tim PKM
Poni Batho. Pelatihan dan
pendampingan yang dilakukan
yaitu pelarutan nutrisi,
pembibitan benih sayuran,
perawatan tanaman,
pemindahan bibit ke media
tanam, dan pemanenan.
c. Evaluasi Program
Evaluasi program ini dilakukan
pada saat pendampingan program.
Pendampingan ini dilakukan
dengan teknik kunjungan langsung
ke tempat tanaman hidroponik satu
pekan sekali untuk mengontrol
pertumbuhan dan perkembangan
tanaman. Selain itu teknik lainnya
yaitu dengan koordinasi dengan
ibu-ibu peserta pelatihan via online
melalui grup WhatsApp. Pada tahap
ini dilakukan kegiatan
pendampingan perawatan
hidroponik dari tanam hingga
panen
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Kegiatan PKM pengabdian
masyarakat ini dilakukan dengan
pelatihan dan pendampingan menanam
hidroponik media baskom atau disebut
dengan Program Poni Batho
(Hidroponic Basin Method). Program
ini diikuti oleh ibu-ibu rumah tangga
daerah Kuningan, Caturtunggal,
Depok, Sleman yang terbagi dalam 2
kelompok,. Pengelompokan tersebut
berdasarkan hasil diskusi tim PKM
Poni Batho dan peserta pelatihan
dengan mempertimbangkan jarak
tempat tinggal masing-masingg peserta
pelatihan hidroponik, yang tujuannya
yaitu untuk mempermudah perawatan
harian tanaman nantinya.
Kegiatan Pelatihan Hidroponik
Poni Batho dilaksanakan dalam kurun
waktu bulan April 2018 sampai Juli
2018. Peserta pelatihan adalah ibu-ibu
Kelompok Wanita Tani. Kegiatan
RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442
Vol.1, No.1, Desember 2019:47-55
RJKM, Research Journal of KSI Mist| 52
pengabdian ini memerlukan banyak
persiapan, seperti pematangan konsep
pelaksanaan program Poni Batho
bersama dengan dosen pembimbing,
persiapan lokasi pelaksanaan program,
pendekatan kepada masyarakat mitra,
persiapan kembali materi dan keilmuan
tentang hidroponik yang akan
disampaikan kepada masyarakat mitra,
serta persiapan pengadaan alat dan
bahan hidroponik. Sebelum
pelaksanaan program, terlebih dahulu
tim PKM Poni Batho melakukan
koordinasi dengan pihak mitra untuk
menyesuaikan dan menentukan jadwal
pelaksanaan PKM. Dari koordinasi
tersebut diperoleh waktu-waktu yang
dijadikan acuan bagi tim PKM Poni
Batho untuk menentukan rangkaian
kegiatan program. Persiapan yang
tidak kalah penting, adalah dari segi
pengadaan alat dan bahan hidroponik
yaitu dengan memesan dan membeli
perlengkapan tersebut di toko
hidroponik sekitar daerah Sleman.
Selain itu tim PKM Poni Batho juga
melakukan koordinasi dengan dosen
pembimbing dan mengikuti sosialisasi,
workshop, pengembangan softskill
PKM yang diadakan oleh fakultas
maupun universitas sebagai
pembekalan pelaksanaan PKM,
meningkatkan keilmuan, kapasitas dan
kesiapan tim Poni Batho untuk
melaksanakan dan
mempertanggungjawabkan program
PKM pengabdian tersebut.
Gambar 1. Tim PKM dan Ibu-Ibu Peserta
Pelatihan Poni Batho
Rangkaian kegiatan pelaksanaan
program Poni Batho ini yaitu
sosialisasi mengenai hidroponik,
pelatihan dan pendampingan praktek
pelarutan nutrisi, pembibitan benih,
perawatan bibit, pemindahan bibit
sayuran ke media tanam baskom,
perawatan sayuran dewasa, dan
pemanenan sayuran. Selain
penyampaian materi pelatihan secara
demonstrasi langsung oleh tim Poni
Batho, juga telah dibuat video tutorial
praktek menanam hidroponik sebagai
media pelatihan yang dapat
dimanfaatkan ketika peserta tidak
bersama dengan tim PKM Poni Batho.
Program ini dapat dinilai berjalan
dengan baik, mulai persiapan,
pelaksanaan pelatihan, dan
pendampingan dari menanam hingga
memanen sayur hidroponik . Hal
tersebut ditandai dengan dari 11
kegiatan bersama mitra yang
direncanakan dapat terlaksana 10
kegiatan. Satu kegiatan yang tidak
terlaksana tersebut karena bertepatan
dengan Idul Fitri, sehingga untuk
menghormati bagi yang merayakan
kegiatan tersebut dialihkan di agenda
kegiatan lainnya.
RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442
Vol.1, No.1, Desember 2019:47-55
RJKM, Research Journal of KSI Mist| 53
Gambar 2. Pelatihan dan Pendampingan
Pembuatan Nutrisi
Gambar 3. Pelatihan dan Pendampingan
Pemindahan Media Tanam
Pada pemindahan bibit ke media
tanam ini ditemukan persoalan bahwa
jumlah tumbuh bibit yang ditanam oleh
peserta lebih banyak dari jumlah
ketersediaan media tanamnya.
Mengingat bibit harus tetap dipindah
agar pertumbuhan dan
perkembangannya baik, maka
ditemukan alternatif pemecahan
masalah dengan membuat dan
memanfaatkan media tanam yang lain.
Dengan menggunakan konsep yang
hampir sama dengan baskom, yaitu
memanfaatkan cekungan, maka
dimanfaatkanlah botol air mineral
bekas ukuran besar yang dilubangi
pada sisi sampingnya menjadi 3
lubang. Selain itu, pada salah satu
kelompok, yang satu anggota
kelompoknya memiliki instalasi
hidroponik dari pipa yang sudah tidak
terpakai untuk kembali dimanfaatkan.
Pemindahan tanaman tersebut
dilakukan pada media baskom dahulu
kemudian jika sudah mulai besar baru
dipindah ke instalasi pipa, sedangkan
media baskom semula berganti
ditempati oleh bibit baru yang siap
untuk dipindah tanam selanjutnya.
Program Poni Batho ini merupakan
salah satu upaya produksi sayur
mandiri di daerah permukiman padat
penduduk. Dalam hal ini, hasil dari
produksi sayur mandiri tersebut untuk
dapat memenuhi kebutuhan konsumsi
sayur sehari-hari serta dapat
mengurangi jumlah pengeluaran untuk
pembelian sayuran bagi ibu-ibu peserta
pelatihan program, sehingga dari
program ini juga dapat menghasilkan
penghematan. Untuk mengukur
keberhasilan program Poni Batho
secara kuantitatif, telah dilakukan
wawancara melalui penyebaran angket.
Angket tersebut berisi pertanyaan
terkait konsumsi sayur peserta
pelatihan hidroponik Poni Batho yang
akan dibandingkan sebelum dan
sesudah mengikuti program PKM Poni
Batho. Berikut adalah hasil angket
yang sudah diisi oleh peserta pelatihan
hidroponik Poni Batho.
Tabel 1. Perbedaan Sebelum dan Sesudah Melakukan Program Poni Batho
Indikator Sebelum program
Poni Batho
Sesudah program
Poni Batho
Bisa menanam hidroponik 8% 70%
Panen dan mengonsumsi sayur hasil panen - 78%
Jumlah Persentase Jumlah Persentase
RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442
Vol.1, No.1, Desember 2019:47-55
RJKM, Research Journal of KSI Mist| 54
Pengeluaran pembelian sayur satu pekan
1. < Rp 70.000-, 2 25% 2 25%
2. Rp 70.000,- sampai Rp 105.000,- 3 37.5% 4 50%
3. > Rp 105.000,- 3 37.5% 2 25%
Jumlah 8 100% 8 100%
Berdasarkan hasil angket tersebut,
dapat diketahui bahwa setelah
mengikuti pelatihan hidroponik Poni
Batho mayoritas peserta pelatihan
sudah mampumenanaman hidoponik.
Hasil tersebut meningkat dari sebelum
melakukan pelatihan, 8% menuju 70%.
Hal tersebut mengindikasikan bahwa
program kegiatan Poni Batho berhasil
melatih keterampilan menanam
hidroponik bagi ibu-ibu masyarakat
Kuningan, dari yang awalnya belum
bisa menjadi bisa berhidroponik.
Selain itu, 78% peserta pelatihan
yang sudah mengonsumsi sayur
hidroponik hasil pemanenan beberapa
jenis sayuran, dapat diketahui
perbedaan pengeluaran pembelian
sayur sebelum dan sesudah
pelaksanaan program Poni Batho.
Peserta dengan pengeluaran pembelian
sayur satu pekan lebih dari Rp.
105.000,- menurun dari 37.5% menjadi
25% beralih ke kelompok dengan
pengeluaran pembelian sayur antara
Rp. 70.000,- sampai Rp. 105.000,- dan
kurang dari Rp.70.000,-. Hal tersebut
mengindikasi bahwa telah terjadi
penghematan pengeluaran pembelian
sayur dalam satu pekan dari hasil
produksi hidroponik peserta pelatihan
Poni Batho.
Produk dari pelatihan Poni Batho
ini yaitu sayuran hidroponik. Sampai
saat ini sudah dipanen jenis sayuran
kangkung dan sawi. Kelompok satu
telah melakukan sekali pemanenan
untuk jenis sayur kangkung. Hasil dari
panen tersebut diperoleh dua ikat
kangkung, atau sekitar Rp 3.000,- per
ikatnya, sedangkan untuk kelompok
dua sudah melakukan tiga kali panen
kangkung dan dua kali panen sawi.
Dalam satu kali panen kangkung
diperoleh dua ikat kangkung atau
sekitar Rp 3.000,- per ikat. Dan untuk
satu kali panen sawi diperoleh 15 buah
sawi atau 3 bungkus, dan jika
dirupiahkan menjadi sekitar Rp 5.000,-
per bungkus. Sayuran tersebut selain
dikonsumsi peserta pelatihan Poni
Batho juga telah dijual kepada
masyarakat sekitar selain peserta
pelatihan.
Gambar 4. Sayuran Ditanam dengan Poni
Batho
Gambar 5. Hasil Panen Sayuran Kangkung
RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442
Vol.1, No.1, Desember 2019:47-55
RJKM, Research Journal of KSI Mist| 55
Hasil produksi sayur mandiri
tersebut selain untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari rumah tangga
pelatihan Poni Batho juga berpotensi
dapat membuka peluang untuk
berwirusaha produksi sayuran
hidroponik. Dalam hal ini telah dibuat
kelompok wirausaha sayur hidroponik
yang diketuai oleh Ibu Eni Puji dari
Kuningan.
Dari berbagai hasil yang telah
didapatkan, dapat diketahui bahwa
program Poni Batho dapat membantu
ibu-ibu Padukuhan Kuningan untuk
menanam sayuran secara mandiri di
lahan yang sempit. Selain itu, ibu-ibu
dapat menghemat pengeluaran untuk
membeli sayur ke pasar bahkan
menambah pemasukan karena
sayurannya dapat dijual.
4. KESIMPULAN
Hasil yang dicapai telah sesuai
dengan tujuan yaitu program Poni
Batho dapat membantu ibu-ibu
Padukuhan Kuningan untuk memiliki
keterampilan bertanam secara
hidroponik serta dapat memproduksi
sayur secara mandiri. Dalam hal ini
program pengabdian Poni Batho telah
dapat mengatasi permasalahan
ketersediaan untuk konsumsi sayur di
daerah permukiman padat penduduk
dan di lahan sempit.
5. REFERENSI
Roidah, Ida Syamsu. 2015.
Pemanfaatan Lahan Dengan
Menggunakan Sistem Hidroponik.
http://jurnal-unita.org Diakses
pada 13 Agustus 2018 pukul 15.20
WIB.
Tallei, Trina. 2018. Hidroponik Untuk
Pemula.
https://www.researchgate.net/
Diakses pada 20 Agustus 2018
pukul 11.30 WIB.
Tempo, 2017. Riset: Orang Indonesia
Kurang Makan Sayur dan Buah.
https://www.msn.com/ Diakses
pada 10 Agustus 2018 pukul 20.15
WIB.
RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442
Vol.1, No.1, Desember 2019:56-63
RJKM, Research Journal of KSI Mist| 56
UJI EFEKTIVITAS PEMBERIAN PAKAN TUTUYAM (TUTUT TULANG
AYAM) TERHADAP PRODUKTIVITAS IKAN LELE (Clarias sp.)
Fitriyani Astuti1)
, Agita Alphaningrum2)
, Cici Nurhidayati3)
1Pendidikan IPA, FMIPA, Universitas Negeri Yogyakarta
2Pendidikan IPA, FMIPA, Universitas Negeri Yogyakarta
3Kimia, FMIPA, Universitas Negeri Yogyakarta
Abstrak
Potensi budidaya ikan lele (Clarias sp.) di pedesaan sangat besar karena faktor lahan
yang memadai, tidak harus membeli, dan dapat menggunakan pakan pengganti seperti
dedaunan, nasi basi, maupun daging hewan mati. Namun untuk awal budidaya, ikan
lele sebaiknya diberi pakan utama sebagai proses adaptasi awal terhadap lingkungan.
Selama pertumbuhan, ikan lele memerlukan protein hewani yang tinggi. Kebutuhan
protein ikan lele >30 % (SNI 2006). Kebutuhan nutrisi untuk pertumbuhan ikan lele
dapat dipenuhi dengan pengadaan pakan yang lebih terjangkau dengan memanfaatkan
dan mengolah limbah di lingkungan sekitar, seperti tutut atau keong sawah (Pila
ampullacea) dan tulang ayam (Gallus domesticus). Pada penelitian ini dilakukan uji
efektivitas pemberian pakan Tutuyam (tutut tulang ayam) terhadap produktivitas ikan
lele (Clarias sp.). Penelitian ini dilakukan dengan cara pembuatan pakan Tutuyam
dengan variasi komposisi untuk keong sawah dan tulang ayam secara berturut-turut
yaitu A (45 % dan 45 %), B (40 % dan 50 %), dan C (50 % dan 40 %). Uji fisik
dilakukan dengan uji daya apung dan uji stabilitas pakan dalam air. Ketiga sampel
menunjukkan bahwa daya apung dan tingkat ketahanan pakan dalam air baik, secara
berturut turut yaitu 2 – 2,5 menit dan 2 – 3 jam, sehingga pakan dapat dikonsumsi ikan
di permukaan dan tidak menumpuk di dasar kolam serta tidak mudah hancur dalam air.
Uji kimia dilakukan dengan uji kandungan protein dan diperoleh kadar protein
tertinggi terdapat pada sampel A yaitu sebesar 34,3981% pada ulangan pertama, lalu
34,2621% pada ulangan kedua.
Kata kunci: Efektivitas, Tutuyam, Ikan Lele (Clarias sp.)
RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442
Vol.1, No.1, Desember 2019:56-63
RJKM, Research Journal of KSI Mist| 57
1. PENDAHULUAN
a. Latar Belakang
Industri rumah tangga di
masyarakat saat ini banyak melakukan
budidaya ikan lele (Clarias sp.).
Potensi budidaya ikan lele di pedesaan
sangat besar karena faktor lahan yang
memadai. Dari segi pakan, tidak harus
membeli dan dapat menggunakan
pakan pengganti seperti dedaunan,
nasi basi, maupun daging hewan mati.
Namun untuk awal budidaya, ikan lele
sebaiknya diberi pakan utama sebagai
proses adaptasi awal terhadap
lingkungan. Pakan ikan lele di pasaran
saat ini memiliki kisaran harga cukup
tinggi antara Rp 9.000-18.000/kg.
Adapun kandungan protein, lemak,
serat, dan kadar airnya berturut-turut
31-33%, 4-6%, 3-5%, dan 9-10% (CV
Prima, 2016). Menurut Afrianto dan
Evi (2005: 11), pakan buatan yang
biasa digunakan sering menimbulkan
permasalahan teknis, kesehatan,
maupun ekonomis. Penurunan kualitas
air dan defisiensi gizi yang
diakibatkan berdampak pada
pertumbuhan tidak normal pada ikan
lele. Selama pertumbuhan, ikan lele
memerlukan protein hewani yang
tinggi. Kebutuhan protein ikan lele
(Clarias sp.) menurut SNI (2006)
yaitu >30. Kebutuhan nutrisi untuk
pertumbuhan ikan lele dapat dipenuhi
dengan pengadaan pakan yang lebih
terjangkau dengan memanfaatkan dan
mengolah limbah di lingkungan
sekitar, seperti tutut atau keong sawah
(Pila ampullacea) dan tulang ayam
(Gallus domesticus).
Keong sawah (Pila ampullacea)
adalah sejenis siput air tawar dan
mudah dijumpai di sawah. Di
masyarakat nama keong sawah lebih
dikenal dengan sebutan tutut.
Keberadaan tutut di area persawahan
ini dapat merugikan petani karena
merusak tanaman padi. Tutut
merusak dengan menempel pada
batang padi kemudian memakannya
sehingga tubuh padi menjadi rusak.
Apabila hal ini dibiarkan hanya akan
membuat petani gagal panen dan
mengalami rugi. Namun di sisi lain,
tutut memiliki kandungan gizi yang
baik antara lain protein 15%, lemak
2,4% dan kadar abu 24% (Wardhono,
2012).
Tulang ayam (Gallus domesticus)
banyak dijumpai pada rumah makan
cepat saji yang saat ini mudah
ditemukan dan dijangkau serta akhir-
akhir ini semakin marak digandrungi
masyarakat. Dari segi pelayanan yang
cepat dan tidak memerlukan banyak
waktu untuk menunggu menjadikan
makanan jenis ini banyak dikonsumsi
masyarakat. Permintaan yang
semakin banyak tentunya membuat
produksi pun meningkat.
Bertambahnya produksi akan
menimbulkan jumlah limbah tulang
ayam yang semakin banyak pula.
Limbah tulang ayam selama ini
belum dimanfaatkan secara optimal.
Limbah ini cocok untuk mendukung
pertumbuhan budidaya ikan lele
karena kaya akan kandungan gizi
yang dimilikinya. Menurut Capah
(2006) tulang ayam normal memiliki
kadar air 45%, lemak 10%, protein
20%, dan abu 25%. Adapun menurut
Rasyaf (1990), tulang ayam
mempunyai komposisi kalsium 24-
30% dan fosfor 12-15%.
RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442
Vol.1, No.1, Desember 2019:56-63
RJKM, Research Journal of KSI Mist| 58
Dari permasalahan limbah yang
ditemukan di lingkungan, yaitu hama
tutut atau keong sawah (Pila
ampullacea) yang merugikan petani
dan limbah tulang ayam (Gallus
domesticus) serta melihat kebutuhan
masyarakat akan kelengkapan gizi
pakan ikan lele terutama di daerah
pedesaan, maka dilakukan Uji
Efektivitas Pemberian Pakan
Tutuyam (Tutut Tulang Ayam)
terhadap Produktivitas Ikan Lele
(Clarias sp.). Hal ini mengingat
keunggulan pakan tersebut antara
lain: kaya kandungan gizi untuk
pertumbuhan lele berupa protein
hewani dan kalsium, ekonomis, serta
mudah didapatkan karena
memanfaatkan limbah tutut dan
tulang ayam yang melimpah.
Komposisi protein tutut dan tulang
ayam secara berturut-turut berkisar
15 % dan 20% serta kandungan
kalsium pada tulang ayam 24-30%
diharapkan dapat mendukung
pertumbuhan ikan lele.
2. METODE
Jenis penelitian adalah penelitian
eksperimen yaitu memberikan
perlakuan terhadap sampel dan
melakukan pengamatan dampak
perlakuan terhadap sampel. Subjek
penelitian adalah pakan Tutuyam
(Tutut Tulang Ayam) yang dihasilkan
dari perlakuan bahan keong sawah
dan tulang ayam. Objek penelitian
adalah hasil uji kandungan pakan
Tutuyam (Tutut Tulang Ayam) dan
efektivitas pakan Tutuyam (Tutut
Tulang Ayam) dalam meningkatkan
produktivitas ikan lele (Clarias sp.).
Variabel bebas dalam penelitian ini
adalah variasi presentase keong
sawah dan tulang ayam dalam pakan
Tutuyam (Tutut Tulang Ayam).
Variabel kontrol dalam penelitian ini
adalah jumlah air pada adonan pakan
maupun 3 sampel akuarium, ukuran,
dan berat pakan Tutuyam (Tutut
Tulang Ayam), presentase dosis
dedak padi 10% dalam pakan
Tutuyam (Tutut Tulang Ayam),
ukuran ikan lele, dan jumlah untuk
setiap ikan lele yaitu 10 ekor.
Variabel terikat dalam penelitian ini
adalah kandungan dan efektivitas
pakan Tutuyam (Tutut Tulang Ayam)
dalam produktivitas ikan lele
(Clarias sp.).
Waktu pelaksanaan penelitian ini
dimulai pada bulan Juli hingga
Agustus 2017. Sedangkan untuk
tempat pelaksanaan dilakukan di
beberapa tempat yaitu Laboratorium
IPA UNY, Laboratorium Teknologi
Pangan dan Hasil Pertanian UGM,
dan rumah peneliti di Godean. Alat
yang digunakan yaitu blender,
tampah, ayakan, timbangan, baskom,
pisau, mangkuk, jaring, kantong
plastik, lumpang, alu, wajan, lidi,
sendok, mesin giling, oven kompor,
kompor gas, regulator, akuarium,
aerator, dan stopwatch. Sedangkan
bahan yang digunakan yaitu tulang
ayam, keong sawah, air, dedak padi,
dan bibit ikan lele.
a. Pembuatan Pakan
Pakan Tutuyam (Tutut Tulang
Ayam) dibuat dengan variasi
presentase tepung keong sawah dan
tulang ayam serta diberi air dan
dedak padi untuk mempermudah
RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442
Vol.1, No.1, Desember 2019:56-63
RJKM, Research Journal of KSI Mist| 59
pembuatan adonan. Variasi
komposisi untuk keong sawah dan
tulang ayam secara berturut-turut
pada pada Tutuyam yaitu A (45 %
dan 45 %), B (40 % dan 50 %), dan C
(50 % dan 40 %. Kemudian
dilakukan penggilingan adonan dan
pengeringan pakan.
b. Analisis Kimia Pakan
Dalam uji protein dilakukan
pengujian komposisi protein terhadap
ketiga sampel pakan (% bobot
kering) dengan 2x pengulangan.
c. Analisis Fisik Pakan
Daya apung (Floating Ability)
pakan dapat diukur dengan
menjatuhkan atau menebarkan pakan
tersebut ke dalam wadah yang telah
diisi air hingga kedalaman 15 – 25
cm. Waktu yang diperlukan oleh
pakan sejenak ditebarkan hingga
tenggelam di dasar wadah merupakan
daya apung pakan.
Stabilitas pakan dalam air (Water
Stability) diukur untuk mengetahui
tingkat ketahanan pakan di dalam air
atau berapa lama waktu yang
dibutuhkan hingga pakan lembek dan
hancur.
d. Uji Efektivitas pada Ikan Lele
Uji ini bertujuan untuk
mengetahui efektivitas pakan
Tutuyam (Tutut Tulang Ayam) dalam
produktivitas ikan lele. Variasi pakan
Tutuyam yang dilakukan pada
konsetrasi masing-masing untuk 3
perlakuan sampel pada akuarium ikan
lele yaitu pakan A, B, dan C.
Wadah untuk pemeliharaan
berupa akuarium sebanyak 3 buah
dengan ukuran 45x40x35 cm3
(volume air 25 L). Akuarium
dilengkapi aerator sebagai penyuplai
oksigen. Penyiponan dilakukan setiap
pagi, air yang dikeluarkan sebanyak
25% dari volume air dalam akuarium.
Air yang digunakan dalam penelitian
ini yaitu air sumur. Setiap akuarium
diisi 10 ekor ikan dengan ukuran
bobot awal benih ikan lele yang
digunakan adalah sama yang
diadaptasi selama seminggu sebelum
dilakukan penelitian. Setelah
diadaptasi, ikan dipuasakan selama
24 jam. Ikan dipelihara 30 hari
dengan pemberian pakan 2 kali sehari
yaitu pagi hari pukul 08.30 WIB dan
sore hari 17.30 WIB sebanyak 5%
dari bobot ikan uji. Kemudian
melakukan analisis tubuh ikan
dilakukan diawal dan diakhir
penelitian yaitu bobot awal dan bobot
akhir ikan.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
a. Pembuatan Pakan
Dalam penelitian pakan Tutuyam
yang sudah dilakukan telah dicapai
hasil yaitu pembuatan tepung tutut
dan tulang ayam dengan penyiapan
bahan menjadi tepung dan
pembuatan adonan pakan.
Pembuatan tepung dimulai dengan
mencari tutut segar dan limbah
tulang ayam di sawah dan rumah
makan cepat saji. Kemudian
dilakukan pembersihan dengan
mencuci bersih tutut dan tulang
ayam. Lalu untuk keduanya
dilakukan perebusan dengan air
matang untuk membuka cangkang
tutut dan menghilangkan sisa daging
yang masih menempel pada tulang
ayam. Untuk tutut sendiri dilakukan
pengeluran daging secara manual
RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442
Vol.1, No.1, Desember 2019:56-63
RJKM, Research Journal of KSI Mist| 60
menggunakan lidi karena pada saat
perebusan daging tutut masih
menempel dicangkang. Kemudian
dilakukan pemotongan daging tutut
dengan ukuran lebih kecil untuk
memperluas permukaan sehingga
akan mempercepat proses
pengeringan. Selanjutnya dilakukan
pengeringan di bawah sinar matahari
selama 2-3 hari untuk daging tutut
dan 4-7 hari untuk tulang ayam.
Daging tutut dan tulang ayam yang
sudah kering kemudian ditumbuk
menggunakan lumpang dan alu
sehingga diperoleh tepung Tutuyam
(Tutut Tulang Ayam). Hasil masing-
masing tepung yang diperoleh
kemudian dilakukan pengayakan
menggunakan ayakan untuk
mendapatkan hasil tepung yang
halus.
Pembuatan adonan dibuat dengan
variasi presentase tepung keong
sawah dan tulang ayam serta diberi
air dan dedak padi untuk
mempermudah pembuatan adonan.
Variasi presentase perlakuan untuk
setiap adonan yaitu keong sawah dan
tulang ayam secara berturut-turut
adalah sampel A (45 % dan 45 %),
sampel B (40 % dan 50 %), dan
sampel C (50 % dan 40 %).
Untuk setiap sampel pakan
dilakukan penggilingan dan
pengeringan pakan selama 2-3 hari
sehingga diperoleh pakan Tutuyam
berikut:
Gambar 4.1 Sampel Pakan Tutuyam
b. Pengujian Pakan
Sebelum dilakukan efektivitas
pakan Tutuyam terhadap
produktivitas ikan lele, terlebih
dahulu dilakukan uji kimia dan uji
fisik pakan. Hal ini dilakukan untuk
mengetahui komposisi protein
pakan, daya apung, dan stabilitas
pakan dalam air.
Pada masing-masing sampel A,
B, dan C dilakukan uji kualitas
pakan yang meliputi uji kadar
protein pada tutut tulang ayam. Uji
ini dialakukan di Laboratorium Uji
Teknologi Pangan dan Hasil
Pertanian, Fakultas Teknologi
Pertanian, UGM dengan No:
787/PS/08/17.
Tabel 1. Hasil Analisa Kadar Protein pada Tutut
Tulang Ayam
Menurut Fujaya (1999),
kebutuhan protein untuk ikan
berbeda-berbeda menurut spesiesnya
dan pada umumnya berkisar antara
20%-60%. Variasi dan kebutuhan
protein dipengaruhi oleh jenis umur
dan daya cerna ikan, kondisi
lingkungan, kualitas protein,
temperatur air dan sumber protein
tersebut. Pada tubuh ikan, protein
mulai dicerna di lambung. Produk
buangan sebagai hasil dari proses
Sampel
/Kode
Macam
Analisa
Hasil Analisa
UL1 UL2
A Protein (%) 34,3981 34,2621
B Protein (%) 31,4064 31,6364
C Protein (%) 32,5429 32,7022
RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442
Vol.1, No.1, Desember 2019:56-63
RJKM, Research Journal of KSI Mist| 61
metabolisme pada protein dalam
jaringan berupa urea, asam urat, dan
kreatinin. Berdasarkan hasil analisa
kadar protein tersebut dapat
diketahui kadar protein dari ketiga
sampel A, B, dan C berkisar antara
31-34%, dan kadar protein tertinggi
terdapat pada sampel A (45% keong
sawah, 45% tulang ayam, dan 10%
bekatul) yaitu sebesar 34,3981%
pada ulangan pertama, 34,2621%
pada ulangan kedua. Sehingga dari
data tersebut dapat dikatakan bahwa
pakan tutuyam telah sesuai dengan
kebutuhan protein untuk lele pada
umumnya.
Tubuh ikan tidak dapat
mensintesis protein dan asam amino
sehingga adanya protein dalam
pakan ikan mutlak dibutuhkan
(Mutirdjo, 2001). Menurut
Afriyanto, (1995) pakan dengan
kandungan protein rendah akan
mengurangi laju pertumbuhan,
proses reproduksi kurang sempurna,
dan dapat menyebabkan ikan
menjadi mudah terserang penyakit.
Uji fisik yang dilakukan terdiri
dari dua macam yaitu uji daya apung
dan stabilitas pakan dalam air. Untuk
mendapatkan uji daya apung pakan
dengan menghitung waktu yang
diperlukan oleh pakan sejenak
ditebarkan hingga tenggelam di
dasar wadah dan menghitung tingkat
ketahanan pakan dengan menghitung
berapa lama waktu yang dibutuhkan
hingga pakan lembek dan hancur.
Tabel 2. Tabel Pencatatan Waktu Analisis Fisik
Sampel
Pengujian
Daya
Apung
Pakan
Stabilitas
Pakan
dalam Air
A 2 menit 2 jam 28
menit
B 2,5 menit 2 jam 52
menit
C 2,2 menit 2 jam 50
menit
Berdasarkan data di atas, daya
apung sampel A memiliki waktu
yang paling kecil di antara dua
sampel lainnya. Sedangkan untuk
kedua sampel lainnya lebih dari 2
menit. Namun dari ketiga sampel
memiliki daya apung yang baik
sehingga pakan dapat dikonsumsi
ikan saat di permukaan dan pakan
tidak menumpuk di dasar kolam.
Selain itu, dipengaruhi adanya
komposisi lemak dalam pakan.
Menurut Mahyuddin (2008)
bahwa lemak berguna sebagai
sumber energi dalam beraktivitas
dan membantu penyerapan
mineral tertentu. Lemak juga
berperan dalam menjaga
keseimbangan dan daya apung
pakan dalam air.
Untuk uji stabilitas pakan
dalam air dari ketiga sampel
diperoleh waktu percobaan lebih
dari 2 jam dan kurang dari 3 jam.
Sehingga dari ketiga sampel di
atas menunjukkan bahwa tingkat
ketahanan pakan dalam air
ketiganya adalah baik karena
tidak mudah hancur saat di dalam
air Stabilitas pakan dalam air
yang baik daya larutnya antara 2-
RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442
Vol.1, No.1, Desember 2019:56-63
RJKM, Research Journal of KSI Mist| 62
3 jam. Apabila lebih dari batas
tersebut, berarti pakan sulit
dicerna. Sedangkan bila kurang,
bisa jadi pakan tersebut tidak
ditemukan (tidak dimakan)
karena terlalu cepat melarut
(Kordi, 2010).
c. Rencana Pengembangan
Tahapan berikutnya akan
dilakukan uji kimia lebih lanjut
terhadap pakan yaitu mengetahui
komposisi lemak, karbohidrat,
vitamin dan mineral. Untuk uji
efektivitas pakan Tutuyam, akan
dilakukan dalam 3 buah akuarium
berbeda. Dalam pengujian
digunakan analisis massa sebelum
dan sesudah diberi pakan
Tutuyam.
4. KESIMPULAN
Pembuatan pakan Tutuyam (Tutut
Tulang Ayam) dilakukan dengan cara
pengeringan bahan baku pakan (keong
sawah dan tulang ayam), penggilingan,
pembuatan adonan pakan dengan
komposisi variasi presentase tepung
keong sawah dan tulang ayam berturut-
turut yaitu A (45 % dan 45 %), B (40 %
dan 50 %), dan C (50 % dan 40 %) serta
10% bekatul untuk setiap variasi.
Kemudian dilakukan penggilingan
adonan dan pengeringan pakan. Ketiga
sampel A, B dan C memiliki kelayakan
konsumsi yang baik dengan daya apung
2-3 menit dan stabilitas dalam air yang
baik yaitu 2-3 jam. Dengan kadar protein
tertinggi terdapat pada sampel A yaitu
sebesar 34,3981% pada ulangan pertama,
34,2621% pada ulangan kedua.
5. REFERENSI
Afrianto, E dan Evi L. 2005. Pakan Ikan.
Kanisius. Yogyakarta.
Adijaya, D. 2016. Panduan Praktis
Pakan Ikan Lele. Penebar
Swadaya. Jakarta.
Capah, R. L. 2006. Kandungan Nitrogen
dan Fosfor Pupuk Organik Cair
dari Sludge Instalasi Gas Bio
dengan Penambahan Tepung
Tulang Ayam dan Tepung
Darah Sapi. Skripsi. Institut
Pertanian Bogor.
CV Prima. 2016. Hi-Pro-
Vite781 Pakan Ikan
Lele.Diakses dari
http://www.cpp.co.id/id/our-
business/feed-business/fish/hi-
pro-vite-781- pakan-ikan-lele
pada Sabtu, 8 April 2017, pukul
05.40 WIB.
Darseno. 2013. Budidaya Lele.
Agromedia Pustaka. Jakarta.
Fujaya, Y. 1999. Fisiologi Ikan. Rineka
Cipta. Jakarta.
Hardianto, V. 2002. Pembuatan tulang
ayam pedaging menggunakan
pengering drum (drum dym)
dengan penambahan bahan
pemutih (bleaching agent).
Skripsi. Institut Pertanian
Bogor.
Kordi, K. M. G. H. 2010. Budidaya Ikan
Lele di Kolam Terpal. Andi
Offset. Yogyakarta.
Mahyudin. 2008. Panduan Lengkap
Agribisnis Lele. Penebar
Swadaya. Jakarta.
RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442
Vol.1, No.1, Desember 2019:56-63
RJKM, Research Journal of KSI Mist| 63
Murtidjo, B. A. 2001. Pedoman Meramu
Pakan Ikan. Kanisius.
Yogyakarta.
Rasyaf M. 1990. Bahan Makanan
Unggas di Indonesia. Penerbit
Kanisius. Jakarta.
Saanin, H. 1994. Taksonomi dan Kunci
Identifikasi Ikan. Bina Cipta.
Jakarta.
Sahwan, M. F. 1999. Pakan Ikan dan
Udang, Formulasi, Pembuatan,
Analisis Ekonomi. Penebar
Swadaya. Jakarta.
Suryaningsih, S. 2014. Biologi Ikan Lele:
Pemanfaatan Belatung Ampas
Tahu sebagai Pakan Alternatif
untuk Peningkatan Produksi Ikan
Lele Dumbo. Hal. 9.
Wardhono, W. 2012. Pengaruh Rasio
Penggunaan Daging Tutut dan
Daging Sapi terhadap Sensori
Bakso Tutut. Skripsi. Universitas
Bandung Raya.
Zaroroh, A. F. 2013. Eksperimen
Pembuatan Abon Keong Sawah
dengan Substitusi Kluwih dan
Penggunaan Gula Yang Berbeda.
Food Science and Culinary
Education Journal. Vol (2): 2.
RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442
Vol.1, No.1, Desember 2019:64-
RJKM, Research Journal of KSI Mist| 64
SINTESIS DAN KARAKTERISASI NANOPARTIKEL CDOT LIMBAH
KUBIS (Brassica oleracea) DENGAN METODE PIROLISIS MICROWAVE
KATALIS ZEOLIT
Silfani1, Bella Sinta Himasari2, Indah Dwi Lestari3
1Pendidikan Fisika, FMIPA, Universitas Negeri Yogyakartara
email: [email protected]
2Pendidikan Fisika, FMIPA, Universitas Negeri Yogyakartara
email: [email protected]
3Pendidikan Kimia, FMIPA, Universitas Negeri Yogyakartara
email: [email protected]
Abstrak
Karbon dots (CDs) merupakan nanopartikel karbon yang dapat disintesis dari berbagai
sumber karbon. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui cara sintesis nanopartikel Cdots
dari limbah kubis dengan metode pirolisis katalis zeolit dan mengetahui karakterisasi
hasil pendaran karbon dots.Karbon dots dapat dibuat dari tumbuhan-tumbuhan, dan
dapat memanfaatkan limbah sayuran. Imbah sayuran yang digunakan dalam pembuatan
karbon dots ialah kubis. kubis (Brasissca oleracea) menurut Harjono, 1996, mengandung
karbohidrat, kalsium, fosfor, natrium, serta flavonoid. Flavonoid adalah senyawa yang
terdiri dari 15 atom karbon. Hal ini menjadikan potensi limbah kubis dapat dijadikan
sebagai sumber Cdot.Hasil sintesis nanopartikel karbon dots berbahan limbah kubis
dilakukan dengan metode pirolisis yang efektif pada suhu 100 oC dengan menambahkan
katalis zeolit. Hasil pendaran yang di lihat menggunakan laser menjadi lebih jernih
dengan kisaran warna violet 400-420 nm dan mendekati indigo 420-440 nm. Sintesis dan
karakterisasi hasil pendaran ikatan rantai karbon sebagai sumber utama dalam
pembuatan C-Dots menjadi fokus penelitian yang dikaji yang nantinya diharapkan dapat
menjadi nanopartikel terobosan baru sumber karbon organik.
Kata kunci: karbon dots, kubis, sintesis, zeolit.
RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442
Vol.1, No.1, Desember 2019:64-70
RJKM, Research Journal of KSI Mist| 65
1. PENDAHULUAN
Berdasarkan survei Badan
Pusat Statistik (BPS) tahun 2018
tentang Indeks Ketidakpedulian
Lingkungan Hidup (IKLH)
disebutkan bahwa IKLH
masyarakat Indonesia terhadap
sampah mencapai 80%. Kubis
yang merupakan salah satu
sayuran utama pertanian yang
murah, tinggi manfaat, banyak
dibudidayakan di Indonesia, dan
dapat dipasarkan tanpa
terpengaruh musim. Jumlah
produksi tertinggi di Indonesia
mencapai 1.363.741 ton.
Namun, setiap produksi dan
pemasaran, kulit kubis banyak
terbuang mencapai 25%.
Volume sampah dapur yang
melimpah di pasar dan tempat
umum lainnya disebabkan tidak
maksimalnya pengelolaan yang
dilakukan dan dapat
menimbulkan penyakit serta
pencemaran bagi lingkungan.
Jika dilihat dari unsur
penyusunnya, kubis (Brassica
oleracea) menurut Harjono
(1996) mengandung karbohidrat,
kalsium, fosfor, natrium, serta
flavonoid. Flavonoid adalah
senyawa yang terdiri dari 15
atom karbon. Hal ini menjadikan
potensi limbah kubis dapat
dijadikan sebagai sumber Cdot
Untuk dapat mensintesis
Cdots, teknik konversi yang
dapat diaplikasikan adalah
pirolisis. Peneliti memilih
microwave sebagai keunggulan
alat karena efektif menghasilkan
serbuk yang lebih kering dan
cepat dibanding teknik
konvensional, dengan
mengombinasikan penambahan
katalis yaitu zeolit karena ramah
lingkungan dan banyak terdapat
di alam. Penambahan katalis
mampu mempercepat proses
pembentukan sehingga jumlah
yang dihasilkan lebih banyak
dan kualitasnya meningkat.
Karbon dots (CDs)
merupakan nanopartikel karbon
yang dapat disintesis dari
berbagai sumber karbon. Dalam
penelitian ini, sintesis CDs dari
bahan organik peneliti
menggunakan daun kubis
sebagai bahan baku utama
karena dinilai berpotensi mampu
menghasilkan CDs serta mudah
dan murah dijumpai di
Indonesia. Sintesis dan
karakterisasi hasil pendaran
ikatan rantai karbon sebagai
sumber utama dalam pembuatan
C-Dots menjadi fokus penelitian
yang dikaji yang nantinya
diharapkan dapat menjadi
nanopartikel terobosan baru
sumber karbon organik.
2. METODE
Jenis penelitian yang
digunakan adalah penelitian
eksperimen.Waktu penelitian
dilakukan dari bulan Maret 2019
sampai Agustus 2019 bertempat
di Laboratorium Kimia dan
Laboratorium Fisika Material
FMIPA UNY dengan subjek
penelitian nanopartikel Cdots
dan objek penelitian
karakterisasi pendaran cahaya
dari nanopartikel cdots yang
dihasilkan dari limbah kubis.
Prosedur awal yaitu
RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442
Vol.1, No.1, Desember 2019:64-70
RJKM, Research Journal of KSI Mist| 66
mempersiapkan alat dan bahan
yang akan digunakan, membuat
katalis dari tumbukan zeolit
yang sudah berukuran kecil lalu
dicampurkan dengan larutan
NaOH 2M dan dipanaskan
selama 1 jam pada suhu 60oC
selanjutnya dioven selama 2 jam
pada suhu 110oC. Untuk limbah
kubis, dipotong berukuran kecil
kemudian dimasukkan ke
microwave yang sudah di beri
katalis untuk pemercepat
penyerapan air pada suhu 100oC,
190oC, dan 250oC. Hasil dari
pirolisis berupa serbuk padatan
dengan ukuran nano dan
pengujian sampelnya
menggunakan perpendaran
cahaya. Pembuatan katalis zeolit
yakni dengan cara
menghaluskan zeolit alam lalu
dicampurkan dengan larutan
NaOH 2M dandipanaskanselama
1 jam pada suhu 60oC
selanjutnya di oven selama 2
jam pada suhu 110o C.
Pemanasan menggunakan
metode pirolisis dengan
microwave ini dipanaskan dalam
suhu 100oC, 190oC, dan 250oC
dan mendapatkan hasil berupa
padatan serbuk berukuran
nanopartikel Analisis data
dilakukan dengan cara melihat
perpendaran cahaya pada sampel
dilakukan untuk membuktikan
bahwa berhasil dalam
pembuatan sampel dengan
terjadinya perbedaan cahaya
yang melewati larutan sampel
tersebut. Kemudian disajikan
dalam bentuk diagram batang
dan dianalisis secara deskriptif.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Hasil Pengujian dengan Sinar
Laser (Photoluminesence)
Hasil sintesis Cdots dari
limbah kubis dengan
konsentrasi 250, 190, 100 yang
dilarutkan pada aquades
memiliki warna yang berbeda-
beda. Konsentrasi 250 dengan
katalis zeolit dan yang tidak
menggunakan katalis zeolit
sama-sama memiliki warna
coklat pekat, konsentrasi 190
yang menggunakan katalis
zeolit memiliki warna coklat
terang dan lebih jernih
dibandingkan dengan
konsentrasi 190 yang tidak
menggunakan katalis zeolit
dan konsentrasi 100 yang tidak
menggunakan katalis zeolit
memiliki warna lebih jernih
dibandingkan dengan
konsentrasi 100 dengan katalis
zeolit. Pekat dan jernihnya
suatu larutan dapat disebabkan
karena adanya senyawa yang
terbentuk dari ion zeolit aktif
dan C-dots maupun akibat
pengenceran dengan aquades
sebagai pelarutnya.
Salah satu yang menjadi
ciri dari sifat Cdots adalah
luminisensi. Cdots yang telah
disintesis memiliki
karakteristik luminisensi yang
dapat dilihat pada sumber
eksitasi sinar UV. Sinar UV
yang diserap mampu
membangkitkan elektron dan
menghasilkan cahaya yang
disebabkan oleh elektron yang
mengalami proses rekombinasi
(de-eksitasi) karena elektron
bergabung kembali dengan
hole sehingga hole menjadi
hilang. Saat proses deeksitasi
ini dilepaskan energi berupa
RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442
Vol.1, No.1, Desember 2019:64-70
RJKM, Research Journal of KSI Mist| 67
panas atau pemancaran cahaya.
Keberhasilan Cdots yang telah
disintesis dapat diketahui
dengan menggunakan
beberapa pengujian.
Pengujian sederhana yang
dilakukan untuk mengetahui
keberhasilan dari sintesis
Cdots adalah dengan
menyinari sampel tersebut
dengan laser UV berwarna
ungu. Berlangsungnya proses
luminesensi harus
menggunakan sumber eksitasi
seperti lampu UV atau laser.
Luminisens terjadi ketika
elektron meloncat dari pita
valensi menuju pita konduksi
setelah dieksitasi oleh energi
dari sumber eksitasi kemudian
kembali lagi ke keadaan
dasarnya karena tidak stabil.
Konsentrasi 250, 190 dan 100
memiliki pendaran yang sama
yakni warna hijau, tampak
sekilas perbedaannya pada
tingkat intensitas menjadi
warna kuning. Hal tersebut
juga berlaku pada Cdots
dengan konsentrasi 250, 190
dan 100 yang diberikan katalis
zeolit. Urutan intensitas
pendaran tertinggi ke terendah
untuk Cdots tanpa katalis
zeolit secara kualitatif yaitu
Cdots 100, 190, 250 dan
urutan intensitas pendaran
Cdots dengan katalis zeolit
secara kualitatif yaitu Cdots
100, 190, 250. Berikut
perbandingan pendaran
cahaya:
Gambar 3.1 Photoluminesence Cdots
konsentrasi100, 100-zeolit, 190, 190-
zeolit, 250 dan 250-zeolit
3.2 Pembahasan Hasil Karakterisasi
Photoluminesence (PL)
Transisi dari keadaan
tereksitasi (LUMO) ke keadaan
dasar (HOMO), spektrum PL
terdiri dari emisi panjang
gelombang eksitasi dalam nm
pada sumbu X dan intensitas
pada sumbu Y. Nilai panjang
gelombang ini menunjukkan
bahwa molekul menyerap energi
dapat digunakan sebagai
panjang gelombang eksitasi.
Spektrum fluoresensi digunakan
RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442
Vol.1, No.1, Desember 2019:64-70
RJKM, Research Journal of KSI Mist| 68
untuk mengetahui sampel yang
dihasilkan dan akan
menghasilkan intensitas
fluoresensi yang kuat pada
panjang gelombang emisi
maksimum saat dieksitasi di
panjang gelombang tertentu.
Sampel Cdot konsentrasi 100,
100-zeolit, 190, 190-zeolit, 250
dan 250-zeolit dilakukan
karakterisasi PL dengan panjang
gelombang eksitasi kisaran
warna violet 400-420 nm dan
mendekati indigo 420-440 nm.
Hasil karakterisasi PL dari
ketiga sampel tersebut
ditunjukkan secara deskriptif
dengan Gambar bahwa zeolit
dalam penentuan Cdots dari
limbah kubis dinilai kurang
efektif dikarenakan
terbentuknya suatu senyawa
yang terdiri dari ion negatif
zeolit dan ion positif Cdots,
selain itu hal ini juga disebabkan
karena zeolit bersifat katalis
adsorben yang berarti akan
menyerap partikel zat tertentu ke
dalam zeolit tersebut yang
berarti kedua hal ini
mengakibatkan larutan berwarna
lebih keruh pada konsentrasi
190. Pada konsentrasi 100
dengan zeolit dapat berwarna
lebih jernih akibat ion negatif
zeolit tidak membentuk senyawa
matriks (pengganggu/pengeruh)
dengan Cdots karena jumlah
Cdots dinilai sedikit. Sinar laser
UV tidak mampu
memfluoresensi Cdots dengan
konsentrasi 250 karena larutan
tersebut sangat pekat sehingga
tidak mampu ditentukan
fluoresensinya secara kualitatif
maupun deskriptif. Oleh karena
itu, diperlukan penelitian lebih
lanjut terkait Cdots dengan
metode sintesis yang lain untuk
lebih mengetahui data kuantitatif
secara lebih akurat sepeti XRD
dan untuk perkembangan
diperlukan pengujian TEM
untuk mengetahui morofologi
permukaan sehingga dapat
karakter Cdots lebih jauh.
4. KESIMPULAN
Sintesis nanopartikel Cdots
dari bahan limbah kubis
(Brasissca oleracea) dapat
dilakukan dengan cara metode
pirolisis menggunakan
microwave dengan
menambahkan katalis zeolit
yang efektif pada 100 oC.
Karakterisasi hasil pendaran
nanopartikel Cdots dari limbah
kubis (Brasissca oleracea) dapat
dilakukan dengan menyinari
sampel menggunakan laser,
khusushnya warna ungu yang
menghasikan warna terang dan
dengan penambahan katalis
menjadi lebih jernih dengan
kisaran warna violet 400-420 nm
dan mendekati indigo 420-440
nm.
5. REFERENSI
BPS,2018,Statistika Indeks
Ketidakpedulian
Lingkungan
Hidup,Jakarta
Breck, D.W. 1974. Zeolite
Molecular Sieves,
Structure, Chemistry, and
Use. New York: John
Willey and Sons, Inc.
Brown, R.C., and J. Holmgren, Fast
Pyrolysis and Bio-oil
Upgrading, Iowa State
RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442
Vol.1, No.1, Desember 2019:64-70
RJKM, Research Journal of KSI Mist| 69
University and UOP
Honeywell Co, 2008.
Cejka, J., Bekkum, H. v. & Corma,
A. 2007. Introdustion to
Zeolite Science and
Practice, Oxford,
Elsevier.
Danarto,Prasetyo,Ferry.2010.”Piroli
sis Limbah Serbuk Kayu
dengan Katalisator
Zeolit”.Prosiding Seminar
Nasioal Teknik Kimia,26
Januari, 2010.
Dody, Widya, dkk.2015.”Pengaruh
Penggunaan Katalis
(Zeolit) Terhadap Kinetic
Rate Tar Hasil Pirolisis
Serbuk Kayu Mahoni
(Switenia
Macrophylla)”.Rekayasa
Mesin,Vul.6,No.1 Tahun
2015:19-25.
Fachrizal, N., R. Mustafa, M.
Pramudji. 2012.
Rancangg Bangun
Perangkat Eksperimen
Proses Pirolisis Biomasa
Gelombang Mikro. B2TE
BPPT, Kawasan
Puspiptek Gd. 620,
Tangerang Selatan.
Harjono, 1996. Melirik Bisnis Tani
Kubis Bunga. CV Aeka :
Solo.
Hermayana.2017.PIROLISIS
CAMPURAN BAGAS
TEBU DAN MINYAK
BIJI KARET DENGAN
PERBANDINGAN
REAKTAN YANG
BERBEDA MENJADI
BAHAN BAKAR CAIR
MENGGUNAKAN
ZEOLIT-A BERBASIS
SILIKA SEKAM PADI
SEBAGAI KATALIS.
Lampung.
Jiang J, He Y, Li S, Cui H. 2012.
Amino acids as the source
for producing carbon
nanodots: microwave
assisted one-step
synthesis, intrinsic
photoluminescence
property and intense
chemiluminescence
enhancement. Chem
Commun. 48:9634-
9636.doi:10.1039/c2cc34
612e.
N. R. Pires et al., “Novel and fast
microwave-assisted
synthesis of carbon
quantum dots from raw
cashew gum,” J. Braz.
Chem. Soc., vol. 26, no.
6, pp. 1274-1282, Jun.
2015.
Permadi, A.H., dan
S.Sastrosiswojo.1993.
Kubis. Badan Penelitian
dan Pengembangan
Pertanian Balai Penelitian
Hortikultura. Lembang.
Qu S, Wang X, Lu Q, Liu X, Wang
L. 2012. A biocompatible
fluorescent ink based on
water-soluble luminescent
carbon nanodots. Angew
Chem. 124:1-
5.doi:10.1002/ange.20120
6791.
R. Jelinek, Carbon Quantum Dots:
Synthesis, Properties, and
Applications (Carbon
Nanostructures Series).
Switzerland: Springer,
2017.
Rahmayanti, H. D.(2015). Sintesis
Carbon Nanodots Sulfur
RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442
Vol.1, No.1, Desember 2019:64-70
RJKM, Research Journal of KSI Mist| 70
(C-Dots Sulfur) dengan
Metode Microwave.
Skrpsi: Universites Negeri
Semarang.
Salamba, Wenni
Amiruddin.2018.SINTESI
S CARBON DOTS(C-
DOTS) DARI BAHAN
GULA PASIR DENGAN
TEKNIK MICROWAVE
UNTUK MENDETEKSI
LOGAM BERAT
BESI.Makassar.
Siti, Isnaeni, dkk.2017.”Sintesis
dan Karakterisasi
Fotoluminisens Carbon
Dots Berbahan Dasar
Organik dan Limbah
Organik”.Positron,Vol.VI
I,No.2,2017,Hal.37-41.
X. Xu et al., “Electrophoretic
analysis and purification
of fluorescent single-
walled carbon nanotube
fragments,” J. Am. Chem.
Soc., vol. 126, no. 40, pp.
12736-12737, Sep. 2004.
Yang Z, Li Z, Xu M, Ma Y, Zhang J, Su
Y, Gao F, Wei H, Zhang L.
2013. Controllable synthesis of
fluorescent carbon dots and their
detection 16 application as
nanoprobes. Nano-Micro Lett.
5(4):247-
259.doi:10.5101/nml.v5i4.p247-
259.
RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442
Vol.1, No.1, Desember 2019:71-75
RJKM, Research Journal of KSI Mist| 71
BLUE LEN (BROMELIA FOR SOURCE ELECTRICAL ENERGY) BASED
PLANT MICROBIAL FUEL CELL SEBAGAI ALTERNATIF SUMBER
ENERGI LISTRIK YANG TERJANGKAU
Zulkaisi Dwi Pangarso1), Bella Sinta Hikmasari2), Shilvi Woro Satiti3)
1 Pendidikan Fisika, FMIPA, UNY
email: [email protected]
2 Fisika, FMIPA, UNY
email: [email protected]
3 Kimia, FMIPA, UNY
email: [email protected]
Abstrak
Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero) tahun 2010-
2019 menyebutkan, kebutuhan listrik diperkirakan mencapai 55.000 MW. Jadi rata-rata
peningkatan kebutuhan listrik pertahun 5.500 MW. Meskipun listrik menjadi kebutuhan
primer, namun hingga saat ini penyediaan listrik di Indonesia masih belum merata,
terutama di daerah terpencil yang sulit dijangkau jaringan listrik, sehingga banyak
perumahan yang belum memiliki penerangan yang layak. Pemanfaatan energi alternatif
berbasis Plant Microbial Fuel Cell (PMFC) menggunakan tanaman Blomeria dimana
tanaman ini masih banyak di jumpai di Indonesia dan biasanya hanya digunakan sebagai
tanaman hias di dalam pot. PMFC yaitu sistem yang memanfaatkan hasil fotosintesis
dari tumbuhan. Sebesar 70% hasil dari fotosintesis tumbuhan akan dibuang ke akar dan
dipecah oleh mikroorgannisme menjadi CO2. H2O, dan elektron. Dengan memberikan
elektroda berupa grafit, elektron yang dihasilkan dari proses pemecahan hasil
fotosintesis akan mengalir menuju elektroda sehingga menghasilkan tegangan dan arus
listrik. Tegangan listrik yang dihasilkan oleh tanaman Blomeria yang ditanam dalam pot
berdiameter 25 cm selama 6 hari mencapai tegangan yang paling optimal pada
penyiraman dengan variasi air 200 ml dimana tegangan yang dihasilkan dengan rata-
rata 0.26 Volt , dari hasil tegangan tersebut dapat dihasilkan daya listrik 2,76 µW
selama 6 hari sehingga tanaman ini dapat disebut tanaman yang memiliki fungsi ganda
yakni dapat dimanfaatkan masyarakat sebagai tanaman hias sekaligus penghasil listrik.
Kata kunci: Bromelia, Grafit, dan Plant Microbial Fuel Cell.
RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442
Vol.1, No.1, Desember 2019:71-75
RJKM, Research Journal of KSI Mist| 72
1. PENDAHULUAN
Setiap tahunnya jumlah penduduk
Indonesia terus bertambah, berdasarkan
data BPS (2017) dari tahun 2000-2017
jumlah penduduk Indonesia mencapai
237,6 juta jiwa dan akan terus bertambah
tiap tahunnya. Seiring dengan
bertambahnya jumlah penduduk di
Indonesia maka kebutuhan energi
terutama energi listrik semakin
meningkat. Kebutuhan energi harus
diiringi dengan produksi energi sehingga
tidak menyebabkan Indonesia mengalami
krisis energi.
Keterbatasan energi listrik di
Indonesia akan memberi dampak buruk
bagi masyarakat. Keterbatasan energi
listrik Indonesia memberikan dampak
salah satunya distribusi energi listrik yang
tidak merata. Menurut data Kementerian
ESDM sampai dengan tahun 2017, rasio
elektrifikasi Indonesia masih mencapai
95,35%. Pemenuhan rasio elektrifikasi ini
masih menggunakan energi fosil seperti
batubara sebesar 57,22%, gas sebesar
24,82%, dan BBM sebesar 5,81%
(esdm.go.id), bahan bakar fosil ini jika
digunakan secara terus menerus akan
habis. Untuk mengatasi masalah tersebut
solusi yang terbaik adalah mengganti
energi fosil dengan energi alternatif yang
ramah lingkungan. Namun, pemanfaatan
energi alternatif masih sangat sedikit,
yaitu hanya sebesar 5% (esdm.go.id). Itu
dikarenakan energi yang dihasilkan dan
perawatannya masih belum efisien. Oleh
karena itu, perlu dilakukan penelitian
terkait dengan sumber energi terbarukan
yang ramah lingkungan sebagai pengganti
bahan bakar fosil untuk meningkatkan
rasio elektrifikasi di Indonesia.
Plant Microbial Fuel Cell (PMFC)
adalah sebuah teknologi baru yang
memungkinkan terjadinya konversi energi
solar/matahari menjadi listrik melalui
mekanisme syntrophy (simbiosis dalam
hal nutrisi) antara tanaman dan bakteri
(Lu et al., 2015). PMFC merupakan
teknologi potensial yang tidak
dipengaruhi oleh cuaca, dapat
diaplikasikan di semua tempat di dunia
dimana tanaman dapat
tumbuh/berkembang, tidak menyebabkan
persaingan dengan produksi pangan atau
pakan, dan biaya investasi yang
dibutuhkan relatif rendah (Helder et al.,
2012).
Pada PMFC, tanaman akan
menghasilkan glukosa dari proses
fotosintesis. Sebanyak 70% glukosa akan
dibuang ke dalam tanah dan dimanfaatkan
oleh mikroorganisme untuk proses
metabolisme (Moqsud et al., 2015). Hasil
dari metabolisme berupa elektron-
elektron yang ditangkap oleh anoda dan
katoda sehingga dapat menghasilkan
listrik. Pada penelitian ini dilakukan
dengan memanfaatkan tanaman hias yang
mudah tumbuh di Indonesia yaitu
bromelia. Tanaman ini merupakan jenis
tumbuhan herba yaitu tumbuhan yang
tumbuh pada media tanam yang cukup
basah, sehingga berpotensi terdapat
mikrooganisme yang melimpah dalam
tanah. Adanya mikroorganisme yang
melimpah diharapkan dapat memperbesar
jumlah listrik yang dihasilkan. Dengan
adanya pemanfaatan bromelia di
Indonesia sebagai sumber energi listrik,
maka diharapkan listrik yang dihasilkan
akan berkelanjutan dan dapat
menanggulangi krisis energi di Indonesia.
2. METODE
a. Alat dan Bahan
Pot tanaman, tanaman
bromelia, tanah, air, multimeter,
elektroda karbon grafit
b. Desain Penelitian
RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442
Vol.1, No.1, Desember 2019:71-75
RJKM, Research Journal of KSI Mist| 73
Gambar 2. Skema BLUE LEN
c. Pengumpulan Data
Pengambilan data berupa
output tegangan listrik dari
tanaman hias bromelia dilakukan
selama 3 kali sehari yaitu pukul
09.00, 12.00 dan 15.00. Tanaman
disiram sehari sekali yaitu pada
pukul 07.00 dengan takaran 100
ml, 200 ml, dan 300 ml. Setiap
tanaman dilakukan pengulangan 2
kali
d. Analisis Data
Data yang diperoleh dengan
cara dibuat grafik hubungan
antara waktu (hari) sebagai sumbu
x terhadap tegangan listrik
sebagai sumbu y. Tegangan listrik
diukur pada setiap pot yang telah
diberi variasi perlakuan, sehingga
akan diperoleh 1 buah grafik.
Grafik dianalisis berdasarkan
pengaruh variasi volume air
terhadap tegangan listrik yang
dihasilkan seiring bertambahnya
waktu. Analisis dibandingkan
dengan literatur
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
a. Pengaruh Volume Air
Penyiraman terhadap Keluaran
Tegangan yang Dihasilkan
Berdasarkan penelitian yang
telah dilakukan menggunakan
variasi volume air penyiraman,
diperoleh hasil tegangan listrik
output dari tanaman bromelia
selama 6 hari sebagai berikut:
Gambar 3. Grafik Hubungan
Tegangan terhadap Waktu
Pada gambar diatas diketahui
bahwa perlakuan dengan volume
air penyiraman sebesar 200 ml
memberikan tegangan yang tinggi
dan selalu mengalami kenaikan
dibandingkan dengan perlakuan
yang lain. Rata-rata tegangan
pada tanaman yang disiram 100
ml air adalah 0,13 V; 200 ml air
adalah 0,26 V dan 300 ml air
adalah 0,23 V. Menurut Strik et
al., (2008), semakin tinggi jumlah
air (kelembaban) yang terdapat
pada media tumbuh tanaman
maka dapatmeningkatkan jumlah
mikroorganisme yang hidup di
dalamnya. Dengan semakin
banyaknya mikroorganisme yang
bertindak sebagai biokatalis maka
ia akanmenggunakan sebagian
energi kimia dari substrat untuk
metabolisme dan
sekaligusmengantarkan elektron
ke anoda sel bahan bakar
elektrokimia (Strik et al., 2008)
RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442
Vol.1, No.1, Desember 2019:71-75
RJKM, Research Journal of KSI Mist| 74
sehingga dapat meningkatkan
nilai tegangan yang dihasilkan.
Namun jumlah air yang
terkandung mempunyai batas
maksimal, karena apabila terlalu
banyak air dalam tanah dapat
menyebabkan kebusukan pada
akar tanaman, sehingga
fotosintetis yang terjadi kurang
optimal. Fotositesis yang berjalan
dengan baik akan menghasilkan
tegangan yang lebih optimal.
Pada penyiraman 100 ml
tegangan yang dihasilkan terlalu
kecil, hal ini karena kelembaban
tanah yang rendah sehingga
tegangan yangdihasilkan semakin
kecil. Pada penyiraman 200 ml
memiliki kelembaban yang paling
optimum, hal ini memacu
mikroorganisme untuk hidup
sehingga dapat menghasilkan
elektron yang semakin banyak
dari proses metabolisme
danmeningkatkan tegangan yang
dihasilkan. Pada penyiraman 300
ml tegangan terus turun pada hari
ke-2, karena volume air yang
diberikan terlalu banyak sehingga
memicu pembusukan pada akar
tanaman yang berakibat pada
tidak optimumnya fotosintetis
yang dilakukan tanaman.
b. Daya BLUE LEN
Berdasarkan penelitian yang
telah dilakukan, telah didapatkan
tegangan listrik output dan besar
arus listrik dari BLUE LEN.
Berdasarkan data yang telah
diperoleh tersebut maka dapat
ditentukan daya yang dihasilkan
BLUE LEN selama 6 hari dengan
menggunakan persamaan daya
listrik.
P = V.I
Berdasarkan persamaan diatas
didapatkan daya pada setiap
variasi, yaitu 100 ml didapatkan
daya 0,70 µW; 200 ml didapatkan
daya 2,76 µW; dan 300 ml
didapatkan daya 2,12 µW.
Dengan daya optimal diperoleh
pada penyiraman air dengan
volume 200 ml yakni 2,76 µW.
Penelitian tersebut baru
dilaksanakan selama 6 hari, jika
penelitian ini dilaksanakan selama
1 bulan (30 hari) berarti
didapatkan 13,8 µW.
RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442
Vol.1, No.1, Desember 2019:71-75
RJKM, Research Journal of KSI Mist| 75
4. KESIMPULAN
Perlakuan yang menghasilkan
tegangan yang paling optimal adalah
penyiraman dengan variasi air 200 ml
dimana tegangan yang dihasilkan
dengan rata -rata 0.26 Volt, dari hasil
tegangan tersebut dapat dihasilkan
daya listrik 2,76 µW selama 6 hari
sehingga tanaman ini dapat disebut
tanaman yang memiliki fungsi ganda
yakni dapat dimanfaatkan masyarakat
sebagai tanaman hias sekaligus
penghasil listrik.
5. REFERENSI
Helder, Marjolein., Strik, David
PBTB., Hamelers, Hubertus VM., dan
Buisman, Cees JN. 2012. The Flat-
Plate Plant-Microbial Fuel Cell: The
Effect of a New Design on Internal
Resistances. Biotechnology for
Biofuels. 5: 1-11.Lu, Lu., Xing,
Defeng., Ren, Zhiyong Jason. 2015.
Microbial Community Structure
Accompanied with Electricity
Production in a Constructed Wetland
Plant Microbial Fuel Cell.
Bioresource Technology. 195: 115-
121.
Moqsud, et.al. 2015. Compost in plant
microbial fuel cell for
bioelectricity generation. Waste
Management. 36(2015): 63–69.
Strik, D.P.B.T.B.; et.al. 2008. Green
electricity production with living
plants and bacteria in a fuel cell.
Int. J. Energy Res. 32, P. 870-876.
RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442
Vol.1, No.1, Desember 2019:76-80
RJKM, Research Journal of KSI Mist| 76
Pemanfaatan Limbah Onggok dan Ampas Tahu sebagai Pakan
Kaya Nutrisi untuk Mempercepat Pertumbuhan Cacing ANC
Bella Sinta Hikmasari1), Laatifah2), Pujianto3)
1Mahasiswa Jurusan Pendidikan Fisika, FMIPA, Universitas Negeri Yogyakarta
email: [email protected]
2Mahasiswa Jurusan Pendidikan Fisika, FMIPA, Universitas Negeri Yogyakarta
email: [email protected]
3Dosen Jurusan Pendidikan Fisika, FMIPA, Universitas Negeri Yogyakarta
email: [email protected]
Abstrak
Cacing memiliki manfaat untuk dijadikan pakan hewan ternak. Cacing mengandung
berbagai macam nutrisi seperti protein, lemak, energy, air, mineral dan asam amino.
Keuntungan membudidayakan cacing ini sangat besar, karena dalam satu hari satu
cacing bisa bertelur 1, satu bulan 1 kg berlipat menjadi 2kg dan kelipatan
seterusnya.Penambahan pakan berupa limbah onggok dan ampas tahu ini untuk
mempercepat pertumbuhan cacing dan jumlah bobot cacing serta mengurangi jumlah
limbah onggok dan ampas tahu yang dihasilkan oleh pabrik. Kanduungan bahan ekstrak
tanpa nitrogen (BETN) dalam onggok dapat mencapai 71.64%. berdasarkan tingginya
kandungan BETN ini, maka onggok dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan sumber
energy untuk ternak (Puslitbangnak, 1996). Terdapat laporan bahwa kandungan ampas
tahu yaitu protein 8.66%, lemak 3.79%, air 51.63% dan abu 1.21%, maka sangat
memungkinkan ampas tahu dapat diolah menjadi bahan makanan ternak (Dinas
Peternakan Provinsi Jawa Tiimur, 2011). Dari hasil penelitian Limbah ampas tahu dan
limbah onggok mampu meningkatkan pertumbuhan berat cacing merah antara 0,5-1 kg
dan memiliki kandungan yang dibutuhkan oleh cacing.Sehingga penelitian ini dapat
dijadikan alternative untuk meningkatkan produksi cacing dan pemasukan bagi peternak
cacing.
Kata kunci: ampas tahu, cacing, onggok, pakan.
RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442
Vol.1, No.1, Desember 2019:76-80
RJKM, Research Journal of KSI Mist| 77
1. PENDAHULUAN
a. Latar Belakang
Permintaan pasar terhadap
cacing semakin tinggi dan terus
meningkat, hal ini dikarenakan
cacing mengandung berbagai
macam nutrisi seperti protein,
lemak, energy, air, mineral dan
asam amino. Kandungan
tersebut membuat cacing
memiliki manfaat mulai dari
pakan hewan ternak seperti ikan,
burung dan pembuatan bahan
dasar kosmetik dan obat farmasi.
Hal tersebut membuat
KOPPINDO (Koperasi Peternak
dan Petani Indonesia) sebagai
salah satu wadah yang
menaungi, membawa dan
melindungi para petani dan
peternak, beinisiatif untuk
menggerakkan atau
mempelopori masyarakat agar
beternak cacing.
Jenis cacing yang ingin
dibudidayakan yaitu cacing
ANC. Cacing ini berasal dari
dataran benua Afrika dan saat ini
banyak dikembangkan untuk
keperluan peternakan diberbagai
penjuru dunia juga di Indonesia
cacing African ini atau dikenal
dengan sebutan ANC adalah
cacing lokal yang biasa
digunakan untuk umpan di
pemancingan dan campuran
pakan ikan/ternak karena
kandungan proteinnya yang
tinggi. Dari sisi ukuran, Cacing
African Night Crawler (ANC)
lebih besar dibandingkan dengan
jenis cacing tanah yang lain.
Secara garis besar Cacing ANC
tumbuh baik pada kisaran suhu
24-30°C. Berat Maksimum 2,5
gr dalam waktu 8-10 minggu
dan mempunyai kemampuan
reproduksi yang tinggi serta
mempunyai gerakan yang
cenderung lamban.
Onggok adalah salah satu
limbah pertanian dan
agroindustri yang dapat
dijadikan sebagai pakan ternak.
Onggok tersedia dalam jumlah
yang berlimpah sehingga mudah
didapat, harganya murah dan
tidak bersaing dengan kebutuhan
manusia. Onggok berasal dari
pengolahan ubi kayu menjadi
tepung tapioca merupakan
limbah padat yang masih
mengandung protein dan
karbohidrat sebagai ampas pati,
kanduungan bahan ekstrak tanpa
nitrogen (BETN) dalam onggok
dapat mencapai 71.64%.
berdasarkan tingginya
kandungan BETN ini, maka
onggok dapat dimanfaatkan
sebagai bahan pakan sumber
energy untuk ternak
(Puslitbangnak, 1996).
Sedangkan Ampas tahu
merupakan limbah padat yang
diperoleh dari proses pembuatan
tahu dari kedelai. Ditinjau dari
komposisi kimianya ampas tahu
dapat digunakan sebagai sumber
protein. Terdapat laporan bahwa
kandungan ampas tahu yaitu
protein 8.66%, lemak 3.79%, air
51.63% dan abu 1.21%, maka
sangat memungkinkan ampas
tahu dapat diolah menjadi bahan
makanan ternak (Dinas
RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442
Vol.1, No.1, Desember 2019:76-80
RJKM, Research Journal of KSI Mist| 78
Peternakan Provinsi Jawa
Tiimur, 2011). Berdasarkan
pernyataan tersebut, kami
berinovasi untuk menmbuat
pakan ternak dari bahan
keduanya. Tujuan pembuatan
pakan ini yaitu untuk mencapai
hasil maksimal ketika ternak
cacing.
2. METODE
a. Subjek dan Objek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah
kandungan yang terkandung
pada onggok dan ampas
tahu.Objek pada penelitian ini
yaitu perbedaan pertumbuhan
bobot cacing Anc yang diberi
pakan ampas tahu dan onggok
dengan pakan dari limbah
sayuran. Cacing yang digunakan
sebanyak 6 Kg.
b. Variabel Penelitian
Variable-variabel yang
digunakan sebagai berikut :
1) Variabel bebas
Variabel bebas pada
penelitian ini adalah
variasi pemberikan pakan
dengan perbandingan
komposisi yang berbeda.
2) Variabel terikat
Variabel terikat pada
penelitian ini adalah
peniingkatan bobot cacing
yang diberi pakan onggok
dan ampas tahu dengan
perbandingan komposisi
yang berbeda.
3) Variabel kontrol
Variabel kontrol pada
penelitian ini adalah
pemberian berat pakan dan
minum.
c. Alat Dan Bahan
Waktu penelitian dilakukan
selama 3 bulan. Alat-alat yang
digunakan yaitu Penampang besar,
lampu, kabel, piting, ember besar,
timbangan, pengaduk dan rak
kayu tingkat. Pemberian pakan
dari onggok dan ampas tahu ini
diberikan ke cacing 3 kali sehari.
d. Prosedur Penelitian
1) Persiapan
Langkah awal pada penelitian
ini adalah persiapan.
Persiapan yang dilakukan
yaitu persiapan media ternakk,
serta persiapan pakan,
menyiapkan cacing yang akan
dijadikan penelitian.
2) Pengukuran
Pengukuran pada penelitian
ini dilakukan saat pemilihan
jenis bibi cacing anc dan
banyaknnya bobot.
3) Penimbangan
Untuk mengetahui keefektifan
limbah onggok dan limbah
ampas tahu dalam
pertumbuhan berta badan
cacing, maka dilakukan
penimbangan berta cacing
anc Sampel diukur
berdasarkan bobot yang sama
kemudian diberi pakan
limbah ampas tahu dan
onggok. Setiap 2 minggu
sekali ditimbang untuk
melihat penggemukan yang
ada pada sampel. Untuk
mengukur ini menggunakan
rumus: PBBH= Bobot Akhir (g) – Bobot Badan Awal (g)
Waktu (hari)
4) Pengukuran
RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442
Vol.1, No.1, Desember 2019:76-80
RJKM, Research Journal of KSI Mist| 79
Pengukuran bobot badan akhir
setelah 15 hari diberi pakan
limbah ampas tahu dan limbah
onggok dan mencatat
perubahan berat kelincinya.
5) Pengamatan
Pengamatan dilakukan setiap
hari untuk mengtahui tentang
perubahan yang ada pada
sampel meliputi peningkatan
berat cacing.
d. Teknik Analisis Data
Dari hasil penelitian yang
dilakukan, bila sudah didapat
data-data yang dibutuhkan maka
Pertambahan bobot cacing dapat
diketahui dengan cara sebagai
berikut
PBBH= Bobot Badan Akhir (g) – Bobot Badan Awal (g)
Waktu (hari)
Sedangkan keefisienan
pemberian pakan kepada cacing
terhadap pertambahan bobot
cacing dapat dihitung dengan cara
sebagai berikut
Konversi pakan = Konsumsi pakan (g)
Berat cacing (g)
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Setelah pemakaian pakan dari
ampas tahu dan onggok pertambahan
bobot dapat dilihat pada table berikut
Sedangkan pertambahan bobot cacing
dengan pakan sayuran dan bekatul sesuai
table berikut :
Minggu
ke-
Jumlah berat cacing setiap
bulan(Kg)
A B C
Mula-mula 1 1 1
1 1,2 1,16 1,22
2 1,41 1,34 1,31
3 1,5 1,54 1,45
Dari 2 tabel diatas terlihat bahwa cacing
yang diberi pakan limbah ampas tahu
mengalami kenaikan berat badan rata-rata
sebesar 2,75-3 ons/minggu, sedangkan
cacing yang diberi pakan ampas bir
mengalami kenaikan rata-rata setiap
cacing sebesar 1,5-2 ons/minggu. Bila
dihitung dengan rumus
PBBH= Bobot Badan Akhir (g) – Bobot Badan Awal (g)
Waktu (hari)
Maka artinya cacing yang menggunakan
pakan bekatul dan sayuran kenaikan rata-
rata setiap cacing sebesar 1,5-2
ons/minggu. Ini sama artinya bahwa
pertumbuhan cacing setelah pemberian
pakan limbah ampas tahu dan limbah
onggok mampu memberikan kenaikan
rata-rata 0,4 ons setiap harinya,
sedangkan pertumbuhan cacing yang
diberi pakan bekatul dan sayur-sayuran
mampu menghasilkan peningkatan rata-
rata 0.1 ons setiap harinya.
Minggu
ke-
Jumlah berat cacing
setiap bulan(Kg)
A B C
Mula-mula 1 1 1
1 1,3 1,35 1,28
2 1,525 1,6 1,63
3 1,8 1,82 1,9
RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442
Vol.1, No.1, Desember 2019:76-80
RJKM, Research Journal of KSI Mist| 80
4. KESIMPULAN
Sesuai dengan data yang
didapatkan dari hasil penelitian kami
maka kesimpulannya adalah pakan
ternak cacing dari ampas tahu dan
onggok efektif untuk menambah
bobot pada cacing ANC. Dengan
kenaikan rata-rata 0,4 ons setiap
harinya.
5. REFERENSI
Vdyana Ary Nyoman,Tantalo
Syahrio, dan liman.Survei
Sifat Fisik Dan Kandungan
Nutrien Onggok Terhadap
Metode Pengeringan Yang
berbeda Di Dua Kabupaten
Provinsi
Lampung.Lampung.Univers
itas Lampung.
Sunarjo dan Yuniarti
Sari.2017.Pemanfaatan
Sayur Buangan untuk Pakan
cacing African Night
Crawler (ANC) sebagai
Bahan Pembuat Pelet.
Malang.Unmer Malang.
Brata, Juliansyah,
Zain.2017.”Pengaruh
Pemberian Ampas Tahu
sebagai Campuran Pakan
terhadap Pertumbuhan
Cacing Tanah”.Sain
Peternakan
Indonesia,Vol.12 No.3, Juli-
September,2017.
Vidyana, dkk.”Survei Sifat Fisik Dan
Kandungan Nutrien Onggok
Terhadap Metode
Pengeringan Yang Berbeda
Di Dua Kabupaten Provinsi
Lampung”.Bandar
Lampung.
RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442
Vol.1, No.1, Desember 2019:81-
RJKM, Research Journal of KSI Mist| 81
SINTESIS DAN KARAKTERISTIK GUGUS FUNGSI BIOPLASTIK
BERBAHAN DASAR SELULOSA RUMPUT GAJAH (Pennisetum
purpureum) DENGAN PENAMBAHAN KITOSAN DAN MINYAK BIJI
JARAK
Hestiana1), Mahclisatul Qolbiyah2), Yashinta Devi3), Eli Rohaeti4)
1Mahasiswa Jurusan Pendidikan IPA, FMIPA, Universitas Negeri Yogyakarta
email: [email protected]
2Mahasiswa Jurusan Pendidikan Kimia, FMIPA, Universitas Negeri Yogyakarta
email: [email protected]
3Mahasiswa Jurusan Pendidikan Kimia, FMIPA, Universitas Negeri Yogyakarta
email: [email protected]
4Dosen Jurusan Pendidikan Kimia, FMIPA, Universitas Negeri Yogyakarta
email: [email protected]
Abstrak
Penggunaan plastik non-biodegradabel dapat menimbulkan pencemaran lingkungan
karena sulit untuk terurai secara alami sehingga dikembangkanlah jenis plastik yang
dapat terurai secara alami dan ramah lingkungan yaitu bioplastik. Penelitian ini
menggunakan selulosa rumput gajah sebagai bahan pembuatan bioplastik dengan
penambahan kitosan dan minyak biji jarak. Tujuan dari penelitian ini untuk
mengidentifikasi pengaruh penambahan kitosan terhadap gugus fungsi bioplastik
selulosa rumput gajah. Isolasi bioplastik dilakukan dengan dengan metode delignifikasi.
Selulosa rumput gajah hasil isolasi ditambahkan dengan kitosan (1%, 2%, 3%, 4%, 5%)
dan minyak biji jarak kemudian dicetak dan dikeringkan. Selanjutnya dilakukan
identifikasi gugus fungsi menggunakan FTIR. Hasil Analisa gugus fungsi dengan FTIR
menunjukkan bahwa bioplastik memiliki gugus fungsi khas yaitu O-H, C-H, C=O, C=C
aromatik, dan C-O glikosidik. Penambahan kitosan pada bioplastik mengakibatkan
daerah serapan O-H lebih sempit, terjadi deformasi pada 1534, 65 cm-1 - 1545,57 cm-1
dan munculnya 2 pita serapan C-O glikosidik. Dengan demikian, sampel bioplastik
selulosa rumput gajah berhasil dimodifikasi dengan kitosan.
Kata kunci: bioplastik, gugus fungsi, minyak jarak, selulosa
RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442
Vol.1, No.1, Desember 2019:81-
RJKM, Research Journal of KSI Mist| 82
1. PENDAHULUAN
a. Latar Belakang
Data dari Kementerian
Lingkungan Hidup dan
Kehutanan (KLHK) menunjukkan
bahwa limbah plastik dari 100
toko di Indonesia dalam waktu
satu tahun mencapai 10,95 juta
lembar sampah kantong plastik.
Tuti Hendrawati Mintarsih
(Dirjen Pengelolan Sampah,
Limbah, dan B3 KLHK)
menyebutkan total jumlah sampah
plastik Indonesia tahun 2019
diperkirakan mencapai 9,52 juta
ton. Lebih dari satu juta kantong
plastik digunakan setiap
menitnya, dan 50 persen dari
kantong plastik tersebut dipakai
hanya sekali lalu langsung
dibuang (Purba, 2017).
Plastik dimanfaatkan untuk
berbagai keperluan, mulai dari
keperluan rumah tangga hingga
keperluan industri. Secara umum,
plastik digunakan sebagai
kemasan dikarenakan sifatnya
yang elastis, berbobot ringan
tetapi kuat, tidak mudah pecah,
transparan, dan tahan air. Di sisi
lain, plastik juga menimbulkan
dampak negatif. Dengan demikian
perlu dilakukan inovasi melalui
pembuatan plastik biodegradabel.
Kitosan adalah salah satu
bahan alam untuk pembuatan
plastik biodegradabel yang
merupakan modifikasi protein
dari kitin yang ditemukan pada
kulit udang, kepiting, lobster, dan
serangga. Kitosan mempunyai
sifat yang baik untuk dibentuk
menjadi plastik dan bersifat
antimikrobakterial (Sanjaya dan
Puspita, 2011).
Terdapat beberapa penelitian
pembuatan bioplastik yaitu
berbahan baku selulosa seperti
kulit pisang, kulit ubi, tongkol
jagung tetapi untuk memperoleh
limbah tersebut diperlukan waktu
lama (Fazira, 2014). Peneliti lain
mengusulkan pembuatan
bioplastik berbahan baku selulosa
alang-alang (Sumarto, 2015).
Akan tetapi, alang-alang memiliki
kadar lignin yang cukup besar
yaitu 31,29% (Sutiya et al., 2012).
Ikatan lignin tersebut dapat
menjadi penghalang dalam proses
pulping kimia (Fitriani, 2013).
Rumput gajah mengandung
Hemiselulosa 29,6%, Selulosa
32,4% dan Lignin12,6% (Hasan,
2014). Dengan adanya kandungan
selulosa yang cukup tinggi dan
lignin yang relatif rendah, maka
rumput gajah dapat dijadikan
bahan pembuatan bioplastik.
Rumput gajah juga mudah
ditemukan. Sejauh ini rumput
gajah hanya digunakan sebagai
makanan ternak sapi, bahkan
terkadang hanya dianggap
sebagai tanaman pengganggu
(Sari, 2009). Sintesis bioplastik
berbahan baku selulosa rumput
gajah tersebut dilakukan dengan
penambahan zat aditif seperti
kitosan dan minyak biji jarak
sebagai pemlastis untuk
menambah sifat mekanik dan
biodegradasi bioplastik.
2. METODE
Bahan yang digunakan adalah
rumput gajah,HNO3 3.5%, NaNO2,
NaOH 2%,NaOH 17.5%, Na2SO3
2%, NaOCl 3.5, kitosan,
CH3COOH dan minyak biji jarak.
RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442
Vol.1, No.1, Desember 2019:81-
RJKM, Research Journal of KSI Mist| 83
Alat yang digunakan adalah
blender, spatula, kertas saring,
gelas beker, gelas ukur, labu
erlenmeyer, pipet volum, labu
ukur, seperangkat waterbath,
neraca analitik, termometer alkohol
100oC, oven, pisau, cawan petri,
dan FTIR (Fourier Transform Infra
Red Spectroscopy).
a. Isolasi selulosa rumput gajah
Selulosa rumput gajah diperoleh
dari batang rumput gajah yang
dipotong, dihaluskan, dan
dikeringkan. Serbuk rumput
gajah sebanyak 75 g diisolasi
menggunakan metode
delignifikasi (Ohwoavworhua, et
al, 2009). Serbuk rumput gajah
dipanaskan menggunakan 1liter
HNO3 3.5%, dan NaNO2 10 mg
selama 90○C selama 2 jam,
kemudian dicuci dan disaring
menggunakan kertas saring.
Selanjutnya dipanaskan dengan
750 ml liter campuran NaOH
2% dan Na2SO3 2% pada suhu
50○C selama 1 jam. Ampasnya
dicuci dan disaring kemudian
dilanjutkan dengan penambahan
500 ml NaOH 17,5 % yang
dipanaskan pada suhu 80○C
selama 30 menit. Dengan cara
yang sama, ampas selulosa
rumput gajah dicuci dan disaring
lalu dididihkan dengan 500 ml
NaOCl 3,5% dan air (1:1) pada
suhu 90°C selama 5 menit.
Hasilnya dicuci menggunakan
akuades, disaring, dan
dikeringkan selama 1 jam pada
suhu 60○C menggunakan oven,
sehingga didapatkan alfa
selulosa.
b. Sintesis Bioplastik
Bioplastik dibuat menggunakan
metode solution casting.
Sebanyak 1,25 g selulosa
ditambahkan ke dalam kitosan
(1%, 2%, 3%, 4%, 5%) yang
telah dilarutkan dalam 25 ml
CH3COOH 0,6 M. Kemudian
ditambah 8 ml minyak biji jarak
(castor oil) pada masing-masing
konsentrasi kitosan. Sampel
tersebut diaduk sampai homogen
lalu dicetak menggunakan
cawan petri dan dikeringkan
oven pada suhu 60○C selama 1
jam.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
a. Sintesis Bioplastik
Proses pembuatan bioplastik
selulosa rumput gajah terdiri dari
dua tahapan yaitu isolasi selulosa
rumput gajah dan sintesis
bioplastik. Tahap isolasi selulosa
rumput gajah dilakukan dengan
metode delignifikasi yaitu
menghilangkan lignin untuk
memperoleh selulosa. Batang
rumput gajah terlebih dahulu
dibentuk menjadi serbuk melalui
proses pemotongan, penghalusan
dan pengeringan untuk
mempermudah proses isolasi
selulosa. Serbuk rumput gajah
yang telah kering dipanaskan
dalam larutan 1 liter HNO3 3,5 %
yang mengandung 10 mg NaNO2.
Proses tersebut bertujuan untuk
menghilangkan lignin. Kemudian,
campuran dicuci dan disaring.
Ampas yang diperoleh
selanjutnya dicampur dengan
larutan NaOH 2% dan NaSO3 2 %
serta dipanaskan selama 1 jam
RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442
Vol.1, No.1, Desember 2019:81-
RJKM, Research Journal of KSI Mist| 84
pada suhu sekitar 50°C. Hal ini
bertujuan untuk menyempurnakan
pembebasan lignin dari ampas.
Selanjutnya, ampas dicuci dan
disaring serta dipanaskan dalam
larutan NaOH 17,5% pada suhu
sekitar 80°C selama 30 menit
yang bertujuan untuk melarutkan
β-selulosa dan 𝛾-selulosa
sehingga hanya tersisa α-selulosa.
Kemudian campuran dicuci dan
disaring. Ampas yang diperoleh
dididihkan dalam 500 ml
campuran larutan natrium
hipoklorit 3,5 % dan air (1:1)
pada suhu 90°C selama 10 menit
untuk proses pemutihan. Adapun
selulosa yang diperoleh berupa
serbuk putih dan tidak berbau.
Selanjutnya, pada tahap kedua
dilakukan sintesis bioplastik
dengan menambahkan kitosan
dan juga minyak biji jarak sebagai
pemlastik. Hasil sintesis
bioplastik selulosa rumput gajah
ditunjukkan pada Gambar 1.
Gambar 1. Bioplastik dengan
kitosan (a) 0% (b) 1% (c) 2% (d)
3% (e) 4% (f) 5%
Bioplastik dengan penambahan
kitosan 1%, 2%, 3%, 4% dan 5%
berbentuk lembaran berwarna
coklat dengan permukaan atas
lebih halus daripada permukaan
bawah. Adapun sampel kitosan
0% tidak terbentuk lembaran
melainkan hanya seperti gel
berminyak. Bioplastik dengan
kitosan 15 1%, bentuk
lembarannya lebih rapuh
dibandingkan dengan sampel
berkonsentrasi kitosan lebih
besar. Hal ini dikarenakan,
kitosan memberikan sifat kaku
pada bioplastik (Kristiani, 2015).
b. Analisa Gugus Fungsi
Hasil analisis gugus fungsi hasil
sintesis bioplastik yang
diidentifikasi menggunakan FTIR
ditunjukkan pada Gambar 2.
Gambar 2. Spektrum FTIR
Bioplastik
Interpretasi gugus fungsi
bioplastik tanpa dan dengan
penambahan kitosan ditunjukkan
Tabel 1.
RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442
Vol.1, No.1, Desember 2019:81-87
RJKM, Research Journal of KSI Mist| 85
Tabel 1. Interpretasi Gugus Fungsi Bioplastik Tanpa dan dengan Penambahan
Kitosan
No.
Bilangan Gelombang (cm-1) Interpretasi
Gugus Fungsi Bioplastik dengan Konsentrasi Kitosan
0% 1% 2% 3% 4% 5%
1. 3372,38 3371,98 3351,91 3357,68 3371,1 3352,16 O-H/N-H
2. 2924,59 2924,76 2925,02 2924,93 2924,86 2924,95 C-H
3. 2855,54 2855,73 2856,03 2855,86 2855,77 2855,88 C-H
4. 1741,74 1741,65 1740,96 1741,71 1741,69 1741,68 C=O
5. - - 1545,57 1536,82 1536,9 1534,45 C=C aromatik
6. 1459,42 1459,03 1411,06 1410,99 1457,89 1410,59 C=C aromatik
7. 1162,83 1161,53 1156,7 1157,97 1159,93 1158,52 C-O glikosidik
8. - 1031,39 1023,69 1076,39 1087,79 1088,25 C-O glikosidik
Sampel bioplastik tanpa
penmabahan kitosan
memiliki daerah serapan
3372,38 cm-1 yang
menunjukan gugus O-H,
daerah 2924,59 cm-1 dan
2855,54 cm-1 yang
menunjukkan gugus -CH,
daerah 1459,42 yang
menunjukkan C=C
aromatic, daerah 1741,74
cm-1 yang menunjukkan
gugus C=O dari minyak biji
jarak, dan 1162,83 cm-1
yang menunjukkan gugus
C-O glikosidik dari selulosa.
Jika dibandingkan, daerah
serapan O-H pada sampel
bioplastik tanpa kitosan
lebih lebar dan kuat
dibandingkan sampel
bioplastik dengan
penambahan kitosan 1%,
2%, 3%, 4%, dan 5%. Hal
ini menunjukkan adanya
interaksi antara gugus O-H
tersebut dengan gugus N-H
pada kitosan melalui ikatan
hidrogen sehingga daerah
serapan O-H dengan
penambahan kitosan lebih
sempit dan lebih lemah.
Adapun sampel bioplastik
dengan kitosan 2% memiliki
puncak serapan yang paling
sempit. Hal ini
menunjukkan gugus O-H
bioplastik dengan kitosan
2% berikatan paling kuat
dengan gugus N-H dari
kitosan. Perbedaan lain
terlihat pada daerah serapan
C=C aromatik (1534,65 cm-
1-1545,57 cm-1) dan C-O
glikosidik (1023,69 cm-1-
1088,25 cm-1), dimana
bioplastik tanpa
penambahan kitosan hanya
terjadi 1 puncak serapan
sedangkan pada bioplastik
dengan kitosan 1%, 2%,
3%, 4%, dan 5% terjadi 2
puncak serapan, hal ini
menunjukkan adanya
deformasi pada daerah
serapan tersebut akibat
adanya penambahan
kitosan.
RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442
Vol.1, No.1, Desember 2019:81-87
RJKM, Research Journal of KSI Mist| 86
4. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis
gugus fungsi menggunakan
FTIR maka dapat disimpulkan
bahwa gugus fungsi penyusun
bioplastik selulosa rumput gajah
adalah gugus O-H, C-H, C-O
glikosidik, dan C=C aromatik.
Penambahan kitosan pada
bioplastik mengakibatkan daerah
serapan O-H lebih sempit,
terjadi deformasi pada 1534, 65
cm-1 - 1545,57 cm-1 dan
munculnya 2 pita serapan C-O
glikosidik. Dengan demikian,
sampel bioplastik selulosa
rumput gajah berhasil
dimodifikasi dengan kitosan
5. REFERENSI
Fazira, E. 2014. Plastik
Biodegradable dapat
Atasi Masalah
Lingkungan.
http://www.writing-
contestBisnis.com .
Diakses 12 Oktober
2017.
Fitriani, Syaiful B., dan
Nurhaeni. 2013.
Produksi Bioetanol
Tongkol Jagung (Zea
Mays) dari Hasil
Proses Delignifikasi.
Natural Science. Vol.
2(3): 66-74.
Hasan , A. A., Kusmiyati. 2014.
Pengaruh Pretreatment
Basa Pada Produksi
Bioetanol Dari Rumput
Gajah (Pennisetum
Purpureum). Seminar
Rekayasa Kimia Dan
Proses. 2014. D-5-1 –
D-5-6.
Kristiani, M. 2015. Pengaruh
Penambahan Kitosan
dan Plastisizer Sorbitol
terhadap Sifak Fisiko-
Kimia Bioplastik dari
Pati Biji Durian (Durio
zibethinus). Skripsi.
Departemen Teknik
Kimia, Fakultas Teknik,
Universitas Sumatera
Utara. Medan.
Ohwoavworhua, F.O., T.A.
Adelakun dan A.O.
Okhamafe, 2009.
Processing
Pharmaceutical grade
microcrystalline
cellulose from
groundnut husk:
Extraction methods and
characterization.
International Journal of
Green Pharmacy, 70,
97-104.
Purba, N. P. 2017. Status
Sampah Laut Indonesia.
http://indosmarin.com/s
tatus-sampah-laut-
indonesia/. Diakses 10
November 2017.
Sanjaya, I. G dan Puspita, T.
2011. Pengaruh
penambahan kitosan
dan plasticizer gliserol
pada karakteristik
plastik biodegradable
dari pati limbah kulit
singkong. Jurnal
Jurusan Teknik Kimia,
ITS. Surabaya.
Sari, K., 2009, Purifikasi
Bioetanol dari Rumput
RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442
Vol.1, No.1, Desember 2019:81-87
RJKM, Research Journal of KSI Mist| 87
Gajah dengan
Destilasi Batch,
Surabaya : Universitas
Pembangunan Nasional.
Sumartono, N. W., Handayani,
F., R. Desiriana,
Novitasari, W., Hulfa,
D. S. 2015. Sintesis dan
Karakterisasi Bioplastik
Berbasis Alang-Alang
(Imperata
cylindrica(L.)) dengan
Penambahan Kitosan,
Gliserol, dan Asam
Oleat. Pelita, Vol.
10(2).
Sutiya, B., Wiwin T. I. , Adi R. ,
Sunardi. 2012.
Kandungan Kimia dan
Sifat Serat Alang-
alang (Imperata
cylindrica) sebagai
Gambaran Bahan
Baku Pulp dan Kertas.
Bioscientiae.Vol. 9,
Hal.8-19.
RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442
Vol.1, No.1, Desember 2019:88-96
RJKM, Research Journal of KSI Mist| 88
MEDIA PENINGKATAN EFISIENSI PERTUMBUHAN DAN REPRODUKSI
CACING TANAH (Lumbricus rubellus) DENGAN CAMPURAN AZOLLA
PINATA
Kahfi Imam Faqih Kurnia1), Raden Rara Fadhila Kirana2), Dhindha Normala
Kusumastuti3)
1Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, UNY
Email: [email protected]
2Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, UNY
Email: [email protected]
3Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, UNY
Email: [email protected]
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian Azolla pinnata pada
media Lumbricus rubellus terhadap pertumbuhan dan reproduksi cacing tanah. Azolla
pinnata yang memiliki kandungan nitrogen tinggi dapat digunakan sebagai media
pertumbuhan cacing tanah. Lumbricus rubellus memiliki peran dalam proses
dekomposisi bahan organik dalam tanah sehingga reproduksinya perlu dikembangkan.
Lokasi penelitian ini dilakukan di Taman Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, UNY. Penelitian ini menggunakan Randomized Complete Design
metode (CRD) dengan 3 perawatan dan satu tes: (P1) Azolla pinnata 300 gram (P2)
Azolla pinnata 450 gram. Fase penelitian meliputi persiapan cacing Lumbricus rubellus,
persiapan alat dan media cacing Lumbricus rubellus, pemeliharaan, dan pemrosesan
data. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian Azolla pinnata sebagai
campuran pada media cacing tanah tidak berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan
bobot cacing tanah dan jumlah kepompong yang dihasilkan oleh cacing tanah. Dari
penelitian ini dapat dilihat bahwa pemberian Azolla pinnata tidak berpengaruh pada
pertumbuhan dan reproduksi cacing tanah.
Kata Kunci : Azolla pinnata, Lumbricus rubellus.
RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442
Vol.1, No.1, Desember 2019:88-96
RJKM, Research Journal of KSI Mist| 89
1. PENDAHULUAN
Meskipun terlihat
menjijikkan bagi sebagian
orang, budidaya cacing tanah
merupakan salah satu kegiatan
yang menjanjikan. Selain
perawatan yang tidak
membutuhkan lahan dan biaya
yang besar, pemberian makan
berupa limbah organik dan
perawatan cacing tanah pun
terbilang mudah serta tidak
memakan banyak waktu.
Salah satu jenis cacing tanah
yang mudah dibudidayakan
adalah cacing tanah (Lumbricus
rubellus). Hal ini dikarena
dalam pertumbuhan serta
perkembangbiakan yang paling
cepat. Cacing tanah merupakan
sumber protein sangat tinggi
dengan kadar sekitar 76% yang
lebih tinggi daripada daging
mamalia (65%) dan ikan (50%).
Selain itu cacing tanah juga
mengandung 17% karbohidrat,
45% lemak dan abu 1,5%
(Rusmini, 2016). Dengan
adanya berbagai kandungan
tersebut, cacing tanah dapat
dimanfaatkan dalam bidang
peternakan, industri, pertanian
dan bahan baku dalam kosmetik
serta media bekas pertumbuhan
cacing atau yang sering disebut
kascing dapat digunakan
sebagai pupuk organik yang
mudah diserap tanaman.
Roslim, 2008 menyatakan
bahwa cacing tanah sangat
menyukai tanah yang banyak
mengandung unsur N yang
salah satunya terdapat pada
pupuk kotoran sapi. Hal tersebut
karena sangat baik untuk
pertumbuhan cacing tanah.
Faktor penentu keberhasilan
dalam budidaya cacing tanah
diantaranya adalah media
budidaya cacing tanah, proses
fermentasi bahan organik, padat
penebaran, kualitas air (oksigen
terlarut, pH, dan suhu), dan
sirkulasi udara (Astuti, 2001).
Untuk pertumbuhan media
cacing tanah, Azolla piñata
merupakan sejenis tumbuhan air
yang biasa ditemukan di danau,
kolam, sungai, dan persawahan.
Tanaman ini memiliki daya
adaptasi lingkungan yang tinggi,
laju pertumbuhan yang relatif
cepat, dan memiliki kandungan
protein yang cukup tinggi
dengan komposisi asam amino
yang lengkap Azolla piñata
dapat digunakan sebagai pakan
karena memiliki sumber protein
kandungan azolla. Selain itu
Azolla piñata berpotensi
menjadi kompos karena
memiliki kandungan nitrogen
yang tinggi, yaitu 3-5% (Sari,
2013). Hal tersebut
mendasari dalam
pemanfaatan Azolla piñata
sebagai salah satu alternatif
bahan baku protein yang
semakin lama semakin tinggi
kebutuhannya.
Beberapa penelitian telah
membuktikan tentang
pemberian tanaman Azolla
piñata baik dalam bentuk segar
maupun kompos ternyata
mampu meningkatkkan
pertumbuhan tanaman. Fiksasi
RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442
Vol.1, No.1, Desember 2019:88-96
RJKM, Research Journal of KSI Mist| 90
nitrogen oleh Azolla piñata
mencapai 1.1 kg N2/hari
sehingga berpotensi sebagai
bahan pembenah struktur tanah,
peningkatan permeabilitas tanah
serta sebagai sumber protein
nabati bagi cacing tanah (Hartadi,
1995).
Berdasarkan hal-hal tersebut,
diharapkan penelitian ini akan
meningkatkan hasil budidaya
cacing tanah dan dapat
mengurangi penggunaan pupuk
anorganik dengan memanfatkan
kascing dengan campuran
Azolla pinata sebagai pupuk
organik pada tumbuhan.
Cacing Lumbricus rubellus
Cacing tanah (Lumbricus
rubellus) termasuk dalam
kelompok hewan averterbrata
atau sering disebut binatang
lunak. Cacing Tanah (Lumbricus
rubellus) termasuk dalam filum
Annelida karena seluruh
tubuhnya tersusun atas segmen
yang berbentuk cincin.
Segmentasi ini meliputi otot,
saraf, alat sirkulasi, maupun alat
reproduksi (Sugiri, 1998).
Struktur cacing tanah
(Lumbricus rubellus), cacing
tanah (Lumbricus rubellus)
berbentuk gilig dan silinder
dengan tubuh bagian depan
silindris sedangkan again
belakang dorsoventral. Pada
cacing tanah dewasa terdapat
klitelum (segmen 32-37).
Sedangkan pada cacing tanah
muda terbentuk pada umur 2,5-3
bulan (Palungkun, 2008).
Sistem reproduksi cacing
tanah bersifat hemaprodit yang
berarti memiliki alat kelamin
jantan dan betina dalam satu
tubuh, akan tetapi cacing tidak
dapat membuahi dirinya sendiri.
Sedangkan siklus hidup cacing
tanah (Lumbricus rubellus)
dimulai dari kokon, cacing
muda, cacing produktif, dan
cacing tua. Siklus hidup cacing
dipengaruhi oleh kondisi
lingkungan dan keberadaan
makanan (Astuti, 2001).
Kokon yang baru keluar dari
tubuh cacing umumnya
berwarna kuning kehijauan dan
akan berubah menjadi warna
kemerahan pada saat akan
menetas. Kokon akan menetas
pada hari ke 14-21 setelah
terlepas dari tubuh cacing.
Setelah menetas, cacing muda
ini akan mencapai dewasa
kelamin dalam waktu 2,5-3
bulan. Saat dewasa, cacing tanah
akan kewin selama 6-10 hari dan
akan menghasilkan kokon
(Astuti, 2001).
Cacing tanah sangat sensitive
terhadap pH dalam media.
Media yang terlalu asam akan
menyebabkan pembengkakan
tembolok cacing dan empelanya
dan mengakibatkan kematian
pada cacing. Sedangkan media
yang memiliki pH terlalu basa
mengakibatkan dehidratasi pada
tubuh cacing tanah(Astuti,
2001). pH optimum untuk
pertumbuhan dan
perkembangbiakan cacing
berkisar 6.8-7.2 (Puspitasari,
RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442
Vol.1, No.1, Desember 2019:88-96
RJKM, Research Journal of KSI Mist| 91
1995).
Kelembaban sangat
berpengaruh terhadap kehidupan
cacing tanah untuk menjaga
kulit agar berfungsi normal.
Udara yang terlalu kering akan
merusak keadaan kulit, namun
jika kelembaban udara terlalu
tinggi menyebabkan cacing tanah
lari ke tempat yang memiliki
aerasi lebih baik. Kelembaban
yang dibutuhkan cacing berkisar
antara 28- 42% (Minnich,
1997). Sedangkan suhu
optimum pemeliharaan sekitar
23-26 derajat celcius (Puspitasari,
1995).
Azolla pinnata
Azolla pinnata merupakan
tanaman yang masuk ke dalam
kingdom plantae dan tergolong
dalam kelompok paku- pakuan.
Tanaman ini dapat dengan
mudah dijumpai di perairan
tawar daerah tropis dan daerah
subtropis dan termasuk ke dalam
kelompok paku heterosporus.
Azolla pinnata jarang ditemui
berkoloni pada permukaan air
tawar.
Hal itu disebabkan karena
angin dan gelombang akan
menghancurkan koloni yang
terbentuk serta dapat
menghambat pertumbuhan. Oleh
karena itu Azolla pinnata sering
ditemukan pada permukaan
rawa, kolam yang tenang, dan
celah-celah yang terdapat ditepi
perairan tawar (Maulana &
Haniswita, 2016).
Umumnya Azolla pinnata
berkembangbiak secara vegetatif
menggunakan spora. Azolla
pinnata dapat tumbuh di air yang
mengandung sedikit nitrogen
karena tanaman ini mempunyai
kemampuan mengikat nitrogen
dalam air. Namun akan tumbuh
sangat cepat apabila di
habitatnya tersedia kadar
nitrogen yang tinggi. Berikut ini
adalah taksonomi Azolla pinnata
berdasarkan system binomial
nomenclature (Global Invasive
Species Database, 2019).
Kingdom : Plantae
Divisio : Pteridophyta
Kelas : Filicopsida
Ordo : Hydropteridales
Family : Azollaceae
Genus : Azolla
Spesies : Azolla pinnata
Secara morfologi, fase
sporofit Azolla pinnata terdiri
atas rimpang yang terapung
pada permukaan air dengan
tambahan cabang di bagian
peripheral. Pada cabangnya
terdapat daun dan akar
adventif. Akar ini memiliki
peran utama yaitu mengangkut
air dan mineral dengan anjang
batang yaitu 1-11 cm yang
seluruhnya terendam dalam
air. Di bagian ventral daun
tidak memiliki klorofil serta
berperan sebagai pengapung,
sedangkan bagian dorsal daun
yang terpapar ke udara
memiliki klorofil dan berperan
dalam fotosintesis (Maulana &
Haniswita, 2016).
RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442
Vol.1, No.1, Desember 2019:88-96
RJKM, Research Journal of KSI Mist| 92
Dalam sektor pertanian,
Azolla pinnata biasa
dimanfaatkan sebagai pupuk
organik yang ramah
lingkungan. Penggunaan
pupuk hijau Azolla pinnata
dinilai lebih murah dan mudah
karena memiliki kemampuan
pertumbuhan yang cepat serta
dapat mengikat nitrogen guna
meningkatkan kesuburan
tanah. Hasil penelitian
menjelaskan bahwa kandungan
nitrogen pada Azolla pinnata
berkisaran 4,0-5,0% dan
klorofil sebesar 0,34-0,55%
dari bobot kering Azolla
pinnata. Selain itu, Azolla
pinnata mengandung protein
yang baik sehingga dapat
dimanfaatkan sebagai pakan
hewan ternak, unggas, maupun
ikan (Arizal, 2011).
Pada keadaan normal,
Azolla pinnata berinteraksi
dengan cyanobacterium yang
merupakan simbion endofit.
Anggota kelompok
cyanobacterium yang
bersimbiosis mutualisme
dengan Azolla pinnata adalah
Anabaena azollae. Organisme
ini berperan sebagai
pemfiksasi nitrogen bebas
dari atmosfer sehingga dapat
mencukupi kebutuhan tanaman
inangnya maupun tanaman
disekitarnya (Maulana &
Haniswita, 2016). Proses
fiksasi nitrogen di udara yang
terjadi pada daun Azolla
pinnata selama kurun waktu
106 hari saat tebar dapat
mencapai 120-140 kg N/ha
atau rata- rata 1,1-1,3 kg
N/hari. Hasil fiksasi nitrogen
ditransfer ke seluruh bagian
tubuh Azolla pinnata secara
merata dengan laju
pertumbuhan sekitar 35%/hari
(Arizal, 2011).
2. METODE
Jenis penelitian ini adalah
penelitian eksperimen dengan
menggunakan massa Azolla
pinnata yang berbeda pada
media pertumbuhan dan
reproduksi cacing Lumbricus
rubellus. Penelitian ini
dilaksanakan selama 3 bulan di
Kebun Biologi Universitas
Negeri Yogyakarta. Alat yang
digunakan pada penelitian ini
yaitu sekop, pengaduk/ spatula,
wadah plastik, alat
ukur/penggaris, kamera, kantong
plastik, timbangan digital, ember,
sarung tangan lateks, masker.
Bahan yang digunakan pada
penelitian ini yaitu cacing tanah
(Lumbricus rubellus), Azolla
pinnata, tanah, dan air.
a. Prosedur Penelitian
1) Tahap Persiapan
Persiapan alat dan
bahan yang akan
digunakan. Kemudian
menimbang kotoran
kambing sebanyak 4 kg,
Azolla piñata sebanyak
2,5 kg, batu bata sebanyak
3 kg, akuades. Pembuatan
Medium Pertumbuhan
Media untuk
pertumbuhan cacing
dibuat dengan cara
mendiamkan Azolla
RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442
Vol.1, No.1, Desember 2019:88-96
RJKM, Research Journal of KSI Mist| 93
pinata selama 3x24 jam,
dilanjutkan dengan
menghancurkan batu bata
terlebih dahulu lalu
mencampurkan batu bata
halus, Azolla pinata yang
telah didiamkan, dan
kotoran kambing dan
akuades selanjutnya
dicampur dan didiamkan
selama 7x24 jam. di
letakkan media pada
tabung jar, dan terakhir
diberi cacing sebanyak
lima ekor setiap
wadahnya.
2) Tahap Penelitian
Setelah didiamkan
selama 1x24 jam diamati
bagaimana reaksi cacing
tanah terhadap media,
selanjutnya di ukur untuk
pertambahan panjang,
berat, dan jumlah cacing
pada hari ke- 7, 14, 21, dan
28. Parameter dalam
penelitian ini adalah
pertumbuhan dan
perkembangbiakan cacing
tanah cacing tanah
(Lumbricus rubellus).
b. Teknik Analisa Data
1) Perhitungan Pengamatan
Pertambahan Bobot
Cacing
Induk cacing tanah
dikeluarkan dari media,
dibersihkan kemudian
ditimbang.
2) Reproduksi Cacing
Pengukuran reproduksi
L. rubellus dengan
menghitung jumlah
kokon yang dihasilkan
oleh induk cacing dengan
mengeluarkannya dari
media perlakuan.
c. Analisis Data
Data yang diperoleh
dianalisis dengan sidik ragam
atau analysis of variance
(ANOVA) pada taraf
kepercayaan 95%.
RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442
Vol.1, No.1, Desember 2019:88-96
RJKM, Research Journal of KSI Mist| 94
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian yang berjudul Media
Peningkatan Efisiensi Pertumbuhan dan
Reproduksi Cacing Tanah (Lumbricus
rubellus) dengan Campuran Azolla
pinnata memiliki tujuan untuk
mengetahui pengaruh pemberian Azolla
pinnata dan efisiensi reproduksi cacing
tanah. Azolla pinnata adalah salah satu
tanaman yang tergolong dalam paku-
pakuan yang dapat digunakan sebagai
pupuk organik karena mengandung
nitrogen dan klorofil.
Dalam Azolla pinnata terkandung
nitrogen sebanyak 4,0-5,0% dan klorofil
sebesar 0,34-0,55% dari bobot kering
Azolla pinnata. Selain itu, Azolla pinnata
mengandung protein yang baik sehingga
dapat dimanfaatkan sebagai pakan hewan
ternak, unggas, maupun ikan (Arizal,
2011).
Sebelum digunakan untuk media
pertumbuhan cacing tanah, Azolla
pinnata difermentasi terlebih dahulu
dengan mikroba EM4 yang bertujuan
untuk merombak senyawa kompleks
menjadi lebih sederhana. Dalam
menyiapkan media pertumbuhan cacing
ini,telah dipastikan terlebih dahulu
bahwa pH media sebesar 6,7 dan suhu
sebesar 25°C. Kale & Karmegan (2010)
menyatakan bahwa pertumbuhan cacing
tanah akan optimal pada suhu 25-28°C
dan pH berkisaran antara 6,55-7,98.
Perlakuan pemberian Azolla pinnata
sebagai media pertumbuhan cacing
dengan perbandingan yang berbeda
memiliki hasil yang berbeda pula.
Variabel yang diamati yaitu berat cacing
(gram). Pada media kontrol, Azolla
pinnata tidak diberikan di dalam media
cacing. Pertumbuhan cacing ditimbang
beratnya dari minggu pertama yaitu
sebesar 12 gram, kemudian bertambah
menjadi 15 gram pada minggu kedua.
Pada minggu ketiga dan minggu
keempat diperoleh berat cacing sebesar
16 gram. Sehingga hasil yang didapatkan
pada minggu kedua yaitu pertambahan
berat cacing sebesar 3 gram dan minggu
ketiga pertambahan berat cacing sebesar
1 gram, sedangkan pada minggu
keempat tidak terdapat pertambahan
berat cacing.
Pada media 2, banyaknya Azolla
pinnata yang dipakai dalam media
sebanyak 300 gram. Pertumbuhan cacing
ditimbang beratnya dari minggu pertama
yaitu sebesar 12 gram, kemudian
bertambah menjadi 15 gram pada
minggu kedua. Pada minggu ketiga dan
minggu keempat diperoleh berat cacing
sebesar 17 gram. Sehingga pada minggu
kedua didapatkan pertambahan berat
cacing sebesar 3 gram dan minggu ketiga
sebesar 2 gram, sedangkan pada minggu
keempat tidak terdapat pertambahan berat
cacing.
RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442
Vol.1, No.1, Desember 2019:88-96
RJKM, Research Journal of KSI Mist| 95
Pada media 3, digunakan Azolla
pinnata sebanyak 450 gram.
Pertumbuhan cacing ditimbang beratnya
dari minggu pertama yaitu sebesar 12
gram, kemudian bertambah menjadi 14
gram pada minggu kedua. Pada minggu
ketiga diperoleh berat cacing sebesar 18
gram dan minggu keempat sebesar 19
gram. Sehingga hasil yang didapatkan
pada minggu kedua yaitu pertambahan
berat cacing sebesar 2 gram, minggu
ketiga sebesar 4 gram, dan minggu
keempat diperoleh pertambahan berat
cacing sebesar 1 gram.
Dari ketiga media tersebut, tidak
ditemukan adanya kokon. Namun pada
saat dilakukan pengambilan data,
ditemukan 2 anakan cacing dari media
Azolla pinnata 3. Hal ini dikarenakan
cacing Lumbricus rubellus belum
melakukan perkawinan secara
menyeluruh sehingga perkembangbiakan
yang dilakukan melalui fertilisasi silang
yaitu terjadinya proses kopulasi dan
fertilisasi secara eksternal belum
terjadi sepenuhnya (Budiarti & Asiani,
1993).
Dalam penelitian ini tidak terjadi
proses fermentasi Azolla pinnata yang
sempurna untuk media pertumbuhan
cacing tanah. Ketidaksempurnaan ini
dikarenakan senyawa protein yang tidak
teurai berakibat pada proses pembusukan
Azolla pinnata.
4. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat
disimpulkan dua hal, yaitu sebagai
berikut:
1. Dilihat dari pertambahan berat
cacing pada ketiga media yaitu
media kontrol, media Azolla 2 dan
media Azolla 3, perlakuan yang
paling efektif untuk meningkatkan
pertambahan berat cacing adalah
media Azolla 3.
2. Reproduksi cacing tanah dapat
dilihat dari jumlah kokon yang ada di
ketiga media, tidak ditemukan
adanya kokon di ketiga media
selama pengamatan.
5. REFERENSI
Arizal, A. (2011). Kandungan Nitrogen
(N) pada Azolla pinnata yang
Ditumbuhkan dalam Media Air
dengan Kadar yang Berbeda
[skripsi]. Bogor: Institut
Pertanian Bogor.
Budiarti, & Asiani. (1993). Cacing Tanah.
Jakarta: Swadaya.
Global Invasive Species Database.
(2019). Diambil kembali dari
Species profile: Azolla pinnata:
Downloded from
http://www.iucngisd.org/gisd/sp
ecies.php?sc=204 on 21-02-
2019.
Handayani, S. (2010). Kualitas Batu Bata
Merah Dengan Penambahan
Serbuk Gergaji. Jurnal Teknik
Sipil & Perencanaan, No.1
Vol.12, 41-50.
Maulana, M. F., & Haniswita. (2016).
Implementasi Biofertilizer Azolla
RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442
Vol.1, No.1, Desember 2019:88-96
RJKM, Research Journal of KSI Mist| 96
pinnata dalam Sistem Produksi
Padi Indonesia: Upaya
Mencapai Ketahanan Pangan
Demi Pembangunan
Berkelanjutan.
RD, K., & M, K. (2010). The role of earth-
worms in topics with emphasis
on Indian ecosystems. Applied
and Environmental Soil Science.
Minnich. 1997. The Earthworm Book.
How To Rise and Use
EarthwormFor Your Form.
Rodale press Emmaus.
NewYork. 90-127.
Palungkun, R. 2008. Sukses Beternak
Cacing Tanah Lumbricus
rubellus. Penebar Swadaya.
Jakarta. Hal 5- 15.
Puspitasari,W.1995. Pengaruh Beberapa
Media Terhadap Pertumbuhan
dan Perkembangan Cacing
Tanah. Skripsi.jurusan Biologi
FMIPA. IPB.Bogor.39
Rusmini. 2016. Pelatihan Budidaya
Cacing Tanah (Lumbricus
rubellus) Bagi Para Tani Desa
Sumberdukun, Ngariboyo,
Magetan. ABDI. No.2 Vol.1,
114- 120.
Sari, Indriati Meilina. 2013. Uji
Pemberian Kompos Azolla
microphylla Pada pertumbuhan
Bibit Karet Stum Mini.
Sugiri, N. 1998. Zoologi Avertebrata II
Pusat Antar Universitas Ilmu
Hayat.IPB.Bogor. 50.
Wanasuria,S. 1997. Perunggasan Ayam
dan Telur. 26:21-22.