102
RJKM Research Journal of KSI Mist, Vol.1, No.1, Desember 2019 Dewan Redaksi Pelindung : Prof. Dr. Ariswan, M.Si. Penasihat : Ir. Suhandoyo, M.S. Pembina : Dr. Antuni Wiyarsih, M.Pd. Penanggungjawab : Zulkaisi Dwi Pangarso Ketua Riset : Hafiizhoh Hanafia Redaktur : RISET KSI Mist Sekretaris : Yustia Pramesti Layout : Abdul Rosyid H. Anggota Redaksi : Muhammad Faqihul Imam Hafiizhoh Hanafia Anissa Fitria Heni Febriani Jamaluddin Siregar Desy Putri Sari Raihan Rifka P. Nusyrotus S. Agus Luqman C. S. Abdul Rosyid H. Annisa Huljanah Penyunting Ahli : Dr. Pujianto Diterbitkan oleh KSI Mist Alamat Redaksi: Gelanggang Ormawa FMIPA UNY, Jl. Colombo No.1 Kampus Karangmalang, Sleman, Yogyakarta 55281. E-mail : [email protected] Diterbitkan satu kali dalam setahun pada Bulan Desember. Naskah untuk dapat dimuat harus diketik sesuai dengan petunjuk penulisan dan kriteria yang tercantum pada halaman belakang dan dikirim ke email: [email protected] dalam bentuk doc. Selamat Berkarya!

RJKM - UKM KSI Mist FMIPA UNY

  • Upload
    others

  • View
    3

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

RJKM

Research Journal of KSI Mist, Vol.1, No.1, Desember 2019

Dewan Redaksi

Pelindung : Prof. Dr. Ariswan, M.Si.

Penasihat : Ir. Suhandoyo, M.S.

Pembina : Dr. Antuni Wiyarsih, M.Pd.

Penanggungjawab : Zulkaisi Dwi Pangarso

Ketua Riset : Hafiizhoh Hanafia

Redaktur : RISET KSI Mist

Sekretaris : Yustia Pramesti

Layout : Abdul Rosyid H.

Anggota Redaksi : Muhammad Faqihul Imam

Hafiizhoh Hanafia

Anissa Fitria

Heni Febriani

Jamaluddin Siregar

Desy Putri Sari

Raihan Rifka P.

Nusyrotus S.

Agus Luqman C. S.

Abdul Rosyid H.

Annisa Huljanah

Penyunting Ahli : Dr. Pujianto

Diterbitkan oleh KSI Mist Alamat Redaksi: Gelanggang Ormawa FMIPA UNY, Jl. Colombo No.1 Kampus

Karangmalang, Sleman, Yogyakarta 55281.

E-mail : [email protected]

Diterbitkan satu kali dalam setahun pada Bulan Desember. Naskah untuk dapat

dimuat harus diketik sesuai dengan petunjuk penulisan dan kriteria yang

tercantum pada halaman belakang dan dikirim ke email:

[email protected] dalam bentuk doc.

Selamat Berkarya!

ISSN 2746-6442

iii

PENGANTAR REDAKSI

Assalamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh

Salam hangat kepada para pembaca RJKM (Research Journal of KSI

Mist). Puji syukur senantiasa kami haturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas

berkat karunia-Nya KSI Mist FMIPA UNY dapat menerbitkan RJKM edisi

pertama pada tahun 2019.

RJKM merupakan jurnal ilmiah yang berisi kumpulan artikel ilmiah dalam

bidang sains hasil penelitian para anggota KSI Mist FMIPA UNY. Jurnal ini terbit

sebanyak satu kali dalam setahun tepatnya pada bulan Desember. Pada edisi kali

ini, pembaca akan memperoleh informasi mengenai berbagai topik penelitian

sains seperti dalam bidang kimia, biologi, fisika, atau pun bidang sains yang

lainnya.

Para pembaca yang budiman, kami selaku penyusun jurnal ilmiah ini,

mengucapkan terimakasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam

pelaksanaan penerbitan jurnal sehingga proses penyusunan dan penerbitan dapat

berjalan dengan lancer. Ucapan terimakasih tersebut kami sampaikan kepada:

1. Prof. Dr. Ariswan, M.Si. selaku Pelindung.

2. Ir. Suhandoyo, M.S. selaku Penasihat.

3. Dr. Antuni Wiyarsih, M.Pd. selaku Pembina.

4. Dr. Pujianto selaku Penyunting Ahli.

5. Zulkaisi Dwi Pangarso selaku Ketua KSI Mist FMIPA UNY.

6. Astuti Naviah Apriliani selaku Kepala Departemen Hubungan dan

Infromasi KSI Mist.

7. Teman-teman anggota KSI Mist yang telah berkontribusi yang tidak

bisa kami sebutkan satu per satu.

Terimakasih telah membaca jurnal ilmiah ini semoga dapat menjadi sumber

wawasan dan meningkatkan jiwa meneliti di kalangan generasi muda.

Wassalamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh.

Salam Redaksi

ISSN 2746-6442

iv

DAFTAR ISI

Cover……………………………………………………………………………...i

Dewan Redaksi…………………………………………………………………...ii

Pengantar Redaksi……………………………………………………………….iii

Daftar Isi…………………………………………………………………………iv

Daftar Karya……………………………………………………………………...v

ISSN 2746-6442

v

RJKM Research Journal of KSI Mist

Uji Kualitas Fisik dan Sediaan Salep Getah Pepaya (Carica papaya

L) sebagai Obat Mata Ikan Menggunakan Basis Hidrokarbon

Afifah Sari Nurseha, dkk.

1-7

CALESO Face and Body (Cassava Leaf Soap) Sabun Herbal Ekstrak

Daun Singkong Solusi Masalah Kulit

Ananda Aprilia, dkk.

8-17

Pengaruh Penggunaan Ekstrak Sansevieria trifasciata terhadap

Reduksi Radiasi Elektromagnetik pada Handphone

Astuti Naviah Apriliani, dkk.

18-25

Optimasi Ekstrak Daun Sungkai untuk Meningkatkan pH Larutan

Fellary Pangesti, dkk.

26-31

Pemanfaatan Biji Semangka (Citrullus lanatus) sebagai Antipiretik

pada Mencit (Mus musculus) yang Diinduksi Ragi Roti

Talcha Ainun Rima Nurfajri, dkk.

32-41

Pengaruh Pemberian Pakan Fermentasi Limbah Ampas Bir terhadap

Peningkatan Pertumbuhan Ayam Pedaging

Yustia Pramesti, dkk.

42-46

Pelatihan Poni Batho sebagai Solusi Produksi Sayur Mandiri di

Permukiman Padat Penduduk

Septiah Winda Ningrum, dkk.

47-55

Uji Efektivitas Pemberian Pakan Tutuyam (Tutut Tulang Ayam)

terhadap Produktivitas Ikan Lele (Clarias Sp.)

Fitriyani Astuti, dkk.

56-63

Sintesis dan Karakterisasi Nanopartikel CDOT Limbah Kubis

(Brassica Oleracea) dengan Metode Pirolisis Microwave Katalis

Zeolit

Silfani, dkk.

64-70

Blue Len (Bromelia For Source Electrical Energy) Based Plant

Microbial Fuel Cell sebagai Alternatif Sumber Energi Listrik yang

Terjangkau

Zulkaisi Dwi Pangarso, dkk.

71-75

Pemanfaatan Limbah Onggok dan Ampas Tahu sebagai Pakan Kaya

Nutrisi untuk Mempercepat Pertumbuhan Cacing ANC

Bella Sinta Hikmasari, dkk.

76-80

Sintesis dan Karakteristik Gugus Fungsi Bioplastik Berbahan Dasar

Selulosa Rumput Gajah (Pennisetum purpureum) dengan

Penambahan Kitosan dan Minyak Biji Jarak

Hestiana, dkk.

81-87

ISSN 2746-6442

vi

Media Peningkatan Efisiensi Pertumbuhan dan Reproduksi Cacing

Tanah (Lumbricus Rubellus) Dengan Campuran Azolla Pinata

Kahfi Imam Faqih Kurnia, dkk.

88-96

Volume 1 Nomor 1 Desember 2019 Hal: 1-96

RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442

Vol.1, No.1, Desember 2019:1-7

RJKM, Research Journal of KSI Mist| 1

UJI KUALITAS FISIK DAN SEDIAAN SALEP GETAH PEPAYA (Carica

papaya L) SEBAGAI OBAT MATA IKAN MENGGUNAKAN BASIS

HIDROKARBON

Afifah Sari Nurseha1), Shilvi Woro Satiti2), Alsa Rizki Safitri3)

1Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Yogyakarta

email: [email protected]

2Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Yogyakarta

email: [email protected]

3Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Yogyakarta

email: [email protected]

Abstrak

Mata ikan disebabkan oleh virus human papilomavirus (HPV) yang menyerang kulit

terutama bagian kaki dan tangan. Penyebab lain penyakit ini adalah akibat tekanan dan

gesekan yang terjadi berulang kali. Telah dilakukan penelitian tentang pembuatan salep

getah pepaya untuk mengatasi penyakit mata ikan dengan memanfaatkan enzim papain

yang terkandung pada getah pepaya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji

sediaan fisik salep getah pepaya dengan basis hidrokarbon yang meliputi uji

organoleptis, uji daya sebar, uji proteksi, dan uji pH. Sediaan salep getah pepaya dibuat

dengan mencampurkan getah pepaya dengan vaselin album sebagai basis hidrokarbon,

gliserin dan alkohol dengan formulasi yang telah ditentukan. Pengujian sifat fisik salep

getah pepaya dengan basis hidrokarbon teridiri atas uji organoleptis yang menghasilkan

getah pepaya dengan massa lunak, berwarna putih bening dengan bau khas getah

pepaya. Uji daya sebar menunjukkan hasil untuk formulasi I sebesar (55,425 ± 7,515

mm) dan formulasi II sebesar (52,39 ± 6,639 mm). Hasil uji daya proteksi menunjukkan

hasil negatif terhadap KOH 0,1 N yang menunjukkan salep dapat memproteksi gangguan

dari luar. Hasil uji pH selama 3 hari menunjukkan pH sebesar 6 untuk kedua formulasi

salep.

Keywords: Getah pepaya, Hidrokarbon, Mata ikan, Salep.

RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442

Vol.1, No.1, Desember 2019:1-7

RJKM, Research Journal of KSI Mist| 2

1. PENDAHULUAN

Mata ikan atau dalam istilah medis

disebut dengan clavus disebabkan oleh

virus Human Papillomavirus (HPV).

Penyakit mata ikan ini pada umumnya

tumbuh pada kulit permukaan kaki,

tumit, jari-jari kaki, telapak dan jari-

jari tangan. Gejala-gejala yang

ditimbulkan yaitu ditandai dengan

penebalan dan pengerasan kulit.

Penyebab lain dari mata ikan adalah

adanya tekanan atau gesekan yang

terus menerus pada daerah tertentu

pada kulit. Penyakit ini harus cepat

diobati karena jika mengalami borok

akan terjadi infeksi. Penyakit mata

ikan bisa juga timbul pada penderita

diabetes yang disebabkan kelainan

saraf pembuluh darah. Pada penderita

diabetes, resiko terkena komplikasi

akibat penyakit mata ikan lebih tinggi

dibandingkan dengan yang tidak

mengidap diabetes.

Umumnya, mata ikan tumbuh di

bagian kaki. Namun, tidak menutup

kemungkinan, mata ikan tumbuh di

bagian tubuh lain seperti di telapak

tangan. Seseorang dapat terinfeksi

virus ini melalui luka kecil atau

goresan pada kulit. Bisa juga melalui

gesekan atau kontak langsung dengan

penderita sebelumnya. Biasanya mata

ikan atau kutil tidak langsung tumbuh

atau terlihat, tapi memerlukan waktu

beberapa minggu atau bahkan bulan

baru kemudian muncul (Edwin, 2015).

Pengobatan penyakit mata ikan ini

biasanya dengan cara memberi muatan

listrik tegangan rendah untuk

membakar pertumbuhan mata ikan

dengan menggunakan alat

elektrokauter. Muatan listrik akan

bergerak melalui ujung jarum untuk

pertumbuhan mata ikan. Selain itu

biasanya akan dilakukan operasi

ringan untuk pengangkatan mata ikan.

Operasi ini dilakukan oleh dokter

spesialis kulit dan biasanya

membutuhkan biaya sekitar

Rp.200.000- 500.000. Pasca operasi

biasanya penderita masih akan

mengalami kesakitan beberapa hari

pada bekas mata ikan yang telah

diangkat.

Pengobatan penyakit mata ikan

secara tradisional masih jarang dikenal

oleh masyarakat, padahal alam telah

menyediakan berbagai obat untuk

penyakit mata ikan ini. Getah pepaya

(Carica papaya L) mengandung

senyawa karpain, alkaloid bercincin

laktonat dengan 7 kelompok rantai

metilen. Dengan konfigurasi itu, tak

hanya tumor dan penyakit kulit yang

disembuhkannya. Karpain juga ampuh

menghambat kinerja beberapa

mikroorganisme. Karpain mencerna

protein mikroorganisme dan

mengubahnya menjadi senyawa

turunan bernama pepton (Bambang,

2015).

Salep merupakan salah satu bentuk

obat luar yang sangat akrab dengan

masyarakat Indonesia. Menurut

Farmakope Indonesia Edisi III:

adalah sediaan setengah padat berupa

massa lunak yang mudah dioleskan

dan digunaka untuk pemakaian luar.

Fungsi utama adalah sebagai bahan

pembawa substansi obat untuk

pengobatan kulit (Anief, 2005)

Pembuatan inovasi obat penyakit

mata ikan dengan memanfaatkan

ekstrak getah pepaya sebagai untuk

mengoptimalkan peranan getah

pepaya sebagai obat tradisional

RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442

Vol.1, No.1, Desember 2019:1-7

RJKM, Research Journal of KSI Mist| 3

merupakan salah astu solusi praktis

dari pengobatan mata ikan. Pembuatan

obat dilakukan dalam bentuk salep

basis hidrokarbon. Salep yang telah

dibuat kemudian dilakukan uji kualitas

fisik berupa uji organoleptik, daya

sebar, proteksi dan pH.

Adanya penelitian ini diharapkan

mampu memberikan informasi

menegenai kualitas fisik dan sediaan

salep getah papaya (Carica papaya L.)

sebagai obat mata ikan menggunakan

basis hidrokarbon. Selain itu dapat

memberikan sumber acuan baru bagi

masyarakat dala optimalisasi getah

pepaya agar dapat dikelola kembali

menjadi produk yang bernilai

ekonomis.

2. METODE

Metode penelitian yang diguakan

adalah metode eksperimen yang

dilakukan di Laboratorium Penelitian

Kimia FMIPA UNY selama 3 bulan.

Subjek dalam penelitian ini adalah

salep dari getah pepaya. Sedangkan

objek penelitian ini adalah uji fisik

sediaan salep getah pepaya (Carica

papaya L.) mengunakan basis

hidrokarbon. Variabel yang digunakan

pada penelitian ini adalah variable

tunggal yaitu kualitas salep getah

papaya yang dilanjutkan dengan uji

kontrol kualitas salep diantaranya, uji

organoleptis, uji daya sebar, uji daya

proteksi, uji iritasi dan pH.

Alat yang digunakan dalam

penelitian ini yaitu mortar, alu, pipet

tetes, pipet volume, spatula, gelas

ukur, timbangan analitik, gelas beker,

water bath, stopwatch, object glass,

cawan petri,indikator universal dan

baskom. Sedangkan bahan yang

dibtuhkan adalah getah pepaya,

vaselin album, gliserin, nipagin,

propilenglikol 10%, alkohol, oleum

rosae, KOH 0,1 M, indicator PP,

kertas saring, aluminium foil dan

aquades.

Penelitian ini terdiri dari 3 tahap

yaitu tahap persiapan, tahap

pembuatan salep dan tahap pengujian

kualitas fisik salep. Tahap persiapan

dilakukan dengan mempersiapkan alat

dan bahan yang dibutuhkan dalam

pembuatan salep getah pepaya. Dalam

tahap pembuatan salep dilakukan

penimbangan bahan sesuai yang

dibutuhkan. Kemudian vaselin album

dilelehkan di atas waterbath. Setelah

itu getah pepaya digerus

menggunakan mortar dan ditetesi

dengan alkohol kemudian diaduk

hingga homogen. Gliserin kemudian

ditambahkan pada campuran getah

pepaya dan alkohol. Kedalam

campuran tersebut ditambahkan

vaselin dan dan bahan campuran,

kemudian diaduk hingga homogen dan

diperoleh sediaan salep.

Tahap yang terakhir yaitu tahap

pengujian salep yang dilakukan

meliputi uji organoleptis, uji daya

sebar, uji daya lekat, uji proteksi dan

uji pH. Uji organoleptis dilakukan

untuk menegetahui kondisi fisik

sediaan salep berdasarkan

penginderaan manusia meliputi bau,

warna, bentuk dan tekstur sediaan

salep. Uji Daya Sebar dilakukan

dengan meletakkan 0,5 gram sediaan

salep ditengan cawan petri. Kemudian

sediaan salep ditutup dengan kaca

yang telah ditimbang, didiamkan

selama 1 menit kemudian diukur

diameter sebarnya. Percobaan

RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442

Vol.1, No.1, Desember 2019:1-7

RJKM, Research Journal of KSI Mist| 4

dilakukan sebanyak 3 kali dengan

penambahan beban seberat 50 gram

tiap percobaan. Data yang diperoleh

kemudian disalurkan ke dalam grafik

hubungan antar beban dan diameter

sebar. Uji yang ketiga yaitu uji

kemampuan proteksi yang dilakukan

dengan mengoleskan salep pada kertas

saring kering (10 cm x 10 cm) yang

telah dibasahi dengan indikator PP.

Setelah itu disiapkan kertas saring (2,5

x 2,5 cm) dengan pembatas paraffin

padat yang telah di lelehkan.

Tempelkan kertas saring yang lebih

kecil diatas kertas saring yang lebih

besar. Kemudian area tersebut ditetesi

dengan KOH 0,1 N. Uji yang terakhir

yaitu uji pH yang dilakukan dengan

mengencerkan 0,5 gram salpe

menggunakan akuades kemudian

diukur pH nya menggunakan kertas

indikator universal.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui kontrol kualitas fisik

sediaan salep getah pepaya dengan

basis hidrokarbon diantaranya uji

organoleptis, uji daya sebar, uji

proteksi dan pH. Getah pepaya yang

digunakan didapatkan dari hasil

penyadapan buah pepaya sebanyak 1

kg yang berasal dari Boyolali. Dalam

pembuatan salep getah pepaya

digunakan dua formulasi yaitu

formula I megandung getah pepaya

sebanyak 2% dan formula II

mengandung getah pepaya sebanyak

3%. Formulasi dasar salep dapat

dilihat dalam tabel 1 berikut ini.

Tabel 1. Formulasi Dasar Salep

Formulasi

Formula I Formula II

% Massa

(g)

% Massa

(g)

Vaselin

Album

90% 9 90% 9

Getah

pepaya

2% 0,2 3% 0,3

Gliserin 4,5% 0,45 3,5% 0,35

Alkohol 3,5% 0,35 3,5% 0,35

Bahan-bahan yang digunakan

ditimbang sesuai formulasi yang telah

ditentukan. Setelah penimbangan,

vaselin album sebagai basis

hidrokarbon dilelehkan dalam

waterbath. Getah pepaya dilarutkan

dalam alkohol lalu tambahkan gliserin

diaduk dalam mortar hingga homogen.

Setelah campuran homogen, campuran

ditambahkan kedalam vaselin album

yang telah meleleh dan diaduk diatas

hotplate agar memudahkan semua

bahan tercampur homogen.

Penambahan alkohol berfungsi

sebagai pelarut karena vaselin album

bersifat tidak larut dalam air.

Penambahan gliserin berfungsi

sebagai penjaga kelembaban kulit dan

menjaga kadar air pada kulit.

Uji kontrol kualitas fisik sediaan

salep getah pepaya yang dilakukan

diantaranya yaitu uji organolepis, uji

daya sebar, uji proteksi dan uji pH.

Pengujian organoleptis bertujuan

untuk mengetahui pemerian salep

yang dihasilkan berupa bentuk, warna

dan bau. Diperoleh hasil uji

organoleptis salep getah pepaya

seperti pada tabel 4.1 dimana hasil

yang ditunjukkan oleh kedua

formulasi yaitu dihasilkan salep getah

pepaya yang berbentuk lunak,

RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442

Vol.1, No.1, Desember 2019:1-7

RJKM, Research Journal of KSI Mist| 5

berwarna putih bening dan berbau

khas getah pepaya. Hasil pengujian

organoleptis salep getah pepaya dapat

dilihat pada tabel 2 dibawah ini :

Tabel 2. Hasil Uji Organoleptis

Formula Pemerian

Bentuk Warna Bau

I Lunak Putih,

bening

Bau khas

getah

pepaya

II Lunak Putih,

bening

Bau khas

getah

pepaya

Hasil pengujian daya sebar salep getah

pepaya dapat dilihat pada tabel 3

dibawah ini:

Tabel 3. Hasil Uji Daya Sebar

Massa

beban

Formula I

(mm)

Formula II

(mm)

d

rerata

(mm)

Luas

(mm2)

d

rerata

(mm)

Luas

(mm2)

0 30 47,10 29 45,53

50 33 51,81 31 48,67

100 37 58,09 35 54,95

150 41 64,37 38,5 60,44

X 35,23 55,425 33,375 52,39

SD 7,515 6,639

Uji daya sebar salep dilakukan

dengan menggunakan cawan petri

yang diberi beban secara bertahap dari

0, 50, 100 dan 150 gram. Hasil

pengujian seperti pada tabel 4.2

diperoleh rata-rata dan standar deviasi

daya sebar dari salep getah pepaya

formulasi I sebesar (55,425 ± 7,515

mm) dan formulasi II sebesar (52,39 ±

6,639 mm). Menurut Garg (2009),

daya sebar yang baik adalah 50-70

mm yang menunjukkan konsisensi

semifluid yang sangat nyaman dalam

penggunaan. Salep getah pepaya ini

menggunakan basis hidrokarbon

berupa vaselin album yang memiliki

sifat minyak dominan sehingga hanya

menyerap sediki air. Hasil pengujian

menunjukkan bahwa sediaan salep

yang dihasilkan memiliki daya sebar

yang cukup baik. Pengujian daya

sebar salep ini bertujuan untuk

mengetahui seberapa besar

kemudahan penyebaran salep. Salep

harus mampu menyebar dengan

mudah tanpa tekanan yang berarti

sehingga mudah dioleskan dan tidak

menimbulkan rasa sakit saat dioleskan

sehingga dapat meningkatkan

kenyamanan penggunaan.

Pengujian daya proteksi salep getah

pepaya dilakukan dengan tujuan untuk

mengetahui kemampuan salep untuk

melindungi kulit dari pengaruh luar

seperti asam, basa, debu, polusi dan

sinar matahari. Hasil pengujian

proteksi getah pepaya dapat dilihat

pada tabel 4 dibawah ini :

Tabel 4. Hasil Uji Proteksi

Form

ula

Waktu

15

det

ik

30

det

ik

45

det

ik

60

det

ik

3

me

nit

5

me

nit

I - - - - - -

II - - - - - -

Keterangan :

+ = muncul noda merah

- = tidak muncul noda merah

Hasil pengujian untuk kedua

formulasi salep tidak menunjukkan

adanya perubahan warna menjadi

merah muda ketika ditetesi KOH 0,1

N mulai dari 15 detik pertama hingga

5 menit selanjutnya. Salep getah

pepaya yang dihasilkan baik dan

memenuhi standar kualitas daya

RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442

Vol.1, No.1, Desember 2019:1-7

RJKM, Research Journal of KSI Mist| 6

proteksi sediaan karena mampu

memberikan proteksi terhadap

pengaruh luar, yang ditandai dengan

tidak munculnya noda merah pada

kertas saring ketika di tetesi dengan

KOH 0,1 N. Ketika KOH 0,1 N

direaksikan dengan indikator

phenoftalein akan memberikan noda

merah muda pada kertas saring,

apabila hal tersebut terjadi artinya

salep kurang baik karena tidak dapat

memberikan proteksi dari pengaruh

luar dan dapat mempengaruhi

efektivitas salep terhadap kulit.

Pengujian pH salep getah pepaya

dilakukan untuk mengetahui tingkat

keasaman dan kebasaan salep terhadap

kulit. Derajat keasaman salep harus

diperhatikan karena penggunaan salep

sebagai obat luar akan kontak

langsung dengan kulit sehingga dapat

mempengaruhi kondisi kulit.

Pengujian pH salep dilakukan dengan

kertas indikator universal yang

dicelupkan pada salep getah pepaya

yang telah diencerkan. Menurut

Yosipovitch (2003) sediaan salep

harus memiliki pH yang sesuai dengan

pH kulit yaitu sekitar 4-6,5. Semakin

kecil pH salep yang berarti semakin

asam maka semakin mudah

mengiritasi kulit, sedangakan semakin

tinggi pH salep maka dapat membuat

kulit menjadi kering. Hasil pengujian

pH salep dapat dilihat dalam tabel 5

dibawah ini :

Tabel 5. Hasil Derajat Keasaman (pH)

Formula Derajat Keasaman (pH)

Hari 1 Hari 2 Hari 3

Formula I 6 6 6

Formula II 6 6 6

Hasil uji pH salep getah pepaya

yang dihasilkan memperlihatkan

bahwa kedua formulasi memberikan

pH yang sama yaitu sebesar 6 selama

3 hari, pH 6 yang dihasilkan termasuk

dalam range pH normal untuk kulit

dimana pada pH tersebut salep yang

dihasilkan tidak terlalu asam dan tidak

terlalu basa.

4. KESIMPULAN

Pembutan salep getah pepaya

(Carica papaya L) menggunakan

vaselin album sebagai basis

hidrokarbon dan pencampuran dengan

getah pepaya dan bahan lainnya yang

dicampur hingga homogen. Hasil Uji

organoleptik menunjukkan hasil kedua

sediaan salep berbentuk massa lunak,

berwarna putih bening dan berbau

khas getah pepaya. Uji daya sebar

menunjukkan hasil formulasi I

(55,425 ± 7,515 mm) dan formulasi II

(52,39 ± 6,639 mm). Uji proteksi

menunjukkan hasil negatif terhadap

KOH yang menunjukkan salep dapat

memproteksi dari ganguan luar. Uji

keasaman (pH) menunjukkan hasil pH

sebesar 6 untuk kedua sediaan salep.

5. REFERENSI

Allen, L.V., 1998.The Art and

Technologi of Pharmaceutical

Compounding. American

Pharmaceutical

Association,Whashington DC.

Anief, Moh. 2002. Ilmu Meracik

Obat. Yogyakarta: Gadjah

Mada University Press.

Ansel, H. C., 1989.Pengantar Bentuk

Sediaan Farmasi. Jakarta:

UniversitasIndonesia Press.

RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442

Vol.1, No.1, Desember 2019:1-7

RJKM, Research Journal of KSI Mist| 7

Depkes RI., 2000.Parameter Standar

Umum Ekstrak Tumbuhan

Obat. Jakarta: Departemen

KesehatanIndonesia.

Rahmawati, F.,Yetti. Uji Kontrol

Kualitas Sediaan Salep Getah

Pepaya.STIKES

Muhammadiyah Klaten.

Suroso, A,Y.1992. Mengerti

Morfologi Tumbuhan. Taristo:

Bandung.

RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442

Vol.1, No.1, Desember 2019:8-17

RJKM, Research Journal of KSI Mist| 8

CALESO FACE AND BODY (CASSAVA LEAF SOAP) SABUN HERBAL

EKSTRAK DAUN SINGKONG SOLUSI MASALAH KULIT

Ananda Aprilia1), Annisa’ Nurrohmah2)

1Pendidikan Fisika, FMIPA, Universitas Negeri Yogyakarta

[email protected]

2Pendidikan Fisika, FMIPA, Universitas Negeri Yogyakarta

[email protected]

Abstrak

Kesehatan kulit menjadi hal yang penting untuk selalu diperhatikan. Kurangnya

seseorang dalam menjaga kesehatan kulit dapat mengakibatkan munculnya permasalan

kulit seperti luka dan jerawat. Luka dan jerawat pada kulit dapat disebabkan karena

aktivitas bakteri Staphylococcus aureus. Salah satu cara efektif untuk menangani jerawat

dan luka adalah menggunakan sabun. Peneliti memiliki gagasan untuk membuat sabun

herbal dari ekstrak daun singkong (Manihot esculenta). Selama ini daun singkong belum

dimanfaatkan secara optimal. Padahal, berdasarkan penelitian daun singkong memiliki

kandungan vitamin c, flavonoid, saponin dan triterpenoid yang dipercaya memiliki

aktivitas antibakteri dan mempercepat proses penyembuhan luka. Tujuan dari penelitian

ini adalah untuk mengetahui pengaruh sabun herbal antiseptik ekstrak daun singkong

(Manihot esculenta) terhadap jerawat dan luka pada kulit akibat bakteri Staphylococcus

aureus. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian eksperimen. Penelitian

dilakukan dengan melakukan beberapa uji yaitu uji organoleptik, uji homogenitas, uji

tinggi busa, uji pH, dan uji iritasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa daun singkong

dapat dimanfaatkan menjadi sabun yang dapat menangani permasalahan kulit seperti

luka dan jerawat. Sabun herbal ekstrak daun singkong aman digunakan bagi masyarakat

Indonesia yang memiliki masalah kulit seperti jerawat dan luka karena mengandung

bahan alami yang cocok digunakan pada semua jenis kulit.

Kata kunci: Jerawat dan luka pada kulit, Manihot esculenta , Sabun.

RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442

Vol.1, No.1, Desember 2019:8-17

RJKM, Research Journal of KSI Mist| 9

1. PENDAHULUAN

Kesehatan kulit merupakan salah

satu faktor penting yang harus

diperhatikan. Beberapa masalah pada

kulit seperti jerawat, panu, kudis,

kurap dapat terjadi karena kurangnya

seseorang dalam menjaga kesehatan

kulit. Masalah pada kulit dapat terjadi

karena adanya infeksi bakteri yang

dapat menimbulkan penyakit dengan

tanda-tanda yang khas, yaitu

peradangan, nekrosis, infeksi folikel

rambut dan pembentukan abses

diantara organ yang sering diserang

oleh bakteri Staphylococcus aureus

adalah kulit yang mengalami luka dan

dapat menyebar ke orang lain yang

juga mengalami luka (Razak, 2013).

Salah satu tumbuhan yang

dipercaya dapat menangani masalah

kulit adalah daun singkong (Manihot

esculenta). Tumbuhan singkong

banyak tumbuh di wilayah Indonesia

khususnya di Yogyakarta. Namun

pemanfaatan singkong di Yogyakarta

kurang optimal, sebatas buahnya

untuk dikonsumsi, daunya sebagai

sayur dan lalapan, dan batangnya

digunakan sebagai kayu bakar manfaat

lebih dari sekedar untuk dikonsumsi

tetapi juga dapat dimanfaatkan dalam

kesehatan kulit termasuk bagian

daunnya. Daun Singkong mengandung

banyak protein, beberapa mineral,

vitamin B1, vitamin B2, vitamin C

dan karoten. Pada penelitian yang

pernah dilakukan, vitamin C dapat

mempercepat proses penyembuhan

luka. Daun Singkong juga

mengandung banyak karbohidrat,

lemak, zat besi, fosfor, kalsium dan

air, flavonoid, saponin dan

triterpenoid. Flavonoid dan saponin

diketahui memiliki aktivitas

antimikroba dan antivirus. Demikian

juga triterpenoid yang diketahui

memiliki aktivitas antivirus dan

antibakteri, serta dapat mengobati

kerusakan pada kulit. Flavonoid

memiliki aktivitas antibakteri dengan

cara mengikat asam amino nukleofilik

pada protein dan inaktivasi enzim.

Senyawa saponin menyebabkan

penurunan tegangan permukaan sel

dan menyebabkan sel lisis. Senyawa

tanin bekerja dengan cara mengikat

dinding protein sehingga

pembentukan dinding sel bakteri

terhambat (Saraswati, 2015).

Salah satu menjaga kesehatan kulit

adalah dengan membersihkan kulit

secara rutin menggunakan sabun.

Daun singkong memiliki kandungan

saponin dan vitamin c sehingga

memiliki potensi sebagai sabun herbal

antiseptik untuk mengobati kerusakan

jaringan kulit seperti timbulnya

jerawat dan luka pada kulit akibat

bakteri Staphylococcus aureus. Setiap

orang memiliki sensitivitas kulit yang

berbeda-beda. Sabun yang

mengandung bahan kimia terlalu

banyak akan menimbulkan kerusakan

kulit seperti kulit kering, timbul

kemerah-merahan dan rasa perih.

Sabun herbal daun singkong dianggap

lebih aman bagi kesehatan kulit.

Berdasarkan uraian di atas peneliti

berinisiatif untuk membuktikan bahwa

daun singkong dapat dijadikan sebagai

sabun herbal untuk menangani

masalah kulit seperti jerawat yang

tidak hanya di bagian wajah tetapi

juga untuk seluruh tubuh.

RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442

Vol.1, No.1, Desember 2019:8-17

RJKM, Research Journal of KSI Mist| 10

Gambar 1. Daun Singkong

Berdasarkan latar belakang

tersebut, maka dapat dirumuskan (a)

Bagaimana kandungan ekstrak daun

singkong (Manihot esculenta) sebagai

sabun herbal antiseptik?. (b)

Bagaimana pengaruh sabun herbal

antiseptik ekstrak daun singkong

(Manihot esculenta) terhadap kulit?

Adapun tujuan yang akan dicapai pada

penelitian ini yaitu (a) Mengetahui

kandungan ekstrak daun singkong

(Manihot esculenta) sebagai sabun

herbal antiseptik. (b) Mengetahui

pengaruh sabun herbal antiseptik

ekstrak daun singkong (Manihot

esculenta) terhadap kulit. Luaran yang

diharapkan dari penelitian ini adalah

sabun herbal antiseptik ekstrak daun

singkong (Manihot esculenta) yang

dapat menangani jerawat dan luka

pada kulit akibat bakteri

Staphylococcus epidermis sehingga

menghasilkan artikel ilmiah mengenai

sabun herbal antiseptik ekstrak daun

singkong (Manihot esculenta) sebagai

solusi alami penanganan jerawat dan

luka. Hasil penelitian ini akan

dipublikasikan dalam seminar dan

jurnal ilmiah yang nantinya akan

bermanfaat bagi pembaca dan

masyarakat umum.

Daun singkong mengandung

flavonoid rutin, saponin, tannin,

vitamin C, vitamin A, vitamin B1, zat

besi, hidrat arang, klasium, fosfor,

lemak dan mengandung protein yaitu

asam amino metionin (Agoes, 2010).

Flavonoid, saponin dan tannin dalam

tanaman daun singkong mempunyai

potensi dalam aktivitas antibakteri.

Saponin juga diketahui dapat bekerja

sebagai antimikroba, senyawa ini

mampu menghambat dehidrogenase

jalur prostaglandin (Robinson, 1995).

Jerawat adalah kondisi abnormal

kulit akibat terjadi gangguan

berlebihan produksi kelenjar minyak

(Sebaceous gland) yang menyebabkan

penyumbatan saluran folikel rambut

dan pori-pori kulit. Jerawat dapat

timbul di permukaan kulit muka,

bagian dada dan atas lengan

(Saraswati, 2015). Bakteri penyebab

jerawat dan luka pada kulit

diantaranya bakteri Staphylococcus

epidermidis dan Staphylococcus

aureus. Sedangkan luka adalah

keadaan dimana kontinuitas jaringan

rusak oleh karena trauma dari benda

tajam atau tumpul, perubahan suhu,

kimiawi, listrik, radiasi, atau gigitan

hewan. Sebagai respon dari kerusakan

jaringan tersebut, maka tubuh akan

berusaha untuk memperbaiki jaringan

yang rusak melalui mekanisme

penyembuhan luka (Ariani, 2014).

Sabun adalah garam alkali

karboksilat (RCOONa). Gugus R

bersifat hidrofobik karena bersifat

nonpolar dan COONa bersifat

hidrofilik (polar). Proses yang terjadi

dalam pembuatan sabun disebut

sebagai saponifikasi (Girgis, 2003).

Alkali yang digunakan yaitu NaOH,

bahan lain yang digunakan pada

pembuatan sabun mandi yaitu

tigliserida berupa minyak atau lemak,

misalnya digunakan minyak kelapa

sawit, minyak biji katun dan minyak

RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442

Vol.1, No.1, Desember 2019:8-17

RJKM, Research Journal of KSI Mist| 11

kacang (Oluwatoyin, 2011). Ada 2

jenis sabun yang dikenal, yaitu sabun

padat (batangan) dan sabun cair

(Hambali, 2005).

2. METODE

Jenis penelitian yang digunakan

adalah penelitian eksperimen yang

bertujuan untuk mengetahui pengaruh

sabun herbal antiseptik ekstrak daun

singkong (Manihot esculenta)

terhadap jerawat dan luka pada kulit

akibat bakteri Staphylococcus

epidermis. Tempat penelitian akan

dilaksanakan di Laboratorium

Penelitian Kimia FMIPA UNY,

sedangkan waktu untuk penelitian ini

dilaksanakan selama 2 bulan. Subjek

pada penellitian ini adalah daun

singkong (Manihot esculenta). Daun

singkong yang akan digunakan dalam

penelitian ini adalah daun singkong

yang sudah tua karena daun singkong

yang sudah tua lebih banyak

mengandung klorofil, saponin,

vitamin c, flavonoid dan kandungan

kimia lainnya. Objek pada penelitian

ini formulasi kandungan daun

singkong dan aktivasi anti bakteri

Staphylococcus epidermis dalam

penanganan jerawat dan luka pada

kulit. Alat yang dikunakan dalam

penelitian ini meliputi batang

pengaduk penumbuk, kain bersih,

sarung tangan, Waskom, gelas ukur,

gelas bekker, pipet tetes, timbangan

analitik, dan cetakan. Bahan yang

digunakan dalam penelitian ini

meliputi daun singkong, aquades,

minyak zaitun, minyak kelapa sawit,

minyak goreng, dan NaOH.

Proses pembuatan sabun herbal

ekstrak daun singkong yaitu diawali

dengan menimbang daun singkong

yang telah kering sebanyak 15 gram

menggunakan timbangan analitik.

Daun singkong dipilih yang baik

kualitasnya, kemudian dicuci

menggunakan air bersih. Daun

singkong yang telah disiapkan

ditumbuk hingga halus setelah itu

disaring menggunakan kain tipis

hingga diperoleh ekstrak daun

singkong. Untuk mendapatkan hasil

ekstrak yang lebih optimal, air perasan

kembali disaring menggunakan kertas

saring. Proses pembuatan ekstrak daun

singkong dapat digambarkan melalui

diagram alir sebagai berikut,

Gambar 2. Alur Proses Pembuatan

Ekstrak Daun Singkong

Pembuatan sabun padat diawali

dengan menyiapkan alat dan bahan

yang dibutuhkan, selanjutnya adalah

pembuatan basis sabun, yaitu diawali

dengan menuangkan zaitun sebanyak

75 ml, minyak kelapa sawit sebanyak

50 ml, dan minyak goreng sebanyak

50 ml ke dalam waskom. Melarutkan

12,5 gram NaOH ke dalam 35 ml

aquades, diaduk hingga larut dan

mencapai suhu ±40°C. Kemudian

menuangkan larutan NaOH ke dalam

minyak zaitun sedikit demi sedikit dan

diaduk hingga homogen dan

mengental. Bahan yang dimasukkan

RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442

Vol.1, No.1, Desember 2019:8-17

RJKM, Research Journal of KSI Mist| 12

terakhir adalah ekstrak daun singkong.

Setelah penambahan ekstrak tersebut,

campuran kembali diaduk hingga

homogen. Setelah semuanya

tercampur masukkan ke dalam

cetakan. Kemudian sabun didiamkan

pada tempat tertutup dengan suhu

kamar untuk memasuki masa curing

dan proses saponifikasi. Proses

pembuatan sabun herbal ekstrak daun

singkong dapat digambarkan melalui

diagram alir sebagai berikut,

Gambar 3. Alur Proses Pembuatan

Sabun Herbal Ekstrak Daun Singkong

Uji yang dilakukan untuk menguji

kelayakan sabun herbal ekstrak daun

singkong meliputi :

1. Uji Organoleptik

Pada sediaan yang telah

diformulasikan dilakukan

pengamatan pengamatan sediaan

meliputi aroma, warna dan bentuk

sediaan. Pengujian dilakukan

selama 28 hari dan diamati setiap 7

hari.

2. Uji Homogenitas

Uji homogenitas dilakukan

dengan cara setiap sediaan sabun

yang belum memadat diambil

sedikit dari sediaan dan digoreskan

pada sekeping kaca atau bahan

transparan lainnya. Sabun yang

homogen tidak terdapat gumpalan

maupun butiran kasar.

3. Uji Tinggi Busa

Uji tinggi busa dilakukan

dengan cara diambil sampel

sebanyak 1 mL, dimasukkan ke

dalam tabung reaksi, kemudian

ditambahkan akuades sampai 10

ml, dikocok dengan membolak-

balikkan tabung reaksi selama 20

detik, lalu segera diukur tinggi busa

yang dihasilkan. Lalu, tabung

didiamkan selama 5 menit,

kemudian diukur lagi tinggi busa

yang dihasilkan setelah 5 menit

(Sari & Ferdinan, 2017).

4. Uji pH

Uji pH sabun padat dilakukan

dengan pH meter. Rentang standar

pH sabun padat adalah 9. Pengujian

dilakukan selama 28 hari dan

diamati setiap 7 hari.

5. Uji Iritasi

Uji iritasi dilakukan dengan cara

mencoba sabun padat pada telapak

tangan dan didiamkan serta diamati

selama 5 menit. Pemeriksaan ini

dilakukan terhadap peneliti untuk

masing-masing formula selama tiga

hari berturut-turut.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pengujian organoleptik

ekstrak tersebut memiliki bau khas

aromatik, bentuk konsistensi sedikit

kental, warna hijau pekat, dan rasa

pahit agak kelat. Daun singkong

mengandung flavonoid rutin, saponin,

tannin, vitamin C, vitamin A, vitamin

B1, zat besi, hidrat arang, klasium,

fosfor, lemak dan mengandung protein

RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442

Vol.1, No.1, Desember 2019:8-17

RJKM, Research Journal of KSI Mist| 13

yaitu asam amino metionin (Agoes,

2010). Flavonoid, saponin dan tannin

dalam tanaman daun singkong

mempunyai potensi dalam aktivitas

antibakteri. Kandungan flavonoid,

saponin dan tanin dalam daun

singkong diketahui, senyawa-senyawa

tersebut mempunyai aktivitas sebagai

antibiotik yang membunuh bakteri.

Daun singkong memiliki Flavonoiod

yang diperkirakan memiliki efek anti

inflamasi dan analgesik (Sukrasno,

2009). Flavonoid berfungsi sebagai

anti radang dengan cara menghambat

enzim siklooksigenase dan

lipoksigenase dapat memberi harapan

untuk pengobatan gejala peradangan

dan alergi. Mekanisme flavonoid

dalam menghambat terjadinya radang

melalui dua cara, yaitu menghambat

metabolisme arakhidonat melalui jalur

lipoksigenase, dan sekresi enzim

lisosom dari sel endothelial sehingga

menghambat fase proliferasi dan fase

eksudasi dari proses radang. Saponin

mempunyai kemampuan sebagai

pembersih dan antiseptik yang

berfungsi membunuh atau mencegah

pertumbuhan dari mikroorganisme

yang tibul pada luka sehingga luka

tidak mengalami infeksi yang berat

(Robinson, 1995).

Tabel 1. Formula Sabun Padat Herbal Ekstrak

Daun Singkong

For

mul

a

Ma

ssa

Na

O

H

Konse

ntrasi

Miny

ak

Zaitu

n

Konse

ntrasi

Miny

ak

Kelap

a

Sawit

Konse

ntrasi

Miny

ak

Goren

g

For

mul

a 1

17,

5

gra

m

27,6

%

20,7

%

20,7

%

For

mul

a 2

12,

5

gra

m

34,1

%

22,7

%

22,7

%

Pada tes organoleptik sediaan

sabun herbal ekstrak daun singkong

dan dasar sabunnya menunjukan

sediaan padat yang merupakan bentuk

dari sabun. Sabun herbal ekstrak daun

singkong memberikan bau yang khas

dari daun singkong, tetapi pada

penelitian ini aroma daun singkong

tertutup oleh aroma minyak zaitun,

dan warna sabun ini cokelat yang

merupakan campuran dari warna daun

singkong dan minyak. Sediaan sabun

herbal dinyatakan homogen jika dasar

sabun, bahan aktif dan bahan

tambahan lain tercampur merata.

Dilihat berdasarkan tidak adanya

gumpalan maupun butiran kasar pada

sediaan sabun herbal ektrak daun

singkong. Sediaan sabun yang

homogen mengindikasikan bahwa

ketercampuran dari bahan-bahan

sabun serta ekstrak daun singkong

yang digunakan baik sehingga tidak

didapati gumpalan ataupun butiran

kasar pada sediaan. Suatu sediaan

RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442

Vol.1, No.1, Desember 2019:8-17

RJKM, Research Journal of KSI Mist| 14

sabun harus homogen dan rata agar

tidak menimbulkan iritasi dan

terdistribusi merata ketika digunakan.

Untuk dapat mengetahui sediaan

sabun homogen atau tidak, dapat

diketahui dengan mengambil sedikit

dari sediaan dan digoreskan pada

sekeping kaca atau bahan transparan

lainnya.

Tabel 2. Hasil Uji pH

Formula pH

Formula 1 13

Formula 2 9,5

pH sediaan sabun harus

disesuaikan dengan pH kulit manusia

yaitu 9 sehingga aman untuk

digunakan, karena pH yang terlalu

asam dapat mengiritasi kulit

sedangkan pH yang terlalu basa dapat

membuat kulit bersisik. Pengukuran

pH dilakukan dengan menggunakan

pH meter. Pemeriksaan uji iritasi kulit

sediaan sabun dilakukan dengan sabun

herbal daun singkong digunakan

langsung pada tangan manusia bagian

telapak tangan dalam selama 5 menit.

Jika hasil pemeriksaan menunjukan

tidak adanya timbul kemerahan dan

gatal-gatal berarti tidak terjadi reaksi

iritasi. Hasil uji menunjukkan sabun

herbal dengan formula 1 yang

memiliki pH 13, mengakibatkan kulit

pemakai menjadi bersisik karena

sabun terlalu basa. Sabun herbal

dengan formula 2 yang memiliki pH

9,5 dan pada kulit tidak menimbulkan

iritasi.

Tabel 3. Hasil Uji Tinggi Busa

Formula Tinggi busa

sebelum 5

menit

Tinggi Busa

setelah 5

menit

Formula 1 2,4 cm 0,9 cm

Formula 2 3,8 cm 2,1 cm

Pengujian tinggi busa dilakukan

dengan melarutkan sabun pada

aquades, dikocok hingga keluar busa,

kemudian diukur tinggi busa. Setelah

melakukan pengukuran larutan

didiamkan selama 5 menit untuk

kemudian diukur tingginya kembali.

Setelah dilakukan pengujian, sabun

dengan formula 1 memiliki tinggi

busa mula-mula setinggi 2,4 cm, dan

setelah didiamkan selama 5 menit

tinggi busa menjadi 0,9 cm. Pada

formula 2 memiliki tinggi busa mula-

mula setinggi 3,8 cm, dan setelah

didiamkan selama 5 menit tinggi busa

menjadi 1,2 cm.

Luka adalah hilang atau rusaknya

sebagian jaringan tubuh. Keadaan ini

dapat disebabkan oleh trauma benda

tajam atau tumpul, perubahan suhu,

zat kimia, sengatan listrik, atau gigitan

hewan (Sjamsuhidajat & Jong, 2003).

Proses penyembuhan luka dapat

didefinisikan sebagai perbaikan dari

diskontinuitas jaringan setelah

mengalami trauma (Perkasa, 2009).

Penyembuhan luka merupakan suatu

proses karakterisasi yang kompleks

melalui homeostasis, repitelisasi,

pembentukan jaringan dan

memperbaiki bentuk matriks

extraseluler (Pirbalouti, 2010).

Penyembuhan luka dapat terganggu

oleh penyebab dari dalam tubuh

sendiri (endogen) atau oleh penyebab

dari luar tubuh (eksogen). Dalam

proses penyembuhan luka terdapat 4

RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442

Vol.1, No.1, Desember 2019:8-17

RJKM, Research Journal of KSI Mist| 15

fase. Pertama fase koagulasi dimana

pada fase ini terjadi pembekuan darah.

Fase yang kedua yaitu fase inflamasi

dimana pada fase ini mempunyai

prioritas fungsional yaitu

menggalakkan hemostasis,

menyingkirkan jaringan mati, dan

mencegah infeksi oleh bakteri patogen

terutama bakteria. Fase ke tiga yaitu

fase proliperatif dimana fase ini terjadi

pada hari ke 4-21 setelah trauma,

keratinosit disekitar luka mengalami

perubahan fenotif. Fase yang keempat

fase remodeling dimana fase ini

adalah fase paling lama yaitu fase

penyembuhan (Sjamsuhidat & Jong, et

al., 2003).

Percobaaan ini menghasilkan dua

formula sabun, dengan setiap formula

memiliki perbedan masa NaOH dan

konsentrasi minyak zaitun, konsentrasi

minyak kelapa sawit, dan konsentrasi

minyak goring. Formula pertama

menggunakan massa NaOH sebesar

17,5 gram dengan konsentrasi minyak

zaitun sebanyak 27,6 %, konsentrasi

minyak kelapa sawit sebanyak 20,7 %,

dan konsentrasi minyak goring

sebanyak 20,7 %. Formula kedua

menggunakan massa NaOH sebesar

12,5 gram dengan konsentrasi minyak

zaitun sebanyak 34,1 %, konsentrasi

minyak kelapa sawit sebanyak 22,7 %,

dan konsentrasi minyak goring

sebanyak 22,7 %. Sabun dengan

formula 1 memiliki pH yang terlalu

tinggi sehingga ketika digunakan pada

kulit, kulit menjadi bersisik. Sabun

dengan formula 2 memiliki pH yang

cukup aman bagi kulit manusia. Sabun

dengan formula 2 ketika digunakan

tidak menunjukkan efek iritasi.

4. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang

telah dilakukan dapat disimpulkan

sebagai berikut:

1. Daun singkong (Manihot

esculenta) memiliki kandungan

seperti flavonoid rutin, saponin,

tannin, vitamin C, vitamin A,

vitamin B1, zat besi, hidrat arang,

klasium, fosfor, lemak dan

mengandung protein yaitu asam

amino metionin. Kandungan

flavonoid, saponin dan tanin dalam

daun singkong diketahui, senyawa-

senyawa tersebut mempunyai

aktivitas sebagai antibiotik yang

membunuh bakteri sehingga

memiliki potensi sebagai bahan

baku pembuatan salep herbal

antiseptic.

2. Memperoleh 2 formula sabun,

sabun pertama ketika digunakan

mengakibatkan kulit bersisik

karena pH yang terlalu basa,

sedangkan pada sabun dengan

formula 2 ketika digunakan tidak

menunjukkan efek iritasi.

Berdasarkan hasil penelitian

tersebut sabun 2 lebih aman untuk

digunakan.

5. REFERENSI

Agoes, H. A. Tanaman Obat

Indonesia. Buku 1. Jakarta:

Penerbit Selemba Medika;

Hal. 81; 2010.

Ariani, S. (2014). Khasiat Daun

Binahong (Anredera

cordifolia (Ten.) Steenis)

terhadap Pembentukan

Jaringan Granulasi dan

Reepitelisasi Penyembuhan

RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442

Vol.1, No.1, Desember 2019:8-17

RJKM, Research Journal of KSI Mist| 16

Luka Terbuka Kulit

Kelinci. Jurnal e-

Biomedik, 1(2). Vol 1, No 2

Girgis, A.Y. 2003. Production of High

Quality Castile Soap from

High Rancid Olive Oil.

Gracasy Aceites . 54(3):226-

233.

Hambali, E., A. Suryani, dan M. Rifai.

2005. Membuat Sabun

Tranparan untuk Gift dan

Kecantikan. Penebar

Swadaya, Jakarta : 1923.

Oluwatoyin SM., (2011), Quality

Soaps Using Different Oil

Blends, Journal of

Miicrobiology and

Biotechnology Research, 1

(1) 29-34.

Perkasa, M. F. (2009). Bleeding in

surgery. The Indonesian

Journal of Medical Science,

2, (2): 96-101.

Pirbalouti, A. G., Koohpayeh, A., &

Karimi, I. (2010). The wound

healing activity of flower

extracts of Punica granatum

and Achillea kellalensis in

wistar rats. Journal of Acta

Poloniae Pharmaceutica, 67,

(1): 107-110.

Razak, Abdul., Aziz Djamal., Gusti

Revilla. Uji Daya Hambat

Air Perasan Buah Jeruk Nipis

(Citrus aurantifolia) Terhadap

Pertumbuhan Bakteri

Staphylococcus aureus

Secara In Vitro. Jurnal

Kesehatan Andalas. 2013. 2

(1). 05-08.

Robinson, T.1995.Kandungan

Organik Tumbuhan

Tinggi.Bandung:ITB.Saising,

J.; Hiranrat, A.;

Mahabusarakan, W.;

Ongsakul, M. &

Voravuthikunchai, S.P. 208.

Rhodomyrthone from

Rhodomyrtus tomentosa

(Aiton) Hassk. As a Natural

Antibiotic for Staphylococcus

Cutaneous Infection. Journal

of Health Science, 54(5) 589-

595.

Saraswati, F. N. (2015). Uji aktivitas

Antibakteri Ekstrak etanol

96% Limbah Kulit Pisang

Kepok Kuning (Musa

balbisiana) terhadap Bakteri

Penyebab Jerawat

(Staphylococcus epidermidis,

Staphylococcus aureus,

Propionibacterium

acne). Skripsi. Jakarta. UIN

Syarif Hidayatullah.

Sari, R., & Ferdinan, A. (2017).

Pengujian Aktivitas

Antibakteri Sabun Cair dari

Ekstrak Kulit Daun Lidah

Buaya Antibacterial Activity

Assay of the Liquid Soap

from the Extract of Aloe vera

Leaf Peel Abstrak.

Pharmaceutical and Science

Research, 4(3), 111–120.

Sjamsuhidajat, R. & Wim de jong.

(2003). Ilmu Bedah. (Edisi

2). Buku Kedokteran.

Jakarta: EGC.

Sukrasno, 2009, “ Efek

Imunomodulator ekstrak air

RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442

Vol.1, No.1, Desember 2019:8-17

RJKM, Research Journal of KSI Mist| 17

temulawak (Curcuma

xanthorrhiza Roxb)”.Forum

Obat Herbal indonesia, 2006.

RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442

Vol.1, No.1, Desember 2019:18-25

RJKM, Research Journal of KSI Mist| 18

PENGARUH PENGGUNAAN EKSTRAK SANSEVIERIA TRIFASCIATA

TERHADAP REDUKSI RADIASI ELEKTROMAGNETIK PADA

HANDPHONE

Astuti Naviah Apriliani1), Risma Nor Fadilla2), dan Ulfi Rohmawati3)

1Pendidikan Kimia, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta

Email : [email protected]

2Pendidikan Matematika, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta

Email : [email protected]

3Fisika, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta

Email : [email protected]

ABSTRAK

Proses industri 4.0 mendorong Indonesia untuk berperan aktif dalam berbagai

sektor, seperti sektor teknologi. Hal ini dibuktikan oleh Lembaga Riset Digital

Marketing Emarketer memperkirakan pada 2019 jumlah pengguna aktif handphone

di Indonesia akan meningkat 66% dari tahun 2015. Dampak negatif radiasi

handphone sangat berbahaya bagi manusia jika dibiarkan dalam jangka waktu yang

lama. Salah satu cara untuk mereduksi radiasi handphone dari gelombang

elektromagnetik yaitu dengan metode adsorpsi. Metode adsorpsi merupakan

metode penyerapan menggunakan adsorben. Adsorben yang dapat digunakan

adalah lidah mertua (Sansevieria trifasciata). Lidah mertua mengandung

pregnane glikosid yang mampu menyerap 107 unsur yang terkandung dalam

polusi udara termasuk sebagai penangkal radiasi. Pemanfaatan Sansevieria sebagai

terobosan baru dalam dunia industri handphone, yaitu case anti radiasi. Penurunan

gelombang radiasi handphone dapat dilihat dari aplikasi android Radiation Meter pada

handphone yang dipasang case Sansevieria. Hasil dari penelitian menunjukkan

terjadinya penurunan gelombang radiasi sebesar 5-10% pada pemakaian 35 menit

online dengan handphone terpasang case Sansevieria. Oleh karena itu, penggunaan

case ini efektif untuk dijadikan pereduksi gelombang radiasi elektromagnetik pada

handphone.

Kata kunci : handphone, radiasi, Sansevieria

RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442

Vol.1, No.1, Desember 2019:18-25

RJKM, Research Journal of KSI Mist| 19

1. PENDAHULUAN

Handphone merupakan alat

komunikasi dua arah dengan

menggunakan gelombang radio yang

juga dikenal dengan radio frequency

(RF). Gelombang radio inilah yang

menimbulkan radiasi dan banyak

kontroversi dari berbagai kalangan

tentang keamanan penggunaan

handphone. Dampak yang

ditimbulkan dari radiasi handphone

menurut sebuah laporan hasil

penelitian dari Swedia (European

Journal of Cancer Prevention, 2002)

menyebutkan bahwa pengguna

handphone lebih rentan terkena

kanker otak bila dibandingkan dengan

yang tidak pernah menggunakan sama

sekali (Enny, 2016). Pengukuran

kadar radiasi sebuah handphone

umumnya disebut dengan Specific

Absorption Rate (SAR). Pengukur

energi radio frekuensi atau RF yang

diserap oleh jaringan tubuh pengguna

handphone bisa dinyatakan sebagai

units of watts perkilogram (W/kg).

Batas SAR yang ditetapkan oleh

ICNIRP adalah 2.0 W/kg. Sementara

The Institute of Electrical and

Electronics Engineers (IEEE) juga

telah menetapkan sebuah standar baru

yang digunakan oleh negara Amerika

dan negara lain termasuk Indonesia

adalah dengan menggunakan batas

1.6W/kg. Penelitian mengenai

pengaruh gelombang mikro terhadap

tubuh manusia menyatakan bahwa

rata-rata telah mencapai 10 Wm/cm2

(Alit Swamardika, 2009). Oleh karena

pengurangan gelombang radio

tersebut sebelum sampai pada tubuh

manusia.

Salah satu cara untuk mereduksi

radiasi handphone yaitu dengan

metode adsorpsi. Metode adsorpsi

merupakan metode penyerapan

menggunakan adsorben. Adsorben

yang banyak digunakan adalah lidah

mertua. Tanaman lidah mertua dapat

ditemukan pada daerah dataran rendah

dan beriklim tropis, khususnya di

wilayah Kabupaten Bantul.

Pemanfaatan lidah mertua oleh

masyarakat masih jarang dilakukan,

umumnya hanya digunakan sebagai

tanaman hias. Berdasarkan penelitian

yang dilakukan oleh Purwanto pada

tahun 2006 lidah mertua mengandung

pregnane glikosid yang mampu

menyerap 107 unsur yang terkandung

dalam polusi udara, termasuk sebagai

penangkal radiasi. Lidah mertua

diketahui dapat menyerap paparan

radiasi berdasarkan penelitian yang

dilakukan (Retno, 2016) didapatkan

hasil bahwa Sansevieria trifastiaca

laurentii efektif mampu menurunkan

radiasi dari jarak 3 cm sebesar

13,74%.

Berdasarkan permasalahan

tersebut, perlu dilakukan suatu

penelitian untuk menurunkan jumlah

radiasi sebelum gelombang radio

tersebut masuk ke dalam tubuh

manusia. Penelitian ini mencoba

menerapkan metode adsorbsi untuk

mengetahui pengaruh penggunaan

lidah mertua sebagai adsorben untuk

mengurangi kadar radiasi dalam

gelombang radio handphone.

2. METODE PENELITIAN

Penelitian case Sansevieria

dilakukan di Laboraturium Penelitian

Fisika dan Kimia Fakultas MIPA

RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442

Vol.1, No.1, Desember 2019:18-25

RJKM, Research Journal of KSI Mist| 20

UNY serta pengambilan lidah mertua

di Yogyakarta dan Bantul. Waktu

yang diperlukan dalam penelitian ini

yakni selama 4 bulan. Proses

penelitian dilakukan dalam tiga tahap

yaitu pembuatan ekstrak, pembuatan

case dan pengujian case.

Subjek dan Objek Penelitian :

1. Subjek Penelitian, adalah

ekstrak pregnane glikosid pada

lidah mertua (Sansevieria).

2. Objek Penelitian, adalah

radiasi pada handphone.

Variabel Penelitian :

1. Variabel Bebas, penelitian

adalah variasi lama waktu

pemaparan ekstrak pregnane

glikosid dan penggunaan data

seluler dengan penggunaan

wifi.

2. Variabel Terikat. penelitian

adalah kadar radiasi pada

gelombang radio handphone.

3. Variabel Kontrol, penelitian

adalah penggunaan data seluler

dan penggunaan wifi.

Proses penelitian membutuhkan

beberapa peralatan seperti handphone

dengan aplikasi Radiation Meter

ukuran 5,6 x 2,8 x 0,3 inchi, rolling

pin, oven, neraca analitik, rotary

evaporator, erlenmeyer, gelas beker,

pengaduk, termometer, pisau,

saringan, baskom, termometer,

blender, corong buchner, labu

evaporator, evaporator dan pompa

vakum. Sedangkan bahan yang

digunakan yaitu tanaman lidah

mertua, etanol 96%, akuades, kertas

saring, sarung tangan masker,

alumunium foil, tepung maizena, lem

kayu, parfum dan plastik penutup.

Tahap-tahap yang dilakukan adalah

sebagai berikut:

1. Pembuatan Ekstrak Pregnane

Glikosid Pada Lidah Mertua

1) Tanaman lidah mertua segar

dicuci, dipotong, dan

dikeringkan pada suhu 60° C

selama 2 jam yang kemudian

diblender.

2) Serbuk lidah mertua direndam

dengan etanol 96% selama

3×24 jam yang menghasilkan

larutan ekstrak tanaman lidah

mertua.

3) Larutan yang dihasilkan

disaring dengan corong

buchner, sehingga

menghasilkan filtrat dan

ampas.

4) Filtrat tanaman lidah mertua

dipekatkan dengan rotary

evaporator pada suhu 78°C

selama 1 jam sehingga

menghasilkan ekstrak kasar

tanaman lidah mertua.

2. Pembuatan Case Handphone

dengan Ekstrak Pregnane Glikosid

1) Ekstrak kasar lidah mertua

dibuat dengan menghaluskan

lidah mertua kering

menggunakan blender

kemudian disaring agar

diperoleh ukuran lidah mertua

yang kecil

2) Ekstrak kasar lidah mertua dan

tepung maizena dicampur

dengan perbandingan

30%:70%, kemudian

ditambahkan ekstrak kental

lidah mertua sebanyak 5 mL,

lem kayu dan parfum

secukupnya, semua bahan

dicampur hingga kalis.

RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442

Vol.1, No.1, Desember 2019:18-25

RJKM, Research Journal of KSI Mist| 21

3) Adonan tersebut dipipihkan.

4) Adonan dicetak sesuai bentuk

yang diinginkan kemudian

dikeringkan.

3. Pengujian Ekstrak Pregnane

Glikosid Terhadap Radiasi

Handphone

1) Uji Radiasi

Uji radiasi dengan cara

memasangkan case ekstrak

sansevieria tifasciata pada

handphone yang sudah

dilengkapi dengan aplikasi

android Radiation Meter, pada

aplikasi ini akan didapatkan

besar paparan radiasi

handphone atau jumlah radiasi

yaitu Spesific Adsorpsion Rate

(SAR) dengan mengukur

densitas daya dan emisi

frekuensi radio dari ponsel

pada satuan W/kg. Batas aman

paparan dari SAR adalah 1,6

W/kg. Tingkat error pada

pembacaan aplikasi ini kurang

dari 1,0 SAR untuk 95%

handphone yang telah beredar

di pasaran.

2) Uji Pengaruh

Subjek diukur besarnya

radiasi sebelum dan sesudah

diberikan paparan ekstrak lidah

mertua melalui case

handphone. Waktu pengukuran

yang digunakan sesudah

diberikan paparan ekstrak lidah

mertua setiap 5 menit selama

35 menit.

Setelah case Sansevieria jadi,

dilakukan analisis parameter. Analisis

data penelitian menggunakan aplikasi

pengolah data SPSS Statistics Data

Editor analisis Anakova dengan

penyususan data, editing, coding,

saving dan tarbulating. Data sekunder

yang digunakan data yang keluar dari

alat. Data primer berasal dari

pengukuran radiasi elektromagnetik

pada waktu setiap 5 menit selama 35

menit.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

a. Hasil Penelitian

Produk yang dihasilkan berupa

case anti radiasi dengan berbahan

dasar ekstrak sansevieria yang

mengandung pregnane glikosid

sehingga mampu menyerap lebih

dari 107 unsur polutan yang

berbahaya bagi lingkungan, salah

satunya adalah radiasi yang

dipancarkan oleh handphone. Case

ini di desain unik dengan cover

motif batik modern yang

memudahkan konsumen

memberikan perlindungan bagi

handphone. Ditinjau dari segi

kemanfaatannya sendiri selain tidak

berbahaya bagi tubuh juga

memiliki nilai estetika yang

mengangkat kearifan budaya lokal.

Berdasarkan uji radiasi dengan

handphone yang sebelum

dilengkapi dengan Case

Sansevieria setiap 5 menit

pemakaian online wifi selama 35

menit :

Tabel 1. Hasil Sebelum Memakai Case

No. Waktu

(menit)

Radiasi

(W/kg)

1. 5 0,316

2. 10 0,398

3. 15 0,361

4. 20 0,251

5. 25 0,501

RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442

Vol.1, No.1, Desember 2019:18-25

RJKM, Research Journal of KSI Mist| 22

6. 30 0,200

7. 35 0,501

Berdasarkan uji radiasi dengan

handphone yang setelah dilengkapi

dengan Case Sansevieria setiap 5

menit pemakaian online wifi

selama 35 menit :

Tabel 2. Hasil Setelah Memakai Case

No. Waktu (menit) Radiasi (W/kg)

1. 5 0,010

2. 10 0,013

3. 15 0,025

4. 20 0,040

5. 25 0,035

6. 30 0,008

7. 35 0,008

Berdasarkan uji radiasi dengan

handphone yang sebelum

dilengkapi dengan Case

Sansevieria setiap 5 menit

pemakaian online data seluler

selama 35 menit :

Tabel 3. Hasil Sebelum Memakai Case

No. Waktu (menit) Radiasi (W/kg)

1. 5 0,158

2. 10 0,158

3. 15 0,200

4. 20 0,200

5. 25 0,251

6. 30 0,398

7. 35 0,251

Berdasarkan uji radiasi dengan

handphone yang setelah dilengkapi

dengan Case Sansevieria setiap 5

menit pemakaian online data

seluler selama 35 menit :

Tabel 4. Hasil Setelah Memakai Case

No. Waktu

(menit)

Radiasi

(W/kg)

1. 5 0,016

2. 10 0,020

3. 15 0,025

4. 20 0,020

5. 25 0,020

6. 30 0,020

7. 35 0,025

Setelah diperoleh data diatas,

kemudian dilakukan uji parametrik

menggunakan aplikasi pengolah

data SPSS Statistics Data Editor

analisis Anakova dengan

penyususan data, editing, coding,

saving dan tarbulating. Uji

Anakova dipilih karena Anakova

dapat melihat perbedaan hasil

radiasi menggunakan metode

memakai Case Sansevieria dan

tidak memakai Case Sansevieria

jika waktu pemakaian online

dikendalikan. Sebelum dilakukan

uji Anakova, perlu dilakukan uji

normalitas dan homogenitas agar

dapat melihat bahwa data yang

diperoleh berasal dari sampel yang

normal dan homogen sehingga

dapat dilakukan uji parametrik

Anakova.

Diketahui:

H0 : Case Sansevieria tidak efektif

dalam menurunkan tingkat radiasi

pada handphone

H1 : Case Sansevieria efektif

dalam menurunkan tingkat radiasi

pada handphone

Dapat diperoleh hasil analisis

Anakova pada penggunaan online

wifi adalah sebagai berikut :

Tabel 5. Hasil Uji Anakova Wifi

RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442

Vol.1, No.1, Desember 2019:18-25

RJKM, Research Journal of KSI Mist| 23

Dapat diperoleh hasil analisis

Anakova pada penggunaan online

data seluler adalah sebagai berikut :

Tabel 6. Hasil Uji Anakova Data Seluler

b. Pembahasan

Case Sansevieria merupakan

produk berupa case handphone

yang menggunakan serat dan

ekstrak daun lidah mertua dalam

proses pembuatannya. Case ini

mampu mereduksi gelombang

elektromagnetik termasuk radiasi

yang di timbulkan handphone.

Case ini memudahkan konsumen

dalam melindungi handphone.

Setelah Case Sansevieria siap

digunakan, maka langkah

selanjutnya adalah melakukan

pengujian case, uji yang dilakukan

merupakan uji pengaruh radiasi

dengan cara memasangkan case

ekstrak sansevieria tifasciata pada

handphone yang sudah dilengkapi

dengan aplikasi android Radiation

Meter, pada aplikasi ini akan

didapatkan besar paparan radiasi

handphone atau jumlah radiasi

yaitu Spesific Adsorpsion Rate

(SAR) dengan mengukur densitas

daya dan emisi frekuensi radio dari

ponsel pada satuan W/kg. Batas

aman papara dari SAR adalah 1,6

W/kg. Tingkat error pada

pembacaan aplikasi ini kurang dari

1,0 SAR untuk 95% handphone

yang telah beredar di pasaran.

Pengujian dilakukan dengan

variabel kontrol yaitu pada

pemakaian wifi dan data seluler.

Berdasarkan pengujian

didapatkan grafik hasil sebelum

dan setelah pemakaian dengan wifi

yaitu sebagai berikut :

Gambar 1. Grafik Setelah Dan

Sebelum

Berdasarkan grafik diatas

diketahui bahwa terdapat pengaruh

handphone yang memakai Case

Sansevieria, terjadi penurunan

kadar radiasi. Pada saat waktu 5

menit pertama pemakaian Case

Sansevieria terjadi penurunan

sebesar 3,16%, pada 10 menit

terjadi penurunan 3,27%, pada 15

menit terjadi penurunan 7,9%, pada

20 menit terjadi penurunan

15,94%, pada 25 menit terjadi

penurunan 6.39%, pada 30 menit

terjadi penurunan 4%, dan pada 35

menit terjadi penurunan 1,6%.

Berdasarkan pengujian

didapatkan grafik hasil sebelum

dan setelah pemakaian dengan data

seluler yaitu sebagai berikut :

RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442

Vol.1, No.1, Desember 2019:18-25

RJKM, Research Journal of KSI Mist| 24

Gambar 2. Grafik Setelah Dan Sebelum

Berdasarkan grafik diatas

diketahui bahwa terdapat pengaruh

handphone yang memakai Case

Sansevieria, terjadi penurunan

kadar radiasi. Pada saat waktu 5

menit pertama pemakaian Case

Sansevieria terjadi penurunan

sebesar 10,13%, pada 10 menit

terjadi penurunan 12,66%, pada 15

menit terjadi penurunan 12,5%,

pada 20 menit terjadi penurunan

10%, pada 25 menit terjadi

penurunan 7,97%, pada 30 menit

terjadi penurunan 5,03%, dan pada

35 menit terjadi penurunan 9,96%.

Uji parametrik yang dilakukan

menggunakan interval kepercayaan

sebesar 95% sehingga nilai α

sebesar 0,05. Dari data Tabel 5.

diperoleh nilai signifikasi sebesar

0,000 menunjukkan signifikasi < α

yang berarti bahwa H0 ditolak dan

H1 diterima, sehingga hasil statistik

bermakna bahwa terdapat

perbedaan antara metode yang

memakai Case Sansevieria dengan

metode yang tidak memakai Case

Sansevieria dan terdapat hubungan

antara wktu pemakaian dengan

hasil radiasi yaitu sebesar 0,798

dilihat dari R squared. Dari data

Tabel 6. diperoleh nilai signifikasi

sebesar 0,000 menunjukkan

signifikasi < α yang berarti bahwa

H0 ditolak dan H1 diterima,

sehingga hasil statistik bermakna

bahwa terdapat perbedaan antara

metode yang memakai Case

Sansevieria dengan metode yang

tidak memakai Case Sansevieria

dan terdapat hubungan antara wktu

pemakaian dengan hasil radiasi

yaitu sebesar 0,825 dilihat dari R

squared. Dari hasil tersebut dapat

ditarik kesimpulan bahwa Case

Sansevieria efektif dalam

menurunkan tingkat radiasi pada

handphone.

4. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang

telah dilakukan, maka dapat di

simpulkan bahwa penggunaan lidah

mertua sebagai adsorben berpengaruh

untuk mengurangi kadar radiasi dalam

gelombang radio pada handphone.

Kadar radiasi dalam gelombang radio

handphone sebelum berkisar 0,355

W/Kg dan setelah dilakukan adsorbsi

menggunakan lidah mertua turun

berkisar 0,019, dengan penurunan

sebesar 5,35%. Cara pembuatan case

handphone dengan menggunakan

ekstrak Sansevieria yaitu dengan

pembuatan ekstrak Sansevieria,

pembuatan case dan pengujian dengan

aplikasi Radiation Meter.

5. REFERENSI

Adawiyah, Ayun Robi’atul. 2013.

Universitas Diponegoro :

Jurnal Ilmiah Mahasiswa

vol.3.

Enny. 2014. Efek Samping

Penggunaan Ponsel.

Universitas Diponegoro :

RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442

Vol.1, No.1, Desember 2019:18-25

RJKM, Research Journal of KSI Mist| 25

Jurnal Ilmiah Mahasiswa.

Vol 11.

Ganes D. P. 2010. Pengaruh

Pemberian Ekstrak Kulit

Buah Delima Merah (Punica

granatum L.) Terhadap

Jumlah Sel Spermatid dan

Diameter Tubulus

Seminiferus Tikus Putih

(Rattus norvegicus) yang

Dipapar Gelombang

Elektromagnetik Ponsel.

Skripsi S1 Fakutas

Kedokteran Universitas

Sebelas Maret 2010:52.

Mustaka, Zulfitriany D., dan Alim D.

Abdullahi. 2012.

Optimalisasi Peran

Sansiviera masonia congo

Sebagai Penekan Sick

Building Syndrome Melalui

Cacah Rimpang. Bali :

Universitas Mahasaraswati

Retno, Printis. 2016.

Pengaruh Sansevieria

terhadap Penurunan Radiasi

Elektromagnetik di Jurusan

Kesehatan Lingkungan.

Sunardi, Kartika Sari. 2014. Pengaruh

Konsentrasi Larutan Ekstrak

daun Lidah Mertua terhadap

Absorbansi dan Transmitansi

pada Lapisan Tipis. Jakarta:

Seminar Nasional Fisika.

Triharyanto dan Sutrisno. 2007.

Sanseviera. Kultur Jaringan

untuk Jenis Langka, 67 Jenis

Sanseviera, Step by Step

Hidroponik, Kiat dan peluang

Usaha. Cet. I. PT. Jakarta :

Gramedia.

RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442

Vol.1, No.1, Desember 2019:26-31

RJKM, Research Journal of KSI Mist| 26

OPTIMASI EKSTRAK DAUN SUNGKAI UNTUK MENINGKATKAN PH

LARUTAN

Fellary Pangesti1) Merisa Rahma Mawaddah2)

1Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, UNY

email: [email protected]

2 Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, UNY

email: [email protected]

Abstrak

Seiring perkembangan ilmu dan informasi kandungan daun sungkai juga semakin

berkembang, seperti ditemukannya beberapa senyawa aktif yang dapat meredakan maag,

yaitu senyawa fenolik, tanin, flavonoid, alkaloid, steroid, dan saponin (R. Hemi Kusriani

dkk., 2017). Dengan kandungan sungkai yang sangat beragam dan tentu saja

bermanfaat, penulis ingin melakukan optimasi ekstrak daun sungkai untuk meningkatkan

pH larutan. Diharapkan pada penelitian ini akan dihasilkan sebuah artikel ilmiah/jurnal

yang memuat informasi kemampuan daun sungkai dalam meningkatkan pH larutan,

sehingga dikemudian hari dapat dijadikan referensi dalam penelitian-penelitian

selanjutnya. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Fakultas Matematika dan Ilmu

Pengetahuan Alam UNY dengan cara mengekstrak daun sungkai dengan aquadest steril

dengan metode infundasi sehingga didapatkan ekstrak daun sungkai dengan konsentrasi

10%, 20%, dan 30%. Pengujian ekstrak akan diaplikasikan pada larutan asam pada pH

0, 0,1, dan 0,4. . Hasil dari pengujian akan dianalisis menggunakan uji statistika SPSS

dengan menggunakan uji nonparametrik. Harapan dari penelitian ini adalah mengetahui

pengaruh dan kemampuan ekstraksi daun sungkai untuk meningkatkan pH.

Keywords : flavonoid, pH larutan, infundasi, ekstrak daun sungkai

RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442

Vol.1, No.1, Desember 2019:26-31

RJKM, Research Journal of KSI Mist| 27

1. PENDAHULUAN

a. Latar Belakang

Sumber daya alam yang belum

dimanfaatkan secara maksimal

contohnya, yaitu daun sungkai

(Peronema canescans) yang

termasuk dalam famili

Verbenaceae. Tumbuhan ini

merupakan tumbuhan khas

Indonesia yang dapat ditemukan di

Jawa, Sumatera, Kepulauan Riau,

dan Kalimantan (de Graaf dkk.,

1994). Sungkai merupakan

tanaman yang mudah dibudidaya,

yaitu secara vegetatif dengan stek

batang/cabang dengan tingkat

keberhasilan yang tinggi (Kartiko

dan Danu, 2002). Sebelumnya daun

sungkai hanya dimanfaatkan oleh

masyarakat lokal sebagai obat

penurun panas, obat pilek, obat

cacingan, dijadikan campuran air

mandi wanita setelah bersalin, obat

kumur, dan obat malaria (Wiart,

2006). Menurut Ningsih dkk.

(2013), hasil isolasi n-Heksan daun

P. canescens diperoleh satu

senyawa, yaitu isolat B1,

berdasarkan data pereaksi kimia

isolat B1 positif golongan senyawa

terpenoid memiliki aktifitas anti

bakteri. Daun muda sungkai juga

mengandung zat Flavonoid, yang

berperan besar sebagai pigmen

merah, biru dan ungu yang terdapat

pada sebagian besar tumbuhan

tingkat tinggi (Winkel-Shirley,

2001). Flavonoid memiliki efek

antipiretik, sebagaimana hasil

penelitian dari Owoyele (2008)

yang menyatakan bahwa bahan

aktif dari ekstrak Chromolaena

odorata yang memiliki aktivitas

analgesik, anti-inflamasi, dan

antipiretik adalah Flavonoid.

Pemanfaatan yang berbasis

kedaerahan dan hanya didasari oleh

keilmuan lokal membuat penulis

ingin mengetahui pengaruh

kandungan ekstrak daun sungkai

seperti yang sudah ditemukan

sebelumnya dengan

mengaplikasikannya pada laturan

asam pada pH tertentu dan

menemukan pengaruh dan

kemampuan ekstrak daun sungkai

dalam meningkatkan pH larutan.

b. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah di

atas, dapat ditarik tujuan berupa:

1. Untuk mengetahui pengaruh

dan kemampuan ekstraksi daun

sungkai dalam meningkatkan

pH larutan.

2. Untuk mengetahui konsentrasi

terbaik ekstraksi daun sungkai

yang mampu meningkatkan pH

larutan

c. Rumusan Masalah

Berdasarkan perumusan masalah di

atas, dapat ditarik rumusan masalah

berupa:

1. Mengetahui pengaruh dan

kemampuan ekstraksi daun

sungkai dalam meningkatkan

pH larutan.

2. Mengetahui konsentrasi

terbaik ekstraksi daun sungkai

yang mampu meningktkan pH

larutan.

2. METODE

Penelitian ini dilaksanakan di

Laboratorium FMIPA Universitas

Negeri Yogyakarta pada bulan Juli

hingga September 2019. Alat yang

RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442

Vol.1, No.1, Desember 2019:26-31

RJKM, Research Journal of KSI Mist| 28

digunakan yaitu pH stik, pH meter,

lateks, masker, labu ukur, tabung

reaksi dan rak, pipet tetes, gelas

beaker, spatula, panci, saringan,

kompor gas, timbangan analitik, dan

buret. Sedangkan bahan yang

digunakan diantaranya adalah daun

sungkai, Larutan HCL dengan pH 1,2

dan 3, aquadest, spons penutup.

Tahap pelaksanaan penelitian ini

dimulai dengan melakukan pemilihan

daun yang akan dikeringkan untuk

dijadikan sebagai larutan stok dari

daun sungkai. Setelah itu melakukab

ekstraksi daun sungkai dengan metode

infundasi. Setelah semuanya selesai

lalu dilanjutkan dengan melakukan

perlakuan terhadap 5 ml HCl oleh

ekstrak daun sungkai dari berbagai

konsentrasi. Tiap –tiap percobaan

diulang hingga lima pengulangan.

Setelah itu melakukan tabulasi data

untuk kemudian melakukan uji

normalitas, dikarenakan data yang

tersebar tidak normal maka

dilanjutkan dengan uji nonparametrik.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Berikut adalah hasil dari test

normalitas

1. Test of normaly pH A

2. Test of normaly pH B

3. Test of normaly pH C

Pada uji normalitas data pada tiga

perlakuan berbeda pH pengujian

dengan empat pengulangan

didapatkan hasil bahwa keempat

pengulangan tersebut tidak tersebar

secara normal oleh karena itu

dilakukan uji nonparametrik. Berikut

adalah hasil uji nonparametric dengan

Chi Square

3.1 Pengujian pada pH a (pH 0,4)

Gambar 3.1 Uji Chi Square pada pH 0,4

3.2 Pengujian pada pH b (pH 0,1)

Gambar 3.2 Uji Chi Square pada pH 0,1

RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442

Vol.1, No.1, Desember 2019:26-31

RJKM, Research Journal of KSI Mist| 29

3.3 Pengujian pada pH c (pH 1)

Gambar 3.3 Uji Chi Square pada pH 0

Pada ketiga uji diatas didapatkan

hasil berupa nilai Pearson Chi-Square

masing-masing adalah 0,532; 0,837;

1,000 > 0,05 sehingga tidak ada

hubungan antara variable A dan

variable B. Oleh karena itu, hasil ini

dapat disebutkan bahwa tidak ada

hubungan pengaruh antara konsentrasi

sungkai dan kenaikan pH larutan HCl.

Antioksidan merupakan senyawa

yang dapat menginaktifkan radikal

bebas yang dihasilkan oleh berbagai

proses normal tubuh (Osawa et al.,

1992). Berdasarkan mekanisme

kerjanya antioksidan terbagi atas tiga

bagian yaitu antioksidan primer,

sekunder dan tersier. Flavonoid

merupakan salah satu jenis

antioksidan sekunder yang bekerja

dengan cara mendonorkan proton

hidrogen dari gugus hidroksil

flavonoid (Amic, et al.2003).

Flavonoid berlaku sebagai antioksidan

karena sifatnya sebagai akseptor yang

baik terhadap radikal bebas. Proses

metabolisme dalam tubuh

memproduksi radikal bebas, atom atau

molekul elektron bebas ini dapat

digunakan untuk menghasilkan tenaga

dan beberapa fungsi fisiologis

diantaranya kemampuan membunuh

virus dan bakteri serta mengatur torus

otot polos pada organ tubuh dan

pembuluh darah. Namun karena

mempunyai tenaga yang sangat tinggi

dan kecenderungan untuk berikatan

dengan electron substrat lain, radikal

bebas ini akan merusak jaringan

normal terutama jika jumlahnya

banyak. Dengan demikian senyawa

flavonoid yang berlaku sebagai

antioksidan akan bekerja melalui

donor proton hydrogen pada radikal

bebas sehingga terbentuk senyawa

yang bersifat netral dan kemudian

memperbaiki kerusakan yang

ditimbulkan oleh radikal bebas.

Terpenoid merupakan komponen-

komponen tumbuhan yang

mempunyai bau dan dapat diisolasi

dari minyak atsiri. Minyak atsiri yang

berasal dari bunga pada awalnya

dikenal dari penentuan struktur secara

sederhana, yaitu dengan perbandingan

atom hidrogen dan atom karbon dari

suatu senyawa terpenoid yaitu 8:5 dan

dengan perbandingan tersebut dapat

dikatakan bahwa senyawa tersebut

adalah golongan terpenoid (Lenny,

2006). Senyawa ini merupakan

senyawa yang belum aktif dan

senyawa ini merupakan hormone yang

ada di dalam tumbuhan tidak

berpengaruh terhadap metabolisme

yang terjadi di dalam tubuh.

4. KESIMPULAN

Berdasarkan penelitian yang telah

dilakukan, dapat disimpulkan bahwa

tidak ada hubungan pengaruh antara

konsentrasi sungkai dan kenaikan pH

larutan HCl dikarenakan pada uji

nonparametrik yang telah dilakukan

diperoleh hasil berupa nilai Pearson

Chi-Square masing-masing adalah

0,532; 0,837; 1,000 > 0,05 sehingga

RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442

Vol.1, No.1, Desember 2019:26-31

RJKM, Research Journal of KSI Mist| 30

tidak ada hubungan antara variable A

dan variable B. Hasil yang didapat

tidak sesuai dengan hipotesis peneliti

yang memerkirakan bahwa pemberian

ekstrak sungkai pada konsentrasi

tertentu dan volume tertentu dapat

mengubah nilai pH HCl.

5. REFERENSI

Amic,D.2003. Structure-Radical

Scavenging Activity Relationship of

Flavonoids, Croatia Chemica Acta,

76(1).55-61.

Dinas Kehutanan Provinsi Lampung.

2006. Master Plan Taman Hutan

Raya Wan Abdul Rachman. Jakarta:

PT Laras Sembada.

Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna

Indonesia. Terjemahan: Badan

Litbang Kehutanan Jakarta. Jilid II

dan III. Cetakan kesatu. Jakarta:

Yayasan Sarana Wana Jaya.

Khopkar, S. M.1990.Konsep Dasar Kimia

Analik. Jakarta. UI-PRESS.

Kitagawa, I., N.I. Baek, K. Ohashi, M.

Sakagami, M. Yoshikawa, H.

Shibuya. 1996a. Chemical Structures

of Five New Resin-Glycosides,

Merremosides a, b, c, d, and e, from

the Tuber of Merremia mammosa

(Convolvulaceae). Chem: Pharm

Bull.

Kusriani, R Herni., As’ari Nawawi.,

Taufiq Turahman. 2017. Uji

Aktivitas Antibakteri Ekstrak dan

Fraksi Kulit Batang dan Daun

Sungkai (Peronema cenescans Jack)

Terhadap Staphylococcus Aureus

Atcc 25923 dan Escherichia Coli

ATCC 25922. Jurnal Farmasi

Galenika,2(1): 8-14.

Ningsih, A., Subehan, dan M. Natsir D.

2013. Potensi Antimikroba dan

Analisis

Spektroskopi Isolat Aktif Ekstrak

nHeksan Daun Sungkai (Peronema

Canescens) Terhadap Beberapa

Mikroba Uji.Fakultas Farmasi,

Universitas Hasanuddin, dalam

http://pasca.unhas.ac.id/jurnal/files/7

525bb97eeeac033efca9bf37ac523ba.

pdf Diakses tanggal 26 februari

2019.

Owoyele BV, Olubori M. Adebukola,

Adeoye A. Funmilayo and Ayodele

O. 2008. Anti-inflammatory

activities of ethanolic extract of

Carica papaya leaves.

Inflammopharmacology Journal, 16:

168–173.

Osawa,T., dan Namiki, M., 1981. A Novel

Type of Antioxidant Isolated from

Leaf Wax of Eucalypus Leaf, Agric,

Biol.Chem., 45(3), 735-739.

Plantamor. 2012. Informasi Spesies

sungkai, dalam

http://www.plantamor.com diakses

26 februari 2019.

Setyowati, Murti. 2010. Etnofarmakologi

dan pemakaian tanaman obat suku

dayak tunjung di Kalimantan Timur.

Jakarta: Puslit. Biologi – LIPI.NCIS

Wiart, Christophe. 2006. Medicinal Plants

of Asia and Pasific. Boca Raton:

CRC Press Taylor & Francis Group.

RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442

Vol.1, No.1, Desember 2019:26-31

RJKM, Research Journal of KSI Mist| 31

Winkel, Shirley B. 2002. Biosynthesis of

flavonoids and effect of stress, Curr

Opin Plant Biol. 5: 218-23.

Wirakartakusumah, Aman. 1992.

Peralatan dan Unit Proses Industri

Pangan. Bogor: Institut Pertanian

Bogor.

RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442

Vol.1, No.1, Desember 2019:32-41

RJKM, Research Journal of KSI Mist| 32

PEMANFAATAN BIJI SEMANGKA (Citrullus lanatus) SEBAGAI

ANTIPIRETIK PADA MENCIT (Mus musculus) YANG DIINDUKSI RAGI

ROTI

Talcha Ainun Rima Nurfajri1), Dwi Listiyani2), Mia Luvita Sari3)

Pendidikan IPA,Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, UNY

Email: [email protected]

Pendidikan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, UNY

Email : [email protected]

Pendidikan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan alam, UNY

Email : [email protected]

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh variasi kadar ekstrak biji semangka

sebagai antipiretik pada mencit yang diberi ragi roti. Demam merupakan penyakit yang

sering dialami oleh masyarakat. Pada umumnya masyarakat mengkonsumsi parasetamol

untuk menurunkan panas. Disisi lain parasetamol memiliki efek samping yang berbahaya

bagi kesehatan. Salah satu solusi yang dapat digunakan adalah penggunaan biji

semangka sebagai antipireptik dengan biaya lebih murah dan tidak menimbulkan efek

samping. Pada biji semangka memiliki kandungan mengandung karbohidrat, fenol

flavonoid, protein, serat, fosfor, dan zat besi. Biji semangka ini dapat digunakan sebagai

antipiretik (penurun panas). Metode penelitian ini dilakukan dengan cara penelitian

eksperimen pada mencit yang diberi ragi roti. Hewan uji yang digunakan adalah mencit

sebanyak 15 ekor dengan bulan dan berat badan kurang lebih 100g. Hewan uji dibagi

menjadi 5 kelompok, yaitu kelompok kontrol negatif (aquadest 2 ml), kelompok kontrol

positif (parasetamol 12,6 mg/100gBB), ekstrak biji semangka 0,5 ml/100g/BB mencit,

ekstrak biji semangka 1 ml/100g/BB mencit, ekstrak biji semangka 2 ml/100g/BB mencit.

Pengukuran suhu dilakukan sebelum pemberian ragi roti, 6 jam setelah pemberian ragi

roti, dan sampai 12 jam setelah perlakuan. Data penurunan suhu dianalisis dengan

menggunakan perbandingan rata-rata tiap perlakuan. Hasil penelitian yang telah

dilakukan maka didapatkan bahwa ekstrak biji semangka memiliki efek antipiretik terbaik

pada dosis 2 ml/100gBB mencit terhadap mencit yang diinduksi ragi roti.

Kata kunci : Biji Semangka, Antipiretik, Ragi Roti

RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442

Vol.1, No.1, Desember 2019:32-41

RJKM, Research Journal of KSI Mist| 33

1. PENDAHULUAN

Demam merupakan suatu

keadaan suhu tubuh diatas

normal sebagai akibat

peningkatan pusat pengatur suhu

di hipotalamus (Sodikin, 2012).

Penyakit-penyakit yang ditandai

dengan adanya demam dapat

menyerang sistem tubuh. Selain

itu demam mungkin berperan

dalam meningkatkan

perkembangan imunitas spesifik

dan nonspesifik dalam

membantu pemulihan atau

pertahanan terhadap infeksi

(Sodikin, 2012).

Badan Kesehatan Dunia

(WHO) memperkirakan jumlah

kasus demam di seluruh Dunia

mencapai 16 – 33 juta dengan

500 – 600 ribu kematian tiap

tahunnya (Setyowati, 2013). Di

Indonesia, penderita demam

sebanyak 465 (91.0%) dari 511

ibu yang memakai perabaan

untuk menilai demam pada anak

mereka sedangkan sisanya 23,1

saja menggunakan termometer

(Setyowati, 2013).

Penanganan terhadap demam

dapat dilakukan dengan tindakan

farmakologis, tindakan non

farmakologis maupun kombinasi

keduanya. Tindakan

farmakologis yaitu memberikan

obat antipiretik. Sedangkan

tindakan non farmakologis yaitu

tindakan tambahan dalam

menurunkan panas setelah

pemberian obat antipiretik.

Tindakan non farmakologis

terhadap penurunan panas

seperti memberikan minuman

yang banyak, ditempatkan dalam

ruangan bersuhu normal,

menggunakan pakaian yang

tidak tebal, dan memberikan

kompres.

Obat yang biasa digunakan

untuk menurunkan demam

adalah parasetamol dan asetosal.

Sekitar 175 juta tablet

parasetamol dikonsumsi oleh

masyarakat Indonesia setiap

tahunnya ketika gejala demam

muncul, karena cukup aman,

mudah didapat, dan harganya

terjangkau. Beberapa hasil

penelitian tentang parasetamol

akhir-akhir ini menemukan

bahwa meskipun cukup aman,

parasetamol memiliki banyak

efek samping. Selain itu, ada

kemungkinan kemiripan struktur

parasetamol dengan flavonoid

(Robinson 1991).

Biji buah semangka

mengandung karbohidrat, fenol

flavonoid, protein, serat, fosfor,

dan zat besi (Varghese et al.,

2013). Kandungan biji semangka

yang memiliki efek antipiretik

adalah flavonoid. Didapatkan

kandungan flavonoid dalam

mg/100g, pada biji semangka

sebanyak 40.16 ± 0.01; kulit

semangka sebanyak 8.71 ± 0.01;

dan dalam buahnya sebanyak

58.10 ± 0.33 (Johnson et al,

RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442

Vol.1, No.1, Desember 2019:32-41

RJKM, Research Journal of KSI Mist| 34

2012). Hasil uji secara in vitro

dari flavonoid golongan flavon

dan flavonol telah menunjukkan

adanya respon imun (Hollman et

al., 1996). Selain itu, buah

semangka banyak dikonsumsi

masyarakat di Indonesia.

Dengan jumlah produksi 30

ton/ha/tahun, maka bisa

diperkirakan limbah biji

semangka banyak terbuang

percuma (Erin, 2012). Para

petani dalam setiap

memproduksi biji semangka

kering dapat mencapai kwintalan

per harinya, pada saat musim

pasca panen datang. Saat ini, biji

semangka hanya dimanfaatkan

sebagai kwaci yang merupakan

makanan cemilan yang sudah

banyak dikenal masyarakat. Biji

semangka memiliki kandungan

yang bermanfaat bagi kesehatan,

namun pemanfaatannya masih

kurang bervariatif. Dengan

demikian, perlu dilakukan

diversifikasi pengolahan biji

semangka.

Penelitian ini menggunakan

mencit yang telah diberi ragi

roti. Mencit (Mus musculus)

adalah salah satu hewan yang

sering dijadikan sebagai hewan

percobaan. Pemilihan ragi roti

sebagai penginduksi demam

karena memiliki onset cepat

degan menimbulkan efek

demam 3-4 jam setelah

pemberian, selain itu sedian ragi

roti mudah terjangkau. Ragi

(Saccharomyces cereviceae)

sebagai agen penginduksi

memiliki molekul yang besar.

Saat diinjeksikan secara

subkutan pada tikus, molekul

ragi yang besar ini dapat

memicu proses pertahanan tubuh

terhadap molekul asing. Sistem

imun merespon ragi sebagai

pirogen eksogen yang kemudian

memicu demam (Maulidina

dkk., 2016).

Penggunaan parasetamol

pada pengobatan demam dapat

memberikan efek samping,

diantaranya dapat menurunkan

fungsi paru-paru, merusak

ginjal, dan dapat mengakibatkan

asma serta bronkitis.

Parasetamol juga bersifat toksik

di hati jika digunakan dalam

dosiss besar. Berbeda dengan

parasetamol, pemanfaatan biji

semangka sebagai obat

antipiretik tidak menimbulkan

efek samping, karena

menggunakan bahan alami tanpa

campuran bahan-bahan sintesis.

Berdasarkan latar belakang

diatas, diperlukan penelitian

tentang pemanfaatan biji

semangka sebagai antipiretik

pada mencit yang diberi ragi

roti. Penelitian ini menggunakan

biji semangka karena bahan

tersebut belum banyak

dimanfaatkan dan hanya menjadi

limbah di lingkungan.

2. METODE PENELITIAN

a. Desain Penelitian

RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442

Vol.1, No.1, Desember 2019:32-41

RJKM, Research Journal of KSI Mist| 35

Jenis penelitian yang

digunakan adalah penelitian

eksperimen yaitu memberi

perlakuan terhadap sampel

dan melakukan pengamatan

dampak perlakuan terhadap

sampel.

b. Waktu dan tempat

penelitian

Penelitian ini dilakukan

di peternakan sapi di

Laboratorium Kimia dan

Laboratorium Biologi

FMIPA UNY, waktu

penelitian ini dilakukan dari

bulan Maret sampai Jui

2019.

c. Subjek dan Objek Penelitian

Subjek dalam penelitian

ini adalah ekstrak biji

semangka. Sedangkan objek

dalam penelitian ini adalah

penurunan suhu tubuh

mencit.

d. Alat

Alat yang digunakan

yaitu gelas beker, gelas

ukur, timbangan analitk,

spuit, stopwatch, bejana

maserasi, cawan porselin,

termometer, mortar, batang

pengaduk, pipet tetes dan

penangas.

e. Bahan

Dalam penelitian ini,

bahan yang digunakan

adalah semangka, etanol

70%, mencit (Mus

musculus), makanan hewan

uji (pelet), aquadest, tablet

paracetamol, ragi roti.

f. Persiapan Biji Semangka

Biji semangka yang telah

dikumpulkan, dicuci hingga

bersih dengan air mengalir,

dikeringkan tanpa terkena

sinar matahari langsung,

kemudian di serbukkan.

g. Ekstrasi Sampel

Simplisia biji semangka

disediakan sebanyak 50 g

lalu dimasukkan ke dalam

wadah maserasi, direndam

dengan etanol 70% hingga

seluruh simplisia terbasahi

dan ditambahkan kembali

etanol 70% hingga batas

pelarut 2 cm di atas

simplisia. Wadah maserasi

ditutup dan disimpan selama

24 jam di tempat terlindung

dari sinar matahari sambil

diaduk sekali-kali.

Selanjutnya disaring,

dipisahkan antara ampas

dan filtratnya. Ampas

diekstraksi kembali dengan

etanol 70% dengan jumlah

yang sama. Hal ini terus

dilakukan hingga cairan

penyari tampak bening

h. Uji Aktivitas Antipiretik

Hewan uji yang

digunakan yaitu mencit

(Mus musculus) jantan yang

sehat sebanyak 15 ekor

dengan bobot badan 100

gram dan berumur sekitar 3-

4 bulan. Semua hewan uji

dilakukan pengukuran suhu

rektal awal sebelum

RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442

Vol.1, No.1, Desember 2019:32-41

RJKM, Research Journal of KSI Mist| 36

penyuntik ragi roti. Hewan

uji disuntik ragi roti 0.5 ml

secara intramuskular pada

bagian paha untuk

menginduksi terjadinya

demam. Suhu demam

(≥1°C) pada keseluruhan

hewan uji didapatkan 5 jam

setelah induksi. Setelah

didapatkan suhu demam,

seluruh hewan uji diberikan

bahan uji sesuai dengan

kelompok. Mencit dibagi ke

dalam 5 kelompok

perlakuan, tiap kelompok

terdiri dari 3 ekor mencit

jantan yang ditentukan

secara acak. Kelompok 1

dan 2 sebagai kontrol

sedangkan kelompok 3–5

sebagai kelompok

perlakuan.

i. Perlakuan Hewan Coba

Hewan dalam 1

kelompok ditempatkan

bersama dalam 1 kandang.

Pada kelompok 1 sebagai

kontrol negatif dan

kelompok 2 sebagai kontrol

positif sedangkan kelompok

3 sampai 5 diberi ekstrak

etanol biji semangka secara

oral sesuai dengan tingkatan

dosis.

• Kelompok 1 : diberi

aquadest 1ml

• Kelompok 2 : diberi

parasetamol 12,6 mg/

200 grBB tikus

• Kelompok 3 :

diberikan 0,5 ml/100

gr BB mencit ekstrak

etanol biji semangka

• Kelompok 4 :

diberikan 1 ml/100 gr

BB mencit ekstrak

etanol biji semangka

• Kelompok 5 :

diberikan 2 ml/ 100 gr

BB mencit ekstrak

etanol biji semangka

j. Teknik Analisis Data

Analisa data pada

penelitian ini dilakukan

menggunakan SPSS.

Langkah pertama adalah

menghitung rata-rata data

tiap perlakuan. Kemudian

dilanjutkan membuat grafik

dari keseluruhan data untuk

dibandingkan dengan

variabel kontrol. Hasil dari

perbandingan data tersebut

akan didapatkan suatu

kesimpulan.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini dilakukan untuk

mengetahui pengaruh pemberian

ekstrak biji semangka terhadap

penurunan suhu tubuh mencit.

Penelitian ini menggunakan

mencit sebagai hewan

percobaan, yang dibagi menjadi

lima kelompok yaitu kelompok

kontrol positif dan kelas kontrol

negatif. Berikut adalah hasil

pengukuran rata-rata suhu tubuh

mencit.

RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442

Vol.1, No.1, Desember 2019:32-41

RJKM, Research Journal of KSI Mist| 37

Tabel 1. Rata-Rata Suhu Tubuh Mencit

A

(Dosis 1)

B

(Kontrol

Positif)

C

(Kontrol

Negatif)

D

(Dosis 2)

E

(Dosis 3)

Suhu Awal 36,6 36 36,67 36,23 36,43

Suhu Suntik 37,97 37,87 38,3 37,4 38

6 Jam 36,53 37,5 37,63 36,1 36,17

12 Jam 35,03 35,1 37,13 34,47 36,03

Pada penelitian ini hasil

pengukuran suhu tubuh mencit

pada kondisi awal (T1)

menunjukan suhu rata-rata

kelompok perlakuan dosis 1 36,6 oC, kelompok dosis 2 36,2 oC,

kelompok dosis 3 36,4 oC,

kelompok kontrol positif 36 oC

dan kelompok kontrol negatif

36,67 oC. Untuk mengetahui

pengaruh antipiretik ekstrak biji

semangka (Citrullus lanatus)

terhadap penurunan suhu tubuh

mencit harus dilakukan pada

tikus yang kondisinya dalam

keadaan demam. Oleh karena itu

diperlukan demam buatan untuk

mendemamkan tikus yaitu

dengan metode pemberian ragi

roti. Pengujian antipiretik

dilakukan dengan menginduksi

suspensi ragi 20% secara

subkutan. Setelah 16 jam suhu

tubuh tikus mengalami kenaikan

akibat dari induksi. Ragi

(Saccharomyces cereviceae)

sebagai agen penginduksi

memiliki molekul yang besar.

Saat diinjeksikan secara

subkutan pada tikus, molekul

ragi yang besar ini dapat

memicu proses pertahanan tubuh

terhadap molekul asing. Sistem

imun merespon ragi sebagai

pirogen eksogen yang kemudian

memicu demam (Maulidina

dkk., 2016). Setelah pemberian

ragi diperoleh rata-rata suhu

pada masing-masing kelompok

perlakuan dosis I, dosis II, dosis

III, kelompok kontrol positif dan

kelompok kontrol negatif secara

berturut-turut 37,9 oC; 37,4 oC;

38 oC; 37,8 oC; dan 38,3 oC.

Data tersebut menunjukan

terjadinya kenaikan suhu tubuh

mencit akibat diinduksi ragi roti.

RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442

Vol.1, No.1, Desember 2019:32-41

RJKM, Research Journal of KSI Mist| 38

Grafik 1. Rata-Rata Suhu Tubuh Mencit

Berdasarkan data yang

diperoleh, dosis ekstrak biji

semangka sebesar 0,5 ml/100

gBB, 1 ml/100 gBB dan 2

ml/100 gBB mampu

menghasilkan efek penurunan

suhu tubuh tikus. Pada dosis 0,5

dan 1 mL/100 gBB suhu tubuh

mengalami penurunan di 6 jam

pertama setelah perlakuan.

Penurunan suhu tubuh tikus

terus terjadi hingga 12 jam

setelah perlakuan. Pada dosis 2

ml/100 gBB suhu tubuh tikus

mengalami penurunan pada 6

jam setelah perlakuan dan

mengalami penurunan yang

tidak begitu signifikan hingga 12

jam setelah perlakuan. Dosis

ekstrak 0,5 dan 1 mL/100 gBB

bekerja efektif memberikan

aktivitas antipiretik pada 6 jam

pertama dan kemampuan

mengembalikan suhu tubuh tikus

menjadi normal (suhu tubuh

tikus sebelum induksi)

sedangkan dosis 2 ml/ 100 g

bekerja lebih cepat dengan

menurunkan suhu tubuh tikus di

6 jam setelah perlakuan dan

penurunan suhu tubuh berjalan

lebih lambat hingga 12 jam

setelah perlakuan. Sehingga

dapat dikatakan ekstrak biji

semangka memiliki aktivitas

antipiretik. Hal ini didasarkan

atas perbandingan suhu tubuh

tikus kontrol negatif dengan uji.

Pada tikus kontrol negatif, suhu

tubuh tikus setelah induksi tidak

mengalami penurunan yang

signifikan hingga 12 jam setelah

perlakuan. Berdasarkan literatur,

kondisi pireksia yang

diakibatkan oleh induksi ragi

dapat bertahan hingga 6 jam.

Akan tetapi ekstrak biji

semangka mempengaruhi

kondisi pireksia dengan

menurunkan suhu tubuh tikus.

Penurunan suhu rektal pada

pemberian parasetamol lebih

signifikan dibandingkan dengan

kelompok yang diberi dosis

ekstrak biji semangka 0,5, 1 dan

2 ml/100 gBB. Berdasarkan

hasil penelitian yang didapat,

efek antipiretik dari ekstrak biji

32

33

34

35

36

37

38

39

Suhu Awal SuhuDemam

6 Jam 12 Jam

A

B

C

D

E

RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442

Vol.1, No.1, Desember 2019:32-41

RJKM, Research Journal of KSI Mist| 39

semangka ini diduga karena

adanya senyawa flavonoid yang

terkandung dalam bij semangka.

Hasil penelitian Adesokan tahun

2008 membuktikan bahwa

flavonoid dapat bersifat

antipiretik. Selain flavonoid,

efek antipiretik dari biji

semangka juga mungkin

disebabkan oleh kandungan

kimia lainnya. Oleh karena itu,

perlu dilakukan penelitian lebih

lanjut mengenai kandungan

kimia lain yang berperan sebagai

antipiretik beserta mekanisme

kerjanya.

4. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian

yang telah dilakukan maka dapat

disimpulkan bahwa ekstrak biji

semangka (Citrullus lanatus)

memiliki efek antipiretik terbaik

pada dosis 2 ml/100 g BB mencit

terhadap mencit yang diinduksi

ragi roti.

5. REFERENSI

Artés F, Pedro A, Robles PA,

Alejandro G, Callejasa T. Low

UV-C illumination for keeping

overall quality of fresh-cut

watermelon. Postharvest Biol

Technol. 2010;55:114–20.

Carbonetti & Nicholas H. 2010.

Pertussis toxin and adenylate

cyclase toxin : key virulence

factor of Bordatella pertussis

and cell biology tool.

NationalInstitutes of Health,

vol. 5, pp. 455-469.

Dawud, F., Bodhi, W., Lolo, W.A.

(2014). Uji Efek Antiinflamasi

Ekstrak Etanol Kulit Buah

Mahkota Dewa terhadap

Edema Kaki Tikus Putih

Jantan. Program Studi Farmasi

FMIPA Unsrat Manado.

Deshmukh, 2015. Translation of

Basic and Clinical

Pharmacology Eight Edition

Alih bahasa oleh Bagian

Farmakologi Fakultas

kedokteran Universitas

Airlangga. Jakarta: Salemba

Medika.

Dinarello, C.A., Gelfand, J.A., 2011,

Fever and Hyperthermia.

Dalam: Kasper DL, Fauci AS,

Longo DL, Braunwald

E,Hauser SL, Jameson JL,

editor. Harrison’s Principles of

Internal Medicine. Ed.18.

USA: McGraw-Hill

Companies: 143- 147.

FAO,Legumes in Human Nutrition:

Food and Agricultural

Organization Report of the

United Nations, 1994

Freddy IW. 2007. Analgesik,

antipiretik, antiinflamasi

nonsteroid dan obat pirai.

Farmakologi dan Terapi, Edisi

ke-5. Jakarta : Bagian

Farmakologi, Fakultas

RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442

Vol.1, No.1, Desember 2019:32-41

RJKM, Research Journal of KSI Mist| 40

Kedokteran, Universitas

Indonesia

Gunawan, S.G., Setiabudy, R.,

Nafrialdi, dan Elysabeth. 2007.

Farmakologi dan Terapi, 5 th

ed. Jakarta : Departemen

Farmakologi dan Terapeutik

Fakultas Kedokteran,

Universitas Indonesia.

Hay, W. W., Levin, M. J.,

Sondheimer, J. M., Deterding,

R. R., 2007. Lange : Current

Diagnosis and Treatment in

Pediatrics. 18th edition. Mac

Graw Hills.

Hollman, P.C.H, M.G.L. Hertog and

M.B. Katan, 1996. Analysis

and Health Effects of

Flavonoids. Food Chemistry,

57 (1) : 43-46.

James dkk. 2008. Prinsip-prinsip

Sains untuk Keperawatan. Alih

Bahasa Wardhani. Jakarta :

Penerbit Erlangga.

Johnson J. T., Iwang E. U., Hemen J.

T., Odey M. O., Efiong E. E.

and Eteng, O. E. Evaluation of

anti-nutrient contents of

watermelon Citullus lanatus.

Annals of Biological Research,

2012, 3 (11):5145- 5150

Katzung, B. G., 2004. Farmakologi

Dasar dan Klinik Edisi XIII.

Malole, M.B.M., Pramono C.S.U.,

1989. Penggunaan Hewan-

hewan Percobaan di

Laboratorium. Bogor : PAU

Pangan dan Gizi, IPB.

Mradu, G., Dalia, B., Arup, M. 2013.

Studies of Anti-Inflammatory,

Antipyretic and Analgesic

Effect of Aqueous Extract of

Traditional Herbal Drug on

Rodents, JInt Res Pharm;

4(3):113-120.

Priambodo, Swastiko. 1995.

Pengendalian Hama Tikus

Terpadu. Jakarta: Penebar

Swadaya .

Robinson T. 1991. Kandungan

organik tumbuhan tinggi. Edisi

ke-6. Penerbit ITB Press,

Bandung.

Sodikin.2012.Prinsip Perawatan

Demam Pada

Anak.Yogyakarta:Pustaka

Pelajar

Setyowati, Lina. 2013. Hubungan

Tingkat Pengetahuan Orang

Tua Dengan Penanganan

Demam Pada Anak Balita Di

Kampung Bakalan Kadipiro

Banjarsari Surakarta.Skripsi.

Surakarta : STIKES PKU

Muhamadiah Surakarta

Varghese S, Narmadha R, Gomathi

D, Kalaiselvi M, Devaki K

(2013). Phytochemical

screening and HPTLC finger

RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442

Vol.1, No.1, Desember 2019:32-41

RJKM, Research Journal of KSI Mist| 41

printing analysis of Citullus

lanatus (Thunb.) seed. J. Acute

Dis. 2(2)122-126.

RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442

Vol.1, No.1, Desember 2019:42-46

RJKM, Research Journal of KSI Mist| 42

PENGARUH PEMBERIAN PAKAN FERMENTASI LIMBAH AMPAS

BIR TERHADAP PENINGKATAN PERTUMBUHAN AYAM PEDAGING

Yustia Pramesti1), Melati Arifina Alanis2), Ferawati Tri Ningsih3)

1Pendidikan IPA, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta

email: [email protected]

2Pendidikan IPAFakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta

email: [email protected]

3Pendidikan Kimia, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta

email: [email protected]

Abstrak

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki jumlah penduduk terbesar ketiga

di dunia. Persaingan di era gloabalisasi yang semakin meningkat menyebabkan

perlunya peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM). Peningkatan kualitas

sumber daya manusia perlu dilakukan terutama dalam gizi makanan yaitu protein

hewani. Permintaan akan konsumsi daging ayam setiap harinya semakin meningkat.

Akan tetapi, hal tersebut tidak diimbangi dengan pengiriman daging yang stabil setiap

hari dari rumah potong hewan dikarenakan mahalnya harga pakan dan lamanya proses

penggemukan. Banyak limbah agroindustri yang masih mengandung banyak nutrisi yang

kurang dimanfaatkan oleh peternak salah satunya yaitu limbah ampas bir. Tujuan

penelitian ini yaitu untuk mengetahui pengaruh pemberian pakan yang berasal dari

limbah ampas bir yang difermentasi dengan menggunakan molase terhadap peningkaan

pertumbuhan ayam pedaging. Limbah ampas bir mampu meningkatkan pertumbuhan

berat ayam potong antara 1,3-1,8 ons perminggun. Limbah ampas bir memiliki

kandungan yang dibutuhkan oleh ayam. Pakan limbah ini sesuai untuk meningkatakn

pertumbuhan berat badan ayam potong.

Kata Kunci: Pakan, Ayam Pedaging, Ampas Bir

RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442

Vol.1, No.1, Desember 2019:42-46

RJKM, Research Journal of KSI Mist| 43

1. PENDAHULUAN

Indonesia merupakan salah satu

negara yang memiliki jumlah

penduduk terbesar ketiga di dunia.

Jumlah penduduk Indonesia yang

besar ini membuat persaingan di era

globalisasi semakin meningkat.

Persaingan di era gloabalisasi yang

semakin meningkat menyebabkan

perlunya peningkatan kualitas Sumber

Daya Manusia (SDM). Peningkatan

kualitas sumber daya manusia mulai

dilakukan oleh pemerintah Indonesia

melalui beberapa bidang yaitu

pendidikan, kesehatan dan juga

perbaikan gizi. Perbaikan gizi

dilakukan dengan meningkatkan

sumber gizi yang ada saat ini. Salah

satu sumber gizi yang masih perlu

diperbaiki yaitu protein hewani.

Protein hewani ini salah satunya yaitu

yang berasal dari daging ayam.

Menurut Badan Pusat Statistika, rata-

rata konsumsi per kapita seminggu

daging ayam selalu meningkat pada

tahun 2013 (0,078 kg), 2014 (0,086

kg), 2015 (0,103 kg), 2016 (0,111 kg),

dan 2017 (0,124 kg).

Jumlah peternakan di Indonesia

setiap tahunnya mengalami

peningkatan. Akan tetapi, yang

menjadi problematika umum bagi

usaha peternakan ayam di Indonesia

dewasa ini yaitu harga pakan yang

semakin tinggi, ketersediaan bahan

pakan ternak yang terbatas dan juga

sistem-sistem pemeliharaan yang

masih tradisional. Padahal jumlah

permintaan akan konsumsi daging

ayam setiap harinya semakin

meningkat.

Pakan merupakan hal utama dalam

tata laksana pemeliharaan, apabila

kebutuhan pakan tidak terpenuhi maka

akan berdampak pada status gizi

ternak. Status gizi ternak merupakan

ukuran keberhasilan dalam

pemenuhan nutrisi untuk ternak yang

diindikasikan oleh bobot tubuh dan

tinggi badan ternak. Status gizi juga

didefinisikan sebagai status kesehatan

yang dihasilkan oleh keseimbangan

antara kebutuhan dan masukan

nutrien. Pakan yang baik adalah pakan

yang kandungan gizinya dapat diserap

tubuh dan mencukupi kebutuhan

ternak sesuai status fisiologisnya.

Nilai gizi bahan pakan bervariasi,

maka penyusunan bahan pakan yang

baik adalah ketepatan memasangkan

satu jenis bahan pakan dengan bahan

pakan lain untuk memenuhi kebutuhan

nutrisinya.

Limbah ampas bir merupakan

limbah agroindustri. Limbah ampas

bir ini memiliki kandungan gizi yang

dapat dimaksimalkan dengan proses

fermentasi menggunakan limbah dari

agroindustri yaitu molase. Fermentasi

limbah ampas bir ini nantinya akan

meningkatkan kandungan dari gizi

pakan tersebut. Menurut Juwono

(2007) ampas bir merupakan salah

satu limbah industri pengolahan hasil

pertanian yakni pembuatan bir dengan

bahan baku 17 barley, beras dan

jagung. Menurut Lubis (1992)

kandungan ampas bir antara lain

berupa protein 25,9%, serat kasar

15 %. lemak 6,50 % dan abu 3,40 %.

Limbah ampas bir memiliki potensi

yang cukup besar sebagai sumber

pakan. Limbah ampas bir ini dapat

dimanfatkan, untuk meningkatkan

kebutuhan protein hewani menuju

Indonesia Emas 2045 melalui

RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442

Vol.1, No.1, Desember 2019:42-46

RJKM, Research Journal of KSI Mist| 44

peningkatan kualitas SDM yang

dimiliki bangsa ini. Berdasarkan

permasalahan di atas, maka penelitian

ini bertujuan untuk mengetahui

“Pengaruh Pemberian Pakan Dari

Limbah Ampas Bir Terhadap

Pertumbuhan Ayam Pedaging”.

Dengan mengetahui pengaruh

pemberian pakan fermentasi limbah

ampas bir ini nantinya apakah

berpengaruh terhadap pertumbuhan

berat badan ayam atau tidak. Proses

pembuatan pakan dilakukan dengan

cara fermentasi yang bertujuan pakan

dapat disimpan dalam jangka waktu

yang lama. Pakan ini nantinya kan

memenuhi kebutuhan potein hewani

melalui daging ayam untuk

meningkatkan kualitas SDM menuju

Indonesia emas 2045 dan

meningkatkan daya saing bangsa

Indonesia dengan bangsa lain didunia.

2. METODE

Jenis penelitian yang digunakan

adalah penelitian eksperimen. Subjek

dalam penelitian ini adalah fermentasi

limbah ampas bir dan objek dalam

penelitian ini adalah pertumbuhan

berat badan ayam pedaging. Variabel

bebas penelitian yang digunakan

adalah pemberian pakan fermentasi

dengan pemberian pakan konstrat dan

bekatul dengan variabel terikat yaitu

peningkatan pertumbuhan ayam

pedaging yang diberikan pakan

fermentasi dari limbah ampas bir

dengan pakan konsentrat dan bekatul.

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan

Mei sampai Juni di Pongangan,

Wates, Magelang Utara, Kota

Magelang.

Alat yang digunakan adalah

penggiling pakan, mesin pemotong,

karung, pengaduk dari plastik, mesin

penyaring/ayakan, mesin pengering

(oven), ember, nampan. Sedangkan

bahan yang dibutuhkan adalah premik,

dedak halus, ampas bir.

Pada pembuatan pakan dengan

bahan baku limbah ampas bir terdapat

enam tahap. Tahap pertama yaitu

menimbang semua bahan. Selanjutnya

memasukkan bahan dedak halus dan

ampas bir dalam mesin penggiling.

Lalu bahan tersebut ditambahkan

dengan sedikit air dan premik,

kemudian menunggu hasil

penggilingan sampai halus. Tahap

selanjutnya memasukkan hasil

penggilingan ke dalam karung dan

menutup rapat selama 7 hari.

Selanjutnya menggeringkan bahan

yang telah difermentasi menggunakan

mesin oven. Lalu memasukkan pakan

fermentasi yang telah kering ke dalam

karung atau wadah plastik yang

bertujuan untuk menyimpan pakan

agar tahan lama. Pakan fermentasi

siap untuk dijadikan pakan ayam.

Takaran pakan fermentasi

diberikan sesuai dengan berat badan

ternak ayam yaitu 2% dari berat badan

ayam setiap harinya. Sebagai contoh,

untuk ayam dengan berat badan 4 kg

akan diberikan pakan fermentasi 2%

dari 4 kg yaitu 80 gram. Pakan

fermentasi diberikan tidak sekali

makan, tetapi dengan aturan pagi dan

sore hari, dengan perbandingan pagi

hari dan sore hari 25%:75%. Contoh,

pakan fermentasi gram/hari maka

dibagi menjadi 20 gram pada pagi hari

dan 60 gram pada sore hari.

Sedangkan untuk air minum dibuat

RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442

Vol.1, No.1, Desember 2019:42-46

RJKM, Research Journal of KSI Mist| 45

nonstop 24 jam dengan memanfaatkan

hukum archimedes pada bak

penampungan air.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam penelitian yang sudah

dilakukan, dicapai hasil sebagai

berikut:

Tabel 1. Pertambahan Berat Ayam yang

Diberikan Kosentrat dan Bekatul

Minggu

ke-

Jumlah ayam setiap

minggu (Kg)

A B C

Mula-

mula

0,5 0,53 0,51

1 0,62 0,64 0,64

2 0,76 0,79 0,75

3 0,88 0,89 0,87

4 0,98 1 1

Tabel 2. Pertambahan Berat Ayam yang

Diberikan Pakan Limbah Ampas Bir

Minggu

ke-

Jumlah berat Ayam

setiap minggu (Kg)

A B C

Mula-

mula

0,52 0,53 0,51

1 0,70 0,69 0,69

2 0,85 0,83 0,81

3 1,08 0,99 0,95

4 1,22 1,20 1,10

Dari data yang didapatkan terlihat

jelas perbedaan pertambahan bobot

ayam yang diberi pakan biasa

(kosentrat dan bekatul) dan ayam yang

diberi pakan limbah ampas bir. Ayam

yang diberi pakan kosentrat dan

bekatul mengalami kenaikan berat

badan rata-rata sebesar 1 -1,4

ons/minggu, sedangkan ayam yang

diberi pakan limbah ampas bir

mengalami kenaikan rata-rata setiap

Ayam Pedaging sebesar 1,3-1,8

ons/minggu. Ini sama artinya bahwa

pertumbuhan ayam setelah pemberian

pakan biasa memberikan kenaikan

rata-rata 1,3 ons setiap harinya,

sedangkan pertumbuhan Ayam

Pedaging yang diberi pakan limbah

ampas bir mampu menghasilkan

peningkatan rata-rata 1,7 ons setiap

harinya. Dari hasil yang didapatkan

terlihat bahwa pakan yang diberikan

ini sesuai dengan target yang

diinginkan dan mampu mempercepat

proses pertumbuhan ayam. Hasil yang

diperoleh menunjukkan bahwa pakan

ayam dari limbah ampas bir mampu

meningkatkan pertumbuhan ayam

potong dibandingkan pakan biasa.

Jadi pakan ini sesuai dan cocok untuk

membantu para peternak ayam dalam

mempercepat proses pertumbuhan

daging ayam potong. Dilihat dari hasil

yang didapat ini menunjukkan bahwa

pakan ini memberikan hasil yang

signifikan untuk pertumbuhan daging

ayam.

4. KESIMPULAN

Limbah ampas bir mampu

meningkatkan pertumbuhan berat

ayam potong antara 1,3-1,8 ons

perminggun. Limbah ampas bir

memiliki kandungan yang dibutuhkan

oleh ayam. Pakan limbah ini sesuai

untuk meningkatakn pertumbuhan

berat badan ayam potong.

5. REFERENSI

Badan Pusat Statistika. 2018. Diakses

melalui

https://www.bps.go.id pada

tanggal 7 Maret 2019 pukul

10.03 WIB.

RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442

Vol.1, No.1, Desember 2019:42-46

RJKM, Research Journal of KSI Mist| 46

Juwono. 2007. Pengaruh Penggunaan

Ampas Bir dalam Ransum

Terhadap Kecernaan Bahan

Kering dan Bahan Organik

Kelinci New Zealand White

Jantan. Skripsi. Surakarta:

Fakultas Pertanian

Universitas Sebelas Maret

Surakarta.

Lubis, D. A., 1992. Ilmu Makanan

Ternak. Jakarta: PT

Pembangunan.

RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442

Vol.1, No.1, Desember 2019:47-55

RJKM, Research Journal of KSI Mist| 47

PELATIHAN PONI BATHO SEBAGAI SOLUSI PRODUKSI SAYUR

MANDIRI DI PERMUKIMAN PADAT PENDUDUK

Septiah Winda Ningrum1), Fidyanti Retno Palupi2), Zulfa Mahendra3), Rahmanisa Laila

Fitri4), Muhamad Arif Nur Rokhman5)

1Pendidikan Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri

Yogyakarta

email: [email protected]

2Pendidikan Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri

Yogyakarta

email: [email protected]

3Pendidikan Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri

Yogyakarta

email: [email protected]

4Pendidikan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri

Yogyakarta

email: [email protected]

5Pendidikan IPA, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri

Yogyakarta

email: [email protected]

ABSTRAK

Kuningan merupakan salah satu padukuhan yang terletak di Desa Caturtungal,

Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Kondisi

permukiman di pedukuhan ini warga sangat padat. Banyak didirikan perumahan, hotel,

dan kost yang mayoritas dikelola oleh ibu-ibu ibu rumah tangga. Selain itu, pedukuhan

ini berada di lingkungan perguruan tinggi, sehingga banyak mahasiswa yang tinggal di

sana. Hal ini memberikan dampak terhadap masyarakat terkait dengan keterbatasan

lahan. Padahal, sejalan dengan hal tersebut, fakta di lapangan menyatakan bahwa

konsumsi sayuran masyarakat Kuningan cukup tinggi. Untuk mengatasi permasalahan

tersebut, salah satu cara yang dapat digunakan adalah dengan bercocok tanam sayuran

secara hidroponik. Hidroponik adalah sistem menanam dengan media air. Sistem

hidroponik sederhana yang ditawarkan adalah dengan menggunakan baskom sebagai

tempat air dan tanaman yang dibudidaya. Program penanaman dengan hidroponik

baskom ini dinamakan Poni Batho (Hydroponic Basin Method). Poni Batho merupakan

salah satu program untuk ibu rumah tangga yang bertujuan dapat memproduksi sayur

secara mandiri sehingga dapat memenuhi tingkat konsumsi sayur di daerah permukiman

padat penduduk yang tinggi tersebut, agar tidak selalu membeli. Program Poni Batho

terdiri dari beberapa kegiatan yaitu sosialisasi program, pelatihan pembibitan,

pendampingan pemindahan bibit siap tanam, pendampingan perawatan tanaman, dan

evaluasi dan keberlanjutan program. Hasil program ini ibu-ibu dapat memproduksi

sayur mandiri di lahan terbatas, menghemat pengeluaran, dan menambah pemasukan

dengan penjualan sayur yang berlebih.

Kata kunci: Hidroponik, baskom, lahan sempit, Poni Batho.

RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442

Vol.1, No.1, Desember 2019:47-55

RJKM, Research Journal of KSI Mist| 48

1. PENDAHULUAN

Pangan merupakan kebutuhan

dasar manusia yang harus dipenuhi.

Pemenuhan kebutuhan pangan

tersebut menjadi hak asasi setiap

rakyat Indonesia dalam mewujudkan

sumber daya manusia yang

berkualitas. Sayuran merupakan

kebutuhan vital bagi kehidupan

manusia. Sayuran memiliki

kandungan mikro dan makro nutrien

yang memegang peran penting dalam

metabolisme manusia. Sayuran

mengandung tinggi vitamin, rendah

lemak dan antioksidan.

Masalah pemenuhan kebutuhan

pangan, khususnya sayuran, saat ini

dialami oleh masyarakat Kuningan,

Caturtunggal, Depok, Sleman.

Berdasarkan hasil survey tim PKM

Poni Batho yang menyatakan bahwa

ibu-ibu masyarakat tersebut

mengonsumsi sayuran setiap hari,

dengan total pengeluaran harian untuk

membeli sayuran adalah berkisar

antara Rp. 10.000,- hingga Rp.

15.000,-. Hal tersebut

mengindikasikan bahwa tingkat

konsumsi sayuran masyarakat

Kuningan tinggi.

Kuningan merupakan salah satu

padukuhan yang terletak di Desa

Caturtunggal, Depok, Sleman. Daerah

ini merupakan kawasan padat

penduduk yang senantiasa mengalami

perkembangan dan perubahan yang

dinamis, baik dari aspek

pemerintahan, perekonomian,

kependudukan maupun sosial

kemasyarakatan. Daerah ini

merupakan adalah kawasan trans-

sosial antara wilayah perkotaan

dengan pedesaan, perkembangan

komunitas pendatang, pedagang,

pengusaha, serta mahasiswa dari

berbagai daerah yang beragam,

maupun pencari kerja yang akseleratif

menjadikan peningkatan kebutuhan

hidup.

Di samping itu, permasalahan yang

sering dihadapi oleh masyarakat

perkotaan adalah keterbatasan lahan.

Permasalahan tersebut juga dialami

oleh masyarakat di kawasan penduduk

Kuningan. Hal ini merupakan salah

satu faktor masyarakat tidak

melakukan aktivitas berkebun yang

lahannya sudah padat dengan

permukiman penduduk. Masyarakat

Dusun Kuningan, khususnya ibu-ibu

merasa tidak memiliki tempat untuk

bertanam, sehingga untuk memenuhi

kebutuhan sayur sehari-hari harus

membeli sayuran di pasar,

minimarket, maupun supermarket.

Oleh sebab itu, pengeluaran bulanan

mereka pun termasuk tinggi akibat

pembelian bahan makanan yang terus

menerus.

Berdasarkan permasalahan yang

dialami oleh ibu-ibu Kuningan, terkait

dengan kebutuhan sayur tinggi,

keterbatasan lahan, dan belum

dimilikinya keterampilan menanam

sayur, solusi untuk mengatasinya yaitu

dengan melakukan usaha produksi

sayur mandiri yang dapat diawali dari

lingkup keluarga. Poni Batho:

Hydroponic Basin Method merupakan

salah satu program untuk ibu rumah

tangga yang tujuannya diharapkan

dapat memproduksi sayur secara

mandiri, sehingga dapat mengatasi

masalah pemenuhan konsumsi sayur

RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442

Vol.1, No.1, Desember 2019:47-55

RJKM, Research Journal of KSI Mist| 49

yang tinggi di daerah padat penduduk

Kuningan, serta dapat melakukan

penghematan pengeluaran pembelian

sayuran.

Program budidaya sayur sederhana

secara hidroponik ini tidak

membutuhkan lahan yang luas dan

tidak menghabiskan banyak waktu

dalam proses perawatannya (Tallei,

2018). Selain itu, penggunaaan

baskom untuk belajar bagi pemula

pembiayaannya relatif murah bila

dibandingkan dengan metode

hidroponik lainnya. Dengan demikian,

hasil dari program ini yaitu kebutuhan

sayur masyarakat Kuningan akan

tercukupi oleh masyarakat tersebut

secara mandiri.

Hidroponik adalah sistem

menanam dengan media air, berbeda

dengan sistem biasa yaitu dengan

media tanah. Hidroponik memiliki

banyak keuntungan sebagaimana

dikutip dari Tallei, dkk. (2018) bahwa

cara bercocok tanam dengan cara

hidroponik dapat menghindarkan

tanaman dari hama-hama yang

biasanya menyerang tanaman yang

ditanam di tanah. Selain itu, tanaman

yang ditanam dengan cara hidroponik

kebanyakan lebih segar dibandingkan

dengan tanaman yang ditanam di

tanah. Keuntungan lain antara lain

dapat menghemat tempat dan menjaga

kebersihan tempat tanam.

Air yang digunakan untuk

menanam dengan cara hidroponik

bukan air biasa melainkan air yang

mengandung larutan-larutan nutrisi.

Tallei, dkk. (2018) menyatakan bahwa

nutrisi yang dibutuhkan tanaman agar

dapat tumbuh di media air dibagi

menjadi unsur mikro dan unsur makro.

Unsur mikro antara lain B, Cl, Cu, Fe,

Mn, Mo, dan Z. Unsur makro antara

lain , P, S, K, Ca, dan Mg. Selain itu

menurut Adams, dkk. dalam Tallei,

dkk. (2018) untuk menunjang

keberhasilan penanaman dengan

hidroponik tidak hanya mengandalkan

nutrisi, tetapi juga pH larutan yaitu

berada di kisaran pH 5,5-6,5.

Wahome, dkk. dalam Tallei, dkk.

(2018) menyatakan bahwa tanaman

yang dibudidaya dengan sistem

hidroponik tumbuh dua kali lebih

cepat dibandingkan dengan sistem

konvensional karena ada kontak

langsung antara akar dengan oksigen,

tingkat keasaman yang optimum, serta

adanya peningkatan penyerapan

nutrien dan nutrisi yang seimbang.

Berkaitan dengan hal tersebut,

penanaman dengan hidroponik dapat

membuat ibu-ibu di Kuningan dapat

memenuhi kebutuhan sayur secara

optimal. Keuntungan yaitu

pertumbuhan tanaman dua kali lebih

cepat dipadukan dengan penanaman

secara berkelanjutan dapat

mengurangi intensitas ibu membeli

sayur di pasar karena panen dapat

dilakukan secara berkali-kali dalam

waktu yang berdekatan.

2. METODE

Poni Batho dilaksanakan di

Kuningan, Caturtunggal, Depok,

Sleman. Teknik pemilihan peserta

pelatihan Poni Batho yaitu

berkoordinasi dengan kepala dukuh

untuk menentukan warga yang dapat

mengikuti pelatihan tersebut. Sasaran

dari program ini adalah ibu rumah

RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442

Vol.1, No.1, Desember 2019:47-55

RJKM, Research Journal of KSI Mist| 50

tangga yang belum memiliki

keterampilan menanam dengan teknik

hidroponik. Program ini dilaksanakan

dengan membagi peserta menjadi 2

kelompok berdasarkan jarak tempat

tinggal masing-masing anggota

kelompok. Untuk mecapai tujuan

program, maka metode yang

dilakukan adalah pelatihan dan

pendampingan. Adapun tahapan yang

dilaksanakan adalah sebagai berikut:

a. Persiapan

1) Diskusi bersama mitra

Persiapan perencanaan

pelaksanaan program yaitu

dengan melakukan diskusi

bersama kepala dukuh untuk

memperoleh informasi terkait

dengan kondisi masyarakat

setempat.

2) Persiapan Sumber Daya

Manusia

Aspek sumber daya manusia

atau petugas pelaksanaan

program ini yaitu tim PKM

Poni Batho sendiri. Untuk

meningkatkan kompetensi tim

PKM Poni Batho agar dapat

melakukan pelatihan dan

pendampingan, tahap persiapan

yang dilakukan berupa:

a) Mengikuti pelatihan

bertanam hidroponik untuk

meningkatkan pengetahuan

tim PKM terkait dengan

hidroponik,

b) Melakukan penanaman

hidroponik untuk

menerapkan pengetahuan

dan menambah

keterampilan dalam

menanam hidroponik

c) Menambah pengetahuan

dan informasi mengenai

hidroponik melalui buku,

artikel, dan video petani

hidroponik dari internet.

Persiapan tersebut dilakukan

untuk menambah keilmuan dan

keterampilan tim PKM Poni

Batho yang akan diterapkan

pada masyarakat mitra melalui

PKM pengabdian kepada

masyarakat.

3) Menjalin Kemitraan

Menjalin kemitraan dilakukan

melalui pihak perangkat desa

setempat agar program yang

akan dilakukan mendapat

dukungan dari perangkat desa

dan khususnya masyarakat

setempat selaku sasaran

program. Selain itu juga

bertujuan untuk melakukan

pendekatan terhadap

masyarakat mitra.

b. Pelaksanaan Program

1) Teknik Penyuluhan Program

Teknik penyuluhan program

PKM Poni Batho adalah

sosialisasi dan diskusi.

Sosialisasi dan diskusi terlebih

dahulu dilakukan oleh tim Poni

Batho kepada ketua dukuh

yang kemudian kepada ibu-ibu

sebagai mitra pelatihan

hidroponik Poni Batho.

Sosialisasi dilakukan untuk

mengenalkan tentang

hidroponik secara umum, yaitu

berkaitan dengan materi

RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442

Vol.1, No.1, Desember 2019:47-55

RJKM, Research Journal of KSI Mist| 51

sosialisasi yang sudah

dipersiapkan. Tim PKM

menyampaikan informasi

mengenai hidroponik secara

umum, kemudian

menyampaikan informasi

mengenai program Poni Batho

secara lebih khusus, yaitu

penanaman tanaman hidroponik

menggunakan metode dengan

media tanam baskom,

sedangkan diskusi dilakukan

untuk menentukan tempat yang

sesuai untuk melakukan

praktek pelatihan menanam

tanaman hidroponik di agenda

praktek selanjutnya.

Selain itu, juga dilakukan

penyebaran angket untuk

mengetahui konsumsi sayur

peserta program pelatihan Poni

Batho. Hasil dari angket

tersebut digunakan sebagai data

untuk mengetahui

perbandingan sebelum dan

sesudah masyarakat melakukan

pelatihan Poni Batho.

2) Teknik Pelatihan Program

Pelatihan penanaman

tanaman hidroponik

dilaksanakan dengan teknik

demonstrasi secara langsung

oleh tim PKM Poni Batho yang

kemudaian dipraktekkan

langsung oleh peserta pelatihan

dan didampingi oleh tim PKM

Poni Batho. Pelatihan dan

pendampingan yang dilakukan

yaitu pelarutan nutrisi,

pembibitan benih sayuran,

perawatan tanaman,

pemindahan bibit ke media

tanam, dan pemanenan.

c. Evaluasi Program

Evaluasi program ini dilakukan

pada saat pendampingan program.

Pendampingan ini dilakukan

dengan teknik kunjungan langsung

ke tempat tanaman hidroponik satu

pekan sekali untuk mengontrol

pertumbuhan dan perkembangan

tanaman. Selain itu teknik lainnya

yaitu dengan koordinasi dengan

ibu-ibu peserta pelatihan via online

melalui grup WhatsApp. Pada tahap

ini dilakukan kegiatan

pendampingan perawatan

hidroponik dari tanam hingga

panen

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Kegiatan PKM pengabdian

masyarakat ini dilakukan dengan

pelatihan dan pendampingan menanam

hidroponik media baskom atau disebut

dengan Program Poni Batho

(Hidroponic Basin Method). Program

ini diikuti oleh ibu-ibu rumah tangga

daerah Kuningan, Caturtunggal,

Depok, Sleman yang terbagi dalam 2

kelompok,. Pengelompokan tersebut

berdasarkan hasil diskusi tim PKM

Poni Batho dan peserta pelatihan

dengan mempertimbangkan jarak

tempat tinggal masing-masingg peserta

pelatihan hidroponik, yang tujuannya

yaitu untuk mempermudah perawatan

harian tanaman nantinya.

Kegiatan Pelatihan Hidroponik

Poni Batho dilaksanakan dalam kurun

waktu bulan April 2018 sampai Juli

2018. Peserta pelatihan adalah ibu-ibu

Kelompok Wanita Tani. Kegiatan

RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442

Vol.1, No.1, Desember 2019:47-55

RJKM, Research Journal of KSI Mist| 52

pengabdian ini memerlukan banyak

persiapan, seperti pematangan konsep

pelaksanaan program Poni Batho

bersama dengan dosen pembimbing,

persiapan lokasi pelaksanaan program,

pendekatan kepada masyarakat mitra,

persiapan kembali materi dan keilmuan

tentang hidroponik yang akan

disampaikan kepada masyarakat mitra,

serta persiapan pengadaan alat dan

bahan hidroponik. Sebelum

pelaksanaan program, terlebih dahulu

tim PKM Poni Batho melakukan

koordinasi dengan pihak mitra untuk

menyesuaikan dan menentukan jadwal

pelaksanaan PKM. Dari koordinasi

tersebut diperoleh waktu-waktu yang

dijadikan acuan bagi tim PKM Poni

Batho untuk menentukan rangkaian

kegiatan program. Persiapan yang

tidak kalah penting, adalah dari segi

pengadaan alat dan bahan hidroponik

yaitu dengan memesan dan membeli

perlengkapan tersebut di toko

hidroponik sekitar daerah Sleman.

Selain itu tim PKM Poni Batho juga

melakukan koordinasi dengan dosen

pembimbing dan mengikuti sosialisasi,

workshop, pengembangan softskill

PKM yang diadakan oleh fakultas

maupun universitas sebagai

pembekalan pelaksanaan PKM,

meningkatkan keilmuan, kapasitas dan

kesiapan tim Poni Batho untuk

melaksanakan dan

mempertanggungjawabkan program

PKM pengabdian tersebut.

Gambar 1. Tim PKM dan Ibu-Ibu Peserta

Pelatihan Poni Batho

Rangkaian kegiatan pelaksanaan

program Poni Batho ini yaitu

sosialisasi mengenai hidroponik,

pelatihan dan pendampingan praktek

pelarutan nutrisi, pembibitan benih,

perawatan bibit, pemindahan bibit

sayuran ke media tanam baskom,

perawatan sayuran dewasa, dan

pemanenan sayuran. Selain

penyampaian materi pelatihan secara

demonstrasi langsung oleh tim Poni

Batho, juga telah dibuat video tutorial

praktek menanam hidroponik sebagai

media pelatihan yang dapat

dimanfaatkan ketika peserta tidak

bersama dengan tim PKM Poni Batho.

Program ini dapat dinilai berjalan

dengan baik, mulai persiapan,

pelaksanaan pelatihan, dan

pendampingan dari menanam hingga

memanen sayur hidroponik . Hal

tersebut ditandai dengan dari 11

kegiatan bersama mitra yang

direncanakan dapat terlaksana 10

kegiatan. Satu kegiatan yang tidak

terlaksana tersebut karena bertepatan

dengan Idul Fitri, sehingga untuk

menghormati bagi yang merayakan

kegiatan tersebut dialihkan di agenda

kegiatan lainnya.

RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442

Vol.1, No.1, Desember 2019:47-55

RJKM, Research Journal of KSI Mist| 53

Gambar 2. Pelatihan dan Pendampingan

Pembuatan Nutrisi

Gambar 3. Pelatihan dan Pendampingan

Pemindahan Media Tanam

Pada pemindahan bibit ke media

tanam ini ditemukan persoalan bahwa

jumlah tumbuh bibit yang ditanam oleh

peserta lebih banyak dari jumlah

ketersediaan media tanamnya.

Mengingat bibit harus tetap dipindah

agar pertumbuhan dan

perkembangannya baik, maka

ditemukan alternatif pemecahan

masalah dengan membuat dan

memanfaatkan media tanam yang lain.

Dengan menggunakan konsep yang

hampir sama dengan baskom, yaitu

memanfaatkan cekungan, maka

dimanfaatkanlah botol air mineral

bekas ukuran besar yang dilubangi

pada sisi sampingnya menjadi 3

lubang. Selain itu, pada salah satu

kelompok, yang satu anggota

kelompoknya memiliki instalasi

hidroponik dari pipa yang sudah tidak

terpakai untuk kembali dimanfaatkan.

Pemindahan tanaman tersebut

dilakukan pada media baskom dahulu

kemudian jika sudah mulai besar baru

dipindah ke instalasi pipa, sedangkan

media baskom semula berganti

ditempati oleh bibit baru yang siap

untuk dipindah tanam selanjutnya.

Program Poni Batho ini merupakan

salah satu upaya produksi sayur

mandiri di daerah permukiman padat

penduduk. Dalam hal ini, hasil dari

produksi sayur mandiri tersebut untuk

dapat memenuhi kebutuhan konsumsi

sayur sehari-hari serta dapat

mengurangi jumlah pengeluaran untuk

pembelian sayuran bagi ibu-ibu peserta

pelatihan program, sehingga dari

program ini juga dapat menghasilkan

penghematan. Untuk mengukur

keberhasilan program Poni Batho

secara kuantitatif, telah dilakukan

wawancara melalui penyebaran angket.

Angket tersebut berisi pertanyaan

terkait konsumsi sayur peserta

pelatihan hidroponik Poni Batho yang

akan dibandingkan sebelum dan

sesudah mengikuti program PKM Poni

Batho. Berikut adalah hasil angket

yang sudah diisi oleh peserta pelatihan

hidroponik Poni Batho.

Tabel 1. Perbedaan Sebelum dan Sesudah Melakukan Program Poni Batho

Indikator Sebelum program

Poni Batho

Sesudah program

Poni Batho

Bisa menanam hidroponik 8% 70%

Panen dan mengonsumsi sayur hasil panen - 78%

Jumlah Persentase Jumlah Persentase

RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442

Vol.1, No.1, Desember 2019:47-55

RJKM, Research Journal of KSI Mist| 54

Pengeluaran pembelian sayur satu pekan

1. < Rp 70.000-, 2 25% 2 25%

2. Rp 70.000,- sampai Rp 105.000,- 3 37.5% 4 50%

3. > Rp 105.000,- 3 37.5% 2 25%

Jumlah 8 100% 8 100%

Berdasarkan hasil angket tersebut,

dapat diketahui bahwa setelah

mengikuti pelatihan hidroponik Poni

Batho mayoritas peserta pelatihan

sudah mampumenanaman hidoponik.

Hasil tersebut meningkat dari sebelum

melakukan pelatihan, 8% menuju 70%.

Hal tersebut mengindikasikan bahwa

program kegiatan Poni Batho berhasil

melatih keterampilan menanam

hidroponik bagi ibu-ibu masyarakat

Kuningan, dari yang awalnya belum

bisa menjadi bisa berhidroponik.

Selain itu, 78% peserta pelatihan

yang sudah mengonsumsi sayur

hidroponik hasil pemanenan beberapa

jenis sayuran, dapat diketahui

perbedaan pengeluaran pembelian

sayur sebelum dan sesudah

pelaksanaan program Poni Batho.

Peserta dengan pengeluaran pembelian

sayur satu pekan lebih dari Rp.

105.000,- menurun dari 37.5% menjadi

25% beralih ke kelompok dengan

pengeluaran pembelian sayur antara

Rp. 70.000,- sampai Rp. 105.000,- dan

kurang dari Rp.70.000,-. Hal tersebut

mengindikasi bahwa telah terjadi

penghematan pengeluaran pembelian

sayur dalam satu pekan dari hasil

produksi hidroponik peserta pelatihan

Poni Batho.

Produk dari pelatihan Poni Batho

ini yaitu sayuran hidroponik. Sampai

saat ini sudah dipanen jenis sayuran

kangkung dan sawi. Kelompok satu

telah melakukan sekali pemanenan

untuk jenis sayur kangkung. Hasil dari

panen tersebut diperoleh dua ikat

kangkung, atau sekitar Rp 3.000,- per

ikatnya, sedangkan untuk kelompok

dua sudah melakukan tiga kali panen

kangkung dan dua kali panen sawi.

Dalam satu kali panen kangkung

diperoleh dua ikat kangkung atau

sekitar Rp 3.000,- per ikat. Dan untuk

satu kali panen sawi diperoleh 15 buah

sawi atau 3 bungkus, dan jika

dirupiahkan menjadi sekitar Rp 5.000,-

per bungkus. Sayuran tersebut selain

dikonsumsi peserta pelatihan Poni

Batho juga telah dijual kepada

masyarakat sekitar selain peserta

pelatihan.

Gambar 4. Sayuran Ditanam dengan Poni

Batho

Gambar 5. Hasil Panen Sayuran Kangkung

RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442

Vol.1, No.1, Desember 2019:47-55

RJKM, Research Journal of KSI Mist| 55

Hasil produksi sayur mandiri

tersebut selain untuk memenuhi

kebutuhan sehari-hari rumah tangga

pelatihan Poni Batho juga berpotensi

dapat membuka peluang untuk

berwirusaha produksi sayuran

hidroponik. Dalam hal ini telah dibuat

kelompok wirausaha sayur hidroponik

yang diketuai oleh Ibu Eni Puji dari

Kuningan.

Dari berbagai hasil yang telah

didapatkan, dapat diketahui bahwa

program Poni Batho dapat membantu

ibu-ibu Padukuhan Kuningan untuk

menanam sayuran secara mandiri di

lahan yang sempit. Selain itu, ibu-ibu

dapat menghemat pengeluaran untuk

membeli sayur ke pasar bahkan

menambah pemasukan karena

sayurannya dapat dijual.

4. KESIMPULAN

Hasil yang dicapai telah sesuai

dengan tujuan yaitu program Poni

Batho dapat membantu ibu-ibu

Padukuhan Kuningan untuk memiliki

keterampilan bertanam secara

hidroponik serta dapat memproduksi

sayur secara mandiri. Dalam hal ini

program pengabdian Poni Batho telah

dapat mengatasi permasalahan

ketersediaan untuk konsumsi sayur di

daerah permukiman padat penduduk

dan di lahan sempit.

5. REFERENSI

Roidah, Ida Syamsu. 2015.

Pemanfaatan Lahan Dengan

Menggunakan Sistem Hidroponik.

http://jurnal-unita.org Diakses

pada 13 Agustus 2018 pukul 15.20

WIB.

Tallei, Trina. 2018. Hidroponik Untuk

Pemula.

https://www.researchgate.net/

Diakses pada 20 Agustus 2018

pukul 11.30 WIB.

Tempo, 2017. Riset: Orang Indonesia

Kurang Makan Sayur dan Buah.

https://www.msn.com/ Diakses

pada 10 Agustus 2018 pukul 20.15

WIB.

RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442

Vol.1, No.1, Desember 2019:56-63

RJKM, Research Journal of KSI Mist| 56

UJI EFEKTIVITAS PEMBERIAN PAKAN TUTUYAM (TUTUT TULANG

AYAM) TERHADAP PRODUKTIVITAS IKAN LELE (Clarias sp.)

Fitriyani Astuti1)

, Agita Alphaningrum2)

, Cici Nurhidayati3)

1Pendidikan IPA, FMIPA, Universitas Negeri Yogyakarta

[email protected]

2Pendidikan IPA, FMIPA, Universitas Negeri Yogyakarta

[email protected]

3Kimia, FMIPA, Universitas Negeri Yogyakarta

[email protected]

Abstrak

Potensi budidaya ikan lele (Clarias sp.) di pedesaan sangat besar karena faktor lahan

yang memadai, tidak harus membeli, dan dapat menggunakan pakan pengganti seperti

dedaunan, nasi basi, maupun daging hewan mati. Namun untuk awal budidaya, ikan

lele sebaiknya diberi pakan utama sebagai proses adaptasi awal terhadap lingkungan.

Selama pertumbuhan, ikan lele memerlukan protein hewani yang tinggi. Kebutuhan

protein ikan lele >30 % (SNI 2006). Kebutuhan nutrisi untuk pertumbuhan ikan lele

dapat dipenuhi dengan pengadaan pakan yang lebih terjangkau dengan memanfaatkan

dan mengolah limbah di lingkungan sekitar, seperti tutut atau keong sawah (Pila

ampullacea) dan tulang ayam (Gallus domesticus). Pada penelitian ini dilakukan uji

efektivitas pemberian pakan Tutuyam (tutut tulang ayam) terhadap produktivitas ikan

lele (Clarias sp.). Penelitian ini dilakukan dengan cara pembuatan pakan Tutuyam

dengan variasi komposisi untuk keong sawah dan tulang ayam secara berturut-turut

yaitu A (45 % dan 45 %), B (40 % dan 50 %), dan C (50 % dan 40 %). Uji fisik

dilakukan dengan uji daya apung dan uji stabilitas pakan dalam air. Ketiga sampel

menunjukkan bahwa daya apung dan tingkat ketahanan pakan dalam air baik, secara

berturut turut yaitu 2 – 2,5 menit dan 2 – 3 jam, sehingga pakan dapat dikonsumsi ikan

di permukaan dan tidak menumpuk di dasar kolam serta tidak mudah hancur dalam air.

Uji kimia dilakukan dengan uji kandungan protein dan diperoleh kadar protein

tertinggi terdapat pada sampel A yaitu sebesar 34,3981% pada ulangan pertama, lalu

34,2621% pada ulangan kedua.

Kata kunci: Efektivitas, Tutuyam, Ikan Lele (Clarias sp.)

RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442

Vol.1, No.1, Desember 2019:56-63

RJKM, Research Journal of KSI Mist| 57

1. PENDAHULUAN

a. Latar Belakang

Industri rumah tangga di

masyarakat saat ini banyak melakukan

budidaya ikan lele (Clarias sp.).

Potensi budidaya ikan lele di pedesaan

sangat besar karena faktor lahan yang

memadai. Dari segi pakan, tidak harus

membeli dan dapat menggunakan

pakan pengganti seperti dedaunan,

nasi basi, maupun daging hewan mati.

Namun untuk awal budidaya, ikan lele

sebaiknya diberi pakan utama sebagai

proses adaptasi awal terhadap

lingkungan. Pakan ikan lele di pasaran

saat ini memiliki kisaran harga cukup

tinggi antara Rp 9.000-18.000/kg.

Adapun kandungan protein, lemak,

serat, dan kadar airnya berturut-turut

31-33%, 4-6%, 3-5%, dan 9-10% (CV

Prima, 2016). Menurut Afrianto dan

Evi (2005: 11), pakan buatan yang

biasa digunakan sering menimbulkan

permasalahan teknis, kesehatan,

maupun ekonomis. Penurunan kualitas

air dan defisiensi gizi yang

diakibatkan berdampak pada

pertumbuhan tidak normal pada ikan

lele. Selama pertumbuhan, ikan lele

memerlukan protein hewani yang

tinggi. Kebutuhan protein ikan lele

(Clarias sp.) menurut SNI (2006)

yaitu >30. Kebutuhan nutrisi untuk

pertumbuhan ikan lele dapat dipenuhi

dengan pengadaan pakan yang lebih

terjangkau dengan memanfaatkan dan

mengolah limbah di lingkungan

sekitar, seperti tutut atau keong sawah

(Pila ampullacea) dan tulang ayam

(Gallus domesticus).

Keong sawah (Pila ampullacea)

adalah sejenis siput air tawar dan

mudah dijumpai di sawah. Di

masyarakat nama keong sawah lebih

dikenal dengan sebutan tutut.

Keberadaan tutut di area persawahan

ini dapat merugikan petani karena

merusak tanaman padi. Tutut

merusak dengan menempel pada

batang padi kemudian memakannya

sehingga tubuh padi menjadi rusak.

Apabila hal ini dibiarkan hanya akan

membuat petani gagal panen dan

mengalami rugi. Namun di sisi lain,

tutut memiliki kandungan gizi yang

baik antara lain protein 15%, lemak

2,4% dan kadar abu 24% (Wardhono,

2012).

Tulang ayam (Gallus domesticus)

banyak dijumpai pada rumah makan

cepat saji yang saat ini mudah

ditemukan dan dijangkau serta akhir-

akhir ini semakin marak digandrungi

masyarakat. Dari segi pelayanan yang

cepat dan tidak memerlukan banyak

waktu untuk menunggu menjadikan

makanan jenis ini banyak dikonsumsi

masyarakat. Permintaan yang

semakin banyak tentunya membuat

produksi pun meningkat.

Bertambahnya produksi akan

menimbulkan jumlah limbah tulang

ayam yang semakin banyak pula.

Limbah tulang ayam selama ini

belum dimanfaatkan secara optimal.

Limbah ini cocok untuk mendukung

pertumbuhan budidaya ikan lele

karena kaya akan kandungan gizi

yang dimilikinya. Menurut Capah

(2006) tulang ayam normal memiliki

kadar air 45%, lemak 10%, protein

20%, dan abu 25%. Adapun menurut

Rasyaf (1990), tulang ayam

mempunyai komposisi kalsium 24-

30% dan fosfor 12-15%.

RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442

Vol.1, No.1, Desember 2019:56-63

RJKM, Research Journal of KSI Mist| 58

Dari permasalahan limbah yang

ditemukan di lingkungan, yaitu hama

tutut atau keong sawah (Pila

ampullacea) yang merugikan petani

dan limbah tulang ayam (Gallus

domesticus) serta melihat kebutuhan

masyarakat akan kelengkapan gizi

pakan ikan lele terutama di daerah

pedesaan, maka dilakukan Uji

Efektivitas Pemberian Pakan

Tutuyam (Tutut Tulang Ayam)

terhadap Produktivitas Ikan Lele

(Clarias sp.). Hal ini mengingat

keunggulan pakan tersebut antara

lain: kaya kandungan gizi untuk

pertumbuhan lele berupa protein

hewani dan kalsium, ekonomis, serta

mudah didapatkan karena

memanfaatkan limbah tutut dan

tulang ayam yang melimpah.

Komposisi protein tutut dan tulang

ayam secara berturut-turut berkisar

15 % dan 20% serta kandungan

kalsium pada tulang ayam 24-30%

diharapkan dapat mendukung

pertumbuhan ikan lele.

2. METODE

Jenis penelitian adalah penelitian

eksperimen yaitu memberikan

perlakuan terhadap sampel dan

melakukan pengamatan dampak

perlakuan terhadap sampel. Subjek

penelitian adalah pakan Tutuyam

(Tutut Tulang Ayam) yang dihasilkan

dari perlakuan bahan keong sawah

dan tulang ayam. Objek penelitian

adalah hasil uji kandungan pakan

Tutuyam (Tutut Tulang Ayam) dan

efektivitas pakan Tutuyam (Tutut

Tulang Ayam) dalam meningkatkan

produktivitas ikan lele (Clarias sp.).

Variabel bebas dalam penelitian ini

adalah variasi presentase keong

sawah dan tulang ayam dalam pakan

Tutuyam (Tutut Tulang Ayam).

Variabel kontrol dalam penelitian ini

adalah jumlah air pada adonan pakan

maupun 3 sampel akuarium, ukuran,

dan berat pakan Tutuyam (Tutut

Tulang Ayam), presentase dosis

dedak padi 10% dalam pakan

Tutuyam (Tutut Tulang Ayam),

ukuran ikan lele, dan jumlah untuk

setiap ikan lele yaitu 10 ekor.

Variabel terikat dalam penelitian ini

adalah kandungan dan efektivitas

pakan Tutuyam (Tutut Tulang Ayam)

dalam produktivitas ikan lele

(Clarias sp.).

Waktu pelaksanaan penelitian ini

dimulai pada bulan Juli hingga

Agustus 2017. Sedangkan untuk

tempat pelaksanaan dilakukan di

beberapa tempat yaitu Laboratorium

IPA UNY, Laboratorium Teknologi

Pangan dan Hasil Pertanian UGM,

dan rumah peneliti di Godean. Alat

yang digunakan yaitu blender,

tampah, ayakan, timbangan, baskom,

pisau, mangkuk, jaring, kantong

plastik, lumpang, alu, wajan, lidi,

sendok, mesin giling, oven kompor,

kompor gas, regulator, akuarium,

aerator, dan stopwatch. Sedangkan

bahan yang digunakan yaitu tulang

ayam, keong sawah, air, dedak padi,

dan bibit ikan lele.

a. Pembuatan Pakan

Pakan Tutuyam (Tutut Tulang

Ayam) dibuat dengan variasi

presentase tepung keong sawah dan

tulang ayam serta diberi air dan

dedak padi untuk mempermudah

RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442

Vol.1, No.1, Desember 2019:56-63

RJKM, Research Journal of KSI Mist| 59

pembuatan adonan. Variasi

komposisi untuk keong sawah dan

tulang ayam secara berturut-turut

pada pada Tutuyam yaitu A (45 %

dan 45 %), B (40 % dan 50 %), dan C

(50 % dan 40 %. Kemudian

dilakukan penggilingan adonan dan

pengeringan pakan.

b. Analisis Kimia Pakan

Dalam uji protein dilakukan

pengujian komposisi protein terhadap

ketiga sampel pakan (% bobot

kering) dengan 2x pengulangan.

c. Analisis Fisik Pakan

Daya apung (Floating Ability)

pakan dapat diukur dengan

menjatuhkan atau menebarkan pakan

tersebut ke dalam wadah yang telah

diisi air hingga kedalaman 15 – 25

cm. Waktu yang diperlukan oleh

pakan sejenak ditebarkan hingga

tenggelam di dasar wadah merupakan

daya apung pakan.

Stabilitas pakan dalam air (Water

Stability) diukur untuk mengetahui

tingkat ketahanan pakan di dalam air

atau berapa lama waktu yang

dibutuhkan hingga pakan lembek dan

hancur.

d. Uji Efektivitas pada Ikan Lele

Uji ini bertujuan untuk

mengetahui efektivitas pakan

Tutuyam (Tutut Tulang Ayam) dalam

produktivitas ikan lele. Variasi pakan

Tutuyam yang dilakukan pada

konsetrasi masing-masing untuk 3

perlakuan sampel pada akuarium ikan

lele yaitu pakan A, B, dan C.

Wadah untuk pemeliharaan

berupa akuarium sebanyak 3 buah

dengan ukuran 45x40x35 cm3

(volume air 25 L). Akuarium

dilengkapi aerator sebagai penyuplai

oksigen. Penyiponan dilakukan setiap

pagi, air yang dikeluarkan sebanyak

25% dari volume air dalam akuarium.

Air yang digunakan dalam penelitian

ini yaitu air sumur. Setiap akuarium

diisi 10 ekor ikan dengan ukuran

bobot awal benih ikan lele yang

digunakan adalah sama yang

diadaptasi selama seminggu sebelum

dilakukan penelitian. Setelah

diadaptasi, ikan dipuasakan selama

24 jam. Ikan dipelihara 30 hari

dengan pemberian pakan 2 kali sehari

yaitu pagi hari pukul 08.30 WIB dan

sore hari 17.30 WIB sebanyak 5%

dari bobot ikan uji. Kemudian

melakukan analisis tubuh ikan

dilakukan diawal dan diakhir

penelitian yaitu bobot awal dan bobot

akhir ikan.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

a. Pembuatan Pakan

Dalam penelitian pakan Tutuyam

yang sudah dilakukan telah dicapai

hasil yaitu pembuatan tepung tutut

dan tulang ayam dengan penyiapan

bahan menjadi tepung dan

pembuatan adonan pakan.

Pembuatan tepung dimulai dengan

mencari tutut segar dan limbah

tulang ayam di sawah dan rumah

makan cepat saji. Kemudian

dilakukan pembersihan dengan

mencuci bersih tutut dan tulang

ayam. Lalu untuk keduanya

dilakukan perebusan dengan air

matang untuk membuka cangkang

tutut dan menghilangkan sisa daging

yang masih menempel pada tulang

ayam. Untuk tutut sendiri dilakukan

pengeluran daging secara manual

RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442

Vol.1, No.1, Desember 2019:56-63

RJKM, Research Journal of KSI Mist| 60

menggunakan lidi karena pada saat

perebusan daging tutut masih

menempel dicangkang. Kemudian

dilakukan pemotongan daging tutut

dengan ukuran lebih kecil untuk

memperluas permukaan sehingga

akan mempercepat proses

pengeringan. Selanjutnya dilakukan

pengeringan di bawah sinar matahari

selama 2-3 hari untuk daging tutut

dan 4-7 hari untuk tulang ayam.

Daging tutut dan tulang ayam yang

sudah kering kemudian ditumbuk

menggunakan lumpang dan alu

sehingga diperoleh tepung Tutuyam

(Tutut Tulang Ayam). Hasil masing-

masing tepung yang diperoleh

kemudian dilakukan pengayakan

menggunakan ayakan untuk

mendapatkan hasil tepung yang

halus.

Pembuatan adonan dibuat dengan

variasi presentase tepung keong

sawah dan tulang ayam serta diberi

air dan dedak padi untuk

mempermudah pembuatan adonan.

Variasi presentase perlakuan untuk

setiap adonan yaitu keong sawah dan

tulang ayam secara berturut-turut

adalah sampel A (45 % dan 45 %),

sampel B (40 % dan 50 %), dan

sampel C (50 % dan 40 %).

Untuk setiap sampel pakan

dilakukan penggilingan dan

pengeringan pakan selama 2-3 hari

sehingga diperoleh pakan Tutuyam

berikut:

Gambar 4.1 Sampel Pakan Tutuyam

b. Pengujian Pakan

Sebelum dilakukan efektivitas

pakan Tutuyam terhadap

produktivitas ikan lele, terlebih

dahulu dilakukan uji kimia dan uji

fisik pakan. Hal ini dilakukan untuk

mengetahui komposisi protein

pakan, daya apung, dan stabilitas

pakan dalam air.

Pada masing-masing sampel A,

B, dan C dilakukan uji kualitas

pakan yang meliputi uji kadar

protein pada tutut tulang ayam. Uji

ini dialakukan di Laboratorium Uji

Teknologi Pangan dan Hasil

Pertanian, Fakultas Teknologi

Pertanian, UGM dengan No:

787/PS/08/17.

Tabel 1. Hasil Analisa Kadar Protein pada Tutut

Tulang Ayam

Menurut Fujaya (1999),

kebutuhan protein untuk ikan

berbeda-berbeda menurut spesiesnya

dan pada umumnya berkisar antara

20%-60%. Variasi dan kebutuhan

protein dipengaruhi oleh jenis umur

dan daya cerna ikan, kondisi

lingkungan, kualitas protein,

temperatur air dan sumber protein

tersebut. Pada tubuh ikan, protein

mulai dicerna di lambung. Produk

buangan sebagai hasil dari proses

Sampel

/Kode

Macam

Analisa

Hasil Analisa

UL1 UL2

A Protein (%) 34,3981 34,2621

B Protein (%) 31,4064 31,6364

C Protein (%) 32,5429 32,7022

RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442

Vol.1, No.1, Desember 2019:56-63

RJKM, Research Journal of KSI Mist| 61

metabolisme pada protein dalam

jaringan berupa urea, asam urat, dan

kreatinin. Berdasarkan hasil analisa

kadar protein tersebut dapat

diketahui kadar protein dari ketiga

sampel A, B, dan C berkisar antara

31-34%, dan kadar protein tertinggi

terdapat pada sampel A (45% keong

sawah, 45% tulang ayam, dan 10%

bekatul) yaitu sebesar 34,3981%

pada ulangan pertama, 34,2621%

pada ulangan kedua. Sehingga dari

data tersebut dapat dikatakan bahwa

pakan tutuyam telah sesuai dengan

kebutuhan protein untuk lele pada

umumnya.

Tubuh ikan tidak dapat

mensintesis protein dan asam amino

sehingga adanya protein dalam

pakan ikan mutlak dibutuhkan

(Mutirdjo, 2001). Menurut

Afriyanto, (1995) pakan dengan

kandungan protein rendah akan

mengurangi laju pertumbuhan,

proses reproduksi kurang sempurna,

dan dapat menyebabkan ikan

menjadi mudah terserang penyakit.

Uji fisik yang dilakukan terdiri

dari dua macam yaitu uji daya apung

dan stabilitas pakan dalam air. Untuk

mendapatkan uji daya apung pakan

dengan menghitung waktu yang

diperlukan oleh pakan sejenak

ditebarkan hingga tenggelam di

dasar wadah dan menghitung tingkat

ketahanan pakan dengan menghitung

berapa lama waktu yang dibutuhkan

hingga pakan lembek dan hancur.

Tabel 2. Tabel Pencatatan Waktu Analisis Fisik

Sampel

Pengujian

Daya

Apung

Pakan

Stabilitas

Pakan

dalam Air

A 2 menit 2 jam 28

menit

B 2,5 menit 2 jam 52

menit

C 2,2 menit 2 jam 50

menit

Berdasarkan data di atas, daya

apung sampel A memiliki waktu

yang paling kecil di antara dua

sampel lainnya. Sedangkan untuk

kedua sampel lainnya lebih dari 2

menit. Namun dari ketiga sampel

memiliki daya apung yang baik

sehingga pakan dapat dikonsumsi

ikan saat di permukaan dan pakan

tidak menumpuk di dasar kolam.

Selain itu, dipengaruhi adanya

komposisi lemak dalam pakan.

Menurut Mahyuddin (2008)

bahwa lemak berguna sebagai

sumber energi dalam beraktivitas

dan membantu penyerapan

mineral tertentu. Lemak juga

berperan dalam menjaga

keseimbangan dan daya apung

pakan dalam air.

Untuk uji stabilitas pakan

dalam air dari ketiga sampel

diperoleh waktu percobaan lebih

dari 2 jam dan kurang dari 3 jam.

Sehingga dari ketiga sampel di

atas menunjukkan bahwa tingkat

ketahanan pakan dalam air

ketiganya adalah baik karena

tidak mudah hancur saat di dalam

air Stabilitas pakan dalam air

yang baik daya larutnya antara 2-

RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442

Vol.1, No.1, Desember 2019:56-63

RJKM, Research Journal of KSI Mist| 62

3 jam. Apabila lebih dari batas

tersebut, berarti pakan sulit

dicerna. Sedangkan bila kurang,

bisa jadi pakan tersebut tidak

ditemukan (tidak dimakan)

karena terlalu cepat melarut

(Kordi, 2010).

c. Rencana Pengembangan

Tahapan berikutnya akan

dilakukan uji kimia lebih lanjut

terhadap pakan yaitu mengetahui

komposisi lemak, karbohidrat,

vitamin dan mineral. Untuk uji

efektivitas pakan Tutuyam, akan

dilakukan dalam 3 buah akuarium

berbeda. Dalam pengujian

digunakan analisis massa sebelum

dan sesudah diberi pakan

Tutuyam.

4. KESIMPULAN

Pembuatan pakan Tutuyam (Tutut

Tulang Ayam) dilakukan dengan cara

pengeringan bahan baku pakan (keong

sawah dan tulang ayam), penggilingan,

pembuatan adonan pakan dengan

komposisi variasi presentase tepung

keong sawah dan tulang ayam berturut-

turut yaitu A (45 % dan 45 %), B (40 %

dan 50 %), dan C (50 % dan 40 %) serta

10% bekatul untuk setiap variasi.

Kemudian dilakukan penggilingan

adonan dan pengeringan pakan. Ketiga

sampel A, B dan C memiliki kelayakan

konsumsi yang baik dengan daya apung

2-3 menit dan stabilitas dalam air yang

baik yaitu 2-3 jam. Dengan kadar protein

tertinggi terdapat pada sampel A yaitu

sebesar 34,3981% pada ulangan pertama,

34,2621% pada ulangan kedua.

5. REFERENSI

Afrianto, E dan Evi L. 2005. Pakan Ikan.

Kanisius. Yogyakarta.

Adijaya, D. 2016. Panduan Praktis

Pakan Ikan Lele. Penebar

Swadaya. Jakarta.

Capah, R. L. 2006. Kandungan Nitrogen

dan Fosfor Pupuk Organik Cair

dari Sludge Instalasi Gas Bio

dengan Penambahan Tepung

Tulang Ayam dan Tepung

Darah Sapi. Skripsi. Institut

Pertanian Bogor.

CV Prima. 2016. Hi-Pro-

Vite781 Pakan Ikan

Lele.Diakses dari

http://www.cpp.co.id/id/our-

business/feed-business/fish/hi-

pro-vite-781- pakan-ikan-lele

pada Sabtu, 8 April 2017, pukul

05.40 WIB.

Darseno. 2013. Budidaya Lele.

Agromedia Pustaka. Jakarta.

Fujaya, Y. 1999. Fisiologi Ikan. Rineka

Cipta. Jakarta.

Hardianto, V. 2002. Pembuatan tulang

ayam pedaging menggunakan

pengering drum (drum dym)

dengan penambahan bahan

pemutih (bleaching agent).

Skripsi. Institut Pertanian

Bogor.

Kordi, K. M. G. H. 2010. Budidaya Ikan

Lele di Kolam Terpal. Andi

Offset. Yogyakarta.

Mahyudin. 2008. Panduan Lengkap

Agribisnis Lele. Penebar

Swadaya. Jakarta.

RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442

Vol.1, No.1, Desember 2019:56-63

RJKM, Research Journal of KSI Mist| 63

Murtidjo, B. A. 2001. Pedoman Meramu

Pakan Ikan. Kanisius.

Yogyakarta.

Rasyaf M. 1990. Bahan Makanan

Unggas di Indonesia. Penerbit

Kanisius. Jakarta.

Saanin, H. 1994. Taksonomi dan Kunci

Identifikasi Ikan. Bina Cipta.

Jakarta.

Sahwan, M. F. 1999. Pakan Ikan dan

Udang, Formulasi, Pembuatan,

Analisis Ekonomi. Penebar

Swadaya. Jakarta.

Suryaningsih, S. 2014. Biologi Ikan Lele:

Pemanfaatan Belatung Ampas

Tahu sebagai Pakan Alternatif

untuk Peningkatan Produksi Ikan

Lele Dumbo. Hal. 9.

Wardhono, W. 2012. Pengaruh Rasio

Penggunaan Daging Tutut dan

Daging Sapi terhadap Sensori

Bakso Tutut. Skripsi. Universitas

Bandung Raya.

Zaroroh, A. F. 2013. Eksperimen

Pembuatan Abon Keong Sawah

dengan Substitusi Kluwih dan

Penggunaan Gula Yang Berbeda.

Food Science and Culinary

Education Journal. Vol (2): 2.

RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442

Vol.1, No.1, Desember 2019:64-

RJKM, Research Journal of KSI Mist| 64

SINTESIS DAN KARAKTERISASI NANOPARTIKEL CDOT LIMBAH

KUBIS (Brassica oleracea) DENGAN METODE PIROLISIS MICROWAVE

KATALIS ZEOLIT

Silfani1, Bella Sinta Himasari2, Indah Dwi Lestari3

1Pendidikan Fisika, FMIPA, Universitas Negeri Yogyakartara

email: [email protected]

2Pendidikan Fisika, FMIPA, Universitas Negeri Yogyakartara

email: [email protected]

3Pendidikan Kimia, FMIPA, Universitas Negeri Yogyakartara

email: [email protected]

Abstrak

Karbon dots (CDs) merupakan nanopartikel karbon yang dapat disintesis dari berbagai

sumber karbon. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui cara sintesis nanopartikel Cdots

dari limbah kubis dengan metode pirolisis katalis zeolit dan mengetahui karakterisasi

hasil pendaran karbon dots.Karbon dots dapat dibuat dari tumbuhan-tumbuhan, dan

dapat memanfaatkan limbah sayuran. Imbah sayuran yang digunakan dalam pembuatan

karbon dots ialah kubis. kubis (Brasissca oleracea) menurut Harjono, 1996, mengandung

karbohidrat, kalsium, fosfor, natrium, serta flavonoid. Flavonoid adalah senyawa yang

terdiri dari 15 atom karbon. Hal ini menjadikan potensi limbah kubis dapat dijadikan

sebagai sumber Cdot.Hasil sintesis nanopartikel karbon dots berbahan limbah kubis

dilakukan dengan metode pirolisis yang efektif pada suhu 100 oC dengan menambahkan

katalis zeolit. Hasil pendaran yang di lihat menggunakan laser menjadi lebih jernih

dengan kisaran warna violet 400-420 nm dan mendekati indigo 420-440 nm. Sintesis dan

karakterisasi hasil pendaran ikatan rantai karbon sebagai sumber utama dalam

pembuatan C-Dots menjadi fokus penelitian yang dikaji yang nantinya diharapkan dapat

menjadi nanopartikel terobosan baru sumber karbon organik.

Kata kunci: karbon dots, kubis, sintesis, zeolit.

RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442

Vol.1, No.1, Desember 2019:64-70

RJKM, Research Journal of KSI Mist| 65

1. PENDAHULUAN

Berdasarkan survei Badan

Pusat Statistik (BPS) tahun 2018

tentang Indeks Ketidakpedulian

Lingkungan Hidup (IKLH)

disebutkan bahwa IKLH

masyarakat Indonesia terhadap

sampah mencapai 80%. Kubis

yang merupakan salah satu

sayuran utama pertanian yang

murah, tinggi manfaat, banyak

dibudidayakan di Indonesia, dan

dapat dipasarkan tanpa

terpengaruh musim. Jumlah

produksi tertinggi di Indonesia

mencapai 1.363.741 ton.

Namun, setiap produksi dan

pemasaran, kulit kubis banyak

terbuang mencapai 25%.

Volume sampah dapur yang

melimpah di pasar dan tempat

umum lainnya disebabkan tidak

maksimalnya pengelolaan yang

dilakukan dan dapat

menimbulkan penyakit serta

pencemaran bagi lingkungan.

Jika dilihat dari unsur

penyusunnya, kubis (Brassica

oleracea) menurut Harjono

(1996) mengandung karbohidrat,

kalsium, fosfor, natrium, serta

flavonoid. Flavonoid adalah

senyawa yang terdiri dari 15

atom karbon. Hal ini menjadikan

potensi limbah kubis dapat

dijadikan sebagai sumber Cdot

Untuk dapat mensintesis

Cdots, teknik konversi yang

dapat diaplikasikan adalah

pirolisis. Peneliti memilih

microwave sebagai keunggulan

alat karena efektif menghasilkan

serbuk yang lebih kering dan

cepat dibanding teknik

konvensional, dengan

mengombinasikan penambahan

katalis yaitu zeolit karena ramah

lingkungan dan banyak terdapat

di alam. Penambahan katalis

mampu mempercepat proses

pembentukan sehingga jumlah

yang dihasilkan lebih banyak

dan kualitasnya meningkat.

Karbon dots (CDs)

merupakan nanopartikel karbon

yang dapat disintesis dari

berbagai sumber karbon. Dalam

penelitian ini, sintesis CDs dari

bahan organik peneliti

menggunakan daun kubis

sebagai bahan baku utama

karena dinilai berpotensi mampu

menghasilkan CDs serta mudah

dan murah dijumpai di

Indonesia. Sintesis dan

karakterisasi hasil pendaran

ikatan rantai karbon sebagai

sumber utama dalam pembuatan

C-Dots menjadi fokus penelitian

yang dikaji yang nantinya

diharapkan dapat menjadi

nanopartikel terobosan baru

sumber karbon organik.

2. METODE

Jenis penelitian yang

digunakan adalah penelitian

eksperimen.Waktu penelitian

dilakukan dari bulan Maret 2019

sampai Agustus 2019 bertempat

di Laboratorium Kimia dan

Laboratorium Fisika Material

FMIPA UNY dengan subjek

penelitian nanopartikel Cdots

dan objek penelitian

karakterisasi pendaran cahaya

dari nanopartikel cdots yang

dihasilkan dari limbah kubis.

Prosedur awal yaitu

RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442

Vol.1, No.1, Desember 2019:64-70

RJKM, Research Journal of KSI Mist| 66

mempersiapkan alat dan bahan

yang akan digunakan, membuat

katalis dari tumbukan zeolit

yang sudah berukuran kecil lalu

dicampurkan dengan larutan

NaOH 2M dan dipanaskan

selama 1 jam pada suhu 60oC

selanjutnya dioven selama 2 jam

pada suhu 110oC. Untuk limbah

kubis, dipotong berukuran kecil

kemudian dimasukkan ke

microwave yang sudah di beri

katalis untuk pemercepat

penyerapan air pada suhu 100oC,

190oC, dan 250oC. Hasil dari

pirolisis berupa serbuk padatan

dengan ukuran nano dan

pengujian sampelnya

menggunakan perpendaran

cahaya. Pembuatan katalis zeolit

yakni dengan cara

menghaluskan zeolit alam lalu

dicampurkan dengan larutan

NaOH 2M dandipanaskanselama

1 jam pada suhu 60oC

selanjutnya di oven selama 2

jam pada suhu 110o C.

Pemanasan menggunakan

metode pirolisis dengan

microwave ini dipanaskan dalam

suhu 100oC, 190oC, dan 250oC

dan mendapatkan hasil berupa

padatan serbuk berukuran

nanopartikel Analisis data

dilakukan dengan cara melihat

perpendaran cahaya pada sampel

dilakukan untuk membuktikan

bahwa berhasil dalam

pembuatan sampel dengan

terjadinya perbedaan cahaya

yang melewati larutan sampel

tersebut. Kemudian disajikan

dalam bentuk diagram batang

dan dianalisis secara deskriptif.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil Pengujian dengan Sinar

Laser (Photoluminesence)

Hasil sintesis Cdots dari

limbah kubis dengan

konsentrasi 250, 190, 100 yang

dilarutkan pada aquades

memiliki warna yang berbeda-

beda. Konsentrasi 250 dengan

katalis zeolit dan yang tidak

menggunakan katalis zeolit

sama-sama memiliki warna

coklat pekat, konsentrasi 190

yang menggunakan katalis

zeolit memiliki warna coklat

terang dan lebih jernih

dibandingkan dengan

konsentrasi 190 yang tidak

menggunakan katalis zeolit

dan konsentrasi 100 yang tidak

menggunakan katalis zeolit

memiliki warna lebih jernih

dibandingkan dengan

konsentrasi 100 dengan katalis

zeolit. Pekat dan jernihnya

suatu larutan dapat disebabkan

karena adanya senyawa yang

terbentuk dari ion zeolit aktif

dan C-dots maupun akibat

pengenceran dengan aquades

sebagai pelarutnya.

Salah satu yang menjadi

ciri dari sifat Cdots adalah

luminisensi. Cdots yang telah

disintesis memiliki

karakteristik luminisensi yang

dapat dilihat pada sumber

eksitasi sinar UV. Sinar UV

yang diserap mampu

membangkitkan elektron dan

menghasilkan cahaya yang

disebabkan oleh elektron yang

mengalami proses rekombinasi

(de-eksitasi) karena elektron

bergabung kembali dengan

hole sehingga hole menjadi

hilang. Saat proses deeksitasi

ini dilepaskan energi berupa

RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442

Vol.1, No.1, Desember 2019:64-70

RJKM, Research Journal of KSI Mist| 67

panas atau pemancaran cahaya.

Keberhasilan Cdots yang telah

disintesis dapat diketahui

dengan menggunakan

beberapa pengujian.

Pengujian sederhana yang

dilakukan untuk mengetahui

keberhasilan dari sintesis

Cdots adalah dengan

menyinari sampel tersebut

dengan laser UV berwarna

ungu. Berlangsungnya proses

luminesensi harus

menggunakan sumber eksitasi

seperti lampu UV atau laser.

Luminisens terjadi ketika

elektron meloncat dari pita

valensi menuju pita konduksi

setelah dieksitasi oleh energi

dari sumber eksitasi kemudian

kembali lagi ke keadaan

dasarnya karena tidak stabil.

Konsentrasi 250, 190 dan 100

memiliki pendaran yang sama

yakni warna hijau, tampak

sekilas perbedaannya pada

tingkat intensitas menjadi

warna kuning. Hal tersebut

juga berlaku pada Cdots

dengan konsentrasi 250, 190

dan 100 yang diberikan katalis

zeolit. Urutan intensitas

pendaran tertinggi ke terendah

untuk Cdots tanpa katalis

zeolit secara kualitatif yaitu

Cdots 100, 190, 250 dan

urutan intensitas pendaran

Cdots dengan katalis zeolit

secara kualitatif yaitu Cdots

100, 190, 250. Berikut

perbandingan pendaran

cahaya:

Gambar 3.1 Photoluminesence Cdots

konsentrasi100, 100-zeolit, 190, 190-

zeolit, 250 dan 250-zeolit

3.2 Pembahasan Hasil Karakterisasi

Photoluminesence (PL)

Transisi dari keadaan

tereksitasi (LUMO) ke keadaan

dasar (HOMO), spektrum PL

terdiri dari emisi panjang

gelombang eksitasi dalam nm

pada sumbu X dan intensitas

pada sumbu Y. Nilai panjang

gelombang ini menunjukkan

bahwa molekul menyerap energi

dapat digunakan sebagai

panjang gelombang eksitasi.

Spektrum fluoresensi digunakan

RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442

Vol.1, No.1, Desember 2019:64-70

RJKM, Research Journal of KSI Mist| 68

untuk mengetahui sampel yang

dihasilkan dan akan

menghasilkan intensitas

fluoresensi yang kuat pada

panjang gelombang emisi

maksimum saat dieksitasi di

panjang gelombang tertentu.

Sampel Cdot konsentrasi 100,

100-zeolit, 190, 190-zeolit, 250

dan 250-zeolit dilakukan

karakterisasi PL dengan panjang

gelombang eksitasi kisaran

warna violet 400-420 nm dan

mendekati indigo 420-440 nm.

Hasil karakterisasi PL dari

ketiga sampel tersebut

ditunjukkan secara deskriptif

dengan Gambar bahwa zeolit

dalam penentuan Cdots dari

limbah kubis dinilai kurang

efektif dikarenakan

terbentuknya suatu senyawa

yang terdiri dari ion negatif

zeolit dan ion positif Cdots,

selain itu hal ini juga disebabkan

karena zeolit bersifat katalis

adsorben yang berarti akan

menyerap partikel zat tertentu ke

dalam zeolit tersebut yang

berarti kedua hal ini

mengakibatkan larutan berwarna

lebih keruh pada konsentrasi

190. Pada konsentrasi 100

dengan zeolit dapat berwarna

lebih jernih akibat ion negatif

zeolit tidak membentuk senyawa

matriks (pengganggu/pengeruh)

dengan Cdots karena jumlah

Cdots dinilai sedikit. Sinar laser

UV tidak mampu

memfluoresensi Cdots dengan

konsentrasi 250 karena larutan

tersebut sangat pekat sehingga

tidak mampu ditentukan

fluoresensinya secara kualitatif

maupun deskriptif. Oleh karena

itu, diperlukan penelitian lebih

lanjut terkait Cdots dengan

metode sintesis yang lain untuk

lebih mengetahui data kuantitatif

secara lebih akurat sepeti XRD

dan untuk perkembangan

diperlukan pengujian TEM

untuk mengetahui morofologi

permukaan sehingga dapat

karakter Cdots lebih jauh.

4. KESIMPULAN

Sintesis nanopartikel Cdots

dari bahan limbah kubis

(Brasissca oleracea) dapat

dilakukan dengan cara metode

pirolisis menggunakan

microwave dengan

menambahkan katalis zeolit

yang efektif pada 100 oC.

Karakterisasi hasil pendaran

nanopartikel Cdots dari limbah

kubis (Brasissca oleracea) dapat

dilakukan dengan menyinari

sampel menggunakan laser,

khusushnya warna ungu yang

menghasikan warna terang dan

dengan penambahan katalis

menjadi lebih jernih dengan

kisaran warna violet 400-420 nm

dan mendekati indigo 420-440

nm.

5. REFERENSI

BPS,2018,Statistika Indeks

Ketidakpedulian

Lingkungan

Hidup,Jakarta

Breck, D.W. 1974. Zeolite

Molecular Sieves,

Structure, Chemistry, and

Use. New York: John

Willey and Sons, Inc.

Brown, R.C., and J. Holmgren, Fast

Pyrolysis and Bio-oil

Upgrading, Iowa State

RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442

Vol.1, No.1, Desember 2019:64-70

RJKM, Research Journal of KSI Mist| 69

University and UOP

Honeywell Co, 2008.

Cejka, J., Bekkum, H. v. & Corma,

A. 2007. Introdustion to

Zeolite Science and

Practice, Oxford,

Elsevier.

Danarto,Prasetyo,Ferry.2010.”Piroli

sis Limbah Serbuk Kayu

dengan Katalisator

Zeolit”.Prosiding Seminar

Nasioal Teknik Kimia,26

Januari, 2010.

Dody, Widya, dkk.2015.”Pengaruh

Penggunaan Katalis

(Zeolit) Terhadap Kinetic

Rate Tar Hasil Pirolisis

Serbuk Kayu Mahoni

(Switenia

Macrophylla)”.Rekayasa

Mesin,Vul.6,No.1 Tahun

2015:19-25.

Fachrizal, N., R. Mustafa, M.

Pramudji. 2012.

Rancangg Bangun

Perangkat Eksperimen

Proses Pirolisis Biomasa

Gelombang Mikro. B2TE

BPPT, Kawasan

Puspiptek Gd. 620,

Tangerang Selatan.

Harjono, 1996. Melirik Bisnis Tani

Kubis Bunga. CV Aeka :

Solo.

Hermayana.2017.PIROLISIS

CAMPURAN BAGAS

TEBU DAN MINYAK

BIJI KARET DENGAN

PERBANDINGAN

REAKTAN YANG

BERBEDA MENJADI

BAHAN BAKAR CAIR

MENGGUNAKAN

ZEOLIT-A BERBASIS

SILIKA SEKAM PADI

SEBAGAI KATALIS.

Lampung.

Jiang J, He Y, Li S, Cui H. 2012.

Amino acids as the source

for producing carbon

nanodots: microwave

assisted one-step

synthesis, intrinsic

photoluminescence

property and intense

chemiluminescence

enhancement. Chem

Commun. 48:9634-

9636.doi:10.1039/c2cc34

612e.

N. R. Pires et al., “Novel and fast

microwave-assisted

synthesis of carbon

quantum dots from raw

cashew gum,” J. Braz.

Chem. Soc., vol. 26, no.

6, pp. 1274-1282, Jun.

2015.

Permadi, A.H., dan

S.Sastrosiswojo.1993.

Kubis. Badan Penelitian

dan Pengembangan

Pertanian Balai Penelitian

Hortikultura. Lembang.

Qu S, Wang X, Lu Q, Liu X, Wang

L. 2012. A biocompatible

fluorescent ink based on

water-soluble luminescent

carbon nanodots. Angew

Chem. 124:1-

5.doi:10.1002/ange.20120

6791.

R. Jelinek, Carbon Quantum Dots:

Synthesis, Properties, and

Applications (Carbon

Nanostructures Series).

Switzerland: Springer,

2017.

Rahmayanti, H. D.(2015). Sintesis

Carbon Nanodots Sulfur

RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442

Vol.1, No.1, Desember 2019:64-70

RJKM, Research Journal of KSI Mist| 70

(C-Dots Sulfur) dengan

Metode Microwave.

Skrpsi: Universites Negeri

Semarang.

Salamba, Wenni

Amiruddin.2018.SINTESI

S CARBON DOTS(C-

DOTS) DARI BAHAN

GULA PASIR DENGAN

TEKNIK MICROWAVE

UNTUK MENDETEKSI

LOGAM BERAT

BESI.Makassar.

Siti, Isnaeni, dkk.2017.”Sintesis

dan Karakterisasi

Fotoluminisens Carbon

Dots Berbahan Dasar

Organik dan Limbah

Organik”.Positron,Vol.VI

I,No.2,2017,Hal.37-41.

X. Xu et al., “Electrophoretic

analysis and purification

of fluorescent single-

walled carbon nanotube

fragments,” J. Am. Chem.

Soc., vol. 126, no. 40, pp.

12736-12737, Sep. 2004.

Yang Z, Li Z, Xu M, Ma Y, Zhang J, Su

Y, Gao F, Wei H, Zhang L.

2013. Controllable synthesis of

fluorescent carbon dots and their

detection 16 application as

nanoprobes. Nano-Micro Lett.

5(4):247-

259.doi:10.5101/nml.v5i4.p247-

259.

RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442

Vol.1, No.1, Desember 2019:71-75

RJKM, Research Journal of KSI Mist| 71

BLUE LEN (BROMELIA FOR SOURCE ELECTRICAL ENERGY) BASED

PLANT MICROBIAL FUEL CELL SEBAGAI ALTERNATIF SUMBER

ENERGI LISTRIK YANG TERJANGKAU

Zulkaisi Dwi Pangarso1), Bella Sinta Hikmasari2), Shilvi Woro Satiti3)

1 Pendidikan Fisika, FMIPA, UNY

email: [email protected]

2 Fisika, FMIPA, UNY

email: [email protected]

3 Kimia, FMIPA, UNY

email: [email protected]

Abstrak

Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero) tahun 2010-

2019 menyebutkan, kebutuhan listrik diperkirakan mencapai 55.000 MW. Jadi rata-rata

peningkatan kebutuhan listrik pertahun 5.500 MW. Meskipun listrik menjadi kebutuhan

primer, namun hingga saat ini penyediaan listrik di Indonesia masih belum merata,

terutama di daerah terpencil yang sulit dijangkau jaringan listrik, sehingga banyak

perumahan yang belum memiliki penerangan yang layak. Pemanfaatan energi alternatif

berbasis Plant Microbial Fuel Cell (PMFC) menggunakan tanaman Blomeria dimana

tanaman ini masih banyak di jumpai di Indonesia dan biasanya hanya digunakan sebagai

tanaman hias di dalam pot. PMFC yaitu sistem yang memanfaatkan hasil fotosintesis

dari tumbuhan. Sebesar 70% hasil dari fotosintesis tumbuhan akan dibuang ke akar dan

dipecah oleh mikroorgannisme menjadi CO2. H2O, dan elektron. Dengan memberikan

elektroda berupa grafit, elektron yang dihasilkan dari proses pemecahan hasil

fotosintesis akan mengalir menuju elektroda sehingga menghasilkan tegangan dan arus

listrik. Tegangan listrik yang dihasilkan oleh tanaman Blomeria yang ditanam dalam pot

berdiameter 25 cm selama 6 hari mencapai tegangan yang paling optimal pada

penyiraman dengan variasi air 200 ml dimana tegangan yang dihasilkan dengan rata-

rata 0.26 Volt , dari hasil tegangan tersebut dapat dihasilkan daya listrik 2,76 µW

selama 6 hari sehingga tanaman ini dapat disebut tanaman yang memiliki fungsi ganda

yakni dapat dimanfaatkan masyarakat sebagai tanaman hias sekaligus penghasil listrik.

Kata kunci: Bromelia, Grafit, dan Plant Microbial Fuel Cell.

RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442

Vol.1, No.1, Desember 2019:71-75

RJKM, Research Journal of KSI Mist| 72

1. PENDAHULUAN

Setiap tahunnya jumlah penduduk

Indonesia terus bertambah, berdasarkan

data BPS (2017) dari tahun 2000-2017

jumlah penduduk Indonesia mencapai

237,6 juta jiwa dan akan terus bertambah

tiap tahunnya. Seiring dengan

bertambahnya jumlah penduduk di

Indonesia maka kebutuhan energi

terutama energi listrik semakin

meningkat. Kebutuhan energi harus

diiringi dengan produksi energi sehingga

tidak menyebabkan Indonesia mengalami

krisis energi.

Keterbatasan energi listrik di

Indonesia akan memberi dampak buruk

bagi masyarakat. Keterbatasan energi

listrik Indonesia memberikan dampak

salah satunya distribusi energi listrik yang

tidak merata. Menurut data Kementerian

ESDM sampai dengan tahun 2017, rasio

elektrifikasi Indonesia masih mencapai

95,35%. Pemenuhan rasio elektrifikasi ini

masih menggunakan energi fosil seperti

batubara sebesar 57,22%, gas sebesar

24,82%, dan BBM sebesar 5,81%

(esdm.go.id), bahan bakar fosil ini jika

digunakan secara terus menerus akan

habis. Untuk mengatasi masalah tersebut

solusi yang terbaik adalah mengganti

energi fosil dengan energi alternatif yang

ramah lingkungan. Namun, pemanfaatan

energi alternatif masih sangat sedikit,

yaitu hanya sebesar 5% (esdm.go.id). Itu

dikarenakan energi yang dihasilkan dan

perawatannya masih belum efisien. Oleh

karena itu, perlu dilakukan penelitian

terkait dengan sumber energi terbarukan

yang ramah lingkungan sebagai pengganti

bahan bakar fosil untuk meningkatkan

rasio elektrifikasi di Indonesia.

Plant Microbial Fuel Cell (PMFC)

adalah sebuah teknologi baru yang

memungkinkan terjadinya konversi energi

solar/matahari menjadi listrik melalui

mekanisme syntrophy (simbiosis dalam

hal nutrisi) antara tanaman dan bakteri

(Lu et al., 2015). PMFC merupakan

teknologi potensial yang tidak

dipengaruhi oleh cuaca, dapat

diaplikasikan di semua tempat di dunia

dimana tanaman dapat

tumbuh/berkembang, tidak menyebabkan

persaingan dengan produksi pangan atau

pakan, dan biaya investasi yang

dibutuhkan relatif rendah (Helder et al.,

2012).

Pada PMFC, tanaman akan

menghasilkan glukosa dari proses

fotosintesis. Sebanyak 70% glukosa akan

dibuang ke dalam tanah dan dimanfaatkan

oleh mikroorganisme untuk proses

metabolisme (Moqsud et al., 2015). Hasil

dari metabolisme berupa elektron-

elektron yang ditangkap oleh anoda dan

katoda sehingga dapat menghasilkan

listrik. Pada penelitian ini dilakukan

dengan memanfaatkan tanaman hias yang

mudah tumbuh di Indonesia yaitu

bromelia. Tanaman ini merupakan jenis

tumbuhan herba yaitu tumbuhan yang

tumbuh pada media tanam yang cukup

basah, sehingga berpotensi terdapat

mikrooganisme yang melimpah dalam

tanah. Adanya mikroorganisme yang

melimpah diharapkan dapat memperbesar

jumlah listrik yang dihasilkan. Dengan

adanya pemanfaatan bromelia di

Indonesia sebagai sumber energi listrik,

maka diharapkan listrik yang dihasilkan

akan berkelanjutan dan dapat

menanggulangi krisis energi di Indonesia.

2. METODE

a. Alat dan Bahan

Pot tanaman, tanaman

bromelia, tanah, air, multimeter,

elektroda karbon grafit

b. Desain Penelitian

RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442

Vol.1, No.1, Desember 2019:71-75

RJKM, Research Journal of KSI Mist| 73

Gambar 2. Skema BLUE LEN

c. Pengumpulan Data

Pengambilan data berupa

output tegangan listrik dari

tanaman hias bromelia dilakukan

selama 3 kali sehari yaitu pukul

09.00, 12.00 dan 15.00. Tanaman

disiram sehari sekali yaitu pada

pukul 07.00 dengan takaran 100

ml, 200 ml, dan 300 ml. Setiap

tanaman dilakukan pengulangan 2

kali

d. Analisis Data

Data yang diperoleh dengan

cara dibuat grafik hubungan

antara waktu (hari) sebagai sumbu

x terhadap tegangan listrik

sebagai sumbu y. Tegangan listrik

diukur pada setiap pot yang telah

diberi variasi perlakuan, sehingga

akan diperoleh 1 buah grafik.

Grafik dianalisis berdasarkan

pengaruh variasi volume air

terhadap tegangan listrik yang

dihasilkan seiring bertambahnya

waktu. Analisis dibandingkan

dengan literatur

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

a. Pengaruh Volume Air

Penyiraman terhadap Keluaran

Tegangan yang Dihasilkan

Berdasarkan penelitian yang

telah dilakukan menggunakan

variasi volume air penyiraman,

diperoleh hasil tegangan listrik

output dari tanaman bromelia

selama 6 hari sebagai berikut:

Gambar 3. Grafik Hubungan

Tegangan terhadap Waktu

Pada gambar diatas diketahui

bahwa perlakuan dengan volume

air penyiraman sebesar 200 ml

memberikan tegangan yang tinggi

dan selalu mengalami kenaikan

dibandingkan dengan perlakuan

yang lain. Rata-rata tegangan

pada tanaman yang disiram 100

ml air adalah 0,13 V; 200 ml air

adalah 0,26 V dan 300 ml air

adalah 0,23 V. Menurut Strik et

al., (2008), semakin tinggi jumlah

air (kelembaban) yang terdapat

pada media tumbuh tanaman

maka dapatmeningkatkan jumlah

mikroorganisme yang hidup di

dalamnya. Dengan semakin

banyaknya mikroorganisme yang

bertindak sebagai biokatalis maka

ia akanmenggunakan sebagian

energi kimia dari substrat untuk

metabolisme dan

sekaligusmengantarkan elektron

ke anoda sel bahan bakar

elektrokimia (Strik et al., 2008)

RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442

Vol.1, No.1, Desember 2019:71-75

RJKM, Research Journal of KSI Mist| 74

sehingga dapat meningkatkan

nilai tegangan yang dihasilkan.

Namun jumlah air yang

terkandung mempunyai batas

maksimal, karena apabila terlalu

banyak air dalam tanah dapat

menyebabkan kebusukan pada

akar tanaman, sehingga

fotosintetis yang terjadi kurang

optimal. Fotositesis yang berjalan

dengan baik akan menghasilkan

tegangan yang lebih optimal.

Pada penyiraman 100 ml

tegangan yang dihasilkan terlalu

kecil, hal ini karena kelembaban

tanah yang rendah sehingga

tegangan yangdihasilkan semakin

kecil. Pada penyiraman 200 ml

memiliki kelembaban yang paling

optimum, hal ini memacu

mikroorganisme untuk hidup

sehingga dapat menghasilkan

elektron yang semakin banyak

dari proses metabolisme

danmeningkatkan tegangan yang

dihasilkan. Pada penyiraman 300

ml tegangan terus turun pada hari

ke-2, karena volume air yang

diberikan terlalu banyak sehingga

memicu pembusukan pada akar

tanaman yang berakibat pada

tidak optimumnya fotosintetis

yang dilakukan tanaman.

b. Daya BLUE LEN

Berdasarkan penelitian yang

telah dilakukan, telah didapatkan

tegangan listrik output dan besar

arus listrik dari BLUE LEN.

Berdasarkan data yang telah

diperoleh tersebut maka dapat

ditentukan daya yang dihasilkan

BLUE LEN selama 6 hari dengan

menggunakan persamaan daya

listrik.

P = V.I

Berdasarkan persamaan diatas

didapatkan daya pada setiap

variasi, yaitu 100 ml didapatkan

daya 0,70 µW; 200 ml didapatkan

daya 2,76 µW; dan 300 ml

didapatkan daya 2,12 µW.

Dengan daya optimal diperoleh

pada penyiraman air dengan

volume 200 ml yakni 2,76 µW.

Penelitian tersebut baru

dilaksanakan selama 6 hari, jika

penelitian ini dilaksanakan selama

1 bulan (30 hari) berarti

didapatkan 13,8 µW.

RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442

Vol.1, No.1, Desember 2019:71-75

RJKM, Research Journal of KSI Mist| 75

4. KESIMPULAN

Perlakuan yang menghasilkan

tegangan yang paling optimal adalah

penyiraman dengan variasi air 200 ml

dimana tegangan yang dihasilkan

dengan rata -rata 0.26 Volt, dari hasil

tegangan tersebut dapat dihasilkan

daya listrik 2,76 µW selama 6 hari

sehingga tanaman ini dapat disebut

tanaman yang memiliki fungsi ganda

yakni dapat dimanfaatkan masyarakat

sebagai tanaman hias sekaligus

penghasil listrik.

5. REFERENSI

Helder, Marjolein., Strik, David

PBTB., Hamelers, Hubertus VM., dan

Buisman, Cees JN. 2012. The Flat-

Plate Plant-Microbial Fuel Cell: The

Effect of a New Design on Internal

Resistances. Biotechnology for

Biofuels. 5: 1-11.Lu, Lu., Xing,

Defeng., Ren, Zhiyong Jason. 2015.

Microbial Community Structure

Accompanied with Electricity

Production in a Constructed Wetland

Plant Microbial Fuel Cell.

Bioresource Technology. 195: 115-

121.

Moqsud, et.al. 2015. Compost in plant

microbial fuel cell for

bioelectricity generation. Waste

Management. 36(2015): 63–69.

Strik, D.P.B.T.B.; et.al. 2008. Green

electricity production with living

plants and bacteria in a fuel cell.

Int. J. Energy Res. 32, P. 870-876.

RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442

Vol.1, No.1, Desember 2019:76-80

RJKM, Research Journal of KSI Mist| 76

Pemanfaatan Limbah Onggok dan Ampas Tahu sebagai Pakan

Kaya Nutrisi untuk Mempercepat Pertumbuhan Cacing ANC

Bella Sinta Hikmasari1), Laatifah2), Pujianto3)

1Mahasiswa Jurusan Pendidikan Fisika, FMIPA, Universitas Negeri Yogyakarta

email: [email protected]

2Mahasiswa Jurusan Pendidikan Fisika, FMIPA, Universitas Negeri Yogyakarta

email: [email protected]

3Dosen Jurusan Pendidikan Fisika, FMIPA, Universitas Negeri Yogyakarta

email: [email protected]

Abstrak

Cacing memiliki manfaat untuk dijadikan pakan hewan ternak. Cacing mengandung

berbagai macam nutrisi seperti protein, lemak, energy, air, mineral dan asam amino.

Keuntungan membudidayakan cacing ini sangat besar, karena dalam satu hari satu

cacing bisa bertelur 1, satu bulan 1 kg berlipat menjadi 2kg dan kelipatan

seterusnya.Penambahan pakan berupa limbah onggok dan ampas tahu ini untuk

mempercepat pertumbuhan cacing dan jumlah bobot cacing serta mengurangi jumlah

limbah onggok dan ampas tahu yang dihasilkan oleh pabrik. Kanduungan bahan ekstrak

tanpa nitrogen (BETN) dalam onggok dapat mencapai 71.64%. berdasarkan tingginya

kandungan BETN ini, maka onggok dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan sumber

energy untuk ternak (Puslitbangnak, 1996). Terdapat laporan bahwa kandungan ampas

tahu yaitu protein 8.66%, lemak 3.79%, air 51.63% dan abu 1.21%, maka sangat

memungkinkan ampas tahu dapat diolah menjadi bahan makanan ternak (Dinas

Peternakan Provinsi Jawa Tiimur, 2011). Dari hasil penelitian Limbah ampas tahu dan

limbah onggok mampu meningkatkan pertumbuhan berat cacing merah antara 0,5-1 kg

dan memiliki kandungan yang dibutuhkan oleh cacing.Sehingga penelitian ini dapat

dijadikan alternative untuk meningkatkan produksi cacing dan pemasukan bagi peternak

cacing.

Kata kunci: ampas tahu, cacing, onggok, pakan.

RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442

Vol.1, No.1, Desember 2019:76-80

RJKM, Research Journal of KSI Mist| 77

1. PENDAHULUAN

a. Latar Belakang

Permintaan pasar terhadap

cacing semakin tinggi dan terus

meningkat, hal ini dikarenakan

cacing mengandung berbagai

macam nutrisi seperti protein,

lemak, energy, air, mineral dan

asam amino. Kandungan

tersebut membuat cacing

memiliki manfaat mulai dari

pakan hewan ternak seperti ikan,

burung dan pembuatan bahan

dasar kosmetik dan obat farmasi.

Hal tersebut membuat

KOPPINDO (Koperasi Peternak

dan Petani Indonesia) sebagai

salah satu wadah yang

menaungi, membawa dan

melindungi para petani dan

peternak, beinisiatif untuk

menggerakkan atau

mempelopori masyarakat agar

beternak cacing.

Jenis cacing yang ingin

dibudidayakan yaitu cacing

ANC. Cacing ini berasal dari

dataran benua Afrika dan saat ini

banyak dikembangkan untuk

keperluan peternakan diberbagai

penjuru dunia juga di Indonesia

cacing African ini atau dikenal

dengan sebutan ANC adalah

cacing lokal yang biasa

digunakan untuk umpan di

pemancingan dan campuran

pakan ikan/ternak karena

kandungan proteinnya yang

tinggi. Dari sisi ukuran, Cacing

African Night Crawler (ANC)

lebih besar dibandingkan dengan

jenis cacing tanah yang lain.

Secara garis besar Cacing ANC

tumbuh baik pada kisaran suhu

24-30°C. Berat Maksimum 2,5

gr dalam waktu 8-10 minggu

dan mempunyai kemampuan

reproduksi yang tinggi serta

mempunyai gerakan yang

cenderung lamban.

Onggok adalah salah satu

limbah pertanian dan

agroindustri yang dapat

dijadikan sebagai pakan ternak.

Onggok tersedia dalam jumlah

yang berlimpah sehingga mudah

didapat, harganya murah dan

tidak bersaing dengan kebutuhan

manusia. Onggok berasal dari

pengolahan ubi kayu menjadi

tepung tapioca merupakan

limbah padat yang masih

mengandung protein dan

karbohidrat sebagai ampas pati,

kanduungan bahan ekstrak tanpa

nitrogen (BETN) dalam onggok

dapat mencapai 71.64%.

berdasarkan tingginya

kandungan BETN ini, maka

onggok dapat dimanfaatkan

sebagai bahan pakan sumber

energy untuk ternak

(Puslitbangnak, 1996).

Sedangkan Ampas tahu

merupakan limbah padat yang

diperoleh dari proses pembuatan

tahu dari kedelai. Ditinjau dari

komposisi kimianya ampas tahu

dapat digunakan sebagai sumber

protein. Terdapat laporan bahwa

kandungan ampas tahu yaitu

protein 8.66%, lemak 3.79%, air

51.63% dan abu 1.21%, maka

sangat memungkinkan ampas

tahu dapat diolah menjadi bahan

makanan ternak (Dinas

RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442

Vol.1, No.1, Desember 2019:76-80

RJKM, Research Journal of KSI Mist| 78

Peternakan Provinsi Jawa

Tiimur, 2011). Berdasarkan

pernyataan tersebut, kami

berinovasi untuk menmbuat

pakan ternak dari bahan

keduanya. Tujuan pembuatan

pakan ini yaitu untuk mencapai

hasil maksimal ketika ternak

cacing.

2. METODE

a. Subjek dan Objek Penelitian

Subjek penelitian ini adalah

kandungan yang terkandung

pada onggok dan ampas

tahu.Objek pada penelitian ini

yaitu perbedaan pertumbuhan

bobot cacing Anc yang diberi

pakan ampas tahu dan onggok

dengan pakan dari limbah

sayuran. Cacing yang digunakan

sebanyak 6 Kg.

b. Variabel Penelitian

Variable-variabel yang

digunakan sebagai berikut :

1) Variabel bebas

Variabel bebas pada

penelitian ini adalah

variasi pemberikan pakan

dengan perbandingan

komposisi yang berbeda.

2) Variabel terikat

Variabel terikat pada

penelitian ini adalah

peniingkatan bobot cacing

yang diberi pakan onggok

dan ampas tahu dengan

perbandingan komposisi

yang berbeda.

3) Variabel kontrol

Variabel kontrol pada

penelitian ini adalah

pemberian berat pakan dan

minum.

c. Alat Dan Bahan

Waktu penelitian dilakukan

selama 3 bulan. Alat-alat yang

digunakan yaitu Penampang besar,

lampu, kabel, piting, ember besar,

timbangan, pengaduk dan rak

kayu tingkat. Pemberian pakan

dari onggok dan ampas tahu ini

diberikan ke cacing 3 kali sehari.

d. Prosedur Penelitian

1) Persiapan

Langkah awal pada penelitian

ini adalah persiapan.

Persiapan yang dilakukan

yaitu persiapan media ternakk,

serta persiapan pakan,

menyiapkan cacing yang akan

dijadikan penelitian.

2) Pengukuran

Pengukuran pada penelitian

ini dilakukan saat pemilihan

jenis bibi cacing anc dan

banyaknnya bobot.

3) Penimbangan

Untuk mengetahui keefektifan

limbah onggok dan limbah

ampas tahu dalam

pertumbuhan berta badan

cacing, maka dilakukan

penimbangan berta cacing

anc Sampel diukur

berdasarkan bobot yang sama

kemudian diberi pakan

limbah ampas tahu dan

onggok. Setiap 2 minggu

sekali ditimbang untuk

melihat penggemukan yang

ada pada sampel. Untuk

mengukur ini menggunakan

rumus: PBBH= Bobot Akhir (g) – Bobot Badan Awal (g)

Waktu (hari)

4) Pengukuran

RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442

Vol.1, No.1, Desember 2019:76-80

RJKM, Research Journal of KSI Mist| 79

Pengukuran bobot badan akhir

setelah 15 hari diberi pakan

limbah ampas tahu dan limbah

onggok dan mencatat

perubahan berat kelincinya.

5) Pengamatan

Pengamatan dilakukan setiap

hari untuk mengtahui tentang

perubahan yang ada pada

sampel meliputi peningkatan

berat cacing.

d. Teknik Analisis Data

Dari hasil penelitian yang

dilakukan, bila sudah didapat

data-data yang dibutuhkan maka

Pertambahan bobot cacing dapat

diketahui dengan cara sebagai

berikut

PBBH= Bobot Badan Akhir (g) – Bobot Badan Awal (g)

Waktu (hari)

Sedangkan keefisienan

pemberian pakan kepada cacing

terhadap pertambahan bobot

cacing dapat dihitung dengan cara

sebagai berikut

Konversi pakan = Konsumsi pakan (g)

Berat cacing (g)

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Setelah pemakaian pakan dari

ampas tahu dan onggok pertambahan

bobot dapat dilihat pada table berikut

Sedangkan pertambahan bobot cacing

dengan pakan sayuran dan bekatul sesuai

table berikut :

Minggu

ke-

Jumlah berat cacing setiap

bulan(Kg)

A B C

Mula-mula 1 1 1

1 1,2 1,16 1,22

2 1,41 1,34 1,31

3 1,5 1,54 1,45

Dari 2 tabel diatas terlihat bahwa cacing

yang diberi pakan limbah ampas tahu

mengalami kenaikan berat badan rata-rata

sebesar 2,75-3 ons/minggu, sedangkan

cacing yang diberi pakan ampas bir

mengalami kenaikan rata-rata setiap

cacing sebesar 1,5-2 ons/minggu. Bila

dihitung dengan rumus

PBBH= Bobot Badan Akhir (g) – Bobot Badan Awal (g)

Waktu (hari)

Maka artinya cacing yang menggunakan

pakan bekatul dan sayuran kenaikan rata-

rata setiap cacing sebesar 1,5-2

ons/minggu. Ini sama artinya bahwa

pertumbuhan cacing setelah pemberian

pakan limbah ampas tahu dan limbah

onggok mampu memberikan kenaikan

rata-rata 0,4 ons setiap harinya,

sedangkan pertumbuhan cacing yang

diberi pakan bekatul dan sayur-sayuran

mampu menghasilkan peningkatan rata-

rata 0.1 ons setiap harinya.

Minggu

ke-

Jumlah berat cacing

setiap bulan(Kg)

A B C

Mula-mula 1 1 1

1 1,3 1,35 1,28

2 1,525 1,6 1,63

3 1,8 1,82 1,9

RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442

Vol.1, No.1, Desember 2019:76-80

RJKM, Research Journal of KSI Mist| 80

4. KESIMPULAN

Sesuai dengan data yang

didapatkan dari hasil penelitian kami

maka kesimpulannya adalah pakan

ternak cacing dari ampas tahu dan

onggok efektif untuk menambah

bobot pada cacing ANC. Dengan

kenaikan rata-rata 0,4 ons setiap

harinya.

5. REFERENSI

Vdyana Ary Nyoman,Tantalo

Syahrio, dan liman.Survei

Sifat Fisik Dan Kandungan

Nutrien Onggok Terhadap

Metode Pengeringan Yang

berbeda Di Dua Kabupaten

Provinsi

Lampung.Lampung.Univers

itas Lampung.

Sunarjo dan Yuniarti

Sari.2017.Pemanfaatan

Sayur Buangan untuk Pakan

cacing African Night

Crawler (ANC) sebagai

Bahan Pembuat Pelet.

Malang.Unmer Malang.

Brata, Juliansyah,

Zain.2017.”Pengaruh

Pemberian Ampas Tahu

sebagai Campuran Pakan

terhadap Pertumbuhan

Cacing Tanah”.Sain

Peternakan

Indonesia,Vol.12 No.3, Juli-

September,2017.

Vidyana, dkk.”Survei Sifat Fisik Dan

Kandungan Nutrien Onggok

Terhadap Metode

Pengeringan Yang Berbeda

Di Dua Kabupaten Provinsi

Lampung”.Bandar

Lampung.

RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442

Vol.1, No.1, Desember 2019:81-

RJKM, Research Journal of KSI Mist| 81

SINTESIS DAN KARAKTERISTIK GUGUS FUNGSI BIOPLASTIK

BERBAHAN DASAR SELULOSA RUMPUT GAJAH (Pennisetum

purpureum) DENGAN PENAMBAHAN KITOSAN DAN MINYAK BIJI

JARAK

Hestiana1), Mahclisatul Qolbiyah2), Yashinta Devi3), Eli Rohaeti4)

1Mahasiswa Jurusan Pendidikan IPA, FMIPA, Universitas Negeri Yogyakarta

email: [email protected]

2Mahasiswa Jurusan Pendidikan Kimia, FMIPA, Universitas Negeri Yogyakarta

email: [email protected]

3Mahasiswa Jurusan Pendidikan Kimia, FMIPA, Universitas Negeri Yogyakarta

email: [email protected]

4Dosen Jurusan Pendidikan Kimia, FMIPA, Universitas Negeri Yogyakarta

email: [email protected]

Abstrak

Penggunaan plastik non-biodegradabel dapat menimbulkan pencemaran lingkungan

karena sulit untuk terurai secara alami sehingga dikembangkanlah jenis plastik yang

dapat terurai secara alami dan ramah lingkungan yaitu bioplastik. Penelitian ini

menggunakan selulosa rumput gajah sebagai bahan pembuatan bioplastik dengan

penambahan kitosan dan minyak biji jarak. Tujuan dari penelitian ini untuk

mengidentifikasi pengaruh penambahan kitosan terhadap gugus fungsi bioplastik

selulosa rumput gajah. Isolasi bioplastik dilakukan dengan dengan metode delignifikasi.

Selulosa rumput gajah hasil isolasi ditambahkan dengan kitosan (1%, 2%, 3%, 4%, 5%)

dan minyak biji jarak kemudian dicetak dan dikeringkan. Selanjutnya dilakukan

identifikasi gugus fungsi menggunakan FTIR. Hasil Analisa gugus fungsi dengan FTIR

menunjukkan bahwa bioplastik memiliki gugus fungsi khas yaitu O-H, C-H, C=O, C=C

aromatik, dan C-O glikosidik. Penambahan kitosan pada bioplastik mengakibatkan

daerah serapan O-H lebih sempit, terjadi deformasi pada 1534, 65 cm-1 - 1545,57 cm-1

dan munculnya 2 pita serapan C-O glikosidik. Dengan demikian, sampel bioplastik

selulosa rumput gajah berhasil dimodifikasi dengan kitosan.

Kata kunci: bioplastik, gugus fungsi, minyak jarak, selulosa

RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442

Vol.1, No.1, Desember 2019:81-

RJKM, Research Journal of KSI Mist| 82

1. PENDAHULUAN

a. Latar Belakang

Data dari Kementerian

Lingkungan Hidup dan

Kehutanan (KLHK) menunjukkan

bahwa limbah plastik dari 100

toko di Indonesia dalam waktu

satu tahun mencapai 10,95 juta

lembar sampah kantong plastik.

Tuti Hendrawati Mintarsih

(Dirjen Pengelolan Sampah,

Limbah, dan B3 KLHK)

menyebutkan total jumlah sampah

plastik Indonesia tahun 2019

diperkirakan mencapai 9,52 juta

ton. Lebih dari satu juta kantong

plastik digunakan setiap

menitnya, dan 50 persen dari

kantong plastik tersebut dipakai

hanya sekali lalu langsung

dibuang (Purba, 2017).

Plastik dimanfaatkan untuk

berbagai keperluan, mulai dari

keperluan rumah tangga hingga

keperluan industri. Secara umum,

plastik digunakan sebagai

kemasan dikarenakan sifatnya

yang elastis, berbobot ringan

tetapi kuat, tidak mudah pecah,

transparan, dan tahan air. Di sisi

lain, plastik juga menimbulkan

dampak negatif. Dengan demikian

perlu dilakukan inovasi melalui

pembuatan plastik biodegradabel.

Kitosan adalah salah satu

bahan alam untuk pembuatan

plastik biodegradabel yang

merupakan modifikasi protein

dari kitin yang ditemukan pada

kulit udang, kepiting, lobster, dan

serangga. Kitosan mempunyai

sifat yang baik untuk dibentuk

menjadi plastik dan bersifat

antimikrobakterial (Sanjaya dan

Puspita, 2011).

Terdapat beberapa penelitian

pembuatan bioplastik yaitu

berbahan baku selulosa seperti

kulit pisang, kulit ubi, tongkol

jagung tetapi untuk memperoleh

limbah tersebut diperlukan waktu

lama (Fazira, 2014). Peneliti lain

mengusulkan pembuatan

bioplastik berbahan baku selulosa

alang-alang (Sumarto, 2015).

Akan tetapi, alang-alang memiliki

kadar lignin yang cukup besar

yaitu 31,29% (Sutiya et al., 2012).

Ikatan lignin tersebut dapat

menjadi penghalang dalam proses

pulping kimia (Fitriani, 2013).

Rumput gajah mengandung

Hemiselulosa 29,6%, Selulosa

32,4% dan Lignin12,6% (Hasan,

2014). Dengan adanya kandungan

selulosa yang cukup tinggi dan

lignin yang relatif rendah, maka

rumput gajah dapat dijadikan

bahan pembuatan bioplastik.

Rumput gajah juga mudah

ditemukan. Sejauh ini rumput

gajah hanya digunakan sebagai

makanan ternak sapi, bahkan

terkadang hanya dianggap

sebagai tanaman pengganggu

(Sari, 2009). Sintesis bioplastik

berbahan baku selulosa rumput

gajah tersebut dilakukan dengan

penambahan zat aditif seperti

kitosan dan minyak biji jarak

sebagai pemlastis untuk

menambah sifat mekanik dan

biodegradasi bioplastik.

2. METODE

Bahan yang digunakan adalah

rumput gajah,HNO3 3.5%, NaNO2,

NaOH 2%,NaOH 17.5%, Na2SO3

2%, NaOCl 3.5, kitosan,

CH3COOH dan minyak biji jarak.

RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442

Vol.1, No.1, Desember 2019:81-

RJKM, Research Journal of KSI Mist| 83

Alat yang digunakan adalah

blender, spatula, kertas saring,

gelas beker, gelas ukur, labu

erlenmeyer, pipet volum, labu

ukur, seperangkat waterbath,

neraca analitik, termometer alkohol

100oC, oven, pisau, cawan petri,

dan FTIR (Fourier Transform Infra

Red Spectroscopy).

a. Isolasi selulosa rumput gajah

Selulosa rumput gajah diperoleh

dari batang rumput gajah yang

dipotong, dihaluskan, dan

dikeringkan. Serbuk rumput

gajah sebanyak 75 g diisolasi

menggunakan metode

delignifikasi (Ohwoavworhua, et

al, 2009). Serbuk rumput gajah

dipanaskan menggunakan 1liter

HNO3 3.5%, dan NaNO2 10 mg

selama 90○C selama 2 jam,

kemudian dicuci dan disaring

menggunakan kertas saring.

Selanjutnya dipanaskan dengan

750 ml liter campuran NaOH

2% dan Na2SO3 2% pada suhu

50○C selama 1 jam. Ampasnya

dicuci dan disaring kemudian

dilanjutkan dengan penambahan

500 ml NaOH 17,5 % yang

dipanaskan pada suhu 80○C

selama 30 menit. Dengan cara

yang sama, ampas selulosa

rumput gajah dicuci dan disaring

lalu dididihkan dengan 500 ml

NaOCl 3,5% dan air (1:1) pada

suhu 90°C selama 5 menit.

Hasilnya dicuci menggunakan

akuades, disaring, dan

dikeringkan selama 1 jam pada

suhu 60○C menggunakan oven,

sehingga didapatkan alfa

selulosa.

b. Sintesis Bioplastik

Bioplastik dibuat menggunakan

metode solution casting.

Sebanyak 1,25 g selulosa

ditambahkan ke dalam kitosan

(1%, 2%, 3%, 4%, 5%) yang

telah dilarutkan dalam 25 ml

CH3COOH 0,6 M. Kemudian

ditambah 8 ml minyak biji jarak

(castor oil) pada masing-masing

konsentrasi kitosan. Sampel

tersebut diaduk sampai homogen

lalu dicetak menggunakan

cawan petri dan dikeringkan

oven pada suhu 60○C selama 1

jam.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

a. Sintesis Bioplastik

Proses pembuatan bioplastik

selulosa rumput gajah terdiri dari

dua tahapan yaitu isolasi selulosa

rumput gajah dan sintesis

bioplastik. Tahap isolasi selulosa

rumput gajah dilakukan dengan

metode delignifikasi yaitu

menghilangkan lignin untuk

memperoleh selulosa. Batang

rumput gajah terlebih dahulu

dibentuk menjadi serbuk melalui

proses pemotongan, penghalusan

dan pengeringan untuk

mempermudah proses isolasi

selulosa. Serbuk rumput gajah

yang telah kering dipanaskan

dalam larutan 1 liter HNO3 3,5 %

yang mengandung 10 mg NaNO2.

Proses tersebut bertujuan untuk

menghilangkan lignin. Kemudian,

campuran dicuci dan disaring.

Ampas yang diperoleh

selanjutnya dicampur dengan

larutan NaOH 2% dan NaSO3 2 %

serta dipanaskan selama 1 jam

RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442

Vol.1, No.1, Desember 2019:81-

RJKM, Research Journal of KSI Mist| 84

pada suhu sekitar 50°C. Hal ini

bertujuan untuk menyempurnakan

pembebasan lignin dari ampas.

Selanjutnya, ampas dicuci dan

disaring serta dipanaskan dalam

larutan NaOH 17,5% pada suhu

sekitar 80°C selama 30 menit

yang bertujuan untuk melarutkan

β-selulosa dan 𝛾-selulosa

sehingga hanya tersisa α-selulosa.

Kemudian campuran dicuci dan

disaring. Ampas yang diperoleh

dididihkan dalam 500 ml

campuran larutan natrium

hipoklorit 3,5 % dan air (1:1)

pada suhu 90°C selama 10 menit

untuk proses pemutihan. Adapun

selulosa yang diperoleh berupa

serbuk putih dan tidak berbau.

Selanjutnya, pada tahap kedua

dilakukan sintesis bioplastik

dengan menambahkan kitosan

dan juga minyak biji jarak sebagai

pemlastik. Hasil sintesis

bioplastik selulosa rumput gajah

ditunjukkan pada Gambar 1.

Gambar 1. Bioplastik dengan

kitosan (a) 0% (b) 1% (c) 2% (d)

3% (e) 4% (f) 5%

Bioplastik dengan penambahan

kitosan 1%, 2%, 3%, 4% dan 5%

berbentuk lembaran berwarna

coklat dengan permukaan atas

lebih halus daripada permukaan

bawah. Adapun sampel kitosan

0% tidak terbentuk lembaran

melainkan hanya seperti gel

berminyak. Bioplastik dengan

kitosan 15 1%, bentuk

lembarannya lebih rapuh

dibandingkan dengan sampel

berkonsentrasi kitosan lebih

besar. Hal ini dikarenakan,

kitosan memberikan sifat kaku

pada bioplastik (Kristiani, 2015).

b. Analisa Gugus Fungsi

Hasil analisis gugus fungsi hasil

sintesis bioplastik yang

diidentifikasi menggunakan FTIR

ditunjukkan pada Gambar 2.

Gambar 2. Spektrum FTIR

Bioplastik

Interpretasi gugus fungsi

bioplastik tanpa dan dengan

penambahan kitosan ditunjukkan

Tabel 1.

RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442

Vol.1, No.1, Desember 2019:81-87

RJKM, Research Journal of KSI Mist| 85

Tabel 1. Interpretasi Gugus Fungsi Bioplastik Tanpa dan dengan Penambahan

Kitosan

No.

Bilangan Gelombang (cm-1) Interpretasi

Gugus Fungsi Bioplastik dengan Konsentrasi Kitosan

0% 1% 2% 3% 4% 5%

1. 3372,38 3371,98 3351,91 3357,68 3371,1 3352,16 O-H/N-H

2. 2924,59 2924,76 2925,02 2924,93 2924,86 2924,95 C-H

3. 2855,54 2855,73 2856,03 2855,86 2855,77 2855,88 C-H

4. 1741,74 1741,65 1740,96 1741,71 1741,69 1741,68 C=O

5. - - 1545,57 1536,82 1536,9 1534,45 C=C aromatik

6. 1459,42 1459,03 1411,06 1410,99 1457,89 1410,59 C=C aromatik

7. 1162,83 1161,53 1156,7 1157,97 1159,93 1158,52 C-O glikosidik

8. - 1031,39 1023,69 1076,39 1087,79 1088,25 C-O glikosidik

Sampel bioplastik tanpa

penmabahan kitosan

memiliki daerah serapan

3372,38 cm-1 yang

menunjukan gugus O-H,

daerah 2924,59 cm-1 dan

2855,54 cm-1 yang

menunjukkan gugus -CH,

daerah 1459,42 yang

menunjukkan C=C

aromatic, daerah 1741,74

cm-1 yang menunjukkan

gugus C=O dari minyak biji

jarak, dan 1162,83 cm-1

yang menunjukkan gugus

C-O glikosidik dari selulosa.

Jika dibandingkan, daerah

serapan O-H pada sampel

bioplastik tanpa kitosan

lebih lebar dan kuat

dibandingkan sampel

bioplastik dengan

penambahan kitosan 1%,

2%, 3%, 4%, dan 5%. Hal

ini menunjukkan adanya

interaksi antara gugus O-H

tersebut dengan gugus N-H

pada kitosan melalui ikatan

hidrogen sehingga daerah

serapan O-H dengan

penambahan kitosan lebih

sempit dan lebih lemah.

Adapun sampel bioplastik

dengan kitosan 2% memiliki

puncak serapan yang paling

sempit. Hal ini

menunjukkan gugus O-H

bioplastik dengan kitosan

2% berikatan paling kuat

dengan gugus N-H dari

kitosan. Perbedaan lain

terlihat pada daerah serapan

C=C aromatik (1534,65 cm-

1-1545,57 cm-1) dan C-O

glikosidik (1023,69 cm-1-

1088,25 cm-1), dimana

bioplastik tanpa

penambahan kitosan hanya

terjadi 1 puncak serapan

sedangkan pada bioplastik

dengan kitosan 1%, 2%,

3%, 4%, dan 5% terjadi 2

puncak serapan, hal ini

menunjukkan adanya

deformasi pada daerah

serapan tersebut akibat

adanya penambahan

kitosan.

RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442

Vol.1, No.1, Desember 2019:81-87

RJKM, Research Journal of KSI Mist| 86

4. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis

gugus fungsi menggunakan

FTIR maka dapat disimpulkan

bahwa gugus fungsi penyusun

bioplastik selulosa rumput gajah

adalah gugus O-H, C-H, C-O

glikosidik, dan C=C aromatik.

Penambahan kitosan pada

bioplastik mengakibatkan daerah

serapan O-H lebih sempit,

terjadi deformasi pada 1534, 65

cm-1 - 1545,57 cm-1 dan

munculnya 2 pita serapan C-O

glikosidik. Dengan demikian,

sampel bioplastik selulosa

rumput gajah berhasil

dimodifikasi dengan kitosan

5. REFERENSI

Fazira, E. 2014. Plastik

Biodegradable dapat

Atasi Masalah

Lingkungan.

http://www.writing-

contestBisnis.com .

Diakses 12 Oktober

2017.

Fitriani, Syaiful B., dan

Nurhaeni. 2013.

Produksi Bioetanol

Tongkol Jagung (Zea

Mays) dari Hasil

Proses Delignifikasi.

Natural Science. Vol.

2(3): 66-74.

Hasan , A. A., Kusmiyati. 2014.

Pengaruh Pretreatment

Basa Pada Produksi

Bioetanol Dari Rumput

Gajah (Pennisetum

Purpureum). Seminar

Rekayasa Kimia Dan

Proses. 2014. D-5-1 –

D-5-6.

Kristiani, M. 2015. Pengaruh

Penambahan Kitosan

dan Plastisizer Sorbitol

terhadap Sifak Fisiko-

Kimia Bioplastik dari

Pati Biji Durian (Durio

zibethinus). Skripsi.

Departemen Teknik

Kimia, Fakultas Teknik,

Universitas Sumatera

Utara. Medan.

Ohwoavworhua, F.O., T.A.

Adelakun dan A.O.

Okhamafe, 2009.

Processing

Pharmaceutical grade

microcrystalline

cellulose from

groundnut husk:

Extraction methods and

characterization.

International Journal of

Green Pharmacy, 70,

97-104.

Purba, N. P. 2017. Status

Sampah Laut Indonesia.

http://indosmarin.com/s

tatus-sampah-laut-

indonesia/. Diakses 10

November 2017.

Sanjaya, I. G dan Puspita, T.

2011. Pengaruh

penambahan kitosan

dan plasticizer gliserol

pada karakteristik

plastik biodegradable

dari pati limbah kulit

singkong. Jurnal

Jurusan Teknik Kimia,

ITS. Surabaya.

Sari, K., 2009, Purifikasi

Bioetanol dari Rumput

RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442

Vol.1, No.1, Desember 2019:81-87

RJKM, Research Journal of KSI Mist| 87

Gajah dengan

Destilasi Batch,

Surabaya : Universitas

Pembangunan Nasional.

Sumartono, N. W., Handayani,

F., R. Desiriana,

Novitasari, W., Hulfa,

D. S. 2015. Sintesis dan

Karakterisasi Bioplastik

Berbasis Alang-Alang

(Imperata

cylindrica(L.)) dengan

Penambahan Kitosan,

Gliserol, dan Asam

Oleat. Pelita, Vol.

10(2).

Sutiya, B., Wiwin T. I. , Adi R. ,

Sunardi. 2012.

Kandungan Kimia dan

Sifat Serat Alang-

alang (Imperata

cylindrica) sebagai

Gambaran Bahan

Baku Pulp dan Kertas.

Bioscientiae.Vol. 9,

Hal.8-19.

RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442

Vol.1, No.1, Desember 2019:88-96

RJKM, Research Journal of KSI Mist| 88

MEDIA PENINGKATAN EFISIENSI PERTUMBUHAN DAN REPRODUKSI

CACING TANAH (Lumbricus rubellus) DENGAN CAMPURAN AZOLLA

PINATA

Kahfi Imam Faqih Kurnia1), Raden Rara Fadhila Kirana2), Dhindha Normala

Kusumastuti3)

1Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, UNY

Email: [email protected]

2Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, UNY

Email: [email protected]

3Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, UNY

Email: [email protected]

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian Azolla pinnata pada

media Lumbricus rubellus terhadap pertumbuhan dan reproduksi cacing tanah. Azolla

pinnata yang memiliki kandungan nitrogen tinggi dapat digunakan sebagai media

pertumbuhan cacing tanah. Lumbricus rubellus memiliki peran dalam proses

dekomposisi bahan organik dalam tanah sehingga reproduksinya perlu dikembangkan.

Lokasi penelitian ini dilakukan di Taman Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu

Pengetahuan Alam, UNY. Penelitian ini menggunakan Randomized Complete Design

metode (CRD) dengan 3 perawatan dan satu tes: (P1) Azolla pinnata 300 gram (P2)

Azolla pinnata 450 gram. Fase penelitian meliputi persiapan cacing Lumbricus rubellus,

persiapan alat dan media cacing Lumbricus rubellus, pemeliharaan, dan pemrosesan

data. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian Azolla pinnata sebagai

campuran pada media cacing tanah tidak berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan

bobot cacing tanah dan jumlah kepompong yang dihasilkan oleh cacing tanah. Dari

penelitian ini dapat dilihat bahwa pemberian Azolla pinnata tidak berpengaruh pada

pertumbuhan dan reproduksi cacing tanah.

Kata Kunci : Azolla pinnata, Lumbricus rubellus.

RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442

Vol.1, No.1, Desember 2019:88-96

RJKM, Research Journal of KSI Mist| 89

1. PENDAHULUAN

Meskipun terlihat

menjijikkan bagi sebagian

orang, budidaya cacing tanah

merupakan salah satu kegiatan

yang menjanjikan. Selain

perawatan yang tidak

membutuhkan lahan dan biaya

yang besar, pemberian makan

berupa limbah organik dan

perawatan cacing tanah pun

terbilang mudah serta tidak

memakan banyak waktu.

Salah satu jenis cacing tanah

yang mudah dibudidayakan

adalah cacing tanah (Lumbricus

rubellus). Hal ini dikarena

dalam pertumbuhan serta

perkembangbiakan yang paling

cepat. Cacing tanah merupakan

sumber protein sangat tinggi

dengan kadar sekitar 76% yang

lebih tinggi daripada daging

mamalia (65%) dan ikan (50%).

Selain itu cacing tanah juga

mengandung 17% karbohidrat,

45% lemak dan abu 1,5%

(Rusmini, 2016). Dengan

adanya berbagai kandungan

tersebut, cacing tanah dapat

dimanfaatkan dalam bidang

peternakan, industri, pertanian

dan bahan baku dalam kosmetik

serta media bekas pertumbuhan

cacing atau yang sering disebut

kascing dapat digunakan

sebagai pupuk organik yang

mudah diserap tanaman.

Roslim, 2008 menyatakan

bahwa cacing tanah sangat

menyukai tanah yang banyak

mengandung unsur N yang

salah satunya terdapat pada

pupuk kotoran sapi. Hal tersebut

karena sangat baik untuk

pertumbuhan cacing tanah.

Faktor penentu keberhasilan

dalam budidaya cacing tanah

diantaranya adalah media

budidaya cacing tanah, proses

fermentasi bahan organik, padat

penebaran, kualitas air (oksigen

terlarut, pH, dan suhu), dan

sirkulasi udara (Astuti, 2001).

Untuk pertumbuhan media

cacing tanah, Azolla piñata

merupakan sejenis tumbuhan air

yang biasa ditemukan di danau,

kolam, sungai, dan persawahan.

Tanaman ini memiliki daya

adaptasi lingkungan yang tinggi,

laju pertumbuhan yang relatif

cepat, dan memiliki kandungan

protein yang cukup tinggi

dengan komposisi asam amino

yang lengkap Azolla piñata

dapat digunakan sebagai pakan

karena memiliki sumber protein

kandungan azolla. Selain itu

Azolla piñata berpotensi

menjadi kompos karena

memiliki kandungan nitrogen

yang tinggi, yaitu 3-5% (Sari,

2013). Hal tersebut

mendasari dalam

pemanfaatan Azolla piñata

sebagai salah satu alternatif

bahan baku protein yang

semakin lama semakin tinggi

kebutuhannya.

Beberapa penelitian telah

membuktikan tentang

pemberian tanaman Azolla

piñata baik dalam bentuk segar

maupun kompos ternyata

mampu meningkatkkan

pertumbuhan tanaman. Fiksasi

RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442

Vol.1, No.1, Desember 2019:88-96

RJKM, Research Journal of KSI Mist| 90

nitrogen oleh Azolla piñata

mencapai 1.1 kg N2/hari

sehingga berpotensi sebagai

bahan pembenah struktur tanah,

peningkatan permeabilitas tanah

serta sebagai sumber protein

nabati bagi cacing tanah (Hartadi,

1995).

Berdasarkan hal-hal tersebut,

diharapkan penelitian ini akan

meningkatkan hasil budidaya

cacing tanah dan dapat

mengurangi penggunaan pupuk

anorganik dengan memanfatkan

kascing dengan campuran

Azolla pinata sebagai pupuk

organik pada tumbuhan.

Cacing Lumbricus rubellus

Cacing tanah (Lumbricus

rubellus) termasuk dalam

kelompok hewan averterbrata

atau sering disebut binatang

lunak. Cacing Tanah (Lumbricus

rubellus) termasuk dalam filum

Annelida karena seluruh

tubuhnya tersusun atas segmen

yang berbentuk cincin.

Segmentasi ini meliputi otot,

saraf, alat sirkulasi, maupun alat

reproduksi (Sugiri, 1998).

Struktur cacing tanah

(Lumbricus rubellus), cacing

tanah (Lumbricus rubellus)

berbentuk gilig dan silinder

dengan tubuh bagian depan

silindris sedangkan again

belakang dorsoventral. Pada

cacing tanah dewasa terdapat

klitelum (segmen 32-37).

Sedangkan pada cacing tanah

muda terbentuk pada umur 2,5-3

bulan (Palungkun, 2008).

Sistem reproduksi cacing

tanah bersifat hemaprodit yang

berarti memiliki alat kelamin

jantan dan betina dalam satu

tubuh, akan tetapi cacing tidak

dapat membuahi dirinya sendiri.

Sedangkan siklus hidup cacing

tanah (Lumbricus rubellus)

dimulai dari kokon, cacing

muda, cacing produktif, dan

cacing tua. Siklus hidup cacing

dipengaruhi oleh kondisi

lingkungan dan keberadaan

makanan (Astuti, 2001).

Kokon yang baru keluar dari

tubuh cacing umumnya

berwarna kuning kehijauan dan

akan berubah menjadi warna

kemerahan pada saat akan

menetas. Kokon akan menetas

pada hari ke 14-21 setelah

terlepas dari tubuh cacing.

Setelah menetas, cacing muda

ini akan mencapai dewasa

kelamin dalam waktu 2,5-3

bulan. Saat dewasa, cacing tanah

akan kewin selama 6-10 hari dan

akan menghasilkan kokon

(Astuti, 2001).

Cacing tanah sangat sensitive

terhadap pH dalam media.

Media yang terlalu asam akan

menyebabkan pembengkakan

tembolok cacing dan empelanya

dan mengakibatkan kematian

pada cacing. Sedangkan media

yang memiliki pH terlalu basa

mengakibatkan dehidratasi pada

tubuh cacing tanah(Astuti,

2001). pH optimum untuk

pertumbuhan dan

perkembangbiakan cacing

berkisar 6.8-7.2 (Puspitasari,

RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442

Vol.1, No.1, Desember 2019:88-96

RJKM, Research Journal of KSI Mist| 91

1995).

Kelembaban sangat

berpengaruh terhadap kehidupan

cacing tanah untuk menjaga

kulit agar berfungsi normal.

Udara yang terlalu kering akan

merusak keadaan kulit, namun

jika kelembaban udara terlalu

tinggi menyebabkan cacing tanah

lari ke tempat yang memiliki

aerasi lebih baik. Kelembaban

yang dibutuhkan cacing berkisar

antara 28- 42% (Minnich,

1997). Sedangkan suhu

optimum pemeliharaan sekitar

23-26 derajat celcius (Puspitasari,

1995).

Azolla pinnata

Azolla pinnata merupakan

tanaman yang masuk ke dalam

kingdom plantae dan tergolong

dalam kelompok paku- pakuan.

Tanaman ini dapat dengan

mudah dijumpai di perairan

tawar daerah tropis dan daerah

subtropis dan termasuk ke dalam

kelompok paku heterosporus.

Azolla pinnata jarang ditemui

berkoloni pada permukaan air

tawar.

Hal itu disebabkan karena

angin dan gelombang akan

menghancurkan koloni yang

terbentuk serta dapat

menghambat pertumbuhan. Oleh

karena itu Azolla pinnata sering

ditemukan pada permukaan

rawa, kolam yang tenang, dan

celah-celah yang terdapat ditepi

perairan tawar (Maulana &

Haniswita, 2016).

Umumnya Azolla pinnata

berkembangbiak secara vegetatif

menggunakan spora. Azolla

pinnata dapat tumbuh di air yang

mengandung sedikit nitrogen

karena tanaman ini mempunyai

kemampuan mengikat nitrogen

dalam air. Namun akan tumbuh

sangat cepat apabila di

habitatnya tersedia kadar

nitrogen yang tinggi. Berikut ini

adalah taksonomi Azolla pinnata

berdasarkan system binomial

nomenclature (Global Invasive

Species Database, 2019).

Kingdom : Plantae

Divisio : Pteridophyta

Kelas : Filicopsida

Ordo : Hydropteridales

Family : Azollaceae

Genus : Azolla

Spesies : Azolla pinnata

Secara morfologi, fase

sporofit Azolla pinnata terdiri

atas rimpang yang terapung

pada permukaan air dengan

tambahan cabang di bagian

peripheral. Pada cabangnya

terdapat daun dan akar

adventif. Akar ini memiliki

peran utama yaitu mengangkut

air dan mineral dengan anjang

batang yaitu 1-11 cm yang

seluruhnya terendam dalam

air. Di bagian ventral daun

tidak memiliki klorofil serta

berperan sebagai pengapung,

sedangkan bagian dorsal daun

yang terpapar ke udara

memiliki klorofil dan berperan

dalam fotosintesis (Maulana &

Haniswita, 2016).

RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442

Vol.1, No.1, Desember 2019:88-96

RJKM, Research Journal of KSI Mist| 92

Dalam sektor pertanian,

Azolla pinnata biasa

dimanfaatkan sebagai pupuk

organik yang ramah

lingkungan. Penggunaan

pupuk hijau Azolla pinnata

dinilai lebih murah dan mudah

karena memiliki kemampuan

pertumbuhan yang cepat serta

dapat mengikat nitrogen guna

meningkatkan kesuburan

tanah. Hasil penelitian

menjelaskan bahwa kandungan

nitrogen pada Azolla pinnata

berkisaran 4,0-5,0% dan

klorofil sebesar 0,34-0,55%

dari bobot kering Azolla

pinnata. Selain itu, Azolla

pinnata mengandung protein

yang baik sehingga dapat

dimanfaatkan sebagai pakan

hewan ternak, unggas, maupun

ikan (Arizal, 2011).

Pada keadaan normal,

Azolla pinnata berinteraksi

dengan cyanobacterium yang

merupakan simbion endofit.

Anggota kelompok

cyanobacterium yang

bersimbiosis mutualisme

dengan Azolla pinnata adalah

Anabaena azollae. Organisme

ini berperan sebagai

pemfiksasi nitrogen bebas

dari atmosfer sehingga dapat

mencukupi kebutuhan tanaman

inangnya maupun tanaman

disekitarnya (Maulana &

Haniswita, 2016). Proses

fiksasi nitrogen di udara yang

terjadi pada daun Azolla

pinnata selama kurun waktu

106 hari saat tebar dapat

mencapai 120-140 kg N/ha

atau rata- rata 1,1-1,3 kg

N/hari. Hasil fiksasi nitrogen

ditransfer ke seluruh bagian

tubuh Azolla pinnata secara

merata dengan laju

pertumbuhan sekitar 35%/hari

(Arizal, 2011).

2. METODE

Jenis penelitian ini adalah

penelitian eksperimen dengan

menggunakan massa Azolla

pinnata yang berbeda pada

media pertumbuhan dan

reproduksi cacing Lumbricus

rubellus. Penelitian ini

dilaksanakan selama 3 bulan di

Kebun Biologi Universitas

Negeri Yogyakarta. Alat yang

digunakan pada penelitian ini

yaitu sekop, pengaduk/ spatula,

wadah plastik, alat

ukur/penggaris, kamera, kantong

plastik, timbangan digital, ember,

sarung tangan lateks, masker.

Bahan yang digunakan pada

penelitian ini yaitu cacing tanah

(Lumbricus rubellus), Azolla

pinnata, tanah, dan air.

a. Prosedur Penelitian

1) Tahap Persiapan

Persiapan alat dan

bahan yang akan

digunakan. Kemudian

menimbang kotoran

kambing sebanyak 4 kg,

Azolla piñata sebanyak

2,5 kg, batu bata sebanyak

3 kg, akuades. Pembuatan

Medium Pertumbuhan

Media untuk

pertumbuhan cacing

dibuat dengan cara

mendiamkan Azolla

RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442

Vol.1, No.1, Desember 2019:88-96

RJKM, Research Journal of KSI Mist| 93

pinata selama 3x24 jam,

dilanjutkan dengan

menghancurkan batu bata

terlebih dahulu lalu

mencampurkan batu bata

halus, Azolla pinata yang

telah didiamkan, dan

kotoran kambing dan

akuades selanjutnya

dicampur dan didiamkan

selama 7x24 jam. di

letakkan media pada

tabung jar, dan terakhir

diberi cacing sebanyak

lima ekor setiap

wadahnya.

2) Tahap Penelitian

Setelah didiamkan

selama 1x24 jam diamati

bagaimana reaksi cacing

tanah terhadap media,

selanjutnya di ukur untuk

pertambahan panjang,

berat, dan jumlah cacing

pada hari ke- 7, 14, 21, dan

28. Parameter dalam

penelitian ini adalah

pertumbuhan dan

perkembangbiakan cacing

tanah cacing tanah

(Lumbricus rubellus).

b. Teknik Analisa Data

1) Perhitungan Pengamatan

Pertambahan Bobot

Cacing

Induk cacing tanah

dikeluarkan dari media,

dibersihkan kemudian

ditimbang.

2) Reproduksi Cacing

Pengukuran reproduksi

L. rubellus dengan

menghitung jumlah

kokon yang dihasilkan

oleh induk cacing dengan

mengeluarkannya dari

media perlakuan.

c. Analisis Data

Data yang diperoleh

dianalisis dengan sidik ragam

atau analysis of variance

(ANOVA) pada taraf

kepercayaan 95%.

RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442

Vol.1, No.1, Desember 2019:88-96

RJKM, Research Journal of KSI Mist| 94

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian yang berjudul Media

Peningkatan Efisiensi Pertumbuhan dan

Reproduksi Cacing Tanah (Lumbricus

rubellus) dengan Campuran Azolla

pinnata memiliki tujuan untuk

mengetahui pengaruh pemberian Azolla

pinnata dan efisiensi reproduksi cacing

tanah. Azolla pinnata adalah salah satu

tanaman yang tergolong dalam paku-

pakuan yang dapat digunakan sebagai

pupuk organik karena mengandung

nitrogen dan klorofil.

Dalam Azolla pinnata terkandung

nitrogen sebanyak 4,0-5,0% dan klorofil

sebesar 0,34-0,55% dari bobot kering

Azolla pinnata. Selain itu, Azolla pinnata

mengandung protein yang baik sehingga

dapat dimanfaatkan sebagai pakan hewan

ternak, unggas, maupun ikan (Arizal,

2011).

Sebelum digunakan untuk media

pertumbuhan cacing tanah, Azolla

pinnata difermentasi terlebih dahulu

dengan mikroba EM4 yang bertujuan

untuk merombak senyawa kompleks

menjadi lebih sederhana. Dalam

menyiapkan media pertumbuhan cacing

ini,telah dipastikan terlebih dahulu

bahwa pH media sebesar 6,7 dan suhu

sebesar 25°C. Kale & Karmegan (2010)

menyatakan bahwa pertumbuhan cacing

tanah akan optimal pada suhu 25-28°C

dan pH berkisaran antara 6,55-7,98.

Perlakuan pemberian Azolla pinnata

sebagai media pertumbuhan cacing

dengan perbandingan yang berbeda

memiliki hasil yang berbeda pula.

Variabel yang diamati yaitu berat cacing

(gram). Pada media kontrol, Azolla

pinnata tidak diberikan di dalam media

cacing. Pertumbuhan cacing ditimbang

beratnya dari minggu pertama yaitu

sebesar 12 gram, kemudian bertambah

menjadi 15 gram pada minggu kedua.

Pada minggu ketiga dan minggu

keempat diperoleh berat cacing sebesar

16 gram. Sehingga hasil yang didapatkan

pada minggu kedua yaitu pertambahan

berat cacing sebesar 3 gram dan minggu

ketiga pertambahan berat cacing sebesar

1 gram, sedangkan pada minggu

keempat tidak terdapat pertambahan

berat cacing.

Pada media 2, banyaknya Azolla

pinnata yang dipakai dalam media

sebanyak 300 gram. Pertumbuhan cacing

ditimbang beratnya dari minggu pertama

yaitu sebesar 12 gram, kemudian

bertambah menjadi 15 gram pada

minggu kedua. Pada minggu ketiga dan

minggu keempat diperoleh berat cacing

sebesar 17 gram. Sehingga pada minggu

kedua didapatkan pertambahan berat

cacing sebesar 3 gram dan minggu ketiga

sebesar 2 gram, sedangkan pada minggu

keempat tidak terdapat pertambahan berat

cacing.

RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442

Vol.1, No.1, Desember 2019:88-96

RJKM, Research Journal of KSI Mist| 95

Pada media 3, digunakan Azolla

pinnata sebanyak 450 gram.

Pertumbuhan cacing ditimbang beratnya

dari minggu pertama yaitu sebesar 12

gram, kemudian bertambah menjadi 14

gram pada minggu kedua. Pada minggu

ketiga diperoleh berat cacing sebesar 18

gram dan minggu keempat sebesar 19

gram. Sehingga hasil yang didapatkan

pada minggu kedua yaitu pertambahan

berat cacing sebesar 2 gram, minggu

ketiga sebesar 4 gram, dan minggu

keempat diperoleh pertambahan berat

cacing sebesar 1 gram.

Dari ketiga media tersebut, tidak

ditemukan adanya kokon. Namun pada

saat dilakukan pengambilan data,

ditemukan 2 anakan cacing dari media

Azolla pinnata 3. Hal ini dikarenakan

cacing Lumbricus rubellus belum

melakukan perkawinan secara

menyeluruh sehingga perkembangbiakan

yang dilakukan melalui fertilisasi silang

yaitu terjadinya proses kopulasi dan

fertilisasi secara eksternal belum

terjadi sepenuhnya (Budiarti & Asiani,

1993).

Dalam penelitian ini tidak terjadi

proses fermentasi Azolla pinnata yang

sempurna untuk media pertumbuhan

cacing tanah. Ketidaksempurnaan ini

dikarenakan senyawa protein yang tidak

teurai berakibat pada proses pembusukan

Azolla pinnata.

4. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat

disimpulkan dua hal, yaitu sebagai

berikut:

1. Dilihat dari pertambahan berat

cacing pada ketiga media yaitu

media kontrol, media Azolla 2 dan

media Azolla 3, perlakuan yang

paling efektif untuk meningkatkan

pertambahan berat cacing adalah

media Azolla 3.

2. Reproduksi cacing tanah dapat

dilihat dari jumlah kokon yang ada di

ketiga media, tidak ditemukan

adanya kokon di ketiga media

selama pengamatan.

5. REFERENSI

Arizal, A. (2011). Kandungan Nitrogen

(N) pada Azolla pinnata yang

Ditumbuhkan dalam Media Air

dengan Kadar yang Berbeda

[skripsi]. Bogor: Institut

Pertanian Bogor.

Budiarti, & Asiani. (1993). Cacing Tanah.

Jakarta: Swadaya.

Global Invasive Species Database.

(2019). Diambil kembali dari

Species profile: Azolla pinnata:

Downloded from

http://www.iucngisd.org/gisd/sp

ecies.php?sc=204 on 21-02-

2019.

Handayani, S. (2010). Kualitas Batu Bata

Merah Dengan Penambahan

Serbuk Gergaji. Jurnal Teknik

Sipil & Perencanaan, No.1

Vol.12, 41-50.

Maulana, M. F., & Haniswita. (2016).

Implementasi Biofertilizer Azolla

RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442

Vol.1, No.1, Desember 2019:88-96

RJKM, Research Journal of KSI Mist| 96

pinnata dalam Sistem Produksi

Padi Indonesia: Upaya

Mencapai Ketahanan Pangan

Demi Pembangunan

Berkelanjutan.

RD, K., & M, K. (2010). The role of earth-

worms in topics with emphasis

on Indian ecosystems. Applied

and Environmental Soil Science.

Minnich. 1997. The Earthworm Book.

How To Rise and Use

EarthwormFor Your Form.

Rodale press Emmaus.

NewYork. 90-127.

Palungkun, R. 2008. Sukses Beternak

Cacing Tanah Lumbricus

rubellus. Penebar Swadaya.

Jakarta. Hal 5- 15.

Puspitasari,W.1995. Pengaruh Beberapa

Media Terhadap Pertumbuhan

dan Perkembangan Cacing

Tanah. Skripsi.jurusan Biologi

FMIPA. IPB.Bogor.39

Rusmini. 2016. Pelatihan Budidaya

Cacing Tanah (Lumbricus

rubellus) Bagi Para Tani Desa

Sumberdukun, Ngariboyo,

Magetan. ABDI. No.2 Vol.1,

114- 120.

Sari, Indriati Meilina. 2013. Uji

Pemberian Kompos Azolla

microphylla Pada pertumbuhan

Bibit Karet Stum Mini.

Sugiri, N. 1998. Zoologi Avertebrata II

Pusat Antar Universitas Ilmu

Hayat.IPB.Bogor. 50.

Wanasuria,S. 1997. Perunggasan Ayam

dan Telur. 26:21-22.

RJKM, Research Journal of KSI Mist ISSN 2746-6442

Vol.1, No.1, Desember 2019:88-96

RJKM, Research Journal of KSI Mist| 97