PROPOSAL
PENELITIAN SOSIAL BUDAYA dan HUMANIORA (PSBH)
KOMUNIKASI INTERPERSONAL GELANDANGAN, DALAM KONTEKS IMPRESSION MANAGEMENT
Oleh;
Dr. Syaiful Rohim, M.Si (0419037902)
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF DR HAMKA
JAKARTA
2019
LEMBAR PENGESAHAN PENELITIAN SOSIAL BUDAYA dan HUMANIORA (PSBH)
. Judul Penelitian
KOMUNIKASI INTERPERSONAL GELANDANGAN, DALAM KONTEKS
IMPRESSION MANAGEMENT
Jenis Penelitian : Penelitian Sosial Humaniora Ketua Peneliti : Dr. Syaiful Rohim, M.Si Link Profil simakip : http://simakip.uhamka.ac.id/pengguna/show/985
Anggota Peneliti :Ck or tap here to enter text. Link Profil simakip :Click or tap here to enter text. Contoh link: http://simakip.uhamka.ac.id/pengguna/show/978
Waktu Penelitian : 6 Bulan Luaran Penelitian
Luaran Wajib : Jurnal Nasional Terakreditasi sinta 2 Status Luaran Wajib : Accepted Luaran Tambahan : Jurnal Nasional Terakreditasi sinta 3 Status Luaran Tambahan:Submitted
Mengetahui, Jakarta, 3 Mei 2020.
Ketua Program Studi Ketua Peneliti
Farida Hariyati, M.Ikom Dr. Syaiful Rohim, M.Si
NIDN. 0327097601. NIDN. 0419037902
Menyetujui,
Dekan FISIP UHAMKA. Ketua Lemlitbang UHAMKA
Dr. Said Romadlan, M.Si. Prof. Dr. Suswandari, M.Pd
NIDN. 0326097402. NIDN. 0020116601
UNİVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF. DR. HAMKADII'p
LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGEMBANGANJln. Tanah Merdeka, Pasar Rebo, Jakarta Timur
Teıp. 021-8416624, 87781809; Fax. 87781809
SURAT PERJANJIAN KONTRAK KERJA PENELITIAN
LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
UNİVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF DR HANIKA
Nomor / F.03.07 / 2019Tanggal 20 November 2019
Bismillahirrahmanirrahim
Pada hari ini, Rabu, tanggal Dua Puluh, bulan November, tahun Dua Ribu Sembilan Belas, yang
bertanda tangan di bawah ini Prof. Dr. Hj Suswandari, M.Pd, Ketua Lembaga Penelitian dan
Pengembangan Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA, selanjutnya disebut sebagai
PIHAK PERTAMA•, Dr. H. SYAIFUL ROHIM M.şi, selanjutnya disebut sebagai PIHAK
KEDUA.
PIHAK PERTAMA dan PIHAK KEDUA sepakat untuk mengadakan Perjanjian Kontrak Kerja
Penelitian yang didanai oleh RAPB Universitas Muhammadiyah Profi DR. HAMKA
Pasal I
PIHAK KEDUA akan melaksanakan kegiatan penelitian dengan judul : KOMUNIKASI
INTERPERSONAL GELANDANGAN, DALANI KONTEKS IMPRESSİON
MANAGEMENT dengan luaran wajib dan luaran tambahan sesuai data usulan penelitian Bacth
I Tahun 2019 melalui simakip.uhamka.ac.id..
Pasal 2
Bukti luaran penelitian wajib dan tambahan harus sesuai sebagaimana yang dijanjikan dalaın Pasal
l, Luaran penelitian yang diınaksud dilaınpirkan pada saat Monitoring Evaluasi dan laporan
penelitian yang diunggah melalui simakip.uhamka.ac.id.
Pasal 3
Kegiatan tersebut dalam Pasal I akan dilaksanakan oleh PIHAK KEDUA mulai tanggal
20 November 2019 dan selesai pada tanggal 20 April 2020.
Pasal 4
PIHAK PERTAMA menyediakan dana sebesar RP. 13.000.000,- (Terbilang : Tiga Belas Juta)
kepada P[HAK KEDUA unluk melaksanakan kegiatan tersebut dalaın Pasal l, Sumber biaya yang
dimaksud berasal dari Penelitian dan Pengembangan Universitas Muhammadiyah Prof. DR.
HAMKA melalui Lembaga Penelitian dan Pengembangan.
I lük Cıpıa C hllpfflsıınukıp.uhamka ac 1d
Pasal 5
Tanggal Download. 18-11-2019 Ihlaman I Jan 2
pembayaran dana tersebut dalam Pasal 4 akan dilakukan dalam 2 (dua) termin sebagai berikut;(1) Tennin 1 70 % : Sebesar 9.100.000 (Terbilang: Sembilan Juta Seratus R/bu Rupiah) setelahplHAK KEDUA menyerahkan proposal yang telah direview dan diperbaiki sesuai saran reviewerpada kegiatan tersebut Pasal l.(2) Termin Il 30 % : Sebesar 3.900.000 (Terbilang: Tiga Juta Sembilan Ratus Ribu Rupiah)setelah PIHAK KEDUA menyerahkan proposal yang telah direview dan diperbaiki sesuai saranreviewer pada kegiatan tersebut Pasal l.
Pasal 6
(l) PIHAK KEDUA wajib melaksanakan kegiatan tersebut dalam Pasal I dalam waktu yangditentukan dalam Pasal 3.
(2) PIHAK PERTAMA akan melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan kegiatan tersebutsebagaimana yang disebutkan dalam Pasal I .
(3) PIHAK PERTAMA akan mendenda PIHAK KEDUA setiap hari keterlambatan penyerahanlaporan hasil kegiatan sebesar 0,5 % (setengah persen) maksimal 20% (dua puluh persen) darijumlah dana tersebut dalam Pasal 4.
(4) Dana Penelitian dikenakan Pajak Penalnbahan Nilai (PPN) pada poin honor peneliti sebesar 5% (lima persen)
PIHAK PERTAMALembaga Penelitian dan Pengembangan
itas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA
Jakarta, 20 November 2019
PIHAK KEDUAPeneliti,
PEI4AFF7
ooc} E -u BURUPIAH
r. Hj Suswandari, M.Pdå--- Dr. H. SYAIFUL ROHIM M.Si
Mengetahui
•l Rektor 11 UHAMKA
Dr, LAMAH SARI M.Ag.
Hak Cipta C http://simakip.uhamka.ac.id Tanggal Domdoad• 18-11-2019 } lalaman 2 Jan 2
ABSTRAK
This research was conducted with ten vagrants which are spread in some places in
Jakarta and some restricted area, the aims of this research is to know the
communication management pattern of interpersonal communication activities
which has been done well among vagrants or outside their community. The
theoretical approach which has been done in this research was using Johari
Window theory, it used to explain how and on which frame all the vagrants are
communicating. This research also using qualitative method to get complete
description of interpersonal communication phenomena and a vagrant
interpersonal in doing communication process and social as the form of self
management of vagrants in communication activities. The result shows that
vagrants was doing their communication activities by dividing their self area into
open and close and also doing their communication management through the
impression which is made to manage communication behaviour and interpersonal
relation with communication partner through impression management mechanism
as the form of adaptation and as an effort to make a good relation to orderliness of
the interaction.
Keywords: Vagrant, Self, Impression Management, Johari Window.
BAB I
PENDAHULUAN
Citra negatif dan konstruksi budaya yang dianggap menyimpang
serta perlakuan yang dialami para gelandangan anak jalanan dalam
menjalankan aktivitasnya, dalam batasan-batasan tertentu menjadikan
mereka memiliki cara dan tradisi yang berbeda dengan orang lain dalam
menjalankan berbagai aktivitasnya. Perbedaan tersebut memungkinkan
para gelandangan memiliki budaya dan tradisi yang khas. Kekhasan
budaya dan tradisi tersebut menjadikan komunitas ini menarik untuk
diteliti, apalagi dengan menggunakan pendekatan fenomenologis, yang
merupakan salah satu pendekatan penting dan sudah mapan dalam ilmu
komunikasi (Littlejohn, 1996:203; Miller, 2002:49). Pendekatan
fenomenologis antara lain dapat mengungkap realitas dan fenomena
komunikasi gelandangan dari sudut pandang subyek.
Fenomena dan realitas komunikasi adalah salah satu sisi
kehidupan dari dunia keseharian seorang gelandangan yang menarik untuk
diteliti. Kekhasan budaya dan tradisi para gelandangan, tentu akan
mempengaruhi kekhasan komunikasi yang mereka lakukan. Stigma
sosial, julukan, label dan citra negatif serta kecurigaan dan perlakuan
masyarakat terhadap segala aktivitas yang dilakukannya, telah membuat
konsep diri dan kehidupan mereka menjadi komunitas yang berbeda
dengan kelompok sosial yang lainnya, perlakuan yang tidak simpatik
masyarakat terhadap segala aktivitasnya mendorong para gelandangan
untuk berbuat dan berperilaku lain dari dunia sosial pada umumnya.
Dalam konteks komunikasi (terutama komunikasi intrapersonal
dan interpersonal), konsep diri merupakan faktor yang sangat menentukan,
karena setiap orang bertingkahlaku (berkomunikasi) sedapat mungkin
sesuai dengan konsep dirinya (Rakhmat, 2005:104). Sukses komunikasi
interpersonal lanjut Rakhmat banyak tergantung pada kualitas konsep diri
seseorang; positif atau negatif. Oleh karena itu, untuk memahami
(meneliti) realitas komunikasi para gelandangan harus diawali dengan
memahami bagaimana konsep diri mereka, termasuk mengetahui
bagaimana mereka memandang dan mempersepsi diri dan lingkungannya.
Disamping menelusuri proses dan arah kesadaran identitas
(konsep diri), penelitian ini juga akan secara khusus mengkaji fenomena
dan budaya komunikasi gelandangan anak jalanan. Kesadaran identitas
yang terjadi karena proses stigma dan julukan negatif membuat seseorang
harus merumuskan kembali sebagian tradisi komunikasi yang selama ini
biasa dilakukan, atau mungkin budaya-budaya komunikasi baru dan khas
yang mereka ciptakan. Budaya dan tradisi komunikasi mereka dapat
ditelusuri sejak dan saat menjadi seorang gelandangan. Oleh karena itu,
paling tidak ada dua jenis komunikasi yang dapat diamati, yakni
komunikasi intrapersonal dan komunikasi interpersonal
Di samping membahas tentang tradisi komunikasi tersebut, dalam
studi ini juga akan secara khusus dijelaskan tentang fenomena pengelolaan
kesan dari subyek penelitian ketika mereka melakukan komunikasi
(terutama komunikasi interpersonal). Studi ini penting untuk mengungkap
bagaimana subyek penelitian melakukan impression management pada
saat berhadapan dengan orang lain, baik dengan orang lain maupun dengan
sesama gelandangan. Meskipun banyak penelitian yang telah
menggunakan teori dramaturgis dari Goffman untuk mengungkap
fenomena impression management, sepanjang pengetahuan penulis, belum
banyak penelitian yang secara khusus mengungkap hal tersebut pada
“gelandangan”. Kalau pun identik paling tidak dapat menambah variasi
hasil penelitian dan pasti akan menghasilkan penelitian yang berbeda pula
karena dilakukan kepada subjek yang berbeda, waktu, tempat serta peneliti
yang beda. Adapun penjelasan lebih rinsi tentang hal ini akan diulas secara
gamblang pada bab 2 tentang kajian pustaka.
Konsep impression management dari Goffman, selain menjadi
salah satu konsep dari teori dramaturgis, juga terkait dengan kajian-kajian
tentang pesan (message). Kajian tentang impression management dan
pesan komunikasi dari komunitas gelandangan akan lebih menarik apabila
dikaitkan dengan komunikasi nonverbal.
Beberapa pendapat dan penjelasan di atas semakin mempertegas
akan pentingnya eksistensi dan kesadaran identitas dalam komunikasi
seseorang (terutama komunikasi interpersonal). Kalau kesadaran identitas
dan konsep diri dianggap penting dalam berkomunikasi, lalu bagaimana
dengan orang-orang yang mempunyai masalah dengan relasi sosial karena
persoalan stigma masyarakat, seperti para gelandangan? Pertanyaan
seperti inilah yang antara lain akan dijawab dalam penelitian ini, yakni
dengan mengungkap fenomena-fenomena komunikasi interpersonal yang
menarik dan khas dari seorang gelandangan, khususnya dalam konteks
impression management-nya.
Berdasarkan penjelasan di atas permasalahan penelitian tersebut
diidentifikasi masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pandangan gelandangan tentang diri dan
lingkungannya (fisik, psikis dan sosial)?
2. Bagaimana orientasi sosial (pilihan karier, motif) setelah
menjadi gelandangan?
3. Bagaimana para gelandangan melakukan pengelolaan kesan
dalam berkomunikasi?
Untuk lebih memperjelas wilayah penelitian yang akan
dilakukan, berikut ini akan digambarkan secara skematis wilayah kajian
yang menjadi fokus penelitian:
Gambar
Wilayah Penelitian
Diri & Perilaku
Komunikasi
Gelandangan
Memasuki
Dunia
Gelandangan
Sebelum Menjadi
Gelandangan
Redefinisi
Diri Gambaran Diri
Orientasi Sosial
Wilayah penelitian
dan fokus kajian
Pengelolaan Kesan
(management
impression)
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1 Teori Fenomenologi
Fenomenologi adalah kajian mengenai pengetahuan yang berasal
dari kesadaran, atau cara bagaimana orang-orang memahami obyek-obyek
dan peristiwa-peristiwa atas pengalaman sadar mereka. Kuswarno (2009:5)
menyatakan bahwa fenomena adalah sesuatu yang masuk ke dalam
“kesadaran” kita baik dalam bentuk persepsi, khayalan, keinginan atau
fikiran. Teori fenomenologi dikembangkan oleh Alfred Schutz. Meskipun
fenomenologi sebagai teori lebih identitik dengan Schutz, namun dalam
sejarah perjalanannya Schutz mendapat banyak inspirasi dari teori dan pikiran
dari beberapa ilmuwan liainnya. Dua di antaranya adalah Max Weber dan
Edmund Hasserl.
Beberapa pakar mengklaim bahwa teori Fenomenologi dari Alfred
Schutz terinspitrasi oleh teori Tindakan Sosial dari Max Weber. Menurut
Weber, tindakan sosial adalah segala perilaku manusia ketika dan sejauh
individu memberikan suatu makna subyektif terhadap perilaku tersebut.
(lihat, Mulyana, 2003: 60-61). Asumsi-asumsi Weber tentang sifat aktif
manusia telah menjadi ‘spirit’ bagi Schutz untuk membangun asumsi-
asumsinya tentang manusia dalam perspektif teori Fenomenologi.
Sebagaimana Weber, Schutz juga dalam fenomenologi-nya menganggap
dimensi “interaksi” sebagai variabel utama dan penting dalam menentukan
perilaku manusia, bukan struktur masyarakat. Bahkan struktur itu sendiri
tercipta dan berubah sebagai akibat dari interaksi manusia, yakni ketika
individu-individu berpikir dan bertindak secara stabil terhadap seperangkat
obyek yang sama. (Mulyana, 2003:61)
Memperkuat pendapat Weber tentang pentingnya tindakan sosial bagi
manusia, Schutz mengemukakan bahwa pemahaman atas tindakan, ucapan
dan interaksi merupakan prasyarat bagi eksistensi sosial siapa pun (Mulyana,
2003:62). Kalau Weber memberikan asumsi umum tentang hubungan dan
interaksi manusia (tindakan sosial), maka Schutz lebih menspesifikasikan
pada bagaimana terbentuknya dunia keseharian manusia lewat kesadaran
intersubyektifitas. Oleh karena itu, fenomenologi Schutz terkadang disebut
sebagai fenomenologi intersubjektif. Pada prinsipnya analisis fenomenologi
ini berkenaan dengan pemahaman tentang bagaimana keseharian, dunia
intersubjektif (dunia kehidupan atau Lebenswelt) terbentuk. Tujuannya
adalah untuk mengetahui bagaimana kita dapat menginterpretasi tindakan
sosial kita dan orang lain sebagai sesuatu yang bermakna dan untuk
merekonstruksi kembali turunan makna tindakan bermakna pada komunikasi
intersubjektif individu dalam dunia kehidupan sosial (Outhwaite, dalan
Denzin, 2000:192).
Di samping dipengaruhi oleh Weber, Schutz juga terinspirasi dari
pemikiran Husserl. Menurut Edmund Husserl bahwa tidak ada skema
konseptual di luar pengalaman langsung yang sebenarnya yang cukup untuk
mengungkapkan kebenaran, tetapi pengalaman yang disadari oleh individu
harus dijadikan sebagai rute untuk menemukan realitas. Menurutnya,
kebenaran hanya dapat terungkap lewat perhatian secara sadar. Husserl yakin
bahwa dalam kehidupan sehari-hari, orang mengalami berbagai hal dalam
suatu bentuk sikap alamiah yang dipengaruhi oleh segala bentuk keyakinan
dan pra anggapan. Cara hidup yang alamiah seperti ini tidak memiliki disiplin
yang cukup untuk membuat kita dapat memperoleh pengetahuan yang
sebenarnya.
Istilah yang dipergunakan oleh Husserl untuk menjelaskan mengenai
hal ini adalah phenomenological reduction atau epoche, yaitu
pengeliminasian secara cermat dan secara sistimatis setiap faktor subyektif
yang masuk ke dalam pengalaman murni seseorang dengan suatu hal. Dalam
pereduksian ini, orang akan menyingkirkan faktor-faktor yang subyektif-
termasuk sejarah, penyimpangan, dan kepentingan-kepentingan untuk
menghilangkan unsur-unsur yang mengakibatkan terjadinya penyimpangan
ini dan memusatkan perhatian pada obyek yang ingin diteliti. Kesadaran
murni seseorang mengenai suatu obyek akan mengungkapkan esensi yang
sebenarnya dari obyek tersebut.
Alfred Schutz bertolak dari gagasan Hursserl yang melihat hubungan
kesadaran yang melibatkan kemampuan mempersepsi manusia terhadap
sesuatu obyek. Namun Schutz lebih menekankan pada kesadaran-kesadaran
intersubyektif dunia keseharian manusia. Shutz juga mendukung pandangan
Husserl yang menyatakan bahwa proses pemahaman dan pemberian makna
terhadap pengalaman-pengalaman itu dilakukan melalui refleksi tingkah
laku. Pemahaman makna tindakan sosial diperoleh dengan memutar dan
menyeleksi kembali rekaman-rekaman pengalaman tindakan sosial yang
berakumulasi dalam diri manusia sebagai persediaan pengetahuan atau stock
of knowledge. Kemudian kita dapat menyeleksi unsur-unsur pengalaman
yang memungkinkan kita untuk melihat makna tindakan kita. (Campbell,
1994:236).
2.2 Kajian Interaksi Simbolik Mead tentang “Diri”
Teori interaksi simbolik adalah suatu teori yang mencoba memandang
aktivitas manusia sebagai suatu aktivitas yang khas berupa komunikasi
dengan menggunakan (pertukaran) simbol. Kehidupan sosial dalam
pandangan kaum interaksi simbolik dimaknai sebagai suatu interaksi manusia
dengan menggunakan simbol, dimana simbol tersebut selalu digunakan
manusia untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan sesamanya. Di dalam
interaksi tersebut juga terjadi upaya saling mendefinisi dan menginterpretasi
antara tindakan yang satu dengan yang lainnya.
Pada dasarnya teori interaksi simbolik termasuk dalam wilayah
psikologi sosial yang mengkaji bagaimana dinamika psikis individu dalam
berinteraksi dengan individu lainnya. Oleh karena itu kajian awal tentang
teori ini harus dimulai dengan teori tentang diri (self) dari “the founding
father” interaksi simbolik, George Herbert Mead. Diri (self) atau konsep diri
dalam pandangan Mead (dalam Mulyana:2002:73) adalah suatu proses yang
berasal dari interaksi sosial individu dengan orang lain, atau dalam
pemaknaan yang lain, diri sendiri (the self) juga merupakan “obyek sosial”
yang kita bagi dengan orang lain dalam suatu interaksi (Soeprapto:2002:204).
Dengan demikian, konsep diri setiap individu sangat ditentukan oleh
bagaimana orang lain melihat/menilai dirinya saat berinteraksi. Cooley
(dalam Mulyana, 2002:74) mengatakan bahwa konsep diri individu secara
signifikan ditentukan oleh apa yang ia pikirkan tentang pikiran orang lain
mengenai dirinya. Sebagai konsekuensi dari kehidupan sosial (berkelompok)
maka konsep diri seseorang selalu berubah dari kelompok yang satu ke
kelompok yang lain, dimana pengaruh kelompok sangat kental bagi
interpretasi diri seseorang. Pandangan Mead tentang diri terletak pada
pengambilan peran orang lain (taking the role of the other). Pandangan
yang serupa tentang “diri” juga dikemukakan oleh Charles Horton
Cooley. Dalam teorinya “the looking-glass self”, Cooley berpendapat bahwa
konsep diri individu ditentukan oleh apa yang ia pikirkan mengenai pikiran
orang lain mengenai dirinya.
Sebagai hasil dari interaksi internal di atas maka akan menghasilkan
tindakan. Sebelum bertindak manusia harus menentukan tujuan,
menggambarkan arah tingkah lakunya, memperkirakan situasinya,
mencatat dan menginterpretasikan tindakan orang lain, mengecek dirinya
sendiri dan lain sebagainya. Berkaitan dengan hal inilah, Mead
menyimpulkan bahwa manusia dipandang sebagai organisme aktif yang
memiliki hak-hak terhadap obyek yang ia modifikasikan. Tindakan
dipandang sebagai tingkah laku yang dibentuk oleh pelaku, sebagai ganti
respon yang didapat dari dalam dirinya.
Interaksi dalam pandangan Mead dapat dibedakan antara interaksi
non-simbolik dan interaksi simbolik. Interaksi non-simbolik berlangsung
pada saat manusia merespon secara langsung terhadap tindakan dan isyarat
dari orang lain, seperti gerak badan, ekspresi dan nada suara. Sedangkan
interaksi simbolik dilakukan oleh manusia dengan menginterpretasikan
masing-masing tindakan dan isyarat (simbol) orang lain berdasarkan hasil
dari interpretasi yang dilakukan oleh dirinya. Interaksi simbolik
merupakan proses formatif yang menjadi hak setiap individu, yang
menjangkau bentuk-bentuk umum hubungan manusia secara luas.
Obyek bagi Mead merupakan sesuatu yang bisa ditunjuk atau
dirujuk, baik yang bersifat nyata maupun abstrak. Ada lima analisis yang
berkaitan dengan obyek menurut Mead; (1) alam obyek diambil dari arti
yang dimilikinya, yang merupakan hasil ciptaan dari orang yang
menganggapnya obyek. (2) arti tersebut muncul dari bagaimana seseorang
tersebut siap bertindak terhadapnya. (3) semua obyek adalah produk sosial
dimana di dalamnya dibentuk dan ditransformasi dengan proses
pendefinisian yang terjadi dalam interaksi. (4) seseorang akan bertindak
berdasarkan obyek tersebut. (5) karena obyek adalah sesuatu yang
ditunjuk, maka seseorang bisa bertindak menurut kemauannya terhadap
obyek tersebut. Soeprapto (2002:145) menformulasikan makna obyek
menurut kaum interaksi simbolik dalam kehidupan kelompok.
Menurutnya, teori interaksi simbolik memandang bahwa kehidupan
kelompok manusia adalah sebuah proses di mana obyek-obyek diciptakan,
dikukuhkan, ditransformasikan dan bahkan dibuang. Kehidupan dan
perilaku manusia secara pasti berubah sejalan dengan perubahan-
perubahan yang terjadi di dalam dunia obyek mereka.
Teori interaksi simbolik dibangun berdasarkan premis-premis
sebagai berikut: Pertama, individu merespon suatu situasi simbolik.
Kedua, makna adalah produk interaksi sosial, karenanya makna tidak
melekat pada obyek, melainkan dinegosiasikan melalui penggunaan
bahasa, karena manusia mampu memaknai sesuatu.teknik pemaknaan itu
sendiri oleh manusia bersifat arbitrer (sembarang), dimana segala
sesuatu/apa saja bisa menjadi simbol, sehingga tidak ada hubungan logis
antara nama atau simbol dengan obyek yang dirujuknya. Ketiga, makna
yang diinterpretasikan oleh individu dapat berubah dari waktu ke waktu,
sesuai dengan terjadinya perubahan situasi yang ditemukan dalam
interaksi sosial. Hal ini dimungkinkan karena manusia dapat
berkomunikasi dengan dirinya.
2.3 Teori Johari Window : Suatu Pendekatan
Pendekatan teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah
teori Johari Window. Sebagai suatu pendekatan komunikasi, teori ini dapat
digunakan untuk menjelaskan bagaimana dan pada bingkai mana para
gelandangan berkomunikasi. Pendekatan ini didasari atas pandangan dan
asumsi bahwa ada suatu bagan yang dapat menunjukkan tentang daerah
dalam diri kita yang merupakan area publik (public self) yang diketahui
orang lain, area pribadi atau private self yang tidak diketahui oleh orang
lain, aspek diri yang kita ketahui pada sebelah kiri dan aspek diri yang
tidak kita ketahui pada sebelah kanan (Rakhmat, 2000:107). Dalam teori
Johari Window yang lengkap terdapat empat bagian yang disebut sebagai
kamar-kamar jendela yang dapat menjelaskan diri kita.
Kita Ketahui Tidak Kita Ketahui
Buta
Gambar
Johari Window
Kamar pertama merupakan daerah terbuka (open area) yang
meliputi semua perilaku dan motivasi yang kita ketahui dan diketahui oleh
orang lain. Sedangkan daerah yang kedua adalah daerah tersembunyi
(hidden area) yang kita ketahui dan tidak diketahui oleh orang lain. Daerah
tidak dikenal (unknown area) merupakan area terakhir yang kita sendiri
dan orang lain tidak mengetahuinya (Rakhmat, 2000:108).
Terbuka
Tidak Dikenal Tersembunyi
BAB III
Dalam riset ini pun digunakan pendekatan kualitatif, seperti halnya
dikemukakan oleh Bongdan dan Taylor (Moleong, 2000:3) menyatakan
bahwa pendekatan kualitatif merupakan prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari
orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Selain itu juga dikatakan
Garna (1999:32) yang menyebutkan bahwa pendekatan kualitatif dicirikan
oleh tujuan penelitian yang berupaya memahami gejala-gejala yang
sedemikian rupa yang tidak memerlukan kuantifikasi atau gejala-gejala
tersebut tidak mungkin diukur secara tepat. Jenis studi ini hanya
memaparkan situasi dan kondisi, namun tidak mencari atau menjelaskan
hubungan, juga bukan mengkaji hipotesis atau membuat prediksi
(Rakhmat, 2000: 24). Pendekatan kualitatif ini mampu memperoleh
gambaran utuh dari fenomena komunikasi intrapersonal dan interpersonal
seorang gelandangan dalam melakukan proses sosial. Metode inipun
dipandang sebagai cara yang digunakan berdasarkan pada pengungkapan
pemahaman terhadap masalah secara natural, kompleks dan menyeluruh,
seperti diutarakan Mason, J. (1996) yang dikutip Denzin dan Lincoln
(2005) bahwa:
“a process of inquiry with the goal of under- standing a social or
human problem from multi- ple perspectives; conducted in a natural setting
with a goal of building a complex and holistic picture of the phenomenon of
interest”
Pertimbangan lainnya, karena menurut Muhadjir (2000:149), “lebih
mampu mengungkapkan realitas ganda, lebih mengungkapkan hubungan yang
wajar antara peneliti dengan informan, dan karena metode kualitatif lebih sensitif
dan adaptif terhadap peran pelbagai pengaruh timbal-balik”. Penelitian ini
menggunakan metode penelitian kualitatif dengan tradisi penelitian
fenomenologis, dalam istilah Lindlof (1995:27) disebut dengan paradigma
interpretif (interpretive paradigm) untuk merujuk pada penelitian komunikasi
yang dengan metode kualitatif yang melakukan tradisi fenomenologi,
etnometodologi, interaksi simbolik, etnografi dan studi kultural.
Dalam penelitian kualitatif peran teori tidak sejelas dalam
penelitian kuantitatif, karena modelnya induktif, yakni dengan urutan : 1)
mengumpulkan informasi, 2) mengajukan pertanyaan-pertanyaan, 3)
membangun kategori-kategori, 4) mencari pola-pola (teori), dan 5)
membangun sebuah teori atau membandingkan pola dengan teori-teori lain
(Alwasilah, 2003:119
Model Induktif Dalam Penelitian Kualitatif
2. Mengajukan
pertanyaan 1. Peneliti
mengumpulkan
informasi 3. Membangun
kategori-kategori
5. Mengembangkan
teori atau
mengembangkan
pola dengan teori
6. Pemahaman
baru, teori baru
atau hipotesis
baru
4. Mencari pola-
pola (teori-teori)
(Sumber: Alwasilah,(“Pokoknya Kualitatif”,2003:119)
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
Membangun hubungan dan akses komunikasi dengan subjek
penelitian merupakan sesuatu yang penting dan memiliki dampak yang
signifikan terhadap keberhasilan penelitian. Dalam komunikasi antar
pribadi membangun akses dan hubungan yang baik dapat dilakukan
dengan perkenalan yang kemudian diharapkan akan terjalin dan
diperolehnya kesan yang baik sehingga terbangunnya suasana yang
kondusif saat dilakukan proses penggalian informasi dari subjek
penelitian.
Seperti halnya berkomunikasi dan berinteraksi dengan sesuatu
yang dirasakan baru tentu memberikan berbagai kesan pertemuan yang
beragam. Terkadang masing-masing mendapati rasa tertekan baik atas
dasar kecemasan, ketakutan atau perasaan lainnya sebagai konsekuensi
saat interaksi dengan dunia sosial yang relatif baru. Seperti halnya
pertemuan peneliti dengan subjek zakir dilakukan saat subjek sedang
duduk dipinggir jalan dengan cucunya sekitar jam 12 malam. Bagi subjek
saat didekati oleh peneliti merasa khawatir jika yang datang itu adalah
pihak trantib atau mata-mata untuk menyamar dan menelusuri tempat
dimana ia mangkal. Dan tentu ia takut kalau terkena penggarukan atau
razia ketertiban
Dalam beberapa kasus lain pertemuan dengan subjek penelitian
lainnya relatif beragam bergantung pada kondisi dan situasi pada saat
pertemuan. Adakalanya peneliti bertemu subjek saat subjek mencari
barang-barang bekas atau pada saat subjek sedang mengobrol dengan
keluarganya sambil menunggu belas kasihan dari kendaraan yang lewat.
Saat itu peneliti berpura-pura sebagai penderma yang memberikan uang,
agar tidak dicurigai peneliti mencoba menanyakan jalan, agar pembicaraan
lanjutan bisa dimulai. Dalam penelitian kualitatif yang bertradisi
fenomenologis, uraian tentang profil subyek penelitian adalah sesuatu
yang dianjurkan (Creswell, 1988:147). Oleh karena itu, berikut akan
dideskripsikan subjek gelandangan tersebut sebagai subjek penelitian ini.
1). Keluarga Yanto (39th) dan Dini (30th)
Lelaki perwakan cukup gempal dan memiliki rambut cepak lurus
ini telah menjadi gelandangan selama 5 tahun. Ia hidup di dalam gerobak
bersama istri yang bernama Dini dan satu anak perempuannya (Annisa usia
3 tahun). Untuk mencari nafkahnya sehari-hari Yanto berkeliling mencari
botol bekas air minum dan barang-barang plastik lainnya yang bisa ia jual
ke lapak penampungan barang-barang bekas.
Penghasilannya setiap hari tidak menentu terkadang sisa botol air
mineral dan barang-barang bekas lainnya hanya cukup untuk makan sekali
saja dalam sehari. Seabagai anak betawi asli yanto persis tahu seluruh
sudut-sudut kota Jakarta, bogor, tangerang. Awal pertemuan keluarga
Yanto dengan peneliti ketika peneliti melihat ada sebuah pemandangan
unik yang peneliti lihat di daerah tanah kusir dan ciputat. Peneliti melihat
ada sebuah gerobak di pinggiran trotoar lengkap dengan pernak-perniknya
seperti boneka, dorongan bayi, radio, lemari plastic, tv, dan barang-barang
lainnya. Di sana terlihat ada seorang laki-laki, seorang perempuan, dengan
seorang anak sekitar umur 4 tahunan. Yang unik, rambut perempuan dan
anak kecil tersebut berwarna kuning seperti layaknya orang bule. Karena
penasaran, peneliti menghampiri mereka dan mencoba berkenalan lebih
dekat, dan mereka pun bersedia menjadi informan dalam penelitian ini.
Laki-laki dewasa tersebut bernama Yanto (39th) yang tidak
pernah mengenyam pendidikan sama sekali, dengan istri bernama Dini
(30th) tamatan Aliyah dan anaknya yang bernama Annisa Bahar (5th)
ternyata tinggal di dalam gerobak sebagai tempat tinggal sekaligus alat
transportasi mereka ketika mencari nafkah. Pekerjaan Yanto yang utama
adalah mencari barang rongsokan didalam komplek di sekitar tanah kusir.
Jika Yanto mencari barang rongsokan, gerobak mereka dibawa serta juga.
Mereka menjual barang rongsokan tersebut di daerah pondok pinang, di
belakang pool blue bird di jalan Veteran Tanah Kusir Jakarta Selatan.
Hasil penjualan barang rongsokan mereka tidak terlalu memuaskan,
maka untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, mereka meletakkan beberapa
gelas plastic di dekat gerobak mereka, dengan harapan ada pejalan kaki
yang mau menyisihkan sebagian rezekinya untuk mereka.
Segala aktivitas mereka lakukan di gerobak tersebut. Untuk tidur
yanto memilih di dalam gerobak, sedangkan Dini dan anaknya di atas
gerobak beralaskan papan. Bila hujan mereka menarik terpal tepat di atas
gerobak sehingga mereka terlindungi dari hujan. Untuk mandi mereka
biasanya numpang di musholla komplek yang letaknya tidak jauh dari
gerobak mereka. Selain itu mereka juga menyiapkan air di botol-botol
plastik bekas, untuk keperluan buang air atau mencuci apapun. Bila ingin
memasak, mereka menumpang di halaman rumah kosong, tetapi dengan
syarat mereka harus bantu-bantu membersihkan rumput atau kebun rumah
tersebut.
Dini bercerita asal mulanya tinggal di gerobak. Dini adalah anak
satu-satunya di keluarganya. Penderitannya dimulai ketika sang ibu
meninggal. Tidak berapa lama kemudian bapaknya Dini menikah lagi.
Ternyata ibu tirinya sangat galak, bahkan meskipun ada bapaknya, Dini
tetap sering di siksa. Dini juga pernah diikat oleh ibu tirinya, sampai
sekarang bekas ikatan tersebut masih jelas terlihat di kakinya.
Dini yang saat itu sudah 2 kali menikah, mempunyai seorang anak
dari suaminya yang pertama, anak tersebut bernama Annisa. Dini selalu
disiksa oleh suaminya, maka Dini memutuskan untuk minta cerai. Perilaku
ibu tirinya makin parah sehingga membuat dini nekat untuk kabur. Dini
dan Annisa yang saat itu baru 2 tahun bingung tidak tahu mau kemana dan
tidur dimana.
Akhirnya dini memutuskan untuk tinggal disebuah stasiun di pos
Duri, di peron dan tidur beralaskan kardus bekas. Suatu saat Dini dihampiri
oleh seorang laki-laki yang biasanya pergi ke pasar tiap pagi, dan laki-laki
tersebut adalah Yanto yang sekarang menjadi suami ketiganya. Yanto
yang saat itu tinggal di Tambora dengan ayahnya, mengajak Dini untuk
menikah karena merasa kasihan melihat Dini dan anaknya Annisa tidak
ada yang mengurus. Semua keluarga Yanto tidak ada yang menyetujui
pernikahan tersebut, karena Dini dianggap anak gembel, dan bandel, tetapi
Yanto tetap nekat.
Pada mulanya Yanto adalah penjahit border dengan upah yang
lumayan, tetapi Yanto memutuskan untuk berhenti dari pekerjaan tersebut
karena ingin mengurus ayahnya yang mulai sakit-sakitan. Ketika
menganggur yanto banyak berhutang kepada pemilik warteg, tempat
biasanya dia makan. Disaat Yanto terlilit hutang, Ayahnya Yanto
meninggal dunia. Lalu yanto mendapat warisan sebuah rumah di daerah
Tambora. Rumah tersebut dikontrakkan oleh Yanto untuk membayar
hutang -hutangnya.
Yanto dan Dini keluar dari rumah tersebut. Dengan uang yang ada,
mereka bingung harus tinggal dimana, karena untuk membayar kontrakan
juga tidak mampu. Mereka tidak mau kembali ke rumah orang tua nya
Dini, karena khawatir nanti anak mereka dipukuli oleh ibu tirinya Dini.
Awalnya Yanto dan Dini ngemper di Nurul Hidayah dengan menggunakan
kardus, lalu diusir dan pindah ke jembatan dengan menggunakan tenda,
tetapi ada satpol PP. dan akhirnya disuruh pergi. Akhirnya Dini dan Yanto
memutuskan untuk membeli gerobak dari sisa uang yang ada.
Mereka lebih memilih gerobak karena mereka berfikir bahwa
gerobak gampang dibawa lari bila ada razia satpol pp. Selama mereka
tinggal di pinggir jalan tanah kusir, mereka tidak pernah kena razia satpol
pp. Biasanya satpol pp mengingatkan mereka untuk pergi sementara waktu
karena daerah itu akan dinilai oleh pemerintah setempat.
2). Tina (41th) dan Usman (23th)
Sekitar jam 8 malam, tepat di daerah kawasan ciganjur peneliti
bertemu sepasang suami istri gelandangan yang bernama Tina ( 41 tahun)
lulusan SD kelas 5 dan Usman (23 tahun) lulusan Sekolah Dasar kelas 2.
Mereka sedang duduk istirahat di sebuah halte, disamping mereka ada
sebuah gerobak yang tidak terlalu penuh dengan botol plastik barang-
barang bekas lainnya. Mereka berencana akan membawa botol plastik dan
barang-barang bekas tersebut ke lapak dan menjualnya kepada pengepul.
Sambil menunjukkan dan memperlihatkan barang-barang yang terisi
dalam gerobak yang tidak terlalu penuh tersebut kepada peneliti, ia
menjelaskan bahwa rata-rata per hari biasanya mereka hanya mendapatkan
uang sekitar Rp. 10.000,-Rp.15.000,-
Ketika sedang berbincang dengan peneliti, peneliti melihat Tina
sedang memegang telepon genggam, peneliti pun mengonfirmasikan dan
menanyakan hal tersebut kepada Tina, lalu sambil tertawa dia mengatakan
bahwa itu hanya pinjaman dari bos yang punya lapak biar bisa laporan
kalau ada hal-hal yang tidak diinginkan.
Pernah suatu hari mereka mau dirazia oleh satpol pp, lalu Usman
menunjukkan ktp-nya sambil berkata “saya bukan orang gelandangan,
saya cari makan.”1 kemudian satpol pp pun tersebut tidak jadi mengambil
gerobak mereka. Dalam menjalankan profesinya sebagai manusia gerobak
Tina dan Usman biasanya baru keluar sekitar jam 10 pagi, karena menurut
mereka pada jam tersebut sampah-sampah aqua bekas mulai banyak.
1 Tina/Usman, Wawancara dengan subjek tanggal 7-8-2010
Mereka tidak pernah mau mencari rongsokan dikomplek-komplek, karena
khawatir bila ada kehilangan mereka yang nantinya disalahkan. Jadi
mereka hanya mencari rongsokan di daerah ragunan saja.
Sambil melepas topi yang dikenakannya Tina bercerita asal
mulanya ia menjadi gelandangan. Tina adalah warga asli Bogor dengan 4
orang anak. Pada tahun 1998 suaminya menikah lagi dengan wanita lain,
ia pun sangat marah sekali dan memutuskan untuk meminta cerai.
Bukannya menceraikan yang ia terima, melainkan mendapatkan siksaan
dan suaminya pun kerap memukulnya. Karena kejadian yang sering
dialami, akhirnya Tina memutuskan untuk meninggalkan suami dan anak-
anaknya.
Anaknya yang ke-3 diasuh oleh ibu tirinya, sedangkan yang satu
dititipkan di saudara yang ada di jawa. Tina memilih tinggal di Jakarta
dengan ibunya yang sempat bermukim di belakang komdak, gatot subroto.
Sesampainya disana Tina sempat bekerja sebagai pembantu dan kantin
kantor. Ketika sedang bekerja Tina bertemu dengan usman di pondok
ranggon, yang saat itu sedang bekerja sebagai penjaga toko kaset dengan
gaji hanya Rp. 150.000 sebulan.
Ketika Usman menikah dengan Tina, Usman memutuskan untuk
berhenti dari pekerjaannya sebagai penjaga toko kaset, dengan alasan
katanya “abis gimana kasian ama si mama ditinggal-tinggal”.2 Setelah
menikah mereka mengontrak dengan harga Rp.225.000 sebulan. Untuk
membayar kontrakan itu Tina bekerja di restoran di daerah Bandung.
2 Ibid, 7/8/2010
Lama-lama Tina dan Usman kehabisan uang, dan mereka berencana untuk
pindah ke Jakarta. Tapi mereka tidak punya uang sama sekali, akhirnya
Usman berinisiatif untuk menumpang kereta yang mau ke Jakarta.
Sampailah mereka di stasiun manggarai.
Sampai saat ini tidak ada satu pun kerabat Tina ataupun Usman
yang mengetahui pekerjaan mereka. Karena mereka merasa malu dengan
pekerjaan tersebut, lagipula mereka tidak mau menjadi beban pikiran
keluarga. Biasanya ketika mereka mencari barang rongsokan, mereka
menutupi wajah mereka dengan topi, sehingga tidak ada satupun orang
yang bisa mengenali mereka.
3). Keluarga Roso (35th) dan Sri (30th)
Pada sore hari sepulang dari kegiatan mengajar di kampus,
peneliti melihat ada sebuah gerobak di depan Universitas Islam Negeri
Ciputat. Di depan gerobak itu seorang ibu dengan pakaian yang kumal
sedang duduk di pinggir trotoar. Dekat dengan si ibu ada dua bocah
perempuan yang sedang becanda dengan pakaian yang kumal juga. Ada
juga seorang Bapak yang sedang membawa karung hendak meninggalkan
gerobak tersebut. Balakangan peneliti ketahui bahwa Bapak itu adalah
suami dari Ibu tadi.
Lalu peneliti mencoba mendekati si ibu untuk mengetahui lebih
jauh tentang kegiatan keluarga tersebut. Ketika peneliti memperkenalkan
diri dan menyampaikan maksud kedatangan peneliti Sri (30 tahun)
menyambutnya dengan hangat, meskipun pada awalnya Sri khawatir
peneliti ini adalah wakil dari petugas tramtib.
Sri adalah wanita muda yang berasal dari Pekalongan. Karena
tidak sekolah sama sekali maka membuat Sri tidak dapat membaca dan
menulis. Saat ini Sri mempunyai 7 orang anak, 4 laki-laki dan 3
perempuan. Saat itu yang ikut bersama Sri adalah anaknya yang ke 5 dan
ke 6 yang saat itu berusia 5 tahun dan 4 tahun. Ketika kami sedang
berbincang, datanglah seorang Bapak dengan membawa karung, dia
adalah suami Sri yang bernama Roso (35 tahun). Tidak seperti Sri, Roso
pernah sekolah meskipun hanya sampai kelas 4 SD. Saat Sri dengan anak-
anaknya di depan UIN, Roso dengan karungnya keliling mencari aqua
bekas, lalu setelah dapat Roso kembali ke gerobaknya kembali. Roso
melakukan hal demikian agar anak dan istrinya tidak terlalu lelah.
Sebelum ke Jakarta, Roso di kampong bekerja sebagai petani, dan
terkadang kuli bangunan. Pekerjaan Roso sebelum memulung, ia pernah
bekerja sebagai kenek mobil di kampungnya di Pekalongan. Penghasilan
di kampong sebenarnya menurut Roso jauh lebih besar daripada
memulung, tapi mobil yang ingin dikenekin sudah tidak ada lagi.
Karena keadaan yang seperti ini, akhirnya Roso memutuskan
untuk mencari pekerjaan di Jakarta. Karena menurut temannya, kerja
sebagai pemulung adalah pekerjaan yang cukup menjanjikan. Roso dan
Istri berangkat ke Jakarta ketika baru punya anak satu.
Sesampainya di Jakarta Roso langsung bekerja sebagai
pemulung. Roso tinggal di lapak bersama Sri dan anaknya. Lapak mereka
gratis diberikan oleh “bos” lapak yang terletak di gang makam, daerah
pondok ranji. Dengan dibekali gerobak gratis dari “Bos Lapak’, setiap hari
Roso keluar dari Lapak sekitar jam 6 pagi samapai jam 11 siang. Daerah
yang sering di datangi Roso adalah daerah Lebak Bulus, karena didaerah
tersebut banyak terdapat gelas plastic dan botol plastic bekas. Tapi saat
bulan puasa, gelas plastic dan botol plastic bekas agak sedikit, dan
ditambah lagi banyaknya saingan para pemulung musiman yang datang
pada saat bulan puasa saja. Pada sore harinya Roso keluar lagi jam 4 sore
sampai malam. Penghasilan dari memulung ini pendapatan Roso sekitar
Rp. 30.000,- perhari. Untuk hal ini Roso setiap hari wajib setor kepada
pemilik lapak.
Sri terkadang ikut juga memulung tapi hanya sekitar daerah UIN saja
karena lebak bulus terlalu jauh bagi Sri. Bila sedang tidak memulung, Sri
bekerja di perumahan seperti menggosok dan mencuci. Untuk pekerjaan
ini Sri diberi upah sekitar Rp. 150.000,- sebulan.
Untuk makan dalam sehari Roso membutuhkan 2 liter beras. Yang
masak biasanya bukan Sri melainkan anak pertama merka yang sudah
berumur 14 tahun. Dengan penghasilan sebagai pemulung tersebut, untuk
makan sehari-hari sangatlah pas-pasan bagi Roso dan keluarga.
Saat ini Roso mempunyai cita-cita untuk berdagang, karena jadi
pemulung agak melelahkan dan suka diomelin sama orang-orang. Satpol
PP juga salah satu musuh mereka, karena apabila mereka mangkal, maka
gerobak mereka akan diangkut. Tapi Roso agak bingung juga, bila ia sudah
tidak bekerja lagi di Lapak, berarti mereka harus membayar rumah
kontrakan yang saat ini hargany sangat mahal sekali. Jadi untuk sementara
klo modalnya belum ada, maka Roso lebih memilih sebagai pemulung
saja.
4.1.2 Persepsi Diri Subjek Penelitian dalam Komunikasi Antar
Pribadi
Manusia merupakan makhluk sosial, karena itu kehidupan manusia
selalu ditandai dengan jalinan relasi antar manusia sebagai bagian dari
ekspresi pergaulan. Adapun hakikat pergaulan itu ditunjukkan antara lain
oleh derajat keintiman, frekuensi pertemuan, jenis relasi, mutu interaksi
diantara mereka, terutama faktor sejauhmana keterlibatan dan saling
memengaruhi (Rahman, 2004:94). Pada dimensi interaksi dan hubungan
pergaulan inilah manusia melakukan komunikasi antar pribadi.
Kemampuan setiap individu dalam melakukan komunikasi antar
pribadi tentunya sangat berbeda, sebagaimana dijelaskan oleh Budyatna
(1994) yang mana setiap jalinan hubungan dengan sesamanya melakukan
prediksi terhadap perilaku satu sama lain tas data psikologis yang bersifat
perseorangan dan menggunakan pertimbangan berdasarkan norma-norma
hubungan secara spesifik, serta mentolelir kebebasan masing-masing
pihak untuk menciptakan kesepakatan bersama, sehingga tidak ada
perasaan diatur dan didikte oleh salahsatu pihak. Demikian halnya denga
kelo,pok gelandang dalam membangun relasi dan komunikasi antarpribadi
tentu memiliki karakteristik dan cara yang berbeda dengan jenis
komunikasi dari kelompok masyarakat lainnya.
Dalam konteks relasi antar individu atau komunikasi antarpribadi
gelandangan dalam hasil penelitian ini digambarkan secara skematis
tentang bagaimana subjek penelitian membagi wilayah persepsi dirinya ke
dalam tampilan yang ditunjukkan kepada umum, persepsi diri yang
bersifat khusus atau pribadi yang memaparkan penilaian diri subjek yang
diketahui orang lain dan interaksinya. Sebagaimana adler & Towne (1987)
mengemukan sedikitnya ada tiga dimensi diri yang terlibat dalam setiap
saat kita berkomunikasi, diantaranya “me” yang bersifat pribadi/ perceive
self ; “me’ yang bersifat ideal/ desire self dan “me’ yang bersifat umum/
public presenting. Namun demikian perilaku komunikasi tersebut sangat
dipengaruhi oleh persepsi dalam diri/individu tersebut. Seperti kelompok
gelandangan ini pun demikian.
Oleh karena itu, Secara rinci dapat dijelaskan bagaimana persepsi
subjek penelitian mengenai fisik, psikis dan sosialnya.
(1). Persepsi tentang fisik
Penjelasan tentang pandangan subjek terhadap segala sesuatu
yang bersifat fisik, dimaknai sebagai persepsi subyektif atas perilaku
komunikasi yang dimunculkan berdasarkan pandangannya mengenai
penampilan fisik, atribut yang digunakan dalam melakukan interaksi dan
menjalankan profesi yang dilakoninya. Secara kasat mata perilaku
komunikasi yang dimunculkan oleh subjek ini dapat dilihat saat mereka
mengenakan atribut dan perilaku kesehariannya. Dalam beberapa kasus,
atribut-atribut kemiskinan tersebut sangat subjektif tergantung dari
pemaknaan pemulung sebagai pilihan profesi gelandangan itu sendiri.
Sebagian besar dari subjek penelitian mengaku bahwa kehidupan mereka
memang merupakan kehidupan golongan miskin. Beberapa indikasi yang
termasuk dalam kategori ini adalah subjek penelitian yang memakai
pakaian kumal, lusuh kotor dan bau serta memiliki persepsi tentang
penampilan yang dipakai baik saat tempat umum atau yang bersifat pribadi
terutama saat subjek memakai pakaian yang dikenakannya.Sebagaimana
dikemukakan oleh subjek Yanto, Tina dan Rahmat:
“…..bisa beli makan aja syukur kita mah, klo pakean ya kalo ada
uang lebih baru beli itu pun setaun sekali kali ya pak di pasar kaget
lumayan lah murah-murah yang 10 rebuan atau lima rebuan..klo tiaphari
mah dicuci aja ga pernah, heee”3
“wah ngapain pake baju bagus mas, kan kita cari makan ditempat
kotor mending pake yang jelek-jelek aja ga perlu dicuci sayang kan
daripada beli sabun gitu.. mending buat buat makan di warteg”4
(2). Psikologis
Berkaitan dengan perilaku atau persepsi psikologis para
gelandangan, beberapa perilaku yang ditampilkan, yakni: a) Menutup
diri/ekslusif: Sebagian besar subjek dalam penelitian ini mengakui bahwa
pekerjaannya sebagai gelandangan tidak diketahui orang tua atau karib
kerabatnya di rumah. sebagaimana petikan wawancara berikut ini:
3 Wawancara Yanto, 19 Januari 2020
4 Wawancara Tina , wawancara 11 januari 2020
“..Engga tahu lah, kalau tahu bisa pingsan anak saya,..Dia tahunya
saya ya pembantu, wong anak saya. Pernah minta tempat alamat kerja
saya, saya bilangaja saya lupa”.5
Cara subjek melihat, merasakan atau menilai dirinya secara
langsung akan mempengaruhi cara orang tersebut bertindak terhadap
orang lain. Dalam konteks komunikasi antar pribadi juga akan
mempengaruhi dan menghambat komunikasi antar pribadi, artinya ketika
berkomunikasi orang yang mempunyai konsep diri negatif cenderung
menghindari interaksi dan menutup diri baik dengan orang lain atau
dengan kerabatnya sendiri. Dalam wawancara berikut terungkap
bagaimana seorang subjek penelitian Martinah mengaku bahwa anaknya
sendiri tidak ia beri tahu agar jati dirinya tidak diketahui oleh oring lain.
b). Merasa Minder/Rendah Diri: Pekerjaan memulung , mengamen atau
mengemis membuat gelandangan ini menutup diri dan secara psiklogis
membuat rasa minder dan malu serta rendah diri. Mereka menganggap diri
mereka tidak berharga dalam masyarakat apalagi ketika lingkungannya
mulai sedikit-sedikit mulai membicarakannya perihal pekerjaan dan
penampilannya yang kotor dan kumal serta kecurigaan kepada mereka jika
ada barang-barang yang hilang saat mereka melewati kampong atau
komplek perumahan.
(3). Sosial
5 Wawancara Martinah, 2/1/2020
Hal ini dilakukan oleh subjek penelitian dengan menghindari
kontak sosial. Subjek yang masuk dalam kategori ini, mereka
menghindari interaksi dan hubungan sosial dengan lingkungan. Mereka
menganggap dirinya hina dan minder karena penampilannya yang kumal
memberi kesan negative. Selain itu anggapan dan stigma sosial masyarakat
yang buruk yang identik sosok pemaling, jahat, curang dan suka
mengambil milik orang lain dan dengan persepsi dalam diri mereka
tentang perasaan malu membuat mereka menutup diri dari sosial terutama
pihak-pihak yang sebelumnya telah mereka kenal seperti tetangga atau
teman-temannya.
4.2 Pembahan
4.2.1 Manajemen Kesan (Impression Management)
Gelandangan
Dalam penulisan hasil penelitian ini dipaparkan pertunjukkan “diri”
gelandangan sebagai bentuk perilaku komunikasi dalam beberapa bagian
permainan peran yang dilakukan yakni setting komunikasi. Menurut
interaksi simbolik, manusia belajar memainkan peran dan mengasumsi
identitas yang relevan dengan peran-peran ini, terlibat dalam kegiatan
menunjukkan kepada satu sama lainnya siapa dan apa mereka. Dalam
konteks demikian, mereka menandai satu sama lain dan situasi-situasi
yang mereka masuki, dan perilaku berlangsung dalam konteks identitas
sosial bagi para aktor dan definisi tersebut mempengaruhi ragam interaksi
yang layak dan tidak layak bagi para aktor dalam situasi yang ada.
Goffman mengasumsikan bahwa ketika orang-orang
berinteraksi, mereka ingin menyajikan suatu gambaran diri yang akan
diterima orang lain. Ia menyebut upaya itu sebagai “pengelolaan pesan”
(impression manajement), yakni teknik-teknik yang digunakan actor untuk
memupuk kesan-kesan tertentu dalam situasi tertentu untuk mencapai
tujuan tertentu.
Kebanyakan atribut, milik atau aktivitas manusia digunakan untuk
presentasi-diri ini, termasuk busana yang kita pakai, rumah yang kita huni
dan perabotannya, cara kita berjalan dan berbicara, pekerjaan yang kita
lakukan dan cara kita menghabiskan waktu luang. Memang segala sesuatu
yang terbuka mengenai diri kita sendiri dapat digunakan untuk
memberitahu orang lain siapa kita.
Kita melakukan hal itu dari situasi ke situasi, misalnya cara kita
berdandan dan berperilaku kita diwawancarai dalam rangka melamar
pekerjaan, berbeda dengan cara kita berdandan dan berperilaku ketika kita
menghadiri pengajian. Pendeknya kita “mengelola” informasi yang kita
berikan kepada orang lain.
Kita mengendalikan pengaruh yang akan ditimbulkan busana kita,
penampilan kita dan kebiasaan kita terhadap orang lain, supaya orang lain
memandang kita sebagai orang yang ingin kita tunjukkan. Kita sadar
bahwa orang lain pun berbuat hal yang sama terhadap kita, dan kita
memperlakukannya sesuai citra dirinya yang kita bayangkan dalam benak
kita. Jadi kita bukan hanya sebagai perilaku tetapi juga sebagai khalayak.
Dalam kebanyakan kasus, menurut Goffman pelaku dan khalayak
mencapai apa yang disebut “konsensus kerja” (working consensus)
mengenai definisi atas satu sama lain dan situasi yang kemudian memandu
interaksi mereka. Seperti aktor panggung, aktor sosial membawakan
peran, mengasumsikan karakter dan bermain melalui adegan-adegan
ketika terlibat dalam interaksi dengan orang lain.
Meskipun demikian Goffman mengakui bahwa drama kehidupan
sosial sehari-hari, lebih penting daripada produksi teater bagi mereka yang
melaksanakan dan menyaksiaknnya. Goffman menunjukkan bahwa kedua
jenis drama tersebut menggunakan tekhnik yang sama yaitu aktor sosial,
seperti aktor teater, bergantung kepada busana, make-up, pembawaan diri,
dialek, pernik-pernik, dan alat dramatik lainnya untuk memproduksi
pengalaman dan pemahaman realitas yang sama.
Goffman menyebut aktivitas untuk mempengaruhi orang lain
sebagai “pertunjukkan” (performance). Sebagian pertunjukkan itu
mungkin kita perhitungkan untuk memperoleh respon tertentu, sebagian
lainnya kurang kita perhitungkan dan lebih mudah kita lakukan karena
pertunjukkan itu tampak alami, maupun pada dasarnya kita tetap
meyakinkan orang lain agar menganggap kita sebagai orang yang ingin
kita tunjukkan.
Goffman menyebut aktivitas untuk mempengaruhi orang lain
sebagai “pertunjukkan” (performance). Sebagian pertunjukkan itu
mungkin kita perhitungkan untuk memperoleh respon tertentu, sebagian
lainnya kurang kita perhitungkan dan lebih mudah kita lakukan karena
pertunjukkan itu tampak alami, maupun pada dasarnya kita tetap
meyakinkan orang lain agar menganggap kita sebagai orang yang ingin
kita tunjukkan.
Dalam usaha untuk mempresentasikan diri, terkadang sang aktor
menghadapi antara citra-diri yang ia inginkan dilihat orang lain, dengan
identitas yang sebenarnya, karena ia memiliki stigma (cacat), baik stigma
fisik maupun stigma social. Dalam kasus stigma fisik, actor
mengasumsikan bahwa khalayak mengetahui bahwa aktor memang secara
fisik berbeda dengan mereka, sedangkan dalam kasus stigma sosial
khalayak tidak mengetahui dan melihatnya.
Bagi Goffman, tampaknya hampir tidak ada isyarat yang tanpa
sepele pun, seperti “berpaling ke arah lain”, atau “menjaga jarak” dengan
orang asing yang dimaksudkan untuk menjaga privasi orang adalah ritual
antar pribadi atau dalam istilah Goffman menghargai diri yang “keramat”,
bukan sekedar adaptasi kebiasaan. Tindakan-tindakan tersebut
menandakan keterlibatan sang aktor dan hubungan yang terbina dengan
orang lain, juga untuk menunjukkan bahwa sang aktor layak atau berharga
sebagai manusia
Pengembangan diri sebagai konsep oleh Goffman agaknya tidak
lepas pula dari pengaruh gagasan Cooley tentang the looking glass self.
Gagasan diri ala Cooley ini terdiri dari tiga komponen. Pertama, kita
mengembangkan bagaimana kita tampil bagi orang lain; kedua, kita
membayangkan bagaimana penilaian mereka atas penampilan kita; ketiga,
kita mengembangkan sejenis perasaan-diri, seperti kebanggaan atau malu,
sebagai akibat membayangkan penilaian orang lain tersebut. Lewat
imajinasi kita mempersepsi dalam pikiran orang lain suatu gambaran
tentang penampilan kita, perilaku, tujuan, perbuatan, karakter kawan-
kawan kita, dan sebagainya, dan dengan berbagai cara kita terpengaruh
olehnya.
4.2.3 Pengelolaan Kesan Gelandangan berdasarkan Setting
Komunikasi
Kelompok gelandangan yang menyandang atribut dan asesoris
kemiskinan yang selalu melekat dengan dirinya. Sebagaimana Shultz
mengatakan bahwa manusia adalah makhluk kreatif, dinamis dan memiliki
keinginan bebas, demikian halnya dengan gelandangan manusia gerobak.
Sebagaimana Goffman menyebut aktivitas untuk mempengaruhi
orang lain sebagai “pertunjukkan” (performance). Sebagian pertunjukkan
itu mungkin kita perhitungkan untuk memperoleh respon tertentu dari
orang lain. Dalam penelitian ini dipaparkan beberapa strategi perencanaan
dan pembagian cara memilih waktu, area dan pembagian kerja sebagai
setting sosial dan setting komunikasi, meliputi pengelolaan waktu, lokasi
dan pembagian kerja
Dalam aspek waktu, Subjek penelitian/Gelandangan menentukan
kapan mereka harus mengembara dan memungut barang-barang bekas dan
kapan mereka harus istirahat. Pengetahuan tentang waktu bukan saja
memberikan banyak manfaat untuk bisa mendapatkan hasil yang cukup,
tetapi juga menjadi cara dan strategi dalam menghindari prasangka-
prasangka yang dialamatkan oleh warga kota kepada mereka.
“Kan ciganjur banyak kampong-kampung, soalnye ape kalo ada
kehilangan takutnya kita yang engga salah malah disalahin, entar
orang yang berbuat kita kena juga.”
“Biasanya setelah subuh sampai jam 12.00 WIB kembali pulang,
saya tidak kuat lama-lama karena ya tenaganya juga sudah tidak
mendukung.
Gelandangan melakukan pekerjaanya sebagai “pemulung”
dilakukan pada siang hari, sedangkan di malam hari mereka umumnya
berprofesi sebagai “pengemis”. Pengaturan waktu dan pergantian peran
dilakukan untuk dapat memeroleh penghasilan yang lebih. Seperti subjek
Yanto, bekerja sebagai pengumpul barang-barang bekas untuk mengelabui
jika ada penertiban. Mereka cukup mengatakan bahwa mereka seorang
pemulung, karena mereka memiliki anggapan bahwa yang selalu
ditertibkan dan terkena razia satpol PP adalah para pengemis..
Sebagaimana dutarakan dalam kutipan wawancara berikut:
“saya waktu itu pernah mau di tangkep, Cuma saya punya kartu
KTP, jadi saya ga ditangkep. Terus yang suka di tangkep itu teman-
teman saya yang tidak mempunyai KTP. Pa lagi yang terang-terang
ketauan ngemis gitu.”
Menjelang maghrib, biasanya mereka telah berkumpul kembali
dengan anggota rumah tangganya di lokasi tinggal mereka. Pada sekitar
pukul 19.00, biasanya langsung beristirahat atau tidur.
Subjek Gelandangan, terutama mereka yang mempunyai kesamaan
profesi, saling membagi wilayah kerja agar tidak terjadi konflik di antara
mereka. Wilayah kerja ini dikembangkan berdasarkan pada pengalaman
mereka atas lokasi-lokasi potensial yang dapat menopang kelangsungan
hidup mereka. Walaupun mereka terkadang saling bertemu di lokasi
tertentu, namun biasanya tetap ada suatu pengertian untuk tidak saling
mengganggu antara yang satu dengan yang lain.
Kondisi seperti ini bukan berarti tidak pernah terjadi konflik antar
mereka dalam pembagian wilayah kerja kegiatan utama mereka. Apabila
wilayah kerja mereka dimasuki kaum gelandangan ini yang mempunyai
profesi sama, maka kondisi seperti ini terkadang menjadi sumber konflik
mengingat ada diantara mereka yang menganggap bahwa wilayah operasi
mereka sehari-hari merupakan daerah kekuasaan mereka sebagai orang
yang lebih dulu masuk di daerah tersebut, namun ada pula yang
menganggap bahwa jalanan merupakan ruang publik dimana setiap orang
bisa masuk dan mengais rejeki disana.
. Sebagaimana diutarakan subjek Roso berikut:
“……Kita sih pinginnya ga usah ribut-ribut lah palagi sama-sama
gelandangan kaya saya ini. Tapi kadang kaya tadi tuh saya ga boleh
ngambil sama bapak-bapak tadi namanya pak samidu kita bilang
sama dia, yang mas liat kan saya ga boleh ngambil sama dia.
Makanya dia banyak musuhnya tuh”
Pekerjaan sehari-hari gelandangan umumnya adalah memulung,
yakni mengumpulkan barang bekas untuk dijual atau dimanfaatkan
sendiri. Bagi mereka , tidak ada target lokasi utama sebab barang bekas
bisa didapatkan di mana saja. Memang ada gelandangan yang hanya
memilih satu lokasi tertentu, tetapi kebanyakan dari mereka tidak
menggantungkan diri pada satu lokasi saja. Lokasi-lokasi yang dituju
terkadang dekat, namun tak jarang lokasi target terletak relatif jauh dari
tempat tinggal mereka. Tapi lokasi-lokasi pavorit mereka diantaranya
:area pasar, pemukiman warga, rumah sakit dan sekolah, penampungan
sampah.
4.2.4 Manajemen Kesan Gelandangan dengan Mitra
Komunikasi
Kaum dramaturgi memandang manusia sebagai aktor-aktor di atas
panggung metaforis yang sedang memainkan peran-peran mereka
(Litlejohn, 1999:166). Dalam paradigma definisi sosial orang berperilaku
sesuai dengan definisi yang dia buat berdasarkan realitas sosial yang
dihadapi. Dan menurut Goffman tafsir atas situasi itu berlangsung terus
menerus dalam kehidupan manusia, sehingga peran-peran yang
ditampilkannya pun terus berubah.
Manusia adalah aktor yang berusaha untuk menggabungkan
karakteristik personal dan tujuan kepada orang lain melalui “pertunjukan
dramanya sendiri”. Dalam mencapai tujuannya tersebut, menurut konsep
dramaturgis, manusia akan mengembangkan perilaku-perilaku yang
mendukung perannya tersebut. Selayaknya pertunjukan drama, seorang
aktor drama kehidupan juga harus mempersiapkan kelengkapan
pertunjukan. Kelengkapan ini antara lain memperhitungkan setting,
kostum, penggunakan kata (dialog) dan tindakan non verbal lain, hal ini
tentunya bertujuan untuk meninggalkan kesan yang baik pada lawan
interaksi dan memuluskan jalan mencapai tujuan.
Diri adalah produk dialektis sebagai hasil interaksi dramatis antara
aktor dan audiens (Ritzer, 2003:298). Bagi Goffman individu tak sekedar
mengambil peran orang lain untuk melengkapkan citra diri tersebut
(Mulyana, 2004:110). Goffman mengasumsikan bahwa ketika orang-
orang berinteraksi, mereka ingin menyajikan suatu gambaran diri yang
akan diterima orang lain. Ia menyebut upaya itu sebagai “pengelolaan
pesan” (impression manajement), yakni teknik-teknik yang digunakan
aktor untuk memupuk kesan-kesan tertentu dalam situasi tertentu untuk
mencapai tujuan tertentu.
Kebanyakan atribut, milik atau aktivitas manusia digunakan untuk
presentasi-diri ini, termasuk busana yang kita pakai, rumah yang kita huni
dan perabotannya, cara kita berjalan dan berbicara, pekerjaan yang kita
lakukan dan cara kita menghabiskan waktu luang
Komunikasi interaksi, dan presentasi diri yang dilakukan oleh
gelandangan paling tidak dilakukan dengan beberapa partisipan
komunikasi, yang masing-masing memberikan informasi tentang
perlakuan serta cara komunikasi yang juga berbeda.
manajemen kesan dan komunikasi Komunikasi dengan Rekan
Sesama gelandanan, terutama mereka yang mempunyai kesamaan profesi,
seperti memulung saling membagi wilayah kerja agar tidak terjadi konflik
di antara mereka. Wilayah kerja ini dikembangkan berdasarkan pada
pengalaman mereka atas lokasi-lokasi potensial yang dapat menopang
kelangsungan hidup mereka. Walaupun mereka terkadang saling bertemu
di lokasi tertentu, namun biasanya tetap ada suatu pengertian untuk tidak
saling mengganggu antara yang satu dengan yang lain.
"Persaingan di antara pemulung cukup ketat. Makanya saya dan
istri harus bangun pagi agar memperoleh hasil memulung
yang lebih banyak. Kalau tidak begitu, sudah keduluan
orang dan saya tidak dapat bagian,"
Biasanya kaum gelandangan yang telah memiliki wilayah kerja
tertentu akan merasa dirugikan atas kehadiran gelandangan lain yang
mempunyai profesi sama, melakukan aktifitas di wilayah kerja yang sama,
dan terlebih-lebih dalam waktu yang bersamaan. Peristiwa semacam ini
akan ditanggapi dengan berbagai macam cara dari sekerdar menunjukan
sikap tidak suka sampai tindakan perselisihan atau pertengkaran diantara
mereka. Keberadaan wilayah kerja ini biasanya relatif berdekatan dengan
lokasi tempat mereka mangkal (beristirahat) dan tidur.
Salahsatu yang paling kerap ditakuti dan dianggap musuh utama
bagi gelandangan adalah kehadiran aparat satpol pp, penggarukan yang
dilakukan aparat untuk membersihkan kota dari kehadiran para
gelandangan yang dianggap merusak ketertiban dan keindahan kota.
“..pernah pas 3 hari sebelum lebaran , saya lagi buka puasa, saya di
tarik-tarik langsung di bawa truk SATPOL PP ke daerah Kedoya,
untung aja suami saya sama gerobak saya bisa kabur… Saya
ditebus sama suami saya 300 ribu” (subjek TN)
Subjek lainnya seerti keluarga Yanto dan Dini mempunyai strategi
lain untuk melakukan strategi pengelolaan kesan ketika berkomunikasi
dengan masyarakat umum terutama dengan menyimpan sebuah celengan
dekat gerobaknya, sasarannya bukan mereka yang berjalan kaki tetapi para
pengendara mobil mewah yang melintas baik yang mau ziarah ke kuburan
atau yang hanya melintas, dan memang saat peneliti memantau dari
kejauhan daerah tersebut tiap hari selalu macet, dikarenakan sepanjang
jalan itu merupakan arah untuk masuk pintu tol juga dekat dekat dengan
tempat pekuburan tanah kusir yang terkenal tempat pemakamannya orang-
orang yang memiliki uang yang tebal. Sebagaimana kutipan dengan subjek
Yanto berikut:
“….itu saya siapkan buat nyang liwat yang mau ngasih uang buat si
Nisa, kita sih bukan pengemis tapi kalo ada yang mau ngasih sama si Nisa
ya ga masalah. Lumayan celengan si Nisa suka dapet banyak tuh..ga perlu
capek-capek, dah gitu kan daerah sini jarang ada razia”
BAB V
KESIMPILAN
Berdasarkan hasil temuan dan penelitian kepada gelandangan
tentang pola perilaku komunikasi terutama tentang manajemen diri dan
pengelolaan kesan, dapat disimpulkan bahwa perilaku komunikasi para
gelandangan diawali dengan proses internalisasi tentang diri serta persepsi
mengenai untuk membagi wilayah diri mereka dalam wilayah diri yang
terbuka dan diketahui orang lain, seperti jenis pekerjaan sebagai upaya
mempertahankan diri untuk mecari nafkah. Namun juga memilih menutup
wilayah tertutup tentang eksistensinya terutama saat berinterkasi dengan
keluarga dekatnya di kampung untuk menutupi jenis pekerjaan yang
mereka lakukan. hal ini sekaligus sebagai bentuk pengelolaan kesaan yang
nampaknya dikelola berdasarkan kebutuhan dan kondisi yang mereka
rasakan saat berinterkasi dengan mitra komunikasinya. Seperti halnya
manusia lainnya yang membutuhkan pengakuan atas keberadaannya
gelandangan melakukan aktivitas sosial dengan melakukan setting
komunikasi yang juga didasarkan kebutuhan mereka dengan melakukan
adaptasi sosial berupa merekayasa persepsi yang ditunjukkan dengan jenis
pekerjaan yang mereka lakukan yang terkadang sering berubah-ubah sperti
memulung, mengemis, mengamen dan yang lainnya.
BAB VI LUARAN PENELITIAN
Jurnal
IDENTITAS JURNAL
1 Nama Jurnal Jurnal Aspikom
2 Website Jurnal journal.aspikom.ac.id
3 Status Makalah Revieq
4 Jenis Jurnal Jurnal Nasional terakreditasi
4 Tanggal Submit 3 April 2020
5 Bukti Screenshot submit
Pemakalah di seminar
IDENTITAS SEMINAR
1 Nama Sseminar SENAMA 2020
2 Website Pendaftaran seminar.senama.ac.id
3 Status Makalah Submitted
4 Jenis Prosiding Prosiding Nasional
4 Tanggal Submit 30 April 2020
5 Bukti Screenshot submit
BAB VII RENCANA TINDAK LANJUT DAN PROYEKSI HILIRISASI
Minimal mencakup 2 hal ini.
Hasil Penelitian Membuat teori komunikasi terhadap orang gelandangan.
Hal ini penting dilakukan sebagai suatu langkah social
yang dapat meningkatkan pemahaman pemerintah dan
social agencies terkait kehidupan sehari-hari para
gelandangan. Pemahaman ini sangat vital untuk
merumuskan pola kebijakan social yang akan diambil guna
menekan angka disparitas ekonomi
Rencana Tindak
Lanjut
Hasil penleitian ini akan ditindaklanjuti dengan pengabdian
pada masyarakat untuk menerapkan hasil teori yang telah
dihasilkan dengan merangkul seluruh pihak yang
berkepentingan sehingga dapat secara bersama-sama
bekerja dalam menekan angka kemiskinan dan disparitas
kesenjangan social masayarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Arianto, 2015, Studi Dramaturgi dalam Presentasi Diri Kelompok Jamaah An-
Nadzir Kabupaten Gowa, ASPIKOM, Volume 4 Nomor 1, Juli 2019,
hlm 96-112
Barker, Larry L. & Deborah A. Gaut. (1996). Communication. Seventh edition.
USA: Allyn and Bacon Adler, Ronald B. Towne, Neil. 1987. Looking
out Looking in Interpersonal Communication. Hilt Rinchart and
Wiston. New York
Bongdan, Robert.,& Edwin O. Haroldson. 1979. A Taxonomy of Concept in
Communication. New York. Hastings House Publishers
Cresswell, W, John. 1998. Qualitative Inquiry and Research Design Choosing
Among Five Traditions. California: Sage Publications, Inc.
Denzin, Norman K. & Lincoln, Yvonna,S. (2005). Handbook of Qualitative
Reserach: Sage PublicationGarna, K. Judistira. 1992. Metode
Penelitian: Pendekatan Kualitatif. Bandung: Primaco Akademika.
Goffman, Erving. 1959. The Presentation of Self in Everyday Live. Reat Britain:
Cox & Wyman Ltd
Huberman, A. Michael & Miles B. Matthew. 1992. Analisis Data Kualitatif. Penj.
Rohendi Rohidi. Jakarta: UI Press.
Littlejohn, Stephen W. 2002. Theories of Human Communication. USA:
Wadsworth Publising Company
Miller, Gerald, R. Steinberg, Mark. 1975. Between People, New Analysis of
Interpersonal Communication. Science Research Association Inc
Moleong, Lexy. 2000. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda
Karya
Muhadjir, Noeng. 2000. Metode Penelitian Kualitatif. Edisi IV. Yogyakarta: Rakai
Sarasin.
Mulyana, Deddy. 2003. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: Remaja
Rosdakarya
-------------2001, Metodologi Penelitian Kualitatif. Paradigma Baru Ilmu
Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: Rosda Karya.
Rakhmat, Jalaluddin.1984. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: Remaja
Rosda Karya
----------------,. 2005. Psikologi Komunikasi. Edisi Revisi, Bandung: Remaja Rosda
Karya
Rinawati, Rini 2006. Dramaturgi Polgami. Jurnal MediaTor, Vol. 7. Nomor: 1, Juni
2006
Ritzer, G. Douglas.J. Goodman. 2004. Teori Sosiologi Modern. terj. Alimandan.
Jakarta: Kencana
Rohim, Syaiful 2018. Bahasa Indonesia Learning Communication by Using
Cooperative Model Approach. Jurnal ASPIKOM, Volume 3 Nomor 4,
Januari 2018, hlm 685-699
Suneki, Sri & Haryono, 2012. Paradigma Teori Dramaturgi Terhadap Kehidupan
Sosial. Jurnal Ilmiah Avis, Volume II, No 2.
Yohanes. 2018. Komunikasi Ritual Gerebeg di Keraton Yogyakarta. Jurnal
ASPIKOM, Volume 3 Nomor 4, Januari 2018, hlm 623-634